Chereads / eror chaser / Chapter 17 - Chapter 35

Chapter 17 - Chapter 35

Argani berhasil mendapatkan sedikit sinyal saat ia terus berjalan, memusatkan perhatian pada ponselnya yang mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan di tengah hutan yang lebat. "Oh, bagus, sepertinya lewat sini..." gumamnya pelan, sambil melangkahkan kaki dengan yakin. Ia sesekali melirik layar ponselnya yang menyala redup, menjadi satu-satunya tanda bahwa ia tidak sepenuhnya tersesat. Langkah-langkahnya mantap, walau ia sesekali menoleh ke belakang, memastikan Ima masih mengikutinya.

Di belakangnya, Ima tampak kesulitan menyesuaikan diri dengan medan. "Ugh, tunggu... Ah..." keluhnya pelan saat tubuhnya berkali-kali terkena ranting kayu dan semak-semak yang mencuat sembarangan. Rambutnya yang tergerai berantakan, tersangkut di cabang-cabang kecil. Napasnya sedikit tersengal, jelas menunjukkan bahwa perjalanan ini tidak mudah baginya.

Argani, yang awalnya terus berjalan tanpa peduli, akhirnya menghela napas panjang. Ia berbalik dan mendekat dengan langkah lebar, matanya memandang Ima dengan sedikit kesal. Ia mulai menyingkirkan ranting-ranting dan semak-semak yang menghalangi jalan dengan gerakan tangannya yang tegas namun terukur.

"Berjalanlah hati-hati, atau aku akan meninggalkanmu..." kata Argani dingin. Nada suaranya datar, namun tatapan matanya cukup menusuk, membuat Ima terdiam sejenak. Pria itu kemudian berbalik, melanjutkan langkahnya dengan cepat tanpa menunggu jawaban. Ima, yang merasa tidak enak dengan perkataan tersebut, akhirnya memaksakan dirinya untuk terus berjalan, meskipun wajahnya jelas menunjukkan rasa tidak nyaman.

"(Benar-benar merepotkan... Aku tidak pernah tahu hal seperti ini. Aku tak pernah berbaur dengan hutan, jadi jangan salahkan aku jika kau membuatku tersesat...)" pikir Ima dalam hati, bibirnya mengerucut menahan kesal. Namun, ia memilih untuk tidak mengatakan apa-apa.

Hingga tiba-tiba, Ima merasakan sesuatu yang aneh di kakinya. Ia terkejut ketika menyadari bahwa kakinya terlilit akar yang keluar dari tanah. Akarnya tebal, kasar, dan sedikit basah, seperti baru saja diguyur hujan. Ima segera menatap ke bawah dengan panik, lalu berjongkok, berusaha keras untuk melepaskan lilitan akar tersebut. Gerakannya terburu-buru, hingga membuat beberapa helai rumput ikut tercabut. Setelah beberapa kali menarik-narik akarnya, akhirnya ia berhasil melepaskannya.

Namun, saat ia berdiri, Ima mendapati bahwa Argani sudah tidak terlihat lagi. Bayangan tubuhnya, yang biasanya terlihat di depan, kini hilang sepenuhnya di balik lebatnya dedaunan. Ima merasa jantungnya berdetak lebih cepat, perasaan panik mulai menjalar. "Oh tidak!" serunya dengan suara pelan, tapi penuh rasa khawatir.

Ima segera berlari kecil, matanya menyapu ke segala arah, berharap menemukan sosok Argani di antara pohon-pohon tinggi. "Mas Argani?" Ia memanggil dengan suara yang sedikit gemetar. Angin hutan berhembus pelan, membawa serta suara daun-daun yang berdesir, namun tak ada jawaban. Ima mulai merasa semakin terisolasi.

Sementara itu, Argani terus berjalan. Langkahnya cepat, tapi tetap teratur. Matanya terpaku pada layar ponselnya yang kini menampilkan sinyal lebih stabil. Bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil. "Bagus... Ima, aku sudah dapat—" ia mulai berbicara sambil menoleh ke belakang, namun kata-katanya terputus saat ia menyadari bahwa Ima tidak ada di belakangnya. Raut wajahnya yang biasanya tenang berubah menjadi panik seketika. "Ima?!" serunya. Pandangannya menyapu sekitar, tapi ia tidak menemukan gadis itu.

Di tempat lain, Ima semakin panik. Ia berjalan tanpa arah, hanya mencoba mengikuti instingnya. Langit di atas semakin tertutup oleh dedaunan tebal, membuat suasana menjadi semakin gelap. Cahaya matahari yang sebelumnya menemani langkahnya kini hampir hilang sepenuhnya. Ima mulai merasa seperti terperangkap di dalam hutan ini.

"(Bagaimana ini... Bagaimana jika ada hewan buas? Bagaimana dengan Mas Argani? Dia pasti juga diserang!)" pikir Ima, tubuhnya mulai gemetar. Ia merasa seperti ada mata yang mengawasinya dari kegelapan, meskipun ia tahu itu mungkin hanya imajinasinya.

Tiba-tiba, suara gemerisik dari semak-semak di belakangnya menarik perhatian Ima. Suara itu terdengar semakin keras, seperti sesuatu yang besar mendekat. Ima membeku, matanya melirik ke arah semak-semak tersebut. "(Apa itu ular?!)" pikirnya dengan ketakutan. Ia langsung berlari menjauh, nafasnya tersengal-sengal, tapi suara gemerisik itu berhenti.

Dari balik semak-semak, seekor kelinci putih kecil muncul. Mata kelinci itu menatap Ima dengan polos, bulunya yang putih bersih terlihat kontras dengan kegelapan hutan di sekitarnya. Ima merasa lega, namun hanya sesaat. Kelinci itu berjalan pelan, tetapi sebelum ia melangkah jauh, bayangan hitam besar tiba-tiba melesat dari atas, menyambarnya dengan kecepatan luar biasa. Ima hanya bisa menatap dalam diam, tubuhnya kaku, melihat kelinci itu hilang begitu saja.

Bayangan hitam tersebut menghilang ke atas, melintasi dedaunan lebat di atas kepalanya. Ima merasa tubuhnya melemas. Hatinya kini dipenuhi kecemasan yang lebih besar. Dengan langkah gemetar, ia melanjutkan perjalanannya. Ia terus bergerak, berharap menemukan tempat yang lebih terbuka.

Hingga dari kejauhan, ia melihat seberkas cahaya. Cahaya itu muncul seperti sebuah harapan, menandakan akhir dari hutan gelap yang menakutkan. Ima mempercepat langkahnya, hampir seperti berlari. Ia sesekali menoleh ke belakang, memastikan tidak ada bayangan lain yang mengejarnya.

Ketika ia hampir mencapai cahaya itu, kakinya tersandung batu besar. "Akh!!" Ima jatuh dengan keras. Tubuhnya terhempas ke tanah, namun untungnya ia mendarat di atas rumput hijau yang tebal dan empuk. Cahaya matahari menyinari tubuhnya, memberikan kehangatan yang kontras dengan dinginnya suasana hutan sebelumnya.

Ima perlahan bangkit, matanya membelalak tak percaya melihat pemandangan di hadapannya. Padang rumput luas terbentang, dihiasi oleh angin yang bertiup kencang, membuat rumput-rumput hijau itu bergoyang seperti ombak. "Tempat apa ini? Kenapa begitu hebat," gumamnya dengan suara penuh kekaguman.

Ia berjalan perlahan ke tengah padang rumput, menikmati angin yang menerpa wajahnya. Udara di tempat ini terasa lebih segar, seakan membawa ketenangan setelah ketegangan yang ia alami di hutan tadi. Ima menghela napas panjang, merasa lega. Namun, pikirannya masih dipenuhi pertanyaan tentang keberadaan Argani dan apa yang mungkin terjadi di tempat ini.

"(Tempat ini, kenapa sangat indah...)" Ima memandang sekeliling dengan takjub, langkahnya perlahan membawa tubuhnya semakin ke tengah padang rumput. Angin kencang meniup rambutnya yang kusut, menyisir helai-helainya ke belakang. Setiap helaian napasnya terasa lebih ringan, seolah udara di sini memiliki kesegaran yang berbeda. Rumput hijau yang melambai mengikuti angin tampak seperti gelombang di lautan, bergerak serempak dengan irama alam yang menenangkan.

Ia berhenti sejenak, membiarkan kakinya menyentuh tanah yang lembut. Wajahnya sedikit mendongak, menatap langit biru yang hampir tidak ternoda awan. Suara gemerisik daun-daun dari kejauhan samar terdengar, bercampur dengan suara angin yang berhembus melewati padang. Ima merasakan ketenangan yang luar biasa, perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

"(Benar-benar indah...)" gumamnya dalam hati, tatapannya terpaku pada pemandangan yang seolah hanya ada dalam mimpi. Tapi momen itu tidak berlangsung lama. Ima mendengar suara aneh dari belakang, suara kepakan sayap yang keras memecah keheningan.

Refleks, Ima langsung menoleh dengan panik. Tubuhnya kaku, matanya menyapu area di sekitarnya. Ia tidak melihat apa pun yang mencurigakan, terutama di arah hutan gelap tempat ia datang tadi. Namun, suara itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat. Suara buas, seperti raungan rendah bercampur dengan hembusan angin yang tajam. Ima segera menengadah ke atas, mengikuti sumber suara.

Pandangan Ima tertuju pada sebuah pohon besar yang berdiri kokoh di tepi padang. Di salah satu cabangnya yang paling tinggi, seekor elang besar bertengger dengan anggun. Burung itu terlihat sangat berbeda dari burung lain yang pernah Ima lihat. Bulu-bulunya berwarna hitam pekat, mengkilap di bawah sinar matahari yang menerobos sela-sela dedaunan. Tubuhnya sangat besar, jauh melampaui ukuran elang biasa. Ima memperkirakan bahwa panjang sayapnya mungkin sama dengan tingginya sendiri.

"Elang? Hitam?" Ima bergumam pelan, rasa tidak percaya jelas terpancar di wajahnya. Elang sebesar itu, apalagi berwarna hitam, hampir mustahil ditemukan di dunia ini. Ima berdiri terpaku, tubuhnya terasa ringan karena gemetar.

Elang tersebut menatapnya dengan mata yang tajam, matanya berkilau seperti manik hitam yang dalam dan misterius. Ima merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tahu betul bahwa elang adalah predator puncak dalam rantai makanan. Jika burung itu memutuskan untuk menganggapnya sebagai mangsa, ia tahu bahwa peluang untuk bertahan hidup sangat kecil.

"(Apa yang harus kulakukan...)" Ima berpikir cepat, tubuhnya perlahan mundur dengan hati-hati, mencoba menjauh tanpa menarik perhatian burung tersebut.

Namun, takdir seolah mempermainkannya. Kakinya tersandung batu kecil yang tersembunyi di bawah rumput. "Akh!" Ima terjatuh ke belakang, tubuhnya terhempas di atas hamparan rumput yang lembut namun dingin.

Ia masih mencoba mengatur napasnya ketika elang besar itu tiba-tiba melesat dari tempatnya bertengger. Suara kepakan sayapnya begitu keras, memotong udara dengan kecepatan luar biasa. Ima hanya bisa menatap dengan mata terbelalak, tidak sempat untuk bangkit. Rasa takut menguasai dirinya sepenuhnya. Dalam benaknya, ia membayangkan cakar tajam elang itu akan mencengkeram tubuhnya.

"Tidak, tidak, jangan!!" Ima berteriak, suaranya bergetar, memohon pada apa pun yang mungkin mendengarnya. Ia menutup matanya rapat-rapat, berharap rasa sakit tidak datang. Tapi, yang terjadi adalah kebalikannya. Tidak ada rasa sakit, tidak ada cakar tajam yang mencengkeramnya. Ima perlahan membuka matanya, dengan tubuh masih gemetar.

Elang itu tidak menyerangnya. Burung besar tersebut kini bertengger di cabang pohon tua, beberapa meter dari tempat Ima terjatuh. Ia menatap Ima dengan tajam, pandangannya penuh wibawa dan kesan misterius. Ima hanya bisa diam, matanya terpaku pada sosok elang tersebut.

Dengan hati-hati, Ima mencoba untuk bangkit. Lututnya terasa lemas, tapi ia berhasil berdiri. "Kenapa kau tidak menyerangku?" tanyanya, suaranya pelan tapi cukup jelas di tengah keheningan. Elang itu tidak bereaksi, hanya menatapnya tanpa berkedip.

Namun, perhatian Ima tertuju pada sesuatu yang berbeda. Mata Ima menangkap detail kecil di salah satu cakar burung tersebut. Sebuah gelang hitam melingkari kaki elang itu. Gelang tersebut tidak seperti gelang biasa—warnanya hitam pekat, dengan cahaya hijau yang berkelap-kelip secara halus. Kilauannya terlihat jelas bahkan dari jarak tempat Ima berdiri. Ima mengernyit, mencoba memahami apa yang sedang ia lihat.

"(Itu apa? Gelang? Kenapa ada gelang di kakinya?)" Ima merasa semakin bingung. Pandangannya bergerak naik, dan ia melihat sesuatu yang lebih mengejutkan lagi. Pada bulu dada elang itu, terdapat ukiran yang samar namun cukup jelas jika diperhatikan. Ima merasa bahwa ukiran itu bukan sekadar pola alami bulu, melainkan tulisan yang dibuat dengan sengaja.