Chereads / eror chaser / Chapter 13 - Chapter 31

Chapter 13 - Chapter 31

Setelah Regis pergi, Ima kembali menjalani kehidupan biasanya. Rutinitasnya tidak banyak berubah—pagi ke kampus, sore bekerja di kafe, dan malam merawat dua ekor kucingnya yang selalu menunggunya di rumah. Setiap kali Ima pulang, dua makhluk kecil berbulu itu menyambutnya dengan suara manja. Kehangatan itu sedikit mengurangi rasa sepi yang mengisi hatinya sejak Regis pergi.

Kehidupan seperti itu terus Ima jalani tanpa jeda. Rutinitasnya kadang terasa membosankan, namun melihat kedua kucingnya tumbuh semakin besar membuatnya sedikit bahagia. Sore itu, Ima menatap kedua kucingnya yang sedang duduk tenang di lantai rumah. Mata mereka menatapnya polos, seolah ingin berbicara.

"Wah, kalian sangat lucu," ucap Ima sambil tersenyum. Tangannya perlahan membelai salah satu kucingnya. Kedua kucing itu mengeong pelan, seolah menyambut pujiannya.

Namun suasana itu terputus saat terdengar suara dari dalam rumah. "Ima, jangan lupa bawa bekalmu hari ini," panggil ibunya, sambil menghampiri Ima dengan sebuah kotak makan di tangannya.

"Terima kasih, Ibu. Aku akan berangkat sekarang," jawab Ima, menerima kotak bekal itu dengan senyum.

Sebelum Ima pergi, ibunya sempat melontarkan pertanyaan yang membuat langkahnya terhenti. "Hati-hati di kampusnya. Oh iya, bagaimana keadaan Regis? Ini sudah beberapa minggu dia tidak menghubungimu. Apa jangan-jangan kalian belum saling kontak sejak dia pergi?"

Ima sedikit terdiam, lalu berusaha tersenyum tipis. "Ah, soal itu… Memang benar sih, Mas Regis tidak menghubungiku. Mungkin dia sibuk. Aku akan menunggu saja sampai dia yang menghubungiku duluan. Kalau begitu, aku pergi dulu ya, Bu."

Ibunya mengangguk, meskipun terlihat sedikit cemas. Ima pun berjalan keluar rumah dengan langkah yang perlahan. Di balik pintu, ibunya kembali melihat kedua kucing Ima yang duduk di lantai. Mata mereka tampak mengikuti Ima yang baru saja pergi. "Ahaha, jangan menatapku begitu," gumam ibunya, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Ima akan pulang seperti biasa… Kalian bermainlah sepuasnya, asal jangan mencakar sofa dan gorden, ya."

---

Di tengah rutinitas kuliahnya, Ima sering tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dalam kesibukan belajarnya, pikirannya kerap melayang ke sosok Regis. "(Aku penasaran Mas Regis sedang apa… Aku bahkan terus mengkhawatirkannya. Tapi ya sudah, dia sedang menjalankan tugas, dan aku harap dia baik-baik saja...)" pikir Ima dalam diam.

Pikirannya tentang Regis seolah menjadi bayang-bayang yang selalu hadir. Kadang ia memikirkan apa yang sedang dilakukan Regis di luar sana, atau kapan ia akan kembali. Setiap hal kecil yang dilakukan Ima seolah selalu berkaitan dengan Regis. Namun, ketika kesibukannya di kampus atau kafe mengalihkan perhatiannya, Ima berusaha melupakan semua itu untuk sementara waktu.

Di kafe tempat Ima bekerja, suasana sore itu tampak tenang. Ima baru saja tiba, dan seorang pria menyambutnya ketika ia melangkah masuk. Pria itu adalah Hinko, manajer kafenya yang selalu terlihat santai meskipun kondisi kafe sedang sulit.

"Ima, bagaimana harimu?" tanya Hinko dengan senyum kecil.

"Ah, Manajer, semuanya baik-baik saja. Aku tak sabar untuk bekerja lagi," jawab Ima dengan semangat.

Hinko tersenyum puas mendengar jawaban itu, namun nada suaranya berubah serius. "Itu bagus. Semangat yang luar biasa. Tapi, aku ingin menyampaikan sesuatu."

Mendengar nada serius itu, Ima terdiam. Ia merasa ada sesuatu yang penting yang akan dibicarakan. Hinko melanjutkan, "Karena kurangnya pembeli, kafe ini hampir sepi. Jadi, aku memutuskan untuk mengurangi karyawan. Karyawan yang tetap akan bekerja di sini sendirian selama shift-nya berlangsung."

Kata-kata itu membuat Ima terkejut. "Apa? Apa maksud Manajer? Apa aku akan dikeluarkan?" tanyanya dengan nada khawatir.

Hinko tertawa kecil, mencoba menenangkan Ima. "Haha, aku tidak akan mengeluarkanmu. Aku hanya akan mengeluarkan mereka yang selalu terlambat dengan alasan bersama pacar, pasangan, dan sebagainya. Sekarang aku tidak menerima toleransi seperti itu. Kalian boleh bercinta, tapi tidak bisa mengganggu pekerjaan."

Ima tampak sedikit lega, namun ia penasaran. "Eh, apakah itu termasuk… Naya?" tanyanya ragu.

Hinko mengangguk pelan. Ima tersentak, lalu menggumam pelan, "Astaga… Eh, ngapain aku kasihan? Pacarnya juga banyak uang, dia pasti tidak butuh pekerjaan..." Ima menghela napas, lalu kembali menatap Hinko dengan semangat baru. "Oh, baiklah. Karena aku tidak dikeluarkan, jadi aku akan bekerja keras! Meskipun sendirian, aku akan melakukan yang terbaik!"

Hinko tersenyum melihat semangat Ima. "Oh, bagus. Kalau begitu, aku akan meninggalkanmu sebentar keluar," katanya sambil melangkah pergi, meninggalkan Ima sendirian di kafe yang sepi.

Ima menghela napas panjang. Ia mulai membersihkan meja, menyapu lantai, dan menata bunga yang menjadi dekorasi di kafe itu. Saat tangannya sibuk, pikirannya kembali melayang. "(Aku tidak mengerti kenapa orang-orang yang bekerja di sini masih saja nekat mementingkan cinta mereka. Apakah cinta itu benar-benar penting? Atau… mungkin mereka berpikir cinta itu harus dinikmati? Mereka bilang, selagi ada pacar, lakukan hal yang kalian suka, habiskan waktu bersama, lalu membangun kehidupan bersama. Apakah itu cara menjalani hidup yang benar?)" pikir Ima, matanya menerawang kosong.

Tiba-tiba suara pintu kafe terbuka. Ima menoleh cepat. "Selamat datang," sapanya refleks. Namun, ia terdiam saat melihat siapa yang datang.

Di depan pintu berdiri seorang pria yang tidak asing baginya—Argani. Sosok pria muda yang menjadi direktur, yang dulu sempat dijodohkan dengannya atas keinginan ibunya. Ima menolak lamaran itu, namun sekarang pria itu berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam yang sulit dibaca. Ima menelan ludah, berusaha mengendalikan dirinya.

"Mas Arga, lama tidak bertemu, ya. Ingin pesan apa?" tanya Ima, mencoba bersikap biasa saja sambil berdiri di balik meja kasir.

Argani tidak langsung menjawab. Tatapannya tetap fokus pada Ima, mengabaikan menu yang tertera di depannya. Suasana menjadi canggung, hingga Argani akhirnya membuka suara. "Bagaimana kehidupanmu setelah menolak tawaran ibuku?" tanyanya datar, dengan nada yang sulit ditebak.

Seketika, Ima terdiam dan tersentak. "Eh, em... apa maksudmu?" tanyanya dengan ragu, menatap wajah Argani yang serius.

"Ibuku masih belum menemukan seorang wanita yang cocok untukku. Kau tak ada duanya, dan dia hanya ingin kau menjadi pasanganku," ujar Argani, tatapannya tajam namun terasa lembut, membuat Ima semakin gelisah.

"Ah, em, maafkan aku. Sepertinya aku membuat kesalahan besar, ya, saat itu. Mana mungkin tidak ada wanita lain lagi? Kau harus cari betul-betul..." Ima mencoba mengalihkan pembicaraan, tetapi nada suaranya lemah, menunjukkan keraguannya.

Argani menghela napas panjang. "Jika aku harus mencari dengan sungguh-sungguh, itu akan membutuhkan waktu. Setelah itu, aku hanya akan menjadi perjaka tua..." gumamnya, dengan nada bercanda namun penuh makna. Sebelum Ima sempat menyelesaikan kalimatnya, ucapan Argani itu membuatnya terdiam, seolah tidak tahu harus berkata apa.

Ima tampak terpojok. Wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan, dan akhirnya ia hanya bisa berkata, "Maafkan aku. Ini tetap tidak bisa, karena... aku sudah punya orang lain." Suaranya pelan, seperti berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

Argani menghela napas panjang sekali lagi, seperti menyerah. "Baiklah, terserah. Tapi jika kau berubah pikiran, datanglah padaku... Bagaimanapun juga, meskipun aku sudah bisa memberikan segalanya untuk ibuku—uang, tempat tinggal, dan aku hampir memiliki segalanya yang dapat dibeli—ibuku tidak akan tenang jika aku belum mendapatkan pasangan pilihannya. Ingat itu. Aku akan menunggumu selagi waktu masih ada." Nada suaranya terdengar tegas namun menyiratkan kesedihan.

Ima terdiam. Ragu mulai menghantui pikirannya. Ia tampak hampir ingin menerima tawaran itu, tetapi ada sesuatu dalam hatinya yang menahannya.

"Siapa orang yang kau punya? Di mana dia sekarang?" Argani tiba-tiba bertanya, memecah kesunyian di antara mereka.

"Dia... Dia sedang menjalankan tugas di luar negeri. Aku tak tahu apakah dia akan pulang pada tanggal yang ditentukan atau tidak," jawab Ima, gugup dan sedikit tergagap.

Argani tersenyum tipis, seperti menyimpan sesuatu di balik ucapannya. "Sungguh? Dia pergi? Pria yang mencintaimu pastinya akan membawa dirimu ikut bersamanya. Jika dia meninggalkanmu di sini, itu sama saja dengan janji palsu. Apa kau yakin bisa mempercayainya?"

Kata-kata itu menusuk hati Ima, membuatnya larut dalam pikirannya sendiri. "(Benar juga. Mas Regis juga tidak menghubungiku sejak dia pergi meninggalkanku saat itu. Apa yang harus kulakukan? Aku yakin Mas Regis akan pulang... pulang menjemputku, kemudian kita menghabiskan waktu bersama. Tapi... kapan?)" Ima tampak semakin bimbang, wajahnya menunjukkan pergulatan batin yang kuat.

Argani menghela napas panjang lagi, lalu mengubah pembicaraan. "Baiklah, berikan aku satu paket kopi. Aku ingin membagikannya pada orang di kantorku," ujarnya santai, seolah tidak ingin memaksa lebih jauh.

"Baik," jawab Ima sambil mencatat pesanan itu. Namun, ekspresi wajahnya tetap terlihat penuh kebimbangan dan tanda tanya.

Setelah selesai, Argani membayar dengan kartu dan berkata, "Bagaimana jika aku datang ke sini setiap Sabtu?"

"Eh?" Ima terdiam, menatapnya dengan bingung.

"Setiap Sabtu, aku akan kemari membeli kopi. Aku hanya ingin terus memastikan apakah kau mau menerima tawaranku," kata Argani sambil menatapnya dengan penuh keyakinan.

Sekali lagi, Ima ragu. Ia hanya diam, membuang wajah. "Aku... tidak tahu. Yang aku tahu, aku harus menunggu pria yang mencintaiku untuk menjemputku ketika dia kembali," jawabnya dengan suara pelan namun tegas.

"Baiklah, aku ada di pilihan keduamu, ingat itu," ujar Argani, mengambil pesanannya, lalu berjalan pergi meninggalkan Ima yang masih terdiam di tempatnya.

"(Apa yang harus kulakukan? Jika waktu cepat berlalu, aku juga akan menjadi perawan tua... Tapi kan, umurku masih muda, belum lebih dari 20 tahun juga...)" Ima bergumam dalam hatinya, wajahnya menyiratkan kebimbangan yang semakin dalam.

Hingga ketika pulang dari kafe, dia tampak berjalan pulang dengan letih lesu bahkan pikiran yang sangat banyak. "(Apa yang harus kulakukan, Mas Argani benar benar tidak mau menyerah, tapi dia begitu karena untuk ibunya.... Aku harusnya menghargai bagaimana dia sangat menjunjung tinggi dia memberikan sesuatu pada ibunya.... Aku malah semakin menghambat sesuatu yang tidak harus terjadi... Aku harap ibu Mas Argani baik baik saja dan bisa menemukan wanita yang cocok untuk Mas Argani... Sehingga tidak hanya aku yang jadi patokan nya....)" dia tampak berpikir berat dan terus membuang napas panjang.