Setelah melalui perjalanan yang mengesankan,aku pun sampai dirumah kakek. Rumah yang agak jauh dari jalan raya dan terletak di dekat hutan. Aku turun dari mobil dan berlari menghampiri kakek yang sedang duduk di taman depan. Kakek menyambutku sambil tertawa.
"Dabro pozhalovat', malen'kaya printsessa. Bagaimana perjalananmu?" aku duduk disamping kakekku sembari meluruskan lutut.
"Seru sih kek. Tapi,dia membosankan sekali. Dia sama sekali tidak pernah mengajakku bicara kek. Kenapa kakek memilihkanku butler jelmaan patung lilin seperti dia." Kataku sambil menunjuk Felix.
Kakek yang mendengarkan kata – kata ku yang tanpa jeda ini pun tertawa. Aku mengerucutkan bibirku karena kesal. Dan pengawal yang lain pun ikut tertawa walaupun sekilas.
"Kakek jangan menertawakanku. Oh iya,nenek dimana kek?" aku mencari sosok yang sangat aku rindukan saat ini.
"Nenekmu ada di dapur. Dia sibuk membuatkan makanan yang special untuk cucu kesayangannya. Jangan diganggu dulu,nanti nenekmu ngamuk – ngamuk lho." "I don't care, grandpa. Bye bye."
Aku berlari menuju dapur yang terletak di samping rumah. Rumah kakekku memang unik. Aku sangat menyukai desain dan tatanan ruangnya. Aku melihat nenekku yang sedang membuat pai buah kesukaanku. Ide jahil pun muncul. Aku mengendap – endap dibelakang nenekku dan berusaha untuk mengejutkan nenekku.
Tapi tiba – tiba nenekku membalikkan badan sambil berteriak. Aku pun terkejut. Nenekku tertawa terbahak – bahak melihatku yang masih terkejut.
"Nenekkkkk. Kenapa malah nenek yang ngagetin Zizi. Harusnya kan Zizi yang ngagetin nenek." Aku masih tidak terima dengan perlakuan nenek kepadaku tadi.
"Habisnya kamu dulu selalu mengejutkan nenek sih. Jadi sekarang ganti nenek yang mengejutkan kamu. Ya sudah,sini nenek minta maaf." Aku pun memeluk nenek.
Memang,aku ini cucu yang paling manja diantara semua cucu nenek. Yah,karena aku anak tunggal. Ditambah lagi aku cucu paling kecil di sini. Dan semua kakak sepupuku itu laki – laki. Jadi seperti seorang putri yang dijaga oleh pangeran – pangeran di negeri dongeng.
"Bagaimana perjalananmu kemari? Apakah Felix menjagamu dengan baik? Bagaimana kabar papa dan mamamu? Mereka baik – baik saja kan?" aku mengerucutkan bibirku mendengar pertanyaan nenek yang tidak ada habisnya.
"Nenek,kalau tanya satu – satu dulu dong. Zizi kan bingung jawabnya. Seru kok perjalanannya. Felix orangnya membosankan nek. Dia diam terus seperti patung lilin. Untung saja aku orangnya sabar. Papa sama Mama sehat kok nek. Cuma ya seperti biasa. Mereka selalu sibuk. Oh iya. Yang lain kemana nek?" aku mencari keberadaan manusia – manusia yang sering menjahiliku.
"Syukurlah kalau begitu. Maksud kamu kakak – kakakmu? Mereka mungkin sampai sini besok siang. Tumben kamu mencari mereka. Biasanya kamu paling menghindari yang namanya bertemu dengan mereka." Iya juga ya. Biasanya aku akan menghindar karena mereka sering sekali menjahiliku.
Tapi entah kenapa tiba – tiba saja aku merindukan mereka. "Entahlah Nek. Aku Cuma merindukan mereka." Aku mendengar kakek tertawa dari luar dapur.
"Apa kakek tidak salah dengar. Kamu rindu mereka? Mungkin besok kamu akan menyesali kata – katamu itu, printsessa." Aku memandang kesal ke arah kakek yang sedang menggodaku. Nenek hanya menggeleng – gelengkan kepalanya melihat kakekku yang senang membuatku kesal. Nenek menyuruhku pergi ke kamar untuk istirahat dan mandi karena sebentar lagi akan makan malam. Aku menuruti perintah nenek dan menaiki tangga menuju kamarku.
Aku membuka pintu kamarku,isinya masih sama seperti dua tahun lalu. Kamar dengan warna dominan biru gelap dan bahkan rata – rata semua barangku berwarna biru. Ku rerebahkan tubuhku di kasur karena lelah dan tanpa ku sadari, aku terlelap menuju alam mimpi. Tak lama kemudian aku merasa ada seseorang yang naik ke kasurku. Mulanya aku mengabaikan hal itu karena aku mengira kalau itu hanyalah mimpi.
Tetapi, tiba – tiba ada tangan yang mengapit hidungku sehingga aku tidak bisa bernafas. Aku refleks membuka mata dan menggerakkan tanganku untuk memukul orang tersebut. Kemudian aku meraih pistol yang kuletakkan di atas nakas.
Ketika hendak menarik pelatuknya,tiba – tiba orang itu berteriak. "Hei, Zizi. Kau mau menembak kakak kesayanganmu ini ya?" aku yang mendengar hal itu pun terkejut dan segera menyalakan lampu kamar. Dan ternyata dia adalah salah satu dari empat kakak sepupuku.
"Edward?" aku berusaha mengenali orang didepanku itu. Tapi agak sedikit lupa karena sudah lama tidak melihatnya. Dia mengerutkan dahi karena Zizi salah menyebut namanya.
"Zizi, are you forget my name? Oh, c'mon. Aku bukan Edward." Aku menggaruk belakang kepalaku yang tidak gatal. Memang,aku agak sedikit lupa dengan wajah mereka.
Aku berusaha berpikir lagi dan menebak – nebak. Dan akhirnya,aku mengingatnya. "Oh iya,kamu Erich ya. I'm sorry. Kan Zizi sudah lama tidak bertemu dengan Erich. Lagipula,biasanya Edward yang menjahiliku." Erich menyilangkan tangan didepan dada sambil menatapku dengan tatapan kesal. Aku hanya nyengir melihat dia kesal kepadaku.
"Jadi,kamu tidak mau minta maaf dan memeluk kakakmu ini hah?" aku pun tertawa dan mendatangi Erich lalu memeluknya. Tapi sebelum bisa menyentuh Erich,tiba – tiba tubuhku diangkat oleh seseorang.
"Zizi itu adik kesayanganku. Kamu jangan coba – coba untuk mengambilnya,Er." Aku menoleh,ternyata dia adalah Edward.
Spontan aku langsung memeluk leher Edward dengan erat sehingga aku hampir membunuhnya. Erich yang melihat hal itu hanya tertawa terbahak – bahak. Aku langsung tersadar dan melepaskannya.
"Zi,apa kamu mau mencoba membunuhku sekarang." Dia berkata seolah – olah menghakimiku.
"Hehehe, i'm sorry Ed. Habisnya aku sudah lama aku tidak bertemu denganmu. Aku bukan Zizi yang bisa kamu jahili Ed. Jadi,jika kamu menjahiliku lagi aku akan serius membunuhmu." Edward memutar bola matanya dan menuju sofa dekat jendela. Dia mengabaikan ancaman yang kukatakan kepadanya. Aku menghentakkan kaki karena kesal dengan kelakuan Edward.
"Erich,kok kamu sudah sampai disini. Kata kakek kamu akan sampai sini besok siang. Dan tumben kamu akur dengan si bodoh ini." Kataku sambil menunjuk Edward.
"Hei,siapa yang bodoh?" Edward merasa tidak terima dan mulai menggelitikiku. Aku berlindung di belakang Erich sambil mengejeknya.
"Sudahlah Ed. Jangan menjahilinya terus. Dia sedang lelah sekarang." Akhirnya Erich memihakku lagi. "Jangan mengasihani dia terus Er. Dia akan semakin manja. Lihatlah,sekarang dia menjulurkan lidah kepadaku. Dasar adik tidak sopan." Erich hanya menggeleng – gelengkan kepalanya melihat tingkah kedua adiknya ini.
"Pekerjaanku sudah selesai dua hari yang lalu. Karena aku ingin segera bertemu dengan adikku yang paling manja ini. Dan si bodoh ini tiba – tiba ingin ikut berangkat denganku. Padahal tadinya dia ada pekerjaan di Berlin."
"Benarkah? Wahhh dia benar – benar bodoh." Aku merasa ini adalah kesempatanku untuk menyerang Edward balik.
"Kalian curang. Aku sendirian dan kalian berdua." Kami berdua tertawa mendengar perkataan Edward.
"Ngomong – ngomong, apakah Theo dan Yosha juga akan datang hari ini?" Erich menggelengkan kepalanya.
"Kami tidak tahu. Sejak kemarin dia tidak bisa dihubungi. Mereka selalu seperti itu jika sedang bekerja. Hanya kakek yang tahu keadaannya." Aku mengangguk – anggukkan kepala tanda mengerti. Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan di pintu kamarku disusul suara Felix.
"Nona,makan malam sudah siap."
"Sebentar lagi aku akan turun. Silahkan kalian keluar dulu. Aku mau mandi." Erich dan Edward mengiyakan perkataanku lalu keluar dari kamar. Aku segera menuju kamar mandi dan membersihkan diri.