"Amai.....!?" Felix mendadak membuka pintu dimana Kikiyo dan Neko masih tengah mengobrol. Mereka menoleh ketika Felix datang.
"Kenapa kau di sini?" Neko menatap bingung. "Apakah kau sudah menyelesaikan pekerjaan mu?"
Felix terdiam sebentar, lalu menyadari sesuatu. "Ti, tidak... Maksudku, ini baik baik saja... (Aku tak tahu kenapa aku kemari.... Padahal aku tengah mencemaskan Hwa...) Aku hanya... Ingin di sini saja..." Dia berjalan mendekat dan duduk di samping Neko.
"Wah wah.... Apakah ini ada maksud tersembunyi?" Kikiyo menatap curiga.
"Hanya katakan apa yang terjadi pada Amai? Aku akan mendengarkan saja..." kata Felix dengan wajah serius.
"Oh, tentu saja, ini hal yang sangat serius... Dan sangat, beresiko..." kata Kikiyo.
Seketika Felix terdiam dan dia menatap Neko yang juga memasang wajah khawatir sambil memegang perutnya.
Tapi Felix mencoba memberikan semangat padanya. "Aku yakin itu tidak akan buruk.... Aku yakin, pemikiran ku selalu benar kan... Hanya perlu tenang, Amai..." tatapnya sambil ikut memegang perut Neko.
Tapi di saat itu juga ponselnya berbunyi dari Kim. Felix menatap tak sabar menunggu kabar dari Hwa. Lalu dia mencium kening Neko dan berjalan keluar, ia menerima panggilan itu di luar ruangan.
"Tuan Felix," panggil Kim dari panggilan itu. Di saat itu, Kim tengah menginjak mayat seseorang di bawahnya. Ia masih ada di pelabuhan itu dan Acheline juga sedang melempar mayat seseorang ke bawah. "Fuh..." Ia menghela napas lega, rupanya mereka berdua benar-benar dengan mudah menghabisi orang-orang yang mau mengepungnya tadi, benar-benar sangat dapat dipercaya.
"Tuan Felix, sebenarnya..." Kim mencoba untuk jujur saja karena dia tak mendapatkan informasi apa pun dari Hwa, tentu saja karena mereka hanya orang suruhan. Orang suruhan itu sudah tidak memiliki hubungan apa pun dengan Naika ketika Kim dan Acheline sudah datang ke pelabuhan tadi.
"Aku sudah tahu," tapi Felix menyela, membuat Kim terkejut. "Kembalilah sekarang, tunggulah pemberitahuan dari Sheo Jin. Jika Hwa benar-benar tidak ditemukan, aku akan memikirkan apa yang akan aku lakukan pada kalian nantinya," kata Felix dengan nada sangat dinginnya, membuat Kim tertegun dan seketika pingsan.
"Heh, Kim, jika ingin tidur nanti saja. Kita harus membersihkan ini," kata Acheline yang masih mengumpulkan para mayat-mayat itu di satu tempat.
"(Haiz.... Aku akan mati.... Pasti...) Sudahlah, tinggalkan saja itu, mereka itu hanya sampah masyarakat, tidak perlu dianggap."
Kim berjalan memakai helmnya dan menaiki motor Acheline.
"Heh sayang, kau mau menyetir, ya?" tatap Acheline, ia juga mendekat sambil membawa helmnya sendiri.
"Biarkan aku yang menyetir, aku sudah tak mau dibonceng olehmu," balas Kim.
"Oh, itu sangat manis," kata Acheline. Ia memakai helmnya lalu naik di belakang Kim. Mereka lalu pergi dari tempat itu dengan Kim yang mengendarai motor speed Acheline.
---
Sementara itu terlihat Hwa berjalan di samping Nalika, dengan langkah kecil dan kepala sedikit menunduk, berusaha menikmati suasana kota yang penuh cahaya di malam hari. Lampu-lampu jalan memantul di aspal basah setelah hujan reda, menambah kesan tenang pada suasana. Bagi Hwa, malam itu seharusnya menjadi malam yang penuh tawa, apalagi setelah seharian bersama Nalika. Namun, ada sesuatu yang berbeda pada cara Nalika berbicara padanya malam ini—sedikit terlalu intens, seperti ada beban yang disimpan lama di dalam hatinya.
Nalika sendiri tampak mencoba tersenyum di antara kekosongan pandangan matanya. Wajahnya yang biasanya hangat kini terlihat sedikit keras, bibirnya tegang setiap kali melontarkan kata-kata. Sesekali, matanya beralih pada Hwa dengan sorot yang sulit ditebak, seolah ada konflik yang sedang terjadi dalam dirinya. Apakah ini kebahagiaan atau mungkin kemarahan yang terpendam?
"Apa yang sedang kau lakukan, lelaki kecil? Apakah kau senang? Bukankah hari ini menyenangkan, kamu menghabiskan waktu bersamaku? Aku membelikanmu baju, memberitahumu sesuatu, dan lainnya..." tanya Nalika, suaranya terdengar lirih, namun menyimpan nada terselubung.
Hwa mengangkat wajahnya perlahan, senyumnya terasa gugup, dan dalam dirinya mulai muncul rasa gelisah yang tak dapat ia jelaskan. Ia tidak tahu kenapa, tapi rasanya seperti ada jarak yang berbeda antara dirinya dan Nalika malam itu. "Bibi, itu sangat baik, tapi, aku ingin pulang... Ibu pasti khawatir padaku, aku benar-benar lupa sampai malam begini."
Kalimat Hwa berhenti di udara malam, menggantung di antara mereka. Sementara, langkah-langkah mereka menyusuri jalanan yang semakin sepi. Perlahan, raut wajah Nalika berubah. Awalnya tampak kecewa, namun kemudian sesuatu yang lebih tajam muncul dalam sorot matanya.
"Heh, kenapa kau mau pulang? Bukankah jalan-jalan enak? Kau suka jalan-jalan, kan?" tanya Nalika dengan nada yang terdengar sedikit memaksa. Ada sesuatu di balik pertanyaannya, seperti kebutuhan mendesak untuk mempertahankan Hwa di sisinya lebih lama.
"Ya, tapi lebih nyaman berjalan-jalan bersama ibu dan ayah. Ketika adikku lahir nanti, aku ingin berjalan-jalan bersama ibu lagi...." Jawaban Hwa keluar dengan polos, tapi ternyata justru menjadi pemicu yang tak terduga bagi Nalika. Ekspresinya berubah drastis, wajahnya memerah karena emosi yang tiba-tiba meledak.
Nalika mencengkeram lengan Hwa dengan keras, membuat anak itu meringis. "Apa! Aku sudah bilang padamu, mereka tidak akan pernah mengkhawatirkanmu mulai sekarang!" teriak Nalika mendadak, suaranya bergema di lorong sepi. Teriakan itu seolah meledakkan sesuatu di dalam dirinya—amarah yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya.
Nalika menyeret Hwa dengan kasar, menariknya menuju sebuah gang yang gelap. Gang itu begitu sunyi, hanya terdengar suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin. Hwa ketakutan, tubuhnya gemetar, tidak mengerti kenapa Nalika tiba-tiba berubah seperti ini. Rasa hangat dan perhatian yang biasa diberikan Nalika kini terasa seperti bayangan belaka.
Nalika memojokkan Hwa ke dinding lembab di gang itu. Pandangan matanya penuh dengan kebencian yang belum pernah terlihat oleh Hwa sebelumnya. "Kau lelaki yang buruk, orang tuamu itu asal kau tahu, apalagi ayahmu... Dia adalah seorang gangster, mafia, pembunuh terkenal yang pernah ada. Kau seharusnya tidak beruntung memiliki ayah sepertinya," kata Nalika, kata-katanya terdengar seperti sumpah yang terkutuk, membuat Hwa semakin membeku ketakutan.
Kata-kata itu seperti petir yang menyambar pikiran Hwa, membongkar rahasia yang tak pernah ia duga. Seumur hidup, ia selalu melihat ayahnya sebagai sosok pelindung. Tapi, apa yang Nalika katakan kini mulai meracuni pikirannya dengan keraguan dan rasa takut yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Tatapan Nalika yang menghakimi terasa seperti belati tajam yang menembus jiwanya.
Hwa mulai menangis tanpa suara, tapi air matanya mengalir deras di wajahnya. "Umppp... (Apa yang mau dia lakukan!! Aku tidak suka pisau!!)" pikirnya panik saat Nalika menutup mulutnya dan mengeluarkan pisau yang mengilap dalam kegelapan. Nalika tampak menikmati ketakutan Hwa, seolah ada kepuasan tersendiri dalam melihat anak kecil itu terperangkap tanpa harapan.
"Aku akan memberimu rasa sakit yang kurasakan sebelumnya. Hatiku terluka," kata Nalika dengan suara yang dingin, nyaris berbisik. Kalimat itu terdengar seperti gumaman dari sebuah luka lama yang akhirnya terungkap. Ada dendam, kebencian, dan kekecewaan yang berputar dalam nadanya. Pisau di tangannya bergerak dengan perlahan, namun pasti, menuju perut Hwa. Sentuhan dingin dari besi itu membuat tubuh Hwa mengejang ketakutan, tapi tidak ada yang bisa ia lakukan.
Saat darah mulai mengalir deras dari luka itu, Nalika merasakan denyut jantungnya sendiri berdetak kencang. Tangannya gemetar setelah mencabut pisau, namun dalam kekacauan emosinya, ia merasa ada kepuasan aneh yang mencuat. Tapi kesadaran perlahan menyerangnya—ia baru saja melukai seorang anak kecil, mengoyak dunia Hwa dengan kebenaran yang menyakitkan.
Beberapa menit kemudian, suara langkah sepatu hak mendekat, menggema di gang yang sunyi. Nalika tersentak dan melihat ke arah datangnya suara, menyadari bahwa seseorang telah datang. Dengan napas tersengal-sengal, ia bergumam pada dirinya sendiri, "Aku, membunuhnya?" Tangan yang menggenggam pisau mulai gemetar, dan ia merasakan ketakutan baru—ketakutan akan apa yang telah ia lakukan.
Sosok yang muncul adalah Sheo Jin, wajahnya berubah pucat saat melihat tubuh Hwa yang tergeletak tak berdaya di genangan darahnya sendiri. "Pangeran kecil!!!" jerit Sheo Jin dengan nada panik, ia segera berlutut dan mencoba menahan darah yang terus mengalir dari tubuh Hwa. Namun, saat ia memalingkan wajahnya ke arah Nalika, yang ia temukan hanya bayangan samar yang berlari menjauh.
Nalika melarikan diri di tengah kegelapan, tetapi Kim dengan sigap mengejarnya. "Berhenti!" teriak Kim di antara napas yang terengah. Namun, Nalika dengan cepat mengeluarkan pistol dari balik mantelnya dan menembakkannya ke arah Kim. Peluru itu mengenai bahu Kim, membuatnya terjatuh.
"Egh!" Kim meringis, tak menduga bahwa Nalika akan membawa senjata. Acheline yang berada di belakang Kim segera melompati tubuh Kim yang tumbang, mengejar Nalika dengan semangat membara. "Aku tidak akan membiarkanmu!" teriak Acheline, namun langkahnya terhenti saat bayangan Nalika lenyap di balik gedung-gedung yang gelap. Kegelapan malam menyelubungi jejak Nalika yang seolah lenyap begitu saja, meninggalkan rasa frustasi pada Acheline.
Acheline dan Kim kemudian mendengar teriakan Sheo Jin dari gang, "Hwa! Hwa... Sadarlah...!" Suara itu penuh putus asa, dan di antara nada panik Sheo Jin terdengar ketakutan seorang ibu yang kehilangan anaknya. Sheo Jin mencoba menekan luka Hwa dengan tangannya, tapi darah terus merembes keluar, mewarnai baju Sheo Jin dan lantai gang yang dingin. "Kalian! Cepat lakukan sesuatu!!" teriaknya histeris, menggetarkan jiwa mereka yang mendengarnya.
Sementara itu, Felix yang berada jauh dari sana mulai merasakan firasat buruk, seolah sesuatu yang tak terjangkau oleh logika namun nyata menohok dadanya. Wajahnya yang biasanya tenang kini tampak cemas, bahkan Neko menyadarinya. "Kenapa?" tanya Neko, tapi Felix hanya menggelengkan kepala dengan gelisah.
Felix bergegas pergi, meninggalkan ruangan dengan langkah cepat. Setiap langkahnya terasa berat, dihantui oleh perasaan yang tidak bisa ia jelaskan. Sesuatu dalam dirinya, insting seorang ayah, mengatakan bahwa Hwa sedang dalam bahaya.
Lalu ia menghubungi Sheo Jin yang untungnya langsung mengangkatnya dengan ragu. "Ada apa, Felix?"
"Apa kau sudah menemukan Hwa?" tanya Felix.
"...Aku sudah.... Menemukannya."
"Di mana dia sekarang?"
"Dia ada... di ruang operasi," kata Sheo Jin, seketika Felix terdiam kaku.
Ia segera berjalan ke ruang operasi dan melihat Sheo Jin berdiri di depan pintu ruang operasi.
Rupanya memang benar, Hwa ada di dalam.
"Felix... Maafkan aku," tatap Sheo Jin.
"Apa yang terjadi?" Felix menatap.
"...Hiks... Aku tidak tahu dia terbaring selama beberapa lama, aku sudah melihat dia sangat banyak mengeluarkan darah. Wanita itu menusuk perut Hwa dan meninggalkannya. Dia benar-benar kejam."
"Lalu, bagaimana dengan Hwa sekarang?"
"Dia tengah dioperasi. Saat aku membawanya ke sini, dokter sudah mengatakan bahwa dia akan kritis karena terlalu banyak mengeluarkan darah dan kondisi jantungnya tak stabil, itu disebabkan karena dia ketakutan," kata Sheo Jin, seketika Felix terdiam. Ia tak percaya apa yang terjadi pada putranya itu.
"(Sial...)"