"Maaf kan aku, aku sudah lama tidak datang. Hari ini juga sepertinya aku terlambat melihatmu. Besok, aku janji tidak akan terlambat lagi..." kata Ima, suaranya terdengar lembut namun penuh rasa bersalah. Pandangannya tertuju pada nisan yang masih bersih dan baru, milik Ibu Argani. Cuaca mendung menambah suasana hati Ima yang suram. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Kehadirannya di makam itu seolah menjadi rutinitas penting untuk mengingat betapa berharganya kehadiran Ibu Argani di hidupnya, meski kini hanya tinggal kenangan.
"Sebenarnya, aku sudah jujur padamu bahwa kami bukanlah siapa-siapa. Dan sekarang kami memang bukan siapa-siapa. Aku telah memiliki pria lain, jadi... maafkan aku," lanjut Ima, kali ini suaranya lebih pelan, hampir seperti bisikan yang hilang ditelan angin. Matanya sedikit berkaca-kaca, namun dia menahannya. Dengan langkah berat, dia akhirnya beranjak pergi, meninggalkan makam yang seolah berbicara dalam diam, memberikan jawaban yang tak akan pernah didengar.
Sesampainya di kafe, Ima mencoba menyembunyikan perasaan yang bercampur aduk. Langkahnya melambat ketika ia melihat Manajer Hinko sudah berdiri di dekat pintu masuk. Wajah manajer itu serius namun tetap ramah, sebuah ekspresi yang sudah sering ia lihat selama bekerja di sana.
"Ah, Ima, hari ini agak terlambat ya?" tanya Manajer Hinko dengan tatapan penuh pengertian.
"Hehe, maafkan aku, Manajer. Aku harus mengunjungi makam seseorang..." jawab Ima sambil menggaruk belakang kepalanya, berusaha terlihat santai meskipun pikirannya masih berat.
"Kalau begitu, kau bisa bekerja lebih keras. Aku ingin berbicara sesuatu terlebih dahulu," ujar Manajer Hinko sambil memberi isyarat agar Ima tetap di tempat.
"Eh, kenapa?" Ima tampak terdiam. Rasa penasarannya bercampur dengan sedikit kecemasan.
"Sebenarnya, apakah kamu ada waktu nanti? Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat..." kata Manajer Hinko dengan nada misterius yang membuat Ima semakin bingung.
"Eh, maksudnya?" Ima menatapnya dengan alis terangkat, tak percaya atas apa yang baru saja didengarnya. Bahkan, ia merasa sedikit panik tanpa alasan jelas.
"Nanti aku akan memberitahumu kenapa. Aku akan menjemputmu..." ucap Manajer Hinko dengan nada tenang, kemudian beranjak pergi, meninggalkan Ima yang masih berdiri kebingungan.
---
Ketika akhirnya sampai di rumah, Ima menjatuhkan dirinya di atas kasur tanpa pikir panjang. Kasur itu terasa seperti tempat paling nyaman di dunia setelah hari yang melelahkan. Pandangannya menatap langit-langit kamar yang putih, seolah mencari jawaban dari pertanyaan yang tak kunjung usai.
"Hah... apakah tak ada hal yang lebih baik lagi? Mungkin sesuatu yang menyenangkan? Kenapa aku benar-benar tidak mengerti hal apa pun..." gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Ia merasa hidupnya terlalu monoton, tanpa kejutan berarti.
Namun, lamunannya terganggu ketika suara ibunya terdengar dari lantai bawah. "Ima, ada yang mencarimu!"
Ima terdiam, awalnya bingung. "Siapa yang mencariku malam-malam begini?" pikirnya. Dengan enggan, ia bangun dari kasur dan berjalan menuruni tangga. Begitu tiba di ruang tamu, matanya membulat melihat sosok yang tidak asing. Manajer Hinko sedang berbicara dengan ibunya di dekat pintu yang terbuka.
"Manajer?" Ima bertanya dengan nada bingung, hampir seperti bisikan.
"Ah, Ima, kamu mengenalnya?" tanya ibunya sambil menoleh.
"Ya, dia manajerku di kafe," jawab Ima, mencoba bersikap biasa. Namun, rasa penasarannya semakin bertambah. Ia menatap langsung ke arah Manajer Hinko. "Ada apa, Manajer?"
"Aku sudah bicara pada ibumu bahwa kamu adalah karyawan kafe yang sangat bersemangat. Kamu bekerja keras dan paling bisa diandalkan, jadi aku ingin mengapresiasimu hari ini. Aku akan membawamu ke suatu tempat sebagai penghargaan karyawan pekerja sampingan terbaik..." jelas Manajer Hinko sambil tersenyum tipis.
"Wah, itu bagus sekali..." komentar ibunya dengan antusias, hampir lebih senang daripada Ima sendiri.
Namun, Ima tetap berdiri di tempatnya, bingung. "Aku tak mengerti. Bukankah aku hanya menjalankan pekerjaanku seperti biasa? Bukankah itu yang dilakukan karyawan lainnya juga, melayani pembeli dan yang lainnya?" tanyanya dengan nada datar.
"Ya, itu benar. Tapi kamu selalu bekerja dengan baik. Meskipun sudah beberapa kali terlambat, kamu selalu pulang lebih akhir dan membersihkan tempat dengan baik. Kopi buatanmu juga enak, dan perhitunganmu saat di kasir juga tak pernah salah. Wajahmu juga selalu lembut dan tersenyum tulus. Pelanggan sangat suka dan memuji karyawan sepertimu..." Manajer Hinko menjelaskan sambil menunjukkan ponselnya. Di layar, terlihat rating tinggi kafe mereka, sebagian besar ulasannya memuji seorang karyawan bernama Ima.
"Wah... aku tidak menyangka..." Ima akhirnya tersenyum kecil, sedikit terkesan.
"Karena itulah, aku ingin memintamu, mari aku tunjukkan sesuatu sebagai apresiasi..." lanjut Manajer Hinko dengan nada serius namun ramah.
"Ima, itu bagus sekali. Pergilah, kamu benar-benar sangat hebat..." kata ibunya dengan penuh kebanggaan, membuat Ima merasa sedikit terharu.
Ima terdiam sejenak, masih ragu. Namun akhirnya dia memutuskan untuk bersiap-siap mengikuti Manajer Hinko.
Rupanya mereka berjalan di malam hari di sekitar jalanan yang tak terlalu ramai. Udara malam yang dingin menyapu perlahan, membuat daun-daun di pepohonan bergoyang seirama dengan angin. Langit gelap dihiasi oleh bintang-bintang kecil yang tampak redup, sebagian tertutup awan tipis. "Manajer, ada apa sebenarnya? Kenapa apresiasinya jauh sekali sepertinya?" Ima menatap dengan penuh kebingungan, wajahnya tampak serius, mencoba mencari jawaban dari raut wajah pria di hadapannya.
"Haha... Jangan khawatir, sebentar lagi akan sampai," kata Manajer Hinko. Suaranya terdengar ringan, tapi langkahnya semakin mantap. Ia berjalan dengan percaya diri di depan, tanpa banyak bicara, seolah menyembunyikan sesuatu di balik sikapnya yang terlihat santai. Namun, tak lama kemudian langkahnya terhenti mendadak, membuat Ima yang mengikuti di belakang ikut berhenti. Ima menatap pria itu dengan raut penuh tanda tanya.
Mereka kini berdiri di atas jembatan yang besar, terbentang megah di tengah kegelapan malam. Lampu-lampu penerangan jalan berbaris di sisi jembatan, cahayanya memantul di permukaan air sungai yang tenang di bawah sana. Udara semakin dingin, membuat Ima menggigil kecil, tangannya refleks memeluk tubuhnya sendiri untuk mengusir rasa dingin yang menusuk.
"Manajer?" Ima memanggil dengan ragu. Namun, tanpa sadar matanya teralih ke depan, mengikuti arah pandangan Manajer Hinko. Ia tertegun, tubuhnya kaku seperti patung. Jantungnya berdebar kencang saat ia melihat sesosok pria berdiri di kejauhan, tegap dengan aura yang mengintimidasi. Sosok itu adalah Sheniok, pria yang pernah menggoreskan luka mendalam di kehidupannya—ayah kandung yang selama ini ia takuti. Mata Sheniok tajam, penuh dengan sorot dingin, seperti seekor elang yang mengintai mangsanya.
Ima tidak menyangka dia akan bertemu lagi dengan sosok itu. Jantungnya semakin berdegup keras, hampir menyakitkan. Manajer Hinko, yang berdiri di sampingnya, membuka suara. "Itu apresiasinya. Kau bisa menerimanya, Ima. Orang itu memintaku untuk membawamu ke hadapannya. Dia juga memberikan sponsor pada kafe hanya untuk bertemu denganmu. Aku tak tahu apa hubunganmu dengannya, tapi sampai jumpa..." Dengan santai, Hinko berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Ima sendirian. Langkahnya terdengar jelas di malam sunyi itu, semakin menjauh hingga lenyap di antara suara angin.
"(Kenapa... Kenapa... Kenapa harus begini... Kenapa Manajer tega melakukan itu... Kenapa...)" Ima berpikir, kakinya perlahan mundur beberapa langkah. Ia merasa dirinya tenggelam dalam rasa takut yang perlahan menyelimuti seluruh tubuhnya. Pandangannya mulai kabur oleh perasaan campur aduk yang menyesakkan.
Sheniok tetap berdiri di tempatnya, tak bergeming. Wajahnya yang dingin seperti topeng tak menyembunyikan aura menyeramkan yang selalu Ima ingat. Sosoknya mengingatkan Ima pada seekor elang hitam, dengan mata tajam yang menusuk, mengawasi setiap gerak-geriknya dengan intensitas yang tak bisa diabaikan.
Lalu suara berat Sheniok memecah keheningan. "Kau sudah tahu kenapa aku memintanya mengantarmu kemari? Karena jika aku yang menjemputmu, aku akan bertemu dengan ibumu, dan aku yakin dia tak mau bertemu denganku..." Nada bicaranya datar, namun ada sesuatu yang membuat Ima semakin tak nyaman. Tubuhnya terasa semakin kaku, seperti terjebak dalam tekanan yang tak kasatmata.
"Kenapa... Kenapa..." gumam Ima dengan suara hampir tak terdengar. Tatapannya kosong, mencoba memahami situasi yang dihadapinya.
"Ima..." Sheniok memanggil. Suaranya kali ini terdengar lebih lembut, berbeda dengan wajahnya yang tetap terlihat tegas dan keras. Panggilan itu sukses membuat Ima tersadar dari lamunannya. Ia menatap pria itu, tapi tak ada kata yang keluar dari mulutnya.
"Kau adalah putriku... Aku hanya ingin meminta maaf padamu..." ucap Sheniok dengan nada yang terdengar berat. Tatapannya tajam, tapi kali ini ada sedikit kelembutan yang terlihat samar. Ima terkejut mendengar kata-kata itu, tubuhnya menegang. "(Apa?! Apa yang dia katakan... Kenapa... Kenapa meminta maaf? Setelah semua kesalahan yang dia lakukan... Dia ingin meminta maaf?!)" pikir Ima, matanya membulat, penuh ketidakpercayaan.
"Aku pikir kau telah mati karena tembakan peluru yang kuarahkan saat itu, tapi ternyata kau gadis yang kuat. Aku benar-benar minta maaf. Aku hanya ingin menawarkanmu kehidupan yang lebih baik lagi. Kau tahu bukan, keluarga Sheniok adalah keluarga yang bermartabat tinggi, dan aku butuh seorang keturunan yang berada di figur tertentu. Aku ingin kau ikut padaku, membantuku menjadi figur seorang putri dari keluarga Sheniok yang telah hilang, karena aku merasa kesepian menghadapi ini semua sendiri," lanjut Sheniok. Suaranya terdengar tegas, namun ada jejak emosi yang sulit untuk disembunyikan.
Ima yang mendengar itu tetap tak bergeming. Pikirannya berputar, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut pria itu. "(Kenapa, bisa-bisanya dia mengatakan hal itu?! Apa dia berniat mengambilku dan meninggalkan ibu? Begitu?! Aku tidak akan mau... Aku tidak mau...)" Ima berpikir sambil mengepalkan tangan. Wajahnya kini menunjukkan keteguhan yang perlahan menggantikan ketakutannya. Dengan suara bergetar, namun penuh keyakinan, ia menjawab, "Aku tidak mau, maafkan aku."
Sheniok yang mendengar jawaban itu tampak terkejut. Wajahnya yang semula penuh percaya diri kini berubah. "Kenapa? Kenapa kau tidak mau?! Hei, kehidupan bersamaku lebih baik!" Suaranya meninggi, mencoba menekan Ima. Ia melangkah mendekat dengan gestur yang tegas, membuat Ima mundur selangkah. Tapi kali ini Ima tidak menyerah pada rasa takutnya. Ia berdiri tegak, menatap Sheniok dengan penuh keberanian. "Bagaimanapun juga, kau adalah orang yang sudah membuat bekas luka untuk ibuku, bahkan untukku sendiri. Tak peduli aku dari seseorang berfigur besar sepertimu, aku tetaplah seorang gadis biasa. Jangan mengusik kehidupanku!!" kata Ima dengan nada tajam, penuh emosi yang tertahan selama ini.