Suara terompet perang menggema di langit malam yang diterangi oleh bulan purnama. Di dalam istana Ngawi Empire yang megah, Narji Spartan bergegas melangkah melalui lorong-lorong marmer dengan wajah penuh ketegangan. Di tangannya, ia menggenggam erat pedang pusaka yang telah menemaninya di banyak medan perang.
"Cepat, Rusdianto harus segera tahu tentang ini!" bisiknya dalam hati, mempercepat langkahnya. Narji tahu bahwa setiap detik berharga. Di istana, pengkhianatan tengah dirancang dan nyawa keluarganya dalam bahaya.
Di sebuah kamar yang terpencil, Rusdianto Ngawibro tengah bersiap-siap untuk tidur. Namun, pintu kamarnya terbuka dengan keras, dan Narji muncul dengan napas terengah-engah.
"Rusdianto! Ada pengkhianatan di dalam istana. Aku butuh bantuanmu sekarang!" kata Narji, suaranya menggema di ruangan itu.
Rusdianto terkejut, tapi tanpa ragu ia bangkit. "Apa yang terjadi, Narji? Siapa yang mengkhianati kita?"
Narji menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu pasti, tapi mereka sudah bergerak. Istriku dan anakku dalam bahaya. Aku butuh kau untuk menyelamatkan mereka."
Rusdianto mengangguk dengan tegas. "Ayo kita ke mereka sekarang. Kita harus cepat."
Mereka berdua segera menuju kamar istri Narji, Sari Spartan, yang sedang menggendong bayi mereka, Fuad. Mata Sari membesar saat melihat suaminya dan Rusdianto masuk dengan tergesa-gesa.
"Narji, apa yang terjadi?" tanyanya dengan suara bergetar.
Narji memeluk istrinya erat-erat. "Kita harus pergi sekarang. Ada pengkhianat di istana. Aku tidak bisa membiarkan mereka menyentuhmu atau Fuad."
Rusdianto menatap Sari dengan serius. "Kita akan membawamu ke tempat yang aman. Aku bersumpah akan melindungi kalian."
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki mendekat. Narji segera mengangkat pedangnya, bersiap menghadapi musuh yang mungkin datang. Pintu terbuka dengan keras, dan seorang prajurit memasuki ruangan.
"Pengkhianat itu sudah mendekat, kita harus segera pergi!" seru prajurit itu dengan napas terengah-engah.
Narji mengangguk. "Ayo kita pergi melalui lorong rahasia di belakang ruangan ini. Itu akan membawa kita keluar dari istana."
Mereka bergerak cepat, melewati lorong-lorong gelap dengan hanya cahaya obor sebagai penuntun. Di setiap tikungan, Narji dan Rusdianto waspada, siap menghadapi bahaya.
"Rusdianto, kau harus membawa Sari dan Fuad keluar dari sini," kata Narji saat mereka mendekati pintu keluar lorong rahasia.
Rusdianto menatap sahabatnya dengan mata penuh determinasi. "Dan kau?"
Narji menggeleng. "Aku akan bertahan di sini dan menghalangi mereka. Ini satu-satunya cara."
Sari menangis, memeluk suaminya. "Narji, jangan tinggalkan kami..."
Narji mencium kening istrinya dengan lembut. "Aku akan selalu bersama kalian dalam hati. Rusdianto, jaga mereka untukku."
Rusdianto mengangguk dengan air mata yang menggenang di matanya. "Aku bersumpah akan menjaganya dengan nyawaku."
Narji tersenyum pahit. "Pergilah sekarang, sebelum mereka datang."
Dengan berat hati, Rusdianto membawa Sari dan Fuad keluar dari lorong rahasia, meninggalkan Narji sendirian. Begitu mereka hilang dari pandangan, Narji berdiri tegak, pedang di tangan, siap menghadapi musuh yang datang.
Tak lama kemudian, segerombolan prajurit memasuki lorong, dipimpin oleh seorang pria dengan senyum licik di wajahnya. Narji mengenali pria itu sebagai salah satu komandan kepercayaan raja.
"Jadi ini tempatmu bersembunyi, Narji," kata pria itu dengan nada mengejek.
Narji mengangkat pedangnya, matanya bersinar dengan kemarahan. "Kau adalah pengkhianat di antara kami, dan hari ini kau akan membayar harga atas pengkhianatanmu."
Pertarungan pun dimulai. Narji bertarung dengan gigih, setiap tebasan pedangnya penuh dengan determinasi untuk melindungi keluarganya. Namun, jumlah musuh yang banyak membuatnya kewalahan.
Sementara itu, di luar istana, Rusdianto berlari membawa Sari dan Fuad menuju tempat yang aman. Mereka harus meninggalkan kota secepat mungkin.
"Kita harus pergi ke desa terpencil di utara, di sana kita bisa bersembunyi," kata Rusdianto.
Sari mengangguk, meskipun hatinya hancur meninggalkan suaminya. "Baiklah, kita akan ikuti apa katamu."
Mereka terus berlari, menembus kegelapan malam. Sementara di belakang mereka, Narji terus bertarung sampai tetes darah terakhir. Dalam pertarungan yang epik itu, Narji akhirnya gugur, tetapi ia telah memberikan cukup waktu bagi keluarganya untuk melarikan diri.
Di desa terpencil itu, Rusdianto dan Sari bersembunyi dengan hati yang penuh kesedihan dan kemarahan. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, dan Fuad yang masih bayi akan tumbuh dengan tekad untuk menuntut balas atas kematian ayahnya.
"Kita akan membesarkan Fuad menjadi pejuang yang kuat," kata Rusdianto dengan suara tegas.
Sari mengangguk, matanya memandang bayi yang ada di pelukannya. "Fuad akan membalas dendam ayahnya. Dia akan mengembalikan kejayaan keluarga Spartan."
10 Tahun Kemudian
Fuad tumbuh menjadi anak yang cerdas dan tangkas. Di usianya yang ke-10, dia sudah menunjukkan bakat luar biasa dalam bertarung dan strategi. Namun, ada sesuatu yang selalu dirasakan Fuad, meskipun tak pernah diucapkan oleh ibunya, Sari, atau ayah tirinya, Rusdianto.
Di desa terpencil yang kini mereka sebut rumah, Fuad hidup dengan rasa penasaran yang terus-menerus. Siapa dirinya sebenarnya? Mengapa mereka selalu tampak waspada dan terjaga?
Suatu malam, setelah berlatih pedang dengan Rusdianto, Fuad duduk di dekat api unggun, menatap nyala api yang menari. Rusdianto mendekatinya dengan wajah serius.
"Fuad, ada sesuatu yang penting yang harus kau pelajari. Besok, kau akan mengikuti ujian yang sangat berat. Kau siap?" tanya Rusdianto.
Fuad mengangguk antusias. "Aku siap, Ayah. Apa pun itu, aku akan melakukannya."
Malam itu, Rusdianto membius Fuad, membuatnya tak sadarkan diri. Fuad terbangun dengan kepala yang masih berdenyut di tengah hutan yang asing. Matahari sudah tinggi, dan dia hanya berbekal pedang kecil di pinggangnya.
"Dimana aku?" gumamnya kebingungan. Ia berusaha mengingat bagaimana bisa berada di sini, namun tak ada petunjuk.
Fuad berusaha untuk tetap tenang. Ia ingat semua pelajaran yang diberikan Rusdianto tentang bertahan hidup di alam liar. Sambil melangkah hati-hati, ia mengamati sekelilingnya, mencari tanda-tanda kehidupan atau bahaya.
Tiba-tiba, dari semak-semak, muncul seekor harimau besar dengan mata yang tajam dan penuh kelaparan. Fuad mundur perlahan, mencoba tidak membuat gerakan yang terlalu mendadak. Namun, harimau itu sudah bersiap untuk menerkam.
Fuad mengingat ajaran Rusdianto, "Jika kau menghadapi binatang buas, jangan lari. Berdirilah tegak dan tatap matanya." Ia menggenggam pedangnya erat-erat dan berdiri tegak, menatap harimau dengan penuh keberanian.
Harimau itu melangkah maju, menggeram dengan suara yang menggetarkan nyali. Fuad menahan napas, menunggu saat yang tepat. Ketika harimau itu melompat, Fuad bergerak cepat ke samping dan menebaskan pedangnya, melukai harimau di sisi tubuhnya.
Harimau mengaum kesakitan dan mundur sejenak. Fuad tahu ini adalah kesempatan langka. Ia segera memanjat pohon terdekat, mencari tempat yang aman untuk sementara. Dari atas pohon, ia melihat harimau yang masih berusaha mencapainya, namun tampaknya sudah mulai kelelahan.
"Sabar... tunggu saat yang tepat..." pikir Fuad sambil memperhatikan gerakan harimau itu. Ketika harimau tampak lebih lemah dan kehilangan semangat, Fuad turun perlahan, siap untuk pertempuran terakhir.
Dengan tenang, ia mendekati harimau yang sekarang tampak lebih defensif. Fuad mengarahkan pedangnya dengan hati-hati dan dengan satu gerakan cepat, ia berhasil menusuk harimau di tempat yang vital. Harimau itu mengaum terakhir kali sebelum terjatuh tak berdaya.
Fuad terduduk kelelahan, napasnya terengah-engah. Ia menatap binatang besar itu dengan perasaan campur aduk antara takut, lega, dan bangga. Baru pertama kali dalam hidupnya ia bertarung dengan binatang buas dan selamat.
Saat hari mulai beranjak sore, Fuad mencari jalan keluar dari hutan itu. Dia terus berjalan sampai menemukan sebuah jalan kecil yang tampak sering dilalui. Dengan mengikuti jalan itu, dia akhirnya tiba di sebuah perkampungan kecil.
Di perkampungan itu, ia bertemu dengan seorang lelaki tua yang tampak bijaksana. "Anak muda, dari mana kau berasal?" tanya lelaki tua itu.
"Aku terbangun di hutan itu tanpa tahu bagaimana bisa sampai di sana. Namaku Fuad," jawabnya.
Lelaki tua itu tersenyum samar. "Kau adalah anak yang luar biasa. Mari, kuantar kau pulang."
Fuad mengikuti lelaki tua itu dengan hati-hati. Di sepanjang jalan, lelaki tua itu bercerita tentang hutan dan binatang-binatang di dalamnya, memberikan Fuad pelajaran berharga tentang alam.
Ketika mereka sampai di tepi desa, Fuad melihat Sari dan Rusdianto menunggunya dengan cemas. Fuad berlari dan memeluk mereka, merasa lega bisa kembali.
"Aku berhasil, Ayah, Ibu. Aku bertahan," kata Fuad dengan senyum bangga.
Rusdianto memeluk Fuad erat-erat. "Kau telah lulus ujianmu, Fuad. Kau lebih kuat dari yang kau kira."
Sari tersenyum dengan air mata bahagia. "Kau adalah anak yang luar biasa. Kami sangat bangga padamu."