Malam itu, di hutan yang gelap dan dingin, Fuad terjaga sementara adik-adiknya, Ironi dan Rusdijoe, tertidur lelap di samping ibunya, Sari. Mereka berlindung di dalam gua kecil, jauh dari kekacauan desa yang diserang. Fuad duduk di dekat api kecil yang berkelap-kelip, pikirannya penuh dengan kekhawatiran tentang ayah tirinya, Rusdianto, yang masih bertarung di desa.
Saat fajar menyingsing, suara langkah kaki dan bisikan-bisikan terdengar dari luar gua. Fuad segera berdiri, pedangnya terhunus, siap untuk melindungi keluarganya.
"Sari, ini aku," terdengar suara familiar dari luar gua. Fuad mengenali suara itu sebagai suara Rusdianto. Ia merasa lega dan segera memanggil ibunya.
"Ibu, Ayah sudah kembali," katanya sambil berlari keluar.
Namun, saat mereka keluar dari gua, pemandangan yang mengerikan menanti mereka. Rusdianto datang dengan tubuh penuh luka dan darah, dipapah oleh beberapa penduduk desa yang selamat. Sari berlari ke arahnya, air mata mengalir deras di wajahnya.
"Rusdianto, apa yang terjadi?" tangis Sari.
Rusdianto tersenyum lemah. "Aku berhasil menghentikan mereka sementara... tapi kita harus pergi jauh dari sini."
Mereka semua tahu bahwa ini adalah saat-saat yang kritis. Dengan cepat, mereka mengemasi barang-barang yang bisa dibawa dan memulai perjalanan menuju tempat yang lebih aman. Fuad membantu ayah tirinya yang terluka, sementara Sari menggenggam tangan Ironi dan Rusdijoe dengan erat.
Di tengah perjalanan melalui hutan, mereka mendengar suara-suara yang menandakan kedatangan pasukan Ngawi Empire. Fuad segera merasakan bahaya mendekat. Ia memandang Rusdianto dengan cemas.
"Ayah, mereka datang," bisik Fuad.
Rusdianto mengangguk, meskipun terlihat jelas ia sudah kelelahan dan terluka parah. "Kita harus bertahan. Lindungi adik-adikmu, Fuad."
Saat itu, sekelompok prajurit Ngawi Empire muncul dari balik pepohonan, mata mereka memancarkan kebencian. Tanpa memberi kesempatan, mereka menyerang dengan brutal. Fuad berdiri di depan keluarganya, melawan para prajurit dengan segala kekuatannya.
Pertarungan sengit terjadi. Fuad berusaha sekuat tenaga untuk menangkis setiap serangan, tetapi jumlah musuh yang banyak membuatnya kewalahan. Di tengah pertarungan, ia melihat salah satu prajurit menargetkan Sari, Ironi, dan Rusdijoe yang berusaha berlindung di belakang pohon.
"Tidak! Jangan!" teriak Fuad, mencoba mencapai keluarganya, tetapi terhalang oleh prajurit lainnya.
Dengan satu tebasan brutal, prajurit itu menebas Sari. Tubuhnya terjatuh ke tanah dengan darah yang mengalir deras. Ironi dan Rusdijoe berteriak ketakutan, tetapi tidak ada ampun bagi mereka. Prajurit itu dengan kejam menyerang, mengakhiri nyawa kedua anak kecil itu di depan mata Fuad.
"Tidaaak!!!" jerit Fuad dengan suara parau, merasakan sakit yang tak tertahankan di hatinya. Ia berusaha sekuat tenaga, tetapi terlambat untuk menyelamatkan mereka.
Rusdianto, yang melihat keluarganya dibantai, mencoba bangkit dengan sisa-sisa kekuatannya. "Tidak! Jangan...!" Tetapi luka-luka di tubuhnya terlalu parah. Dalam usaha terakhirnya, ia mencoba menyerang prajurit itu, tetapi ditebas tanpa ampun, jatuh di sisi Sari dan anak-anaknya.
Fuad jatuh berlutut, memandang mayat ibu, adik-adiknya, dan ayah tirinya dengan perasaan hancur. Dunia seolah runtuh di hadapannya, rasa kehilangan yang mendalam mengisi setiap sudut hatinya.
di pipi Fuad, tetapi rasa sakit segera berubah menjadi amarah yang membara. Ia mengangkat pedangnya dengan tangan yang gemetar, tetapi penuh dengan kebencian dan tekad.
"Kalian akan membayar untuk ini..." desis Fuad dengan suara yang penuh kebencian.
Dengan kecepatan dan kekuatan yang tak terduga, Fuad menyerang prajurit-prajurit Ngawi Empire. Setiap tebasan pedangnya penuh dengan kemarahan dan rasa dendam. Satu per satu prajurit jatuh di bawah serangannya, tidak ada yang bisa menahan kekuatan penuh kemarahan seorang anak yang kehilangan segala-galanya.
Prajurit-prajurit itu mencoba melawan, tetapi mereka tidak siap menghadapi amukan Fuad. Dengan gerakan yang lincah dan tak terduga, Fuad menghindari serangan mereka dan membalas dengan tebasan mematikan.
"Kalian semua akan mati!" teriak Fuad, suaranya menggema di hutan.
Fuad tidak berhenti sampai semua prajurit Ngawi Empire tergeletak tak bernyawa di sekelilingnya. Nafasnya terengah-engah, tubuhnya penuh dengan darah – darah musuh-musuhnya. Ia berdiri di tengah-tengah mayat dengan hati yang masih dipenuhi kemarahan.
Namun, saat adrenalin mulai mereda, rasa sakit dan kehilangan kembali menghantamnya. Fuad jatuh berlutut di samping tubuh ibu, adik-adiknya, dan ayah tirinya. Ia menangis tanpa henti, meratapi kehilangan yang begitu besar.
"Ayah, Ibu, Ironi, Rusdijoe... maafkan aku. Aku tidak bisa melindungi kalian..." bisik Fuad dengan suara parau.
Setelah beberapa saat, Fuad bangkit dengan berat hati. Ia tahu bahwa ia tidak bisa tinggal di sini selamanya. Dengan langkah tertatih-tatih, ia mulai menggali tanah untuk menguburkan keluarganya. Setiap sekop tanah yang ia pindahkan terasa seperti beban di hatinya.
Setelah menguburkan mereka dengan hormat, Fuad berdiri di depan makam sederhana itu, mengucapkan doa terakhir. "Aku berjanji akan membalaskan kematian kalian. Ngawi Empire akan membayar untuk apa yang mereka lakukan. Aku tidak akan berhenti sampai keadilan ditegakkan."
Fuad berlutut di depan jasad keluarganya yang terbaring tak bernyawa di tengah reruntuhan rumah mereka. Air mata tak terbendung mengalir di pipinya saat ia menatap wajah-wajah yang dulu penuh kehangatan kini terbaring dingin di depannya.
"Ibu, Ayah, Ironi, Rusdijoe... Maafkan aku," bisiknya dengan suara gemetar, tangannya gemetar saat ia mencoba menyentuh wajah mereka yang sudah tidak bergerak lagi.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti keabadian, Fuad bangkit dengan tekad yang membara di dalam dadanya. Dia tahu apa yang harus dilakukan. Dengan hati yang penuh dengan kesedihan namun juga keberanian, ia mulai menguburkan jasad keluarganya di halaman belakang rumah mereka.
Setelah proses penguburan selesai, Fuad berdiri di tengah-tengah halaman yang sekarang dipenuhi dengan kuburan sementara. Matanya memandang ke langit yang mendung, mencari kekuatan dan petunjuk dalam kehampaan yang menyelimuti hatinya.
Tiba-tiba, pandangannya tertuju pada peti kayu kecil di samping makam ayahnya. Dengan langkah gontai, ia mendekatinya dan membuka peti itu. Di dalamnya, terletak zirah, pedang, dan helm ayahnya.
Fuad meraih zirah besi yang berat dan mengkilap, merasakan kekuatan yang mengalir melalui jarinya saat ia mengenakannya. Pedang ayahnya, yang dulu selalu menyertainya dalam perjalanan-perjalanan mereka, kini menjadi miliknya. Dan helm Sparta yang megah itu menutupi wajahnya, memberinya penampilan yang menakutkan namun juga penuh dengan keberanian.
"Ngawi Empire..." desis Fuad dengan suara penuh kemarahan, matanya yang penuh dengan air mata tertutup rapat oleh helm yang digenggamnya. "Aku akan menghancurkanmu!"
Dengan langkah mantap, Fuad meninggalkan kuburan keluarganya, pedangnya terhunus di tangan kanannya dan tekad yang membara di dalam hatinya. Ia tahu bahwa perjalanan epiknya baru saja dimulai, dan ia siap untuk menghadapi segala rintangan yang akan menghadang di depannya.
Dengan zirah, pedang, dan helm ayahnya yang menjadi warisannya, Fuad Spartan bersiap untuk melawan tirani Ngawi Empire, membawa dendam dan keadilan bagi keluarganya yang tercinta. Dan di dalam helm yang menutupi wajahnya, matanya memancarkan kebencian yang membara, siap untuk menuntut balas atas segala penderitaan yang telah ia alami.
Petualangan epik Fuad Spartan telah dimulai, dan dunia akan segera mengetahui keberanian dan ketangguhannya.