Dua puluh menit berlalu, jam menunjukkan pukul 15:50. Lorong asrama terdengar semakin ramai, ini jam bebas kelas 1, 2, 3 dan 4. Karena kaki ku pegal, aku memutuskan untuk beristirahat dulu beberapa menit. Istirahat atau jeda hukuman diperbolehkan tanpa harus menambah waktu hukuman. Disini, kita tidak bisa menjeda hukuman lebih dari lima menit, kecuali jika hukumannya memang berat. Satu orang dihukum, maka satu asrama akan mengetahuinya. Jadi kamu tidak bisa melama- lamakan jeda, semua orang akan memperhatikanmu. Memang memalukan berdiri sendiri dengan satu kaki tak menyentuh tanah, terutama dalam keramaian, tapi hukuman yang satu ini masih lebih ringan dibanding dengan hukuman yang lain.
Aku kembali berdiri disebelah kursi, sekarang mengangkat kaki kanan (bergantian dengan kaki kiri). Satu-dua murid terlihat bermain di taman. Aku dulu juga seperti itu, menjadi teringat masalalu.
Menatap burung burung, aku tidak memperhatikan orang orang yang lewat. Tetapi..
"Hei."
Suara itu sepertinya memanggilku. "Hm?" Aku menoleh.
Seorang lelaki seumuran denganku, juga dengan baju yang kotor, bernoda warna warni, berdiri beberapa langkah disampingku.
"Mendapat hukuman juga?" tanya sang lelaki itu.
"Ya seperti yang kamu lihat sekarang" Aku menjawab. "Berapa lama?" Aku bertanya.
"Empat puluh menit", jawabnya.
"Pas sekali,bwaktuku juga sisa empah puluh menit."
"Oh, begitu ya."
Lengang sejenak.
"Masalah apa?" Lelaki itu kembali bertanya.
"Hanya soal antre dengan kakak kelas. Kamu?" Aku membalikkan pertanyaan.
"Ceroboh di kelas seni", jawabnya. Aku mengangguk.
"Senior senior sekarang memang terkadang suka melewati batas. Menyuruh nyuruh pula, menyebalkan. Memangnya kita pembantu pribadi mereka? Tidak kan? Mentang mentang mereka senior, jadi memperlakukan kita seenaknya." Lelaki tersebut protes.
Aku tertawa kecil, "Betul juga."
Ia pun ikut terkekeh.
"Kelas berapa?" Llaki itu bertanya.
"Tujuh." Aku menjawab.
"Wah, sama.Kelompok?"
"Kelompok 1."
"Aku kelompok 2."
Aku mengangguk lagi.
Di asrama (sekaligus panti asuhan) ini,kelas masih dibagi lagi menjadi kelompok.Kelompok dipilih acak setiap naik kelas, untuk mempermudahkan interaksi dan komunikasi. Satu kelompok terdiri dari sekitar 20 murid, tidak banyak.
Walau aku baru kelas 7, aku tidak takut melawan kakak kakak yang lebih tua dariku. Karena memang aku tidak salah. Biasanya murid murid di Osorior memiliki mental jauh dari umurnya, karena memang didikan di Osorior memang bisa dibilang cukup keras, mau kami dimarahi di depan satu asrama pun tidak akan masalah. Kami belajar menerima kesalahan, sekali hukuman sudah cukup untuk menyadarkan kami.
"Hei," lelaki itu berseru lagi.
"Apa?"
"Apa kamu yang bermasalah dengan geng Layla?" Ia bertanya.
"Iya, memangnya kenapa?" ucapku.
"Tidak, bertanya saja. Aku mendengar kabar itu saat di kelas."
"Hm."
Taman lengang selama 20 menit kedepan. Kami juga berhenti bercakap cakap
TONG...TONG...TONG...
Itu dia. Penanda waktu bebas sudah habis, juga sebagai penanda habisnya jam pelajaran kelas atas.
Lorong seketika lengang,kemudian kembali ramai.
"Hei! Kalian yang Feet Up di sana !"
Aku dan lelaki tersebut menoleh ke belakang, menoleh ke sumber suara.
"Cepat masuk ke kamar masing masing ! Ini perintah Nyonya!" Seorang senior berteriak dari kejauhan, masih membawa buku pelajaran.
"Baik! Terimakasih kak!" Aku ikut berteriak, lalu senior itu pergi.
Aku dan lelaki itu saling bertatapan.
"Ayo kembali", ajaknya.
"Eh, iya. Ayo",ucapku.
Kami berdua berjalan menuju lorong kelas, menaiki tangga, melewati kamar lainnya, hingga sampai di lantai kamar kelas 7 dan 8.
"Kamar mu nomor berapa?" Lelaki itu bertanya, lagi.
"Tiga kosong dua", jawabku.Ia mengangguk.
Sekarang kami sudah berdiri di kamar nomor tiga kosong dua, kamar ku.
"Hei,sebelum itu.."
Langkahku terhenti- hendak memasuki kamar.
"Anu.. tidak jadi."
Eh?
"Selamat sore."
"Ah, iya. Selamat sore..." Aku mengangguk, sosok lelaki tersebut pun perlahan menghilang dari jangkauan penglihatanku.
Aku memasuki ruang kamar.