"Maaf jika aku terlambat..." ucap Ima dengan nada pelan namun jelas.
Argani mengerutkan alisnya, kebingungan dan penuh emosi. "Kenapa kau ada di sini? Kontraknya sudah selesai," katanya sambil menatap Ima dengan tatapan yang sulit diartikan, antara marah, bingung, dan sedih.
Ima menarik napas dalam-dalam, seakan ingin menjelaskan segalanya dengan tenang. "Aku tidak ke mari atas nama kontrak. Aku hanya memastikan bahwa kamu baik-baik saja setelah kepergiannya. Ibumu sebenarnya pernah mengatakan sesuatu padaku. Bahwa tak peduli sudah berapa banyak wanita yang mempermainkanmu atau hartamu, kamu tidak boleh menyerah mendapatkan wanita yang diinginkan ibumu, meskipun bukan aku. Maafkan aku jika aku bukan yang menjadi satu-satunya..."
Setelah berkata demikian, Ima perlahan mendorong gagang payung itu ke dada Argani. Gerakannya pelan namun tegas, membuat Argani secara refleks menerimanya. Ima lalu menoleh, menatap makam ibu Argani untuk terakhir kalinya.
Hujan mulai deras, tapi Ima tetap tak peduli. Ia kembali menatap Argani, memberikan senyum samar yang sulit diartikan, lalu meninggalkan kalimat terakhirnya. "Maafkan aku... jika aku bukan wanita pilihan ibumu. Masih banyak wanita di luar sana yang belum mendapatkan pasangan dan berharap kamu yang menemukannya. Jadi, semangat!" ujarnya dengan suara yang sedikit bergetar, mencoba memberikan dukungan terakhir sebelum pergi.
Argani hanya diam terpaku. Hatinya terasa berat, tapi mulutnya seakan terkunci. Ima berbalik dan mulai berjalan pergi, meninggalkan Argani sendirian di bawah payung hitam yang kini ada di tangannya.
Dengan pandangan yang buram oleh air mata, Argani menyadari bahwa Ima pergi tanpa payung. Ia ingin memanggilnya, tapi suaranya seolah tertahan di tenggorokan. Bibirnya bergerak, namun tak ada kata yang keluar. Ia hanya bisa memandang punggung Ima yang semakin menjauh di bawah hujan.
"(Ini baik-baik saja. Jangan meminta maaf. Aku tahu itu... Ini bukan kesempatan untuk mendapatkan cinta...)" pikirnya dalam hati. Tangan Argani menggenggam gagang payung itu lebih erat, seolah itu adalah satu-satunya yang bisa dia pegang di saat ini. Ima telah menghilang, meninggalkan jejak yang sulit dihapus dari hati Argani.
Ia akhirnya melangkah pulang dengan tubuh basah kuyup, meski payung itu tetap di tangannya. Sesampainya di rumah, ia membuka pintu dengan langkah berat. Pakaian yang basah dan lekat di tubuhnya tidak ia hiraukan.
Tanpa orang lain tahu, Argani tampak menangis dalam kesendirian. Ia mengusap wajahnya beberapa kali, berusaha menyembunyikan emosinya dari siapa pun yang mungkin melihat.
"Ima?" panggilan itu terdengar ketika ibunya kebetulan mendekat, menatap putranya dengan penuh perhatian. "Di mana payungmu? Kenapa tidak pakai payung?" tanyanya dengan nada khawatir. Namun, ia terkejut melihat Argani menangis. "Kamu menangis?"
Argani hanya menunduk, berusaha mencari alasan. "Tidak apa-apa, Bu. Aku kan sudah bilang ingin menghadiri pernikahan temanku, jadi aku ikut menangis... Payungku juga sudah kuberikan dia. Sekarang aku ingin mandi dulu," ujarnya pelan sambil berjalan menuju kamarnya.
Ia melewati ibunya begitu saja, bahkan melewati kedua kucing peliharaan mereka yang biasanya ia gendong. Kucing-kucing itu hanya menatap bingung, melihat Ima yang tampak jauh lebih murung dari biasanya.
Ibunya berdiri di sana dengan raut wajah penuh kekhawatiran, memandang anaknya yang terlihat berbeda. "(Ada apa dengannya? Apa karena Regis tidak pulang-pulang dan tidak mengabari? Astaga, Regis, paling tidak berbicaralah di ponsel...)" pikirnya, menggelengkan kepala sambil menghela napas.
Karena kekhawatiran tentang Regis terus menghantui Ima dan keluarganya, cerita pun bergeser ke Regis yang kini berada jauh dari rumah.
Regis telah meninggalkan tempat Ima tinggal. Ia pergi menjalankan tugas barunya, meninggalkan jejak yang tak kasat mata di hati Ima. Sebelum mencapai tujuan, terlihat pusat kantor polisi yang megah berdiri tegak di jantung kota besar Amerika Serikat. Gedung itu menjulang tinggi dengan dinding kaca yang berkilauan diterpa sinar matahari, melambangkan wibawa dan kekuatan hukum.
Di dalam pesawat yang membawanya ke sana, Regis menerima panggilan telepon yang mengubah segalanya. Ia tampak duduk dengan tenang, namun tatapan matanya menyiratkan amarah yang tertahan.
"Apa?! Kenapa Amerika? Bukankah kau bilangnya di sekitar Korea?" protes Regis, suaranya sedikit meninggi meski ia berusaha menahan emosi. Jeda sejenak diikuti helaan napas panjang darinya, pertanda bahwa ia mulai menerima kenyataan. Regis menggenggam ponsel dengan erat, tatapannya menerawang ke luar jendela. Itu artinya, ia telah dipindah tugaskan.
Setibanya di kantor polisi terbesar di Amerika Serikat, suasana di dalam gedung terasa sibuk dan penuh tekanan. Orang-orang berlalu lalang dengan langkah cepat, kertas-kertas laporan berserakan di meja, dan layar monitor memperlihatkan berbagai data yang terus diperbarui.
Di salah satu sudut ruangan, seorang polisi wanita tampak meletakkan kepalanya di atas meja kosong. Rambutnya sedikit berantakan, dan wajahnya menunjukkan kelelahan yang amat sangat. Nafasnya panjang, diiringi keluhan yang meluncur dari bibirnya.
"Haaa... sangat lelah. Pekerjaan ini benar-benar membunuhku. Kita sudah banyak gagal beberapa kali karena kemampuan anggota yang sangat menurun, dan itu berpengaruh pada kekompakan kita..." keluhnya dengan nada frustrasi.
Tak jauh darinya, seorang rekan sesama polisi yang lebih rapi mendekat, membawa secangkir kopi di tangannya. Ia memiringkan kepalanya sedikit, mencoba mendengar lebih jelas. "Kenapa? Kau baru saja berbicara. Aku samar-samar mendengar tadi," tanyanya penasaran.
Wanita pertama mengangkat kepala dengan gerakan malas. "Aku ingin naik pangkat. Kenapa kita tak pernah naik pangkat? Kita bahkan melakukan pekerjaan terus-menerus," jawabnya dengan suara lirih namun penuh tekanan.
Rekannya meneguk kopinya sedikit sebelum menatap dengan pandangan datar. "Ck, jangan banyak mengeluh. Kita naik pangkat hanya karena kita bisa menyelesaikan banyak tugas sulit. Karena akhir-akhir ini kita sering gagal, jadi kita tidak akan bisa naik pangkat cepat. Kau seharusnya tak perlu sampai mengeluh begitu," ujarnya dengan nada tegas.
Sebelum perbincangan mereka berlanjut, seorang polisi paruh baya masuk ke ruangan. Sosoknya terlihat berwibawa dengan rambut yang sebagian telah memutih. Suaranya berat namun jelas saat berbicara. "Hei, kalian ada waktu?" tanyanya sambil menatap langsung ke arah mereka.
"Eh... ada, Tuan," jawab keduanya hampir bersamaan, sedikit kaget.
"Baiklah, kalau begitu, ikuti aku," perintahnya singkat namun tegas, membuat keduanya saling berpandangan sejenak sebelum bangkit dan mengikuti langkahnya.
Mereka berjalan menyusuri lorong panjang yang dihiasi dengan berbagai piagam penghargaan dan foto tim-tim kepolisian sebelumnya. Akhirnya, mereka tiba di ruang rapat besar dengan meja panjang dan kursi-kursi yang telah terisi oleh beberapa polisi berpangkat tinggi.
Ketika semua telah duduk, polisi paruh baya itu berdiri di depan ruangan. Wajahnya tampak serius, matanya menatap tajam ke arah mereka semua. Ia berdeham kecil sebelum mulai berbicara.
"Baiklah, aku ada informasi penting untuk kalian. Ini berkaitan dengan kalian yang terus saja gagal menjalankan tugas..." katanya. Ucapannya membuat suasana ruangan menjadi sunyi. Beberapa anggota polisi menundukkan kepala, tak berani menatap langsung ke arah atasan mereka.
"Ini layaknya level kalian terperangkap dan tidak naik-naik. Jadi, aku punya solusi. Akan ada seorang polisi yang berjabat sebagai pemburu kelas atas, pemburu tajam, dan bersiaga setiap hari. Aku harap dengan ini kalian bisa belajar darinya. Ke depannya, dia akan membimbing kalian menjadi lebih baik," lanjutnya dengan nada tegas.
Pintu ruangan terbuka perlahan, dan seorang pria dengan seragam polisi yang rapi melangkah masuk. Setiap mata langsung tertuju padanya. Sosok itu adalah Regis, dengan tubuh tegap dan wajah yang tampak penuh percaya diri. Ia mengenakan kacamata hitam yang ia lepas perlahan, memperlihatkan bekas luka samar di bibirnya, memberikan kesan bahwa ia adalah seseorang yang telah melalui banyak hal.
"Salam kenal," katanya dengan nada tenang namun tegas. "Aku seorang polisi yang sudah berpengalaman di usia muda. Bagiku, nyawa seseorang yang terlibat bukanlah masalah, karena itu adalah sebuah risiko demi menjalankan keadilan dalam bertugas. Jadi aku harap, caraku tidak terlalu keras untuk kalian..." lanjutnya.
Salah satu wanita yang sebelumnya mengeluh tadi menatapnya dengan mata berbinar, terkagum oleh penampilan dan reputasi Regis. "Wah... aku pernah mendengar namanya. Dia seorang pemburu profesional. Penyamarannya tak pernah gagal. Tapi, apa sikapnya baik?" bisiknya pelan kepada rekannya.
Namun, sebelum gosip itu berkembang, atasan mereka berkata, "Regis, kau akan menggantikan aku sebagai atasan mereka. Tolong lebih perhatikan ada wanita di sana," katanya sambil menunjuk wanita tadi. Wanita itu terkejut dan hampir tersedak mendengar namanya disebut.
"Ketua?! Aku?!" serunya tanpa sadar, membuat Regis hanya tersenyum tipis.
Lalu, atasan menatap Regis. "Dia bernama Heena. Dia salah satu anggota polisi wanita terbaik, tapi dia suka sekali malas. Aku harap kau bisa melatihnya lebih baik di tugas-tugas yang akan datang," kata atasan. Regis mengangguk.
Kemudian, setelah rapat dibubarkan, Regis keluar dari ruangan bersama anggota lain. Namun, wanita tadi mengejarnya dengan langkah cepat. "Ketua baru!" panggilnya dengan nada tegas. Regis berhenti dan menoleh perlahan. "Ya?"
Wanita itu berdiri tegap di hadapannya, meski wajahnya tampak sedikit gugup. "Aku dibilang atasan harus sering membantu. Aku harap kau tidak merepotkan," katanya dengan tatapan penuh gengsi, mencoba menyembunyikan rasa kagumnya. Regis mengangguk pelan, terlihat bingung namun tetap tenang. "Oke? Baiklah, lakukan sesuka hati," jawabnya singkat, kemudian melangkah pergi.
Tapi, Heena menghentikan langkahnya dengan menghalangi jalannya. "Hei, aku penasaran, kenapa kau bisa ditugaskan di sini? Apa kau yakin kau tidak punya kehidupan yang lebih baik? Selain tugas, aku bisa melakukan sesuatu untukmu. Kamu cukup gagah juga..." Heena menatap, sepertinya dia mencoba menggoda Regis.
Tapi, Regis mundur perlahan dan memberi isyarat tangan untuk menghentikan Heena. "Maafkan aku. Jadi, ini sikapmu? Kau mengesampingkan tugas hanya untuk menggoda orang?" tatapannya serius.
"Kenapa? Aku melakukan apa yang aku suka..."
"Kau tak bisa melakukan itu. Ke depannya, kau harus sering kutahan..." Regis menatap tajam.
"Tahan? Kau mau menjadikanku pacarmu?" Heena menatap sombong. Regis menghela napas panjang. "Aku sudah punya calon," jawabnya kemudian melewati Heena yang, siapa sangka, wajahnya tampak tak percaya. "(Dia punya gadis lain? Sial, aku ingin melihat seberapa seksi ceweknya...)" Heena tampak tak ada kesempatan menggoda Regis, dan sepertinya Regis mencoba setia pada Ima. Tidak mencoba—dia memang melakukannya dengan sungguh-sungguh.
Dari sanalah Regis harus menangani tugas dengan ketat, melatih mereka hingga mereka berhasil menjalankan tugas mereka dan naik ke level kemampuan selanjutnya.