Chereads / Bloody Line: Under The Drop of Blood / Chapter 300 - Chapter 300 Not a Faded

Chapter 300 - Chapter 300 Not a Faded

Hari berikutnya, Negan menatap dokumen dari laptopnya di mejanya. Ruangan itu sunyi, hanya suara detak jam yang terdengar di dinding. Sorot matanya tertuju pada layar, namun pikirannya tampak terbelah, terkurung dalam masalah yang rumit. Wajah dan ekspresinya tampak kesal, mencerminkan frustrasinya yang terpendam. "Haiz... Astaga..." gumamnya lirih, seolah mencoba meredakan emosi yang mendidih dalam dirinya. Akhirnya, ia tak tahan lagi, berdiri dengan gerakan cepat, meraih laptopnya, dan melangkah dengan langkah berat menuju ruangan Felix.

Di ruangan Felix, ia langsung menghempaskan pintu, membuat bunyi keras yang mengisi ruang kerja Felix. "Felix! Sebenarnya apa yang kau pikirkan? Kenapa kau salah mengisi beberapa hal ini! Ini semua penting..." Kata-katanya meluncur seperti amarah yang tak lagi tertahan, sementara matanya menatap tajam ke arah Felix. Di sisi lain, Felix hanya meliriknya, menghentikan aktivitas menulisnya. Wajah Felix tampak letih, seolah beban yang ia tanggung lebih berat dari sebelumnya. Ia menghela napas panjang, tangannya memegang kening, mencoba meredakan sakit kepala yang menyiksanya sejak pagi.

"Bagaimana kabar Hwa?" Felix hanya bisa melontarkan kalimat itu dengan nada yang lemah, seolah-olah pertanyaan itu lebih ditujukan untuk dirinya sendiri daripada untuk Negan.

Negan yang mendengarnya mulai menyadari sesuatu. Pandangannya melembut, meskipun bibirnya masih mengucapkan teguran. "Hei, aku tahu kau sedang memikirkan banyak hal, tapi jika kau tak bisa menyeimbangkan pekerjaanmu, paling tidak kau minta seseorang untuk menggantikanmu. Ini sangat penting..." Suaranya melembut di akhir kalimat, seolah memberi ruang untuk pengertian. Negan akhirnya menyerah pada sikap kerasnya, menutup percakapan dengan cepat dan berbalik, meninggalkan Felix yang masih duduk terdiam di belakang meja.

Sementara itu, di sisi Neko, suasana lain menyelimuti. Ia membuka pintu kamar Hwa, tempat yang biasanya dipenuhi tawa anak kecil. Namun kali ini, hanya ada keheningan yang menyapa. Neko melihat ke sekeliling, tapi yang ia temukan hanyalah ruangan kosong. "Hwa? Kemana Hwa?" gumamnya dengan nada kebingungan, suaranya teredam oleh ketakutan yang perlahan merayap di hatinya.

Di tengah kebingungannya, terdengar suara lembut dari belakang. "Neko..." Kikiyo, sosok yang selalu ada di sisinya, kebetulan mendekat. Mata Neko yang penuh kekhawatiran langsung menatapnya. "Di mana Hwa? Dia tidak terlihat dari tadi pagi, apakah tadi malam juga tidak ada?" Suaranya mendesak, menginginkan jawaban secepatnya.

"Em.... Dia ada kok tadi malam, dia sudah berangkat ke sekolah," Kikiyo mencoba menjelaskan sambil tersenyum tipis, berusaha menenangkan hati Neko. "Bukankah priamu itu telah mengurusnya? Kau seharusnya fokus pada kondisimu, aku akan memeriksa lagi. Besok kau akan genap 8 bulan, jadi jangan banyak bergerak... Cepat... Biar aku periksa..." Kikiyo mendorongnya dengan lembut menuju kamar periksa, menunjukkan perhatiannya yang tulus kepada Neko.

Di tempat lain, Felix menunggu dengan hati yang dipenuhi kegelisahan. Setelah menunggu sangat lama, akhirnya ponselnya berdering, mengusik keheningan yang melingkupinya. Nama Kim tertera di layar, membuat hatinya sejenak berdebar. Dengan tangan sedikit gemetar, ia mengangkatnya perlahan. "Bicara saja..." ucapnya dengan suara yang berusaha terdengar tegar, meski jantungnya berdegup kencang.

Di sisi lain telepon, terdengar suara Kim yang memberikan kabar yang sangat dinantikannya. "Tuan Felix, akhirnya ada seseorang yang telah mendonorkan hati pada Tuan Kecil, Anda harus menandatangani pembiayaan pendonor." Nada Kim terdengar resmi, tapi ada sedikit getaran lega di dalamnya, seolah ia ikut merasakan harapan yang kini tumbuh di hati Felix.

Felix yang mendengar itu, merasakan beban berat di dadanya perlahan terangkat. Ia menghela napas panjang, rasa syukur membuncah di hatinya. "Ha.... Syukurlah.... Itu tak masalah. (Aku tahu Hwa pasti akan kuat sama seperti ibunya)," jawab Felix, suaranya berubah menjadi lebih lembut, memantulkan harapan yang kembali hidup dalam dirinya.

Setelah menutup telepon, ia segera berdiri dan melangkah menuju rumah sakit. Langkah-langkahnya terdengar mantap di koridor yang dingin, penuh dengan tekad untuk menyelamatkan anaknya. Sesampainya di rumah sakit, ia bertemu Kim yang sudah menunggunya di lobi.

"Bagaimana kondisi wanita itu?" Felix bertanya, sorot matanya tajam menembus ekspresi tenang Kim.

Kim mengangguk sedikit sebelum menjawab, "Karena dia tidak bangun-bangun malam itu, jadi aku membawanya ke tempat lain. Jika Anda ingin aku membawanya, aku akan melakukannya..." Suaranya rendah, seperti menutupi kegetiran dari apa yang terjadi pada Nalika, wanita yang menjadi bagian dari kisah ini.

Felix menghela napas berat. "Lupakan itu, aku akan meminta nanti.... Apakah mereka sudah melakukan operasi?" Matanya kembali tertuju pada Kim, berharap jawaban yang menenangkan.

"Hampir, mungkin Anda bisa menunggu dengan menemui keluarga pendonor..." tatap Kim, memberi saran dengan hati-hati. Felix terdiam, mengerti bahwa ini bukan hanya soal prosedur medis, tapi juga soal rasa terima kasih yang tak terucap pada orang-orang yang membantu menyelamatkan Hwa.

Sementara itu, Kim memperhatikan situasi di sekitarnya. Ia melihat Sheo Jin, seorang pria yang selalu bergerak cepat dan efisien, berjalan terburu-buru mendekat. "Bagaimana dengan Hwa?" tanyanya, matanya dipenuhi kekhawatiran. Sheo Jin, yang diminta Felix untuk membantu mencari pendonor, akhirnya bisa bernapas lega mendengar kabar baik.

"Akan dioperasi sebentar lagi, dan pihak rumah sakit bilang pendonor sangat cocok dengan Tuan Kecil..." jawab Kim, suaranya kali ini lebih tenang, seolah suasana tegang yang melingkupi mereka mulai mencair sedikit demi sedikit.

"Syukurlah.... Aku benar-benar lega, tapi di mana Felix?" Sheo Jin melihat sekitar, mencari sosok yang sudah berjuang keras demi putranya.

"Tuan Felix tengah menemui keluarga pendonor," jawab Kim dengan nada yang lebih tenang.

Sementara itu, Felix menemui keluarga pendonor. Ia masuk ke ruangan yang dibicarakan perawat, tapi di sana tak ada siapa-siapa, membuat Felix terdiam bingung.

Ia keluar kembali dan kebetulan bertemu perawat. "Oh, Tuan Felix, apa Anda mencari keluarga pendonor? Dia ada di sana." Perawat itu menunjuk sesuatu. Terlihat seorang wanita berdiri di kaca ruangan bayi untuk melihat bayi. Felix mendekat, dan wanita itu menoleh. "Oh, ada yang bisa aku bantu?" tatapnya, ia tak tahu bahwa Felix adalah ayah Hwa.

"Aku ayah dari Hwa, lelaki kecil yang kau berikan donor."

"Oh, maafkan aku. Aku ada di sini dan Anda pasti sudah di ruangan itu. Aku menunggu sangat lama, jadi aku melihat sekitar," jawab wanita itu sambil menundukkan kepala sedikit, mengisyaratkan penyesalan. Tatapannya tertuju ke lantai untuk beberapa saat sebelum ia kembali menatap Felix, mencoba menangkap reaksinya.

"Tidak apa-apa, aku benar-benar berterima kasih padamu. Kecocokan darah Hwa tidak akan sesuai pada orang tertentu," balas Felix, suaranya penuh rasa syukur yang tulus.

"Oh, tak apa-apa. Sebenarnya di surat kontrak itu, aku tak perlu uang, tapi pihak rumah sakit terus membuatku menerimanya karena dari Anda. Terima kasih atas uang sebanyak itu. Putriku tidak perlu uang, dia ingin membantu orang untuk terakhir kalinya saja," ujar wanita itu dengan suara yang mulai bergetar, namun ia tetap mempertahankan senyumnya. Ada bayangan kenangan yang melintas di matanya saat menyebut putrinya.

"Terakhir kali? Putrimu? Apa pendonornya adalah putrimu?"

"Ya, dia berumur sama seperti Hwa, hanya kurang sedikit, putra Anda. Putriku sudah lama menderita leukemia berat sejak bayi. Ia selalu ada di rumah sakit, dan ketika saatnya tiba, ia memintaku untuk membuat dokter itu mengambil salah satu organ yang masih baik darinya. Dia ingin memberikannya pada orang lain, dan sekarang hati putriku ada di dalam putramu. Tolong jaga baik-baik," kata wanita itu dengan tersenyum ramah, meskipun ada air mata yang tampak menggenang di sudut matanya. Senyumnya seakan menyembunyikan rasa sakit yang begitu dalam, namun ada kelegaan bahwa putrinya bisa menjadi penyambung hidup bagi orang lain.

"Aku mengerti. Terima kasih. Ngomong-ngomong, apa yang sedang kau lakukan di depan ruangan bayi?"

"Ah, aku tengah melihat bayi-bayi yang lucu saja. Mereka benar-benar imut saat lahir. Andai saja putriku tidak mengalami musibah seperti ini, aku masih bisa mengingat bagaimana aku melahirkannya..." jawab wanita itu dengan suara yang pelan dan wajah yang sedih. Kenangan masa lalu seolah mengalir kembali dalam benaknya, mengingatkan dia pada masa-masa bahagia sebelum penyakit merenggut keceriaan putrinya.

"Dengan siapa kau tinggal?" tanya Felix, mencoba memahami lebih jauh tentang kehidupan wanita ini, meskipun dia bukan tipe orang yang biasa bertanya hal pribadi.

"Aku tinggal sendirian... Aku bekerja keras untuk kesehatan putriku, tapi sepertinya semuanya sudah berhenti memaksaku bekerja keras. Tapi aku yakin, putriku akan menemani putramu juga... Jadi, aku ingin bertemu dengan putramu setelah dia sadar..." kata wanita itu, suaranya terdengar lebih lembut, seolah ada harapan kecil yang ia gantungkan pada kehidupan baru yang kini dijalani hati putrinya di dalam tubuh Hwa.

Felix mengerti perasaan wanita itu, lalu dia mencoba memberikan tawaran dengan niat tulus. "Jika kau berkenan, tak apa jika harus menjalin hubungan dengan keluargaku. Sebenarnya, istriku akan melahirkan lagi. Bayinya akan lahir di sini, kau mungkin ingin melihatnya juga..." tatapnya, menawarkan kehangatan di tengah kesedihan yang menyelimuti mereka berdua.

"Itu tawaran yang bagus, aku akan mencoba datang... Tapi kenapa kau tampak khawatir ketika istrimu akan melahirkan bayi lagi?" tatap wanita itu penuh perhatian, menyadari perubahan ekspresi Felix yang sedikit cemas.

"Terakhir kali, dia koma karena melahirkan putraku, dan aku takut hal itu akan terjadi lagi..." jawab Felix, mengakui kekhawatiran yang selama ini ia pendam, suaranya sedikit bergetar.

"Semoga saja tidak... Aku yakin mereka akan sehat. Kau juga terlihat bekerja keras..."

---

Sementara itu, di ruangan Hwa, dia akhirnya terbangun setelah beberapa jam berlalu, masih berada di ranjang rumah sakit. Cahaya matahari sore yang masuk dari jendela menerpa wajahnya, menghangatkan ruangan yang dingin. Kebetulan Felix membuka pintu, dan ia terkejut melihat putranya yang sudah bangun, duduk dengan pandangan bingung. "Hwa... Bagaimana perasaanmu?" tatap Felix yang berjalan mendekat.

"Ayah, apa yang terjadi?" tanya Hwa dengan tatapan polos, seolah mencoba memahami apa yang telah terjadi padanya.

"Tidak ada apa-apa, Ayah senang kau membuka matamu," balas Felix sambil tersenyum, mencoba menenangkan hati putranya.

Lalu Hwa terdiam. Ia duduk dan meraba perutnya, baru menyadari ada perban di perutnya. "(Ini...)" pikirnya dalam hati, merasa ada sesuatu yang aneh. Tapi tiba-tiba, ingatan saat ia ditusuk Nalika menyeruak, membawa kembali rasa takut yang mendalam.

Di saat itu juga, Hwa berteriak. "Aaakhhh!!!" teriaknya, suara itu menggema di ruangan, mencerminkan ketakutan yang begitu nyata.

"Hwa... Ada apa?!" Felix menatap panik, dia merasa Hwa kembali mengingat kejadian mengerikan itu.

"Ayah... Ayah... Aku sangat takut," Hwa mulai menangis, air mata membasahi pipinya. Ketakutan dan rasa trauma yang mendalam muncul kembali, menghantui pikirannya.

"Hwa... Tenanglah... Kau sudah selamat sekarang, kau tidak perlu takut lagi," Felix memeluk nya perlahan mencoba menenangkan nya.

Tapi Hwa tampak gemetar, tatapan nya kosong. "(Aku benar-benar takut....)" dia benar benar tak bisa menahan ketakutan nya dengan hanya diam dan kaku membuat Felix tak percaya apa yang terjadi pada Hwa.