Matahari diatas kepala, aku tau siang ini begitu membosankan, aku lihat awan tak beraturan, air laut hijau pekat dengan ombak tak besar, jembatan penghubung, hutan mangrove di seberang sana, nelayan mulai memanasi mesin kapal, membawa solar, mengemasi pukat, mengatur pancingan, membawa perbekalan bersama mereka.
Aku sendirian disini memandangi siang hari ditemani suara deburan ombak dan kencangannya angin laut menerpa tubuh.
Sesudah puas, aku pergi dari sana, berjalan mengitari desa nelayan seorang diri, berpacu dengan waktu, bayangan mulai memanjang lagi, aspal yang panas, sandal jepit menginjak batu kerikil, berbunyi renyah dikaki, di persimpangan jalan nan sepi, aku terpaku, dengan diam membisu, tanpa kata apa pun.
Syuuuur... angin menerbangkan sampah pelastik melintasiku, yang tengah termenung, aku tersadar akan hal itu, kembali melanjutkan perjalananku, menyusuri jalan aspal desa ini.
Kulihat kearah belakang, tanpak tak ada siapa-siapa disini hanya ada aku dipanas terik matahari, aku mulai kepanasan, wajarlah apa bila tak ada orang melintas disini, aku tau aku tak akan sampai, kapan pun aku tak akan sampai, tapi entah kenapa aku ingin sekali berjalan tanpa tujuan akhir.
Sekali lagi aku ingat suara memanggilku, terhapus oleh angin, sekali lagi aku tau dan ingat lambaian tangan yang mulai menghilang dari pandanganku, berganti pandangan kekosangan di sebrang sana, senyuman terhapus oleh pata morgana diujung jalan, Aku kembali lagi menyusuri setiap jalan yang pernah aku lewati, tempat yang pernah aku datangi.
Satu jam, dua jam, bahkan 6 jam tanpa terasa aku sudah jauh melangkah dari pagi sampai sekarang, jam menunjukan pukul 2 siang, hampir menjelang sore, apa yang aku bisa perbuat?
Mentari mulai condong ke barat, hari sebentar lagi akan berakhir, setiap kenangan yang ku buat, mulai terlupakan, terhapus oleh ku sendiri, sekali lagi aku diam mematung, melewati jalur kereta api, palang pun mulai tertutup, aku diam menunggu, pemotor dan pemobil juga ikut menunggu, aku masih inggat, diseberang sana senyuman manis sudah mendahuluiku, mengolok-olokku karena lambat mengejarnya.
Aku tak mau mati hanya karena perlobaan konyol, Aku sabar menunggu sembari melihat dari kejauhan sebelum kereta api menghalangi pandanganku, setelah kereta api lewat pada akhirnya itu pun juga ikut menghilang dari diriku, sekali lagi aku suka tersenyum, sekali lagi aku suka bersedih, sekali lagi aku suka tertawa, sekali lagi aku suka menangis, sekali lagi aku suka berbahagia, sekali lagi aku suka menderita, kenangan yang lembut bagai kelopak buga sepatu yang terbang menyentuh kulit wajahku, dan bunga kertas pun tak mau kalah dia menjatuhkan bungannya di telapak tanganku, aku lihat, aku perhatikan dengan jelas bahwa ini sudah berakhir.
Suara deruan kendaran menusuk gendang telingga, suara pintu lipat ruko mulai terbuka menusuk hingga kejantungku.
Bunyi wajan pengorongan dari pedagang kaki lima, atau pun harumnya bumbu masakan yang mereka tumis, mewarnai malam ini, aku tetaplah sendiri di sini, besok akan datang, aku lupa sebarapa lamanya aku sendiri ditengah keramaian ini, malam ini aku duduk sembari memesan seporsi kenangan, melahap dengan nikmat, menyembunyikan rasa sedih, rasa yang selalu menghampiri disetiap langkahku didunia ini, tak ada lagi yang akan menemani ku, mewarnai ku, membuatku tertawa, membuatku menangis, membuatku bahagia, membuatku kesal dan membuatku jatuh cinta.