Chereads / Bloody Line: Under The Drop of Blood / Chapter 299 - Chapter 299 Not a Faded

Chapter 299 - Chapter 299 Not a Faded

Terlihat Felix berjalan keluar dari mobilnya. Dengan pakaian setelan rapi seperti biasanya, ia memasang wajah datar, menatap dingin ke arah gudang terbengkalai di depannya. Langkah kakinya mantap, menunjukkan betapa yakinnya ia akan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Udara di sekitar terasa lembap, dengan hembusan angin malam yang mengiringi setiap gerakannya.

Sebelumnya, di saat yang sama di tempat lain, Sheo Jin tampak bersiap-siap dengan gelisah. "Aku sudah menemukan lokasi wanita itu berada, aku akan ke sana," katanya dengan tekad yang jelas terlihat di wajahnya. Namun, saat itu Felix menahan bahunya dengan gerakan cepat namun tegas, membuat Sheo Jin terdiam seketika. Tatapan Felix begitu dalam dan tajam, seperti menembus ke dalam diri Sheo Jin.

"Serahkan lokasi tempat itu padaku, jagalah Hwa di sini, dan aku akan mengurus wanita itu," kata Felix dengan nada yang tak bisa dibantah. Sheo Jin terdiam, menelan ludah, kemudian mengangguk pelan. Ia memahami betul bahwa tak ada ruang untuk perdebatan dalam situasi seperti ini. Dengan rasa enggan, ia membiarkan Felix pergi, berharap segala sesuatunya akan berjalan sesuai rencana.

--

Saat ini Felix berjalan menuju pintu gudang tua yang tampak sudah berkarat. Di depannya ada pintu besar yang hampir lapuk, menampakkan tanda-tanda bahwa bangunan ini sudah lama tak terurus. Dengan satu pukulan kuat, Felix menghancurkan pintu tersebut hingga serpihan kayu berserakan di lantai. Suara dentuman pintu yang hancur mengisi keheningan malam, dan dari dalam ruangan gelap itu terlihat sosok yang terkejut: Nalika.

Nalika tersentak melihat kehadiran Felix. Dengan matanya yang membelalak, ia berusaha menyembunyikan rasa paniknya. "Apa yang? Bagaimana kau bisa tahu aku ada di sini?" tatapnya dengan terkejut, suaranya bergetar.

Felix, dengan wajahnya yang dingin tanpa emosi, melangkah mendekat. "Kau pikir apa kelebihan dalam aku dan Amai di sini, apa yang akan kita lakukan jika seseorang benar-benar membuat hal buruk pada kita... Aku kemari tengah melakukan balas dendam," katanya dengan suara rendah yang terisi oleh amarah yang terpendam, namun tetap terdengar tenang. Setiap langkah yang ia ambil membuat Nalika semakin merasa terpojok.

"(Sialan... aku tidak tahu dia akan kemari, aku tak menyewa orang hari ini,)" batin Nalika penuh kecemasan, perlahan mundur dengan tangannya yang gemetar sembari menodongkan pisau kecil ke arah Felix. Cahaya redup dari lampu yang hampir mati menerangi wajahnya yang pucat. Felix memandangi pisau itu dengan tatapan tajam, menyadari dengan segera bahwa itu adalah pisau yang digunakan untuk melukai Hwa.

"Siapa yang mengajari mu membunuh?! Beum?!" Felix kembali menatap.

"(Apa, bagaimana dia bisa tahu!?) Ini bukan urusan mu!!"

"Kalau begitu, berikan pisau itu padaku," ujar Felix, kali ini dengan nada yang lebih dingin. Tangan kanannya terulur, menuntut tanpa sedikit pun keraguan.

Nalika tersenyum sinis meski bibirnya bergetar. "Apa kau bodoh, aku tidak akan memberikannya padamu... Pergilah dari sini sekarang, jika kau menghabisiku maka akan ada orang yang akan melakukan pembalasanku lagi." Suaranya terdengar getir, namun ancamannya tak dapat menyembunyikan ketakutan di matanya.

Felix, tanpa mengendurkan ekspresinya, segera membalas. "Siapa yang peduli... Pada wanita kotor sepertimu." Kata-kata itu meluncur dengan tegas dari bibirnya, menusuk Nalika lebih tajam dari pisau yang ia genggam. Nalika terdiam kaku, rasa takut perlahan membekukan gerakannya.

Felix mengalihkan pandangannya ke arah lain sejenak sebelum kembali menatap Nalika. "Aku tak akan menghabisimu, aku hanya akan membawamu ke tempat putraku, minta maaflah hingga kau benar-benar bersujud padanya," ucapnya dengan nada yang lebih rendah, namun penuh ancaman tersirat.

"Haha, itu pun jika putramu selamat dari kehidupannya, hahaha." Nalika masih bisa mengejek, berusaha menunjukkan bahwa ia masih memiliki kendali atas situasi ini. Namun tawanya terhenti mendadak ketika sebuah suntikan kecil menancap di bahunya, menembus kulitnya dengan cepat. Nalika terdiam, rasa nyeri dan kantuk menyerang secara bersamaan. Dengan tatapan bingung, ia menatap bahunya yang mulai terasa lemas, lalu berusaha melepaskan suntikan itu. Namun, sudah terlambat; itu adalah suntikan bius. Ia mendongak untuk melihat siapa pelakunya dan menemukan sosok Kim berdiri agak jauh di dalam bayang-bayang.

Ia menjadi kesal, namun tubuhnya yang lemah akhirnya jatuh begitu saja ke lantai yang berdebu. Kim segera mendekat, memeriksa kondisi Nalika dengan cermat, memastikan bahwa ia tak akan bangun dalam waktu dekat. "Dia benar-benar terkena bius itu," kata Kim, suaranya terdengar datar.

Felix, yang masih menatap tubuh tak berdaya Nalika, mengangguk ringan. "Bawa dia, apa yang dikatakan Sheo Jin?"

"Nona Sheo bilang bahwa Hwa sudah dioperasi, tapi, ada sedikit masalah, dia akan koma karena menunggu pendonor..."

"Pendonor?" Felix menatap.

"Ya, dia kekurangan darah, dan juga hati miliknya terluka, butuh donor hati..."

"Kalau begitu, aku akan melakukan nya..." Felix menatap serius.

"Ruan Felix itu tidak bisa, Dokter bilang, pendonor harus lebih muda dari Tuan Kecil..." kata Kim.

"(Cih, itu teori yang aneh.) Minta Sheo Jin untuk mencari pendonor dengan cepat, aku tak mau Amai mengetahui hal ini..." tatapnya membuat Kim mengangguk serius.

Kemudian Felix kembali ke rumah untuk menemui Neko. Dia memastikan agar Neko tak mengetahui hal ini, hingga ia benar-benar menemukan Neko yang baru saja keluar dari kamar Hwa. Neko tampak linglung, rambutnya sedikit acak-acakan, dan kantung matanya menunjukkan kurang tidur. Mereka saling menatap sejenak, sebelum Felix memanggil, "Amai?"

Namun, alih-alih menjawab, Neko menyela dengan suara bergetar, menunjukkan rasa khawatir yang tak bisa ia sembunyikan. "Di mana Hwa? Kenapa dari tadi tidak pulang? Dan Kim tidak memberitahukan apa pun," tatapannya sedikit panik, dengan tangan yang bergerak gelisah di samping tubuhnya. Kekhawatiran terpancar jelas dari raut wajahnya.

Felix menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sebelum mendekati Neko. Lalu, dengan lembut, ia memegang kedua bahu Neko, mencoba memberikan rasa aman. "Tenanglah, Hwa ingin melihat bintang dengan Acheline. Aku yakin dia menjaga Hwa dengan baik. Istirahatlah..." Kata-katanya terdengar meyakinkan, tetapi ada keraguan samar yang tersembunyi di balik suaranya.

Neko menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca. "Tapi besok dia harus ke sekolah, jangan buat dia bangun siang..." katanya dengan nada cemas, seolah mencari kepastian lebih dari Felix.

Felix mengangguk pelan, berusaha tersenyum meski hatinya berat. "Aku tahu itu, ayo... istirahat..." katanya, lalu mendekat dan menggendong Neko di dadanya, seakan ingin melindunginya dari segala kekhawatiran. Kehangatan tubuh Felix membuat Neko terdiam sejenak, jantungnya berdetak lebih tenang, tapi ia masih merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Felix.

Setelah memastikan Neko tertidur di kamarnya, Felix keluar dengan langkah hati-hati, mencoba menahan suara pintu yang tertutup agar tak membangunkannya. Ia berjalan melewati koridor yang sunyi, pikirannya dipenuhi kekhawatiran tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya. Hingga tak lama kemudian, ia bertemu dengan Kikiyo di ujung lorong. Wajah Kikiyo yang biasanya ceria tampak sedikit pucat, mungkin karena rasa lelah atau firasat buruk yang tak terungkap.

"Oh? Aku mencari Amai, apa dia tidur?" tatap Kikiyo sambil memiringkan kepalanya, berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Dia tertidur, jangan mengganggunya..." jawab Felix dengan nada yang lebih tegas dari biasanya, wajahnya serius, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Tapi ada sesuatu yang ingin dia katakan, sesuatu yang tak bisa dia simpan sendiri. Setelah sejenak terdiam, ia melanjutkan, "Aku ingin meminta sesuatu padamu, ikutlah denganku..." Ucapan itu membuat Kikiyo semakin bingung, namun rasa ingin tahunya lebih besar, sehingga ia memilih mengikuti Felix yang sudah berjalan lebih dulu menuju dapur.

Di dapur yang remang-remang, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang masuk melalui jendela, Felix akhirnya membuka pembicaraan. "Hwa... dia terluka sangat parah..." Felix mengawali dengan suara serak, seolah kata-kata itu begitu sulit untuk dikeluarkan. Seketika itu juga, wajah Kikiyo berubah, matanya melebar, dan tangannya menutup mulutnya, berusaha menahan suara terkejutnya.

Felix melanjutkan dengan nada lebih pelan, hampir seperti bisikan. "Aku ingin kau menyibukkan Amai selama beberapa hari ini agar dia tidak memikirkan Hwa... Aku sedang berusaha mencari cara agar Hwa bisa kembali bangun... Dia bahkan masih dioperasi saat ini dan belum tahu apakah dia bisa bertahan atau tidak. Jika Hwa tak bisa bertahan, aku tak bisa menutupi ini lagi sebelum Amai melahirkan bayinya..." Suara Felix bergetar, nadanya menyiratkan rasa putus asa yang begitu mendalam. Matanya memandang ke lantai, seolah mencari jawaban yang tak kunjung datang.

Kikiyo merasakan beban berat yang ditanggung oleh Felix, dan dia mencoba menguatkan diri untuk ikut menanggungnya. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata dengan lembut, "Aku, aku mengerti, aku akan melakukannya. Aku juga akan berdoa untuk Hwa... Kau juga harus bersabar..." Tatapannya mencoba memberikan dukungan, meski ia sendiri merasa ada ketakutan yang mengintip dari balik kata-katanya. Felix hanya terdiam, pandangannya tertuju ke jendela yang memantulkan bayangan mereka berdua di malam yang penuh kekhawatiran itu. Ia menghela napas panjang.

Sementara itu, sesampainya di rumah sakit, Kim mengikat Nalika di bawah ranjang Hwa dengan tali yang kuat. Ranjang itu dikelilingi oleh bunyi lembut mesin-mesin medis, sementara selang pernapasan membantu Hwa yang masih tertidur lelap. Hawa ruangan terasa dingin, dipenuhi aroma antiseptik yang tajam.

Kim berdiri setelah memastikan ikatan Nalika cukup kuat. Ia kemudian memandangi Hwa yang terbaring tak berdaya. Dari baju operasi Hwa yang terbuka, terlihat perutnya yang terbalut perban tebal, bekas luka yang mengingatkan pada perjuangannya melawan rasa sakit. "Tuan Kecil, Anda mendapatkan luka di umur yang muda, Anda juga harus menerima bahwa Anda terkena ketakutan besar di sini," gumam Kim pelan, seakan berbicara kepada dirinya sendiri.

Tak lama kemudian, Sheo Jin memasuki ruangan. Wajahnya tampak tegang, tapi ia berusaha tersenyum ketika melihat Kim. "Kim?" Ia menatap penuh tanya.

"Ah, Nona Sheo, selamat malam," Kim langsung membungkukkan badan dengan sopan, gesturnya menunjukkan rasa hormat.

"Eh?!" Sheo Jin terkejut ketika melihat Nalika terbaring di bawah ranjang. Wajahnya berubah dari bingung menjadi paham dalam hitungan detik.

"E... Itu... E... Tuan Felix yang memintanya," jelas Kim dengan suara bergetar.

"Tak apa, dia pantas mendapatkannya. Dan pangeran kecilku ini harus bangun," jawab Sheo Jin dengan tatapan lembut ke arah Hwa. Ia mendekat, membelai pipi Hwa yang dingin dengan sentuhan penuh kasih sayang, seolah-olah bisa membangunkannya hanya dengan kehangatan hatinya.

"Oh ya ampun, dia bahkan masih tampan saat tidur begini," gumam Sheo Jin, merasa tersentuh oleh wajah tenang Hwa, hingga lupa akan situasi tegang yang menyelimuti ruangan itu. Melihat sikapnya, Kim hanya terdiam, tetap menjaga jarak dengan tatapan waspada. "Oh iya, di mana Felix?" tanya Sheo Jin, kembali ke realitas yang mendesak.

"Sedang memastikan bahwa Nona Akai tidak mengetahui hal ini."