Pagi hari di kamp tentara bayaran selalu dimulai dengan dentang pedang yang saling beradu dan derap kaki yang berlari di tempat latihan. Harrys yang tertidur, membuka matanya dengan berat. Dia tahu apa yang menunggunya.
"Ayo, bangunlah nak!." Suara Gandalf menggema di tenda kecil Harrys.
"Cepat, kita akan memulai latihannya, aku akan menunggumu di tempat pelatihan." Gandalf berkata dengan tegas dan penuh semangat, kemudian keluar dari tenda Harrys, menuju tempat pelatihan.
Harrys menghela nafas dan bangkit dari tempat tidurnya.
"Ya, baiklah," jawab Harrys dengan suara serak, masih terbawa kantuk. Ia berjalan ke ember di dekat pintu tenda, menciduk air dengan kedua tangannya, lalu membasuh wajahnya untuk membersihkan sisa-sisa tidur. Setelahnya, ia segera menuju lapangan tempat latihan, menyusul Gandalf.
"Bagus. Ambil pedang ini dan ayunkan seratus kali setiap hari untuk memperkuat tanganmu," kata Gandalf, menyodorkan pedang dengan senyum tipis.
"Seratus kali!?" Harrys, yang masih setengah sadar, terperanjat mendengar instruksi itu.
"Jangan buang waktumu untuk bermalas-malasan! Cepat mulai!" ujar Gandalf sambil menepuk punggung Harrys, menyerahkan pedang kepadanya.
Harrys hanya bisa mengangguk pelan sambil menerima pedang yang diberikan Gandalf. Ia mencoba mengangkatnya, tetapi segera merasakan beban yang cukup berat. Untuk anak seusianya yang baru berumur dua belas tahun, pedang itu terasa terlalu besar dan sulit dikendalikan. Namun, ia tetap menggenggamnya erat, berusaha menyesuaikan diri dengan bobotnya.
"Satu!..... Dua!... Tiga!..." Gandalf menghitung dengan suara keras, memastikan Harrys tidak melewatkan 1 ayunan.
Matahari sudah tinggi di atas kepala, sinarnya membakar tubuh Harrys yang basah oleh keringat. Napasnya tersengal-sengal, dadanya naik turun dengan cepat, tetapi akhirnya ia berhasil menyelesaikan seratus ayunan pedang. Melihat itu, Gandalf mengangguk puas lalu memberinya jeda untuk beristirahat. Ia menyodorkan makanan kepada Harrys, membiarkannya memulihkan tenaga sebelum melanjutkan latihan berikutnya.
Ditengah-tengah makan siang. Tiba-tiba Gandalf memukul meja dengan keras!
"Ya!... Sekarang kita lanjut ke latihan berikutnya! Cepat habiskan makananmu dan temui aku di bukit!" kata Gandalf tegas.
Harrys, yang masih mengunyah roti, terkejut dengan perintah itu. Ia bergegas menelan makanannya, lalu segera bersiap untuk menyusul Gandalf ke bukit.
"J-Jadi... apa latihan selanjutnya?" tanya Harrys dengan napas tersengal.
"Heheh... Kau harus berlari ke bawah dan kembali ke sini sebanyak 50 kali," ujar Gandalf dengan senyum yang tak berubah.
"Hah!?!" Harrys terperanjat. Tubuhnya yang masih lelah setelah latihan sebelumnya terasa semakin berat.
"Mengayunkan pedang 100 kali rasanya jauh lebih mudah dibanding ini..." keluhnya dengan ekspresi putus asa.
"Latihan ini untuk meningkatkan stamina agar kau tidak kelelahan saat bertarung nanti!" seru Gandalf lantang, masih dengan senyum khasnya.
Dalam hati Harrys, dia berkata. "Sialan. Orang tua ini ternyata sangat kejam dari yang kubayangkan sebelumnya. Tapi apa boleh buat. Aku harus segera menyelesaikannya agar cepat ke latihan selanjutnya."
Harrys hanya bisa mengangguk pasrah. Ia mulai melakukan pemanasan sebelum menuruni bukit dan berlari kembali ke puncak. Setelah selesai, ia mengambil napas dalam-dalam lalu meluncur turun dengan hati-hati. Namun, begitu mencapai dasar bukit, keseimbangannya hilang, dan ia tersungkur ke tanah.
"Hahah... Apa yang kau lakukan bodoh." Ucap Gandalf sembari tertawa melihat Harrys tersungkur.
"Tcih... Sialan." Harrys perlahan bangkit, lalu menepuk-nepuk bajunya yang kotor akibat jatuh tadi. Dengan napas yang masih berat, ia kembali bersiap. Kali ini, tekadnya membara. Ia mulai berlari menaiki bukit, seakan ada aura panas yang memancar dari tubuhnya. Setiap langkah yang ia ambil menjadi bukti bahwa ketahanannya semakin berkembang.
Matahari mulai tenggelam, mewarnai langit dengan semburat jingga. Keringat mengucur deras di wajahnya, napasnya berat dan terengah-engah. Namun, dengan tekad yang membara dan ambisi untuk menjadi kuat, Harrys berhasil menyelesaikan 49 putaran!
"Hufth.... Hufth.... T-tinggal 1 putaran lagi." gumam Harrys dengan napas tersengal. Setelah sempat berlutut kelelahan, ia kembali bangkit dan berusaha menyelesaikan putaran terakhir.
Gandalf yang mengamati Harrys bisa merasakan aura kuat yang terpancar darinya, jauh lebih besar dibandingkan sebelum ia memulai latihan.
"Anak ini sudah jauh berbeda dari sebelumnya. Aura dan kekuatannya meningkat pesat, bahkan lebih besar dibandingkan beberapa prajurit di sini. Mungkin, bahkan seorang anak bangsawan pun bisa kalah jika bertarung dengannya. Aku yakin itu."
Dengan napas yang tersengal dan tubuh yang nyaris kehabisan tenaga, Harrys akhirnya berhasil menyelesaikan putaran terakhirnya. Kakinya terasa berat, setiap langkah seperti menapaki tanah yang menelan kekuatannya. Keringat membasahi seluruh tubuhnya, mengalir deras dari dahinya hingga membasahi bajunya yang sudah penuh debu.
"Bagus." Ucap Gandalf setelah Harrys menyelesaikan putaran tarkhirnya.
Sesampainya di puncak bukit, ia terjatuh berlutut, tangannya bertumpu pada tanah, berusaha mengatur napasnya yang memburu. Dadanya naik turun cepat, seolah paru-parunya berteriak meminta udara lebih banyak. Tapi di balik rasa lelah yang luar biasa, ada kepuasan yang mengalir dalam dirinya. Ia menatap ke depan, ke cakrawala yang mulai dihiasi warna jingga matahari terbenam, lalu mengepalkan tangannya.
"Aku... berhasil..." gumamnya pelan, tapi penuh tekad.
Cahaya matahari perlahan menghilang, digantikan oleh sinar bulan dan bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit malam. Udara mulai terasa lebih dingin, tetapi semangat Harrys belum padam. Meskipun tubuhnya sudah lelah dan napasnya masih berat, ia tahu bahwa latihannya belum selesai. Masih ada dua tahap lagi yang harus ia lewati sebelum malam ini berakhir.
"Ini waktu istirahat kedua, Nak. Latihan berikutnya akan berfokus pada penguatan ototmu. Jadi, segera turun, makan yang cukup, dan minum air sebanyak mungkin," kata Gandalf sambil menikmati beberapa buah pir.
"Haha... Terima kasih, Kek! Aku benar-benar lapar setelah latihan gila yang kau berikan," ujar Harrys sebelum meluncur menuruni bukit dan berlari menuju tenda.
Tanpa ragu, ia melahap roti, daging sapi, dan rusa dengan lahap, seperti binatang buas yang kelaparan. Setelah mengisi perutnya hingga kenyang, ia bersendawa keras, lalu segera berlari kembali ke bukit untuk melanjutkan latihan.
"Kek? Hmm... ke mana orang tua itu?" gumamnya kebingungan mencari Gandalf.
"Aku di sini, bodoh!" suara Gandalf terdengar dari sisi lain bukit. Mendengar itu, Harrys segera berseluncur turun.
"Hufft... Jadi, latihan seperti apa yang bisa memperkuat otot? Seingatku, Ayah bilang mencangkul dan mengangkat keranjang berisi anggur bisa memperkuat otot," kata Harrys.
"Haha... Itu memang benar, tapi latihan ini bukan hanya memperkuat, tapi juga memperbesar otot," ujar Gandalf dengan senyum tipis. Ia lalu memperlihatkan beberapa prajurit yang tengah berlatih, mendorong dan menarik batu besar, mengangkat batang kayu, melakukan squat dengan beban kayu di pundak, serta push-up dengan batu besar di punggung.
"S-sial... Sepertinya aku akan mati," gumam Harrys dengan wajah pucat. Ia menelan ludah dan mulai berkeringat saat melihat latihan berat yang dilakukan para prajurit.
Namun, dengan tekad untuk menjadi lebih kuat, Harrys akhirnya mencoba menarik tali yang terikat pada batu sebesar tubuhnya. Berkali-kali ia mencoba, namun batu itu tak bergeming. Keringat mengalir deras, wajahnya pucat, dan urat-uratnya menonjol saat ia terus berusaha sekuat tenaga.
Setelah beberapa kali gagal, sesuatu dalam dirinya mulai bangkit. Tubuhnya kembali memancarkan asap dan aura panas. Nafasnya pun mengeluarkan uap, seakan ada kekuatan baru yang mengalir dalam dirinya.
"Aura ini!?.... " Gandalf yang terkejut kembali melihat dan merasakan aura kuat yang terpancar dari tubuh Harrys.
"Anak ini mempunyai potensi yang besar." Ucap Gandalf.
Bocah berusia 12 tahun itu berjuang mati-matian untuk menggerakkan batu tersebut. Namun, meski sudah mengerahkan seluruh tenaganya, batu itu tetap tak bergeming.
Frustrasi, Harrys mengerahkan sisa kekuatannya. Dengan tangan yang berdarah dan bergetar, ia menarik tali sekuat mungkin sambil berteriak keras, seolah menyalurkan seluruh tekadnya dalam satu tarikan.
"Siaaal...!"
Tiba-tiba, asap yang keluar dari mulut Harrys berubah menjadi api. Seketika, adrenalin dan kekuatannya melonjak drastis. Dengan tangan yang berlumuran darah, ia perlahan mulai menggerakkan batu itu, sedikit demi sedikit, membuktikan bahwa batasannya telah terpatahkan.
Napas Harrys tersengal-sengal, seperti seseorang yang kehabisan udara. Dengan tubuh yang bergetar, ia menatap tangannya yang berlumuran darah, lalu perlahan menoleh ke belakang.
"Akhirnya!..... Akhirnya aku bisa menggerakkan batunya!"
Gandalf tertawa kagum saat menyaksikan kemampuan Harrys yang luar biasa.
"Hahaha... Kau berhasil, Nak! Aku benar-benar kagum pada kemampuanmu," ujar Gandalf sambil tertawa, lalu mengusap kepala Harrys dengan bangga.
"Baiklah, kita sudahi latihan ini. Selanjutnya, kita akan berlatih menguasai api milikmu," ujar Gandalf. Ia kemudian mengajak Harrys menuju padang rumput yang terletak agak jauh dari kamp.
"Kenapa latihannya harus di sini?" tanya Harrys dengan wajah kebingungan.
Dengan hembusan angin yang menerpa dan suara sungai yang mengalir di kejauhan, Gandalf mulai menyusun beberapa batang kayu sebagai target latihan.
"Sial, dia tidak menjawabku," gumam Harrys kesal karena Gandalf mengabaikan pertanyaannya.
"Baiklah, nak. Sekarang tunjukkan kekuatan apimu dan hancurkan kayu itu," perintah Gandalf.
"Baik," jawab Harrys sambil mengangkat kedua tangannya. Perlahan, tangannya memerah dan mulai mengeluarkan asap dari sela-sela jarinya. Api kecil pun mulai muncul di telapak tangannya.
"Berkonsentrasi... Alirkan semua energimu ke ujung tanganmu. Saat tanganmu terasa berat, lepaskan energinya ke arah target," ujar Gandalf sambil mengawasi dengan saksama.
Angin berhembus kencang, membuat rumput bergoyang liar. Harrys memejamkan mata, mengumpulkan seluruh konsentrasinya.
"Konsentrasi... Konsentrasi... Tanganku mulai terasa berat..." pikirnya dalam hati. Api di tangannya perlahan membesar.
"Sedikit lagi..." Harrys tiba-tiba membuka matanya dan melepaskan energi yang terkumpul di tangannya. Bola api melesat dengan kecepatan tinggi, menciptakan tekanan udara yang begitu kuat. Dalam hitungan detik, bola api itu menghantam target dan meledak dengan dahsyat, menciptakan gelombang panas yang menyapu area sekitarnya.
Gandalf, yang berdiri cukup dekat dengan target, terkejut bukan main. Tubuhnya menegang, kata-katanya tercekat di tenggorokan.
"Apa...? Tekanan hembusannya seperti palu besi yang dilempar dengan kekuatan penuh... Dan ledakan itu... setara dengan lima dinamit yang meledak bersamaan. Sungguh mengerikan..." pikirnya sambil menatap Harrys dengan mata terbelalak dan keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Namun, di balik keterkejutannya, Gandalf tersenyum kagum.
"Baiklah... Kau telah berkembang pesat, Harrys. Aku akui kekuatanmu. Tapi ingat, latihan ini bukan hanya untuk memperkuat fisikmu, tetapi juga mentalmu. Sekarang, latihan hari ini selesai. Pergilah beristirahat," ucap Gandalf dengan nada lebih lembut.
Mendengar itu, Harrys menghela napas lega.
"Baiklah kalau begitu, aku akan langsung tidur," katanya dengan senyum puas sebelum berjalan menuju tendanya.
Malam itu, di bawah langit yang bertabur bintang, Harrys tidur nyenyak, sementara Gandalf masih termenung, memikirkan betapa luar biasanya bocah itu.
Di depan api unggun, Gandalf seolah tidak percaya akan kekuatan anak itu yang begitu besar sampai-sampai membuatnya berfikir keras, bagaimana dia bisa memiliki kekuatan yang setara dengan 5 ledakan Dinamit.
Api unggun menyala begitu tenang. Gandalf duduk dengan mata menerawang ke dalam kobaran api. Sesekali ia menghela napas dalam, seolah mencoba memahami apa yang baru saja ia saksikan.
"Kekuatan bocah itu... bukanlah sesuatu yang biasa," gumamnya dalam hati.
"Bahkan para petarung terbaik pun butuh bertahun-tahun untuk mencapai tingkat kekuatan seperti itu."
Gandalf melirik ke arah tenda kecil tempat Harrys tertidur. Ia bisa mendengar napas bocah itu yang masih sedikit terengah-engah akibat latihan berat sepanjang hari.
"Dalam dirinya, ada sesuatu yang lebih dari sekadar bakat," lanjutnya. "Seperti... kekuatan yang terpendam, atau mungkin sesuatu yang diwarisi?"
Angin malam bertiup lembut, membuat api unggun berkedip-kedip. Seorang prajurit mendekat dan duduk di sebelah Gandalf.
"Dia anak yang berbakat. Tapi, apa kau yakin bisa mengendalikannya? Kekuatannya... menakutkan," ujar prajurit itu yang ikut menyaksikan kemampuan Harrys.
Gandalf menghela napas panjang sebelum menjawab.
"Bakat yang besar juga membawa risiko yang besar. Jika dia tidak bisa mengendalikan kekuatannya, dia bisa menjadi senjata yang menghancurkan segalanya... termasuk dirinya sendiri."
Prajurit itu mengangguk.
"Kau harus hati-hati, Gandalf. Kau tahu bagaimana dunia ini bekerja. Banyak orang di luar sana yang akan mengincarnya jika mereka tahu tentang kekuatannya."
Gandalf hanya tersenyum tipis.
"Justru itulah sebabnya aku harus melatihnya. Aku ingin dia menjadi cukup kuat untuk melindungi dirinya sendiri... dan orang-orang yang dia sayangi."
Malam semakin larut. Api unggun mulai meredup, menyisakan cahaya jingga yang temaram. Gandalf berdiri, merentangkan tubuhnya yang lelah, lalu melangkah menuju tendanya.
"Satu hal yang pasti," katanya pelan. "Harrys bukan anak biasa. Dia mungkin saja akan menjadi seseorang yang mengubah dunia."
Di dalam tendanya, Harrys terbaring dengan tubuh penuh keringat dan otot-otot yang masih terasa nyeri. Namun, di balik kelelahan itu, ada api semangat yang terus menyala dalam dirinya.
Dan itu... baru permulaan.