Senja hari itu, Elio baru saja pulang bekerja. Pria berkulit putih, tinggi kurus, ini tampak lelah karena habis bekerja seharian.
Saat dia mengetuk pintu rumah, tampak seorang wanita berkulit putih kurus yang lebih muda darinya berdiri dihadapannya.
"Aku sudah pulang, Vera."
Ucap Elio kepda wanita itu. Ternyata dia adalah Vera. Wanita yang hanya tinggi sekitar 155 cm ini menyambut hangat suaminya itu dengan penuh senyuman.
"Selamat datang, Elio! Kamu pasti lelah."
Vera menyapa dengan nada ceria, sambil membuka pintu lebih lebar agar suaminya bisa masuk.
Elio tersenyum tipis, kelelahan tampak jelas di wajahnya.
"Terima kasih, Vera. Hari ini benar-benar melelahkan."
Vera mengambil tas kerja Elio dan membawanya ke dalam rumah.
"Ayo, duduk dulu! Aku sudah menyiapkan teh hangat untukmu."
Elio mengikuti Vera ke ruang tamu dan duduk di sofa. Ruang tamu yang sederhana tapi nyaman itu terasa lebih hangat dengan kehadiran Vera.
Terdapat beberapa foto pernikahan mereka yang tergantung di dinding, dan beberapa tanaman hias yang diletakkan di sudut-sudut ruangan, menambah kesan segar.
Vera cepat-cepat pergi ke dapur dan kembali dengan secangkir teh hangat. Ia menyerahkan cangkir itu kepada Elio dengan senyum lembut.
"Terima kasih, sayang."
Ucap Elio sambil mengambil cangkir teh. Ia menyesapnya perlahan, merasakan kehangatan yang menyegarkan.
Vera duduk di sebelahnya, matanya berbinar.
"Bagaimana hari ini? Ada cerita menarik?"
Elio menghela napas panjang.
"Biasa saja, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Tapi ada sesuatu yang aneh hari ini..."
"Oh, ya? Apa itu?"
Tanya Vera dengan antusias.
"Entahlah, mungkin aku hanya terlalu lelah."
Jawab Elio sambil mengusap wajahnya.
"Tapi, ada sesuatu yang membuatku merasa berbeda. Seperti ada beban yang hilang."
Vera tertawa kecil.
"Mungkin karena tehku yang spesial?"
Elio tertawa juga.
"Hahaha.. Mungkin saja. Tapi, ngomong-ngomong, kamu terlihat ceria sekali hari ini. Ada apa?"
Wajah Vera bersinar lebih cerah.
"Aku hanya merasa senang, itu saja."
Seketika, Vera duduk di samping Elio dan menyandarkan kepalanya di paha Elio.
Elio merasa heran, tumben Vera begitu terlihat manja seperti itu, tidak seperti biasanya. Ia membelai rambut istrinya dengan lembut, menikmati momen kebersamaan mereka.
"Kenapa tiba-tiba manja begini, Vera?"
Tanya Elio dengan nada penasaran.
Vera tersenyum tanpa membuka matanya.
"Aku hanya ingin menikmati waktu bersama denganmu, Elio. Hari ini terasa sangat istimewa."
"Istimewa? Ya, mungkin."
Elio mengangguk meski Vera tak bisa melihatnya. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda malam ini, tetapi tidak ingin merusak momen dengan terlalu banyak bertanya.
Tak lama kemudian, seorang wanita berkulit cokelat bertubuh sintal, agak gemuk dan tinggi, bahkan lebih tinggi dari Vera, menghampiri mereka.
Wanita itu membawa secangkir teh hangat. Melihat sudah ada teh lain yang lebih dulu tiba di depan Elio, wanita itu tampak terkejut.
"Maaf, Tuan Elio, saya tidak tahu kalau Nyonya sudah lebih dulu membuatkan teh untuk Anda."
Kata wanita itu dengan suara rendah.
Vera tersenyum dan menoleh ke arah wanita itu.
"Tidak apa-apa, Emma. Aku memang sengaja membuat teh untuk Elio lebih dulu."
Emma adalah pembantu rumah tangga mereka, tersenyum kikuk.
"Baiklah, Nyonya. Kalau begitu, saya akan kembali ke dapur."
Vera menggeleng.
"Tidak perlu, Emma. Kamu bisa istirahat. Hari ini sangat spesial, jadi biarlah aku yang melayani suamiku!"
"Terima kasih, Nyonya. Kalau begitu saya akan kembali ke kamar saya saja."
Emma mengangguk dengan penuh hormat dan kembali ke kamarnya.
Vera kemudian menatap Elio dengan mata berbinar.
"Elio, aku ingin malam ini menjadi momen yang tak terlupakan bagi kita."
Ujar Vera sambil meraih tangan Elio.
Elio menatap Vera dengan penuh kasih.
"Kamu selalu tahu bagaimana membuatku merasa istimewa, Vera."
Vera tersenyum.
"Aku hanya ingin kamu tahu betapa aku mencintaimu."
Elio tersentuh oleh kata-kata Vera. Ia merasakan cinta yang tulus dari istrinya.
"Aku juga mencintaimu, Vera. Kamu adalah segalanya bagiku."
"Hmm... Tapi.. kok hari ini kok perlakuanmu kok beda ya?"
Elio semakin penasaran dengan perilaku manja Vera saat ini. Ia mencoba mencari tahu apa yang membuat istrinya begitu berbeda.
"Oh ya, ada apa sih? Kok kali ini perilakumu beda banget, sayang?"
Setiap kali Elio bertanya, Vera hanya tersenyum misterius.
Vera mengajak Elio untuk menebak dengan senyum yang menggoda.
"Ayo tebang, dong!"
Elio menggaruk kepalanya, mencoba memikirkan jawaban yang tepat.
"Hmmmm... Apakah kamu mendapat promosi di tempat kerja?"
Vera menggeleng pelan.
"Bukan itu, sayang. Coba tebak lagi!"
Elio berpikir sejenak.
"Apakah kamu menang undian?"
Vera menggeleng lagi.
"Tidak, Elio. Tebak lagi!"
Elio merasa semakin penasaran. Ia memikirkan kemungkinan lain, tetapi tidak ada yang terasa tepat.
Tiba-tiba, sebuah pikiran muncul di benak Elio, membuatnya terdiam sejenak.
"Jangan-jangan....?"
Tatapan Elio terarah pada Vera, yang masih tersenyum padanya.
"Apakah kamu sedang hamil, Vera?"
Wajah Vera bersinar dengan kebahagiaan.
"Hmmm..... Ya, Elio. Aku sedang hamil."
Elio merasa jantungnya berdebar kencang. Ia merasa seperti melayang di awan.
"Benarkah? Oh Tuhan, ini adalah kabar terbaik yang pernah aku dengar!"
Seru Elio dengan suara gemetar.
Vera tersenyum lebar.
"Ya, benar. Kita akan menjadi orangtua, Elio. Kita akan memiliki bayi kita sendiri."
Elio tidak bisa menahan kebahagiaannya. Ia memeluk Vera erat-erat, merasakan kehangatan dan kebahagiaan yang tak terkira. Air mata kebahagiaan pun mengalir di pipinya.
"Terima kasih, Vera. Terima kasih sudah memberikan berita terindah ini."
Ucap Elio dengan suara serak.
Vera membalas pelukan Elio dengan hangat.
"Kita telah menantikan momen ini begitu lama, sayang. Selama empat tahun kita berdoa agar diberikan keturunan, dan sekarang doa kita telah dijawab."
Mereka berdua duduk di sofa, masih saling memeluk erat. Elio merasakan campuran perasaan dalam dirinya, kegembiraan, harapan, dan rasa syukur yang begitu besar.
"Berapa usia kandungannya?"
Tanya Elio, matanya berbinar penuh antusiasme.
Vera tersenyum lembut.
"Sudah dua bulan, sayang. Kita masih memiliki waktu untuk mempersiapkan segala sesuatu."
Elio mengangguk, tangannya meraih perut Vera dengan lembut.
"Aku tidak sabar untuk bertemu dengan bayi kita, Vera. Kita akan menjadi orangtua yang sempurna."
Vera tersenyum bahagia.
"Aku juga tidak sabar, Elio. Kita akan memberikan yang terbaik untuk bayi kita."
***
Keesokan paginya, setelah mereka berdua bersarapan pagi bersama, di meja makan, Elio mengambil keputusan penting.
"Vera, aku akan mengajukan cuti untuk minggu depan."
Ujar Elio sambil tersenyum.
Vera menatap suaminya dengan penuh kegembiraan.
"Benarkah, Elio? Kita akan berlibur?"
Elio mengangguk.
"Ya, aku pikir kita perlu merayakan kehamilan ini dengan cara yang istimewa. Kita akan pergi ke luar kota."
Ekspresi wajah Vera bersinar penuh kegembiraan.
"Aku sangat senang mendengarnya, Elio. Terima kasih, sayang."