Chereads / Ibu Susu Untuk Istriku / Chapter 8 - Berita Terburuk

Chapter 8 - Berita Terburuk

Dokter Milena mencoba menjelaskan lebih detail, 

"Ini berarti bahwa kemampuan Bu Vera untuk berpikir, merencanakan, mengingat, dan melakukan tugas-tugas sehari-hari bisa sangat terganggu. Syaraf-syaraf yang mengontrol fungsi-fungsi ini mengalami kerusakan, dan proses penyembuhan bisa sangat kompleks dan sulit diprediksi."

Elio menelan ludah, mencoba menahan kecemasan yang meluap di dalam dirinya. 

"Maaf, Dokter. Mohon berikan penjelasan dengan kalimat yang mudah saya mengerti."

Dokter Milena kembali menghela nafas, mempersiapkan dirinya untuk memberikan penjelasan yang terasa sangat berat untuk didengar . 

"Kerusakan otak yang dialami oleh Ibu Vera cukup serius. Selain gangguan kognitif yang disebabkan oleh kerusakan syaraf-syaraf otak tertentu, Vera juga mengalami kerusakan pada bagian otak yang mengatur ingatan jangka panjang dan kemampuan verbal. Akibatnya, kemungkinan besar Vera akan mengalami amnesia."

Elio merasa detak jantungnya semakin cepat, berdegup dengan keras dalam kegelapan pikirannya. "Amnesia... Apa itu berarti Vera akan melupakan semuanya? Kehilangan semua kenangan tentang kami? Tentang keluarganya?"Dokter Milena mengangguk perlahan, ekspresinya mencerminkan penyesalan yang dalam.Elio menelan ludah lagi, merasakan ketegangan yang semakin menyelubunginya. "Tapi... Apakah... apakah ada kemungkinan untuk sembuh?"Dokter Milena menatap serius pada Elio, mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan kabar buruk itu. "Kondisi otak Nyonya Vera sangat parah. Benturan keras yang dia alami menyebabkan kerusakan pada beberapa area penting, termasuk bagian hippocampus yang bertanggung jawab atas penyimpanan memori jangka panjang. Ini berarti kemungkinan besar Nyonya Vera akan mengalami amnesia permanen."Elio merasakan napasnya tersangkut di tenggorokan. Dia mencoba menyerap semua informasi itu dengan berat hati. "Amnesia permanen... Jadi, Vera tidak akan pernah lagi mengingat kita? Mengingat hidupnya sebelumnya?"Dokter Milena mengangguk dengan penuh penyesalan. "Ya, Pak Elio. Ada kemungkinan besar bahwa semua kenangan tentang kehidupannya sebelum kecelakaan akan hilang untuk selamanya. Ini termasuk kenangan tentang Anda, keluarga, dan semua momen yang pernah mereka bagikan bersama."Elio merasa dunianya hancur berkeping-keping. Semua momen indah yang mereka jalani bersama Vera, semua tawa, dan tangis, semua akan sirna tanpa bekas. "Apakah tidak ada cara untuk membantunya? Apa pun yang bisa kita lakukan?"Dokter Milena mencoba memberikan sedikit harapan di tengah keputusasaan yang melanda. "Kami akan melakukan yang terbaik untuk membantu dalam proses rehabilitasinya. Namun, saya harus jujur dengan Anda bahwa proses semacam itu tidak selalu berhasil, terutama dalam kasus kerusakan otak yang serius seperti ini."Elio mengangguk, mencoba menelan getirnya kenyataan. Meskipun hatinya hancur, dia tahu bahwa dia harus tetap kuat untuk Vera.***Emma masih duduk tegak di samping ranjang rumah sakit tempat Vera berbaring, wajahnya dipenuhi dengan ekspresi campuran kekhawatiran dan kesedihan.Cahaya remang-remang dari lampu di langit-langit ruangan menyinari wajahnya yang pucat. Tubuh Vera dipenuhi dengan berbagai alat medis, dan detak jantungnya yang lemah terdengar samar-samar.Tiba-tiba, Emma merasakan ketidaknyamanan di dadanya yang semakin menjadi-jadi. Payudaranya terasa penuh dengan susu yang menumpuk, menyebabkan rasa nyeri yang tak tertahankan.Emma menyadari bahwa rasa nyeri ini akibat dia terlambat menyusui, dan menyadari bahwa seharusnya saat ini dia harus menyusui bayinya. Tetapi bayinya sudah meninggal dan di makamkan, membuat payudara semakin sakit karena terasa penuh dengan susu namun tak ada bayi yang bisa untuk disusui.Saat rasa sakit semakin tak tertahankan, Emma kemudian membuka tasnya dengan gemetar dan mengeluarkan alat perah ASI.Emma mengamati alat itu sejenak, mencoba menguatkan diri sendiri, sebelum memutuskan untuk bertindak. Dengan hati-hati, dia membuka baju dan menghadapkan alat perah itu ke payudaranya yang nyeri.Dengan gerakan yang penuh perhatian, dia mulai memerah payudaranya, menyalurkan susu yang berlebih keluar dari tubuhnya.Setiap tekanan pada alat itu terasa seperti tusukan pisau, tetapi Emma bertahan. Dia mengingatkan dirinya sendiri bahwa tindakan ini adalah untuk kebaikan kesehatan dirinya sendiri.Tetesan susu putih mulai mengalir, membawa sedikit lega pada dadanya yang sangat kencang karena terlalu penuh dengan susu. Emma terus mengatur ritme perahannya.Meskipun rasa sakit masih menyiksa, dia mencoba untuk memusatkan perhatiannya pada tindakan yang sedang dilakukannya.Sementara itu, Vera tetap terbaring tak bergerak, tak sadar akan apa yang terjadi di sekitarnya.Tetesan demi tetesan, Emma berusaha menenangkan dirinya sendiri sambil memperhatikan wajah Vera.Meskipun situasinya menyedihkan, Emma hanya bisa berharap bahwa Vera akan segera pulih.Ketika Elio kembali ke ruangan, dimana Vera, istrinya masih terbaring tak berdaya di tempat tidur rumah sakit, terbungkus oleh berbagai perangkat medis yang kompleks.Emma masih tampak sedang memerah susu dari payudaranya, tatapan wajahnya penuh dengan kesedihan yang tersembunyi di balik ekspresi yang tegar.Dia memperhatikan Emma, pembantunya yang duduk di samping Vera dengan alat perah ASI di tangan."Emma... Apa yang sedang kau lakukan?"Emma, yang terkejut oleh kedatangan Elio, menatap majikannya dengan mata yang berkaca-kaca, mencoba menahan sakit yang meluap-luap. "Maaf, Tuan Elio... Aku... aku tidak tahan lagi dengan rasa nyeri ini. Susu ini menyiksa... Makanya aku memerah Asi untuk meredakan rasa nyeri di dadaku."Elio mengangguk dengan paham, "Aku mengerti, Emma... Kau telah melakukan yang terbaik."***Pagi hari menyambut Elio dengan sinar matahari yang lembut menyelinap melalui jendela-jendela rumahnya.Elio dan pembantunya Emma pulang sebentar untuk mandi dan berganti pakaian. Di kamar mandi, Elio merasa hangatnya air yang membasahi tubuhnya memberikan kesegaran yang sangat dibutuhkannya. Setetes demi setetes air mengalir di atas kulitnya, menyapu kelelahan dan menjernihkan pikirannya.Sementara itu, Emma dengan cekatan bergegas menuju dapur untuk menyiapkan sarapan, mengutamakan kebutuhan majikannya. Emma mengatur meja sarapan dengan cermat, menata roti panggang, telur, dan segelas jus jeruk.Tiba-tiba, ketukan keras terdengar dari pintu depan. Emma berjalan menuju pintu depan dan membukanya. Di depan pintu rumah, dua orang polisi berdiri dengan seragam mereka yang khas."Maaf mengganggu, kami mencari Pak Elio. Kami dari kepolisian." Ujar salah satu polisi, suaranya bersahabat namun serius."Apakah kami bisa bertemu Pak Elio?"Emma memberikan senyuman ramah, "Tentu, oh ya, Mohon maaf, Pak Elio sedang mandi. Apakah ada yang bisa saya bantu?""Mungkin kami bisa menunggu sebentar." Jawab polisi yang lain, sambil menundukkan kepala mengucapkan terima kasih."Tentu, silakan masuk." Emma mengarahkan mereka ke ruang tamu dan menawarkan untuk duduk di sofa."Silakan duduk. Saya akan beritahu Pak Elio ketika selesai mandi.""Baiklah, Terima kasih." Kedua polisi duduk di sofa, mata mereka berkeliling ruangan, meneliti setiap sudut dengan cermat.Sementara itu, Emma bergerak cepat ke arah kamar mandi untuk memberi tahu Elio tentang kedatangan polisi. Dari balik pintu kamar mandi, suara lembut Emma menyapa majikannya itu."Pak Elio, maaf mengganggu. Ada dua polisi yang ingin bertemu dengan Anda di ruang tamu," Ujarnya dengan penuh hormat.Elio yang berada di dalam kamar mandi dan kebetulan baru saja selesai mandi, merasa agak kaget mendengar kabar itu."Polisi? Terima kasih, Emma. Beritahu mereka untuk menunggu sebentar, saya akan turun segera." Jawabnya sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk."Baik, Tuan." Emma bergegas ke ruang tamu untuk memberitahu kedua polisi tersebut.