Chereads / Ibu Susu Untuk Istriku / Chapter 5 - Berharap

Chapter 5 - Berharap

"Kamu tenanglah Emma, aku akan mencari mereka. Kita harus tetap kuat. Aku yakin Vera, Mia dan Petrus pasti akan baik-baik saja."

Ucap Elio dengan suara lembut, mencoba menenangkan Emma yang sedang hancur.

Elio memalingkan pandangannya ke arah dua Perawat yang masih berdiri di samping pintu, ekspresinya penuh dengan desakan dan keputusasaan.

"Suster, tolong, saya mohon! Saya harus tahu di mana mereka berada!"

Perawat itu tampak ragu, wajahnya penuh dengan ketidakpastian.

"Maafkan kami, Pak. Kami belum mendapat perintah untuk memberitahu Anda."

Elio merasakan kegelisahan semakin memuncak di dalam dirinya.

"Tolong, mereka adalah keluarga saya. Saya harus tahu dimana mereka berada..!!"

Perawat lainnya bergumam dengan ragu,

"Kami akan segera memberi tahu Anda jika kami sudah mendapat instruksi dari atas."

Elio duduk tegang di samping ranjang Emma, hatinya terasa berat oleh kekhawatiran yang tak terkendali.

Meskipun kedua Perawat tampak enggan untuk menunjukkan di mana kamar keluarganya yang lain berada, Elio tidak bisa duduk diam.

Dengan keberaniannya yang dipicu oleh ketidakpastian, Elio terus mendesak Perawat itu, menuntut jawaban atas keadaan keluarganya.

"Saya tidak mau tahu! Saya harus melihat mereka!" 

Ucap Elio dengan suara gemetar, matanya dipenuhi dengan ketakutan yang terus membesar.

Salah satu perawat tampak terguncang oleh ekspresi Elio.

"Tapi, Tuan..."

Elio memotong perkataannya dengan tegas,

"Tolong, saya mohon! Saya harus melihat kondisi mereka..!!"

Saat kebuntuan itu semakin terasa, seorang Dokter mendekati mereka. Dengan langkah mantap, dia menyapa mereka dengan penuh perhatian.

"Apa yang terjadi di sini?"

Tanya Dokter itu, mencoba memahami situasi yang terjadi.

Salah satu perawat dengan cepat menjelaskan situasi tersebut kepada Dokter itu,

"Pak, Pasien ini meminta untuk mengetahui di mana letak kamar keluarganya yang lainnya, tetapi kami tidak dapat melanggar protokol."

Dokter itu mengangguk, mencerna informasi tersebut dengan serius. Dia kemudian menoleh ke arah Elio, bertanya dengan lembut,

"Maaf, Pak. Kondisi anda masih belum stabil. Anda harus banyak beristirahat dulu."

Elio menatap dokter dengan mata penuh ketakutan dan keputusasaan.

"Saya tak akan istriahat sebelum melihat mereka semua! Saya janji Dokter, jika saya sudah melihat langsung kondisi mereka, saya akan langsung beristriahat."

Dokter itu memahami kecemasan yang melanda hati Elio. Dia diam sejenak, mencari kata-kata yang tepat.

"Baiklah, saya akan menunjukkan di mana mereka berada. Tetapi Anda harus berjanji untuk tetap tenang dengan apapun yang terjadi nantinya."

Elio mengangguk dengan cepat. "Ya Dokter, saya berjanji."

Dengan hati yang berdebar-debar, Elio kemudian mengikuti langkah Dokter yang akan memimpinnya menuju koridor rumah sakit, menuju ke tempat di mana Vera, Petrus, dan Mia berada. 

Saat Elio hendak pergi bersama Dokter dan kedua Perawat menuju kamar yang akan dituju, Emma tiba-tiba menarik tangan Elio, matanya berkaca-kaca oleh keinginan yang tak tertahankan.

"Tuan Elio, tolong, izinkan aku ikut!"

Pinta Emma dengan suara penuh harap, tangannya gemetar saat menggenggam tangan Majikannya.

Dokter itu memandang Emma dengan simpati, tetapi dia juga tahu betul bahwa kondisi wanita itu belum juga cukup stabil untuk melakukan perjalanan.

"Maaf, Nyonya. Kondisi Anda belum cukup stabil untuk melakukan perjalanan seperti ini. Lebih baik Anda tetap di sini dan istirahat."

Namun, Emma tidak menyerah begitu saja. Dengan suara lirih yang penuh keputusasaan, dia memohon,

"Saya tidak akan bisa tenang jika tidak melihat mereka dengan mata kepala sendiri, Pak Dokter. Tolong, saya mohon!"

Elio merasakan getaran emosional dari suaranya, memahami betul rasa kecemasan yang menghantui Emma. 

Elio menatap dokter dengan tulus,

"Tolonglah, Dokter! Biarkanlah dia juga ikut! Ini penting bagi kami semua. Saya janji akan menjaganya dengan baik."

Dokter itu diam sejenak, mempertimbangkan situasi yang ada. Akhirnya, dia mengangguk dengan lembut.

"Baiklah, Nyonya. Anda bisa ikut, tetapi Anda harus berjanji untuk tidak terlalu banyak bergerak atau terlalu lama berada di ruangan itu nanti. Anda harus memperhatikan juga kondisi anda."

Emma tersenyum lemah,

"Terima kasih, Dokter. Saya janji akan patuh pada instruksi Anda. Saya janji, saya akan tetap tenang."

Elio dan Emma kemudian mengikuti langkah Dokter dan kedua perawat untuk menuju ke ruangan yang dituju. Meskipun kekhawatiran masih menghantui pikiran mereka, keberadaan satu sama lain memberi mereka sedikit kelegaan dalam ketidakpastian yang mereka hadapi.

***

Elio dan Emma diantar menuju ke sebuah kamar mayat dengan langkah yang gemetar dan hati yang berdebar-debar.

Sebelum mengajak mereka masuk, Dokter itu mengucapkan kata-kata penuh kehati-hatian,

"Sebelum saya menunjukkan pada kalian, saya ingin kalian bersiap menerima apa pun yang kalian lihat di sini! Kalian harus siap untuk menerima kenyataan dengan tabah!"

Elio dan Emma saling pandang, ekspresi ragu dan ketakutan tergambar jelas di wajah mereka. Mereka mengangguk pelan sebagai tanda persetujuan, meskipun hati mereka bergetar dengan kecemasan.

Kemudian, dengan langkah hati-hati, Dokter itu membawa mereka masuk ke dalam kamar mayat yang gelap. Cahaya remang-remang menyinari ruangan, menciptakan aura misterius yang membuat suasana semakin tegang.

Mereka berdiri di depan dua ranjang. Di atas ranjang itu, terdapat dua mayat yang terbaring dan tertutup rapat oleh kain putih, satu mayat bertubuh besar dan satu lagi bertubuh kecil.

Elio dan Emma menelan ludah mereka, hati mereka berdebar-debar saat kekhawatiran semakin merayapi pikiran mereka.

"Mayat siapa ini?" 

Dengan gemetar, Elio mencengkram kain putih perlahan-lahan, membuka sebagian untuk mengungkapkan wajah mayat di bawahnya.

"Tidak mungkin."

Desis Elio dengan suara yang hampir tidak terdengar, matanya terpaku pada wajah yang kini terlihat begitu dingin dan tak bernyawa.Sementara itu, Emma bergetar, tangan terangkat untuk menutupi mulutnya yang terbuka lebar.

"Petrus..."

Bisik Emma dengan suara yang serak oleh rasa kebingungan dan kesedihan yang mendalam.

"PEEETTTTTTRRUUUUUUSSSSS.....!!"

Tubuh Emma terasa terhempas oleh gelombang kesedihan yang tak terbendung. Dia duduk di samping ranjang mayat dengan tatapan hampa, mata yang berkaca-kaca memandang wajah suaminya yang terbaring di sana.

Wajah Petrus yang biasanya penuh dengan senyuman hangat kini terlihat dingin dan tak bernyawa. Bekas luka-luka di wajah dan tubuhnya menambah kesan tragis atas kepergiannya.

Emma meraih tangan Petrus dengan lembut, mencoba merasakan kehangatan yang kini telah hilang selamanya. Dia merasakan getaran kepedihan yang menyayat hatinya, seolah-olah setiap serat dalam dirinya hancur berkeping-keping. Air mata tak terbendung mulai mengalir membasahi pipinya yang pucat, menciptakan jejak-jejak asin yang memperkuat rasa kehilangannya.

Dua perawat yang berdiri di sampingnya hanya bisa melihat dengan simpati, merasakan betapa dalamnya kesedihan yang melanda wanita itu. Suasana ruangan terasa terisi oleh rintihan yang sedih dan hening, memperkuat aura kehilangan yang menyelimuti ruang mayat itu.

Beberapa saat kemudian, Emma menoleh ranjang di sebelah ranjang mayat suaminya. Dengan gemetar, Emma meraih ujung kain putih yang menutupi tubuh bayi mungil di samping suaminya itu.

Hati dan pikirannya berkecamuk dalam kecemasan yang tak terbayangkan, takut akan apa yang akan ditemukannya di balik kain tersebut. Dengan gerakan perlahan, ia membuka kain tersebut, dan saat melihat wajah yang terbaring di bawahnya serasa jantungnya hampir berhenti.

"Miaaaaaa.....!!"

Emma menangis histeris saat melihat Mia sudah tidak bernyawa.