Tora Yaguchi, seorang siswa SMA berusia 17 tahun, menyeret kakinya di koridor sekolah yang ramai. Kepalanya tertunduk, rambut hitam berantakannya menutupi sebagian wajah, menyembunyikan ekspresi kosong di matanya. Tora adalah seorang penyendiri yang introvert, lebih nyaman menghilang di antara kerumunan daripada berinteraksi dengan mereka. Dunia sosial bukanlah tempatnya, ia lebih memilih untuk tenggelam dalam lamunan dan fantasi liar yang hanya ada di kepalanya.
"Hei, Yaguchi!" teriak seseorang dari belakang. Tora mendengus kesal, tanpa menoleh ia mempercepat langkahnya. Namun, suara langkah kaki yang mendekat memaksanya untuk berhenti.
"Apa?" Tora berbalik dengan wajah masam, mendapati tiga orang siswa yang dikenal sebagai pembuat onar sekolah berdiri di hadapannya.
"Jangan sombong, Yaguchi. Kami hanya ingin mengajakmu berteman," ujar salah satu dari mereka dengan seringai licik. Tora tahu itu hanyalah ejekan belaka.
"Tidak tertarik," jawab Tora datar, lalu berusaha melewati mereka. Namun, salah satu dari mereka menghalangi jalannya.
"Oh, ayolah, jangan malu-malu. Kita semua tahu kau itu penyendiri yang aneh. Kami hanya ingin membantumu bersosialisasi."
"Aku tidak butuh bantuan kalian," Tora menepis tangan yang menghalangi jalannya.
"Tunggu dulu, Yaguchi. Jangan pergi dulu," kata siswa lain sambil meraih lengan Tora. Tora berusaha melepaskan diri, namun cengkeramannya terlalu kuat.
"Lepaskan!" Tora berteriak, namun teriakannya tidak digubris. Tiba-tiba, Tora merasakan tarikan kuat di kerah bajunya. Ia terhuyung mundur dan kehilangan keseimbangan. Buku-buku yang ia bawa berserakan di lantai.
"Ups, maafkan aku, Yaguchi. Sepertinya aku tidak sengaja membuatmu jatuh," kata siswa yang menarik kerahnya dengan nada mengejek. Tora berusaha bangkit, namun salah satu dari mereka menginjak buku-bukunya, membuatnya tersandung dan jatuh lagi. Tawanya menggema di koridor, menambah rasa malu dan frustrasi yang dirasakan Tora.
Tora merasa putus asa. Ia ingin menghilang saja dari tempat ini. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak tahu bagaimana cara menghadapi situasi ini. Tora merasa sendirian dan tidak berdaya.
Tiba-tiba, kerumunan siswa yang mengerumuni Tora terbelah. Seorang gadis muncul di tengah-tengah mereka. Gadis itu memiliki rambut panjang berwarna cokelat yang terurai indah, mata biru jernih yang memancarkan kebaikan, dan senyum yang hangat.
"Hentikan!" teriak gadis itu dengan suara tegas. Semua orang menoleh ke arahnya, termasuk para pembuat onar.
"Ada apa ini?" tanya gadis itu sambil mendekati Tora. Ia berjongkok di samping Tora dan membantunya berdiri.
"Mereka menggangguku," jawab Tora dengan suara pelan.
Gadis itu menatap tajam ke arah para pembuat onar. "Pergi kalian dari sini!" bentaknya. Para pembuat onar saling pandang dengan ragu, namun akhirnya mereka memilih untuk pergi.
"Terima kasih," ucap Tora pada gadis itu.
"Sama-sama," jawab gadis itu sambil tersenyum. "Namaku Hana. Kamu tidak apa-apa?"
Tora menggelengkan kepalanya. Ia merasa malu dan bodoh karena telah menangis di depan orang lain.
"Namaku Tora," balasnya.
"Tora, ya? Nama yang bagus," kata Hana. "Kamu mau aku antar ke kelas?"
Tora mengangguk. Ia merasa lega karena ada seseorang yang membantunya. Hana membantunya mengumpulkan buku-buku yang berserakan di lantai, lalu mereka berjalan bersama menuju kelas Tora.
Selama perjalanan, Tora dan Hana berbincang-bincang tentang berbagai hal. Tora terkejut karena Hana bisa membuatnya merasa nyaman dan terbuka. Tora merasa seperti menemukan teman sejati.
Sejak saat itu, Tora dan Hana menjadi teman baik. Hana selalu ada untuk Tora, baik saat Tora senang maupun sedih. Tora merasa hidupnya berubah menjadi lebih baik sejak mengenal Hana.
Namun, di balik kebahagiaan yang dirasakan Tora, ia masih menyimpan rahasia kelam. Tora memendam depresi yang membuatnya sulit membuka hati pada cinta. Ia takut jika ia mengungkapkan perasaannya pada Hana, Hana akan menolaknya.
Suatu hari, Tora sedang berjalan sendirian di taman sekolah saat ia bertemu dengan seorang pria misterius. Pria itu mengenakan jubah hitam dan memiliki tatapan mata yang tajam.
"Tora Yaguchi," panggil pria itu dengan suara berat.
Tora terkejut. Ia tidak mengenal pria itu, tapi pria itu sepertinya mengenalnya.
"Siapa kau?" tanya Tora dengan gugup.
Pria itu tersenyum sinis. "Aku adalah dirimu di masa depan," jawabnya.
Tora tercengang. Ia tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Bagaimana mungkin pria ini adalah dirinya di masa depan?
Pria itu melanjutkan, "Aku datang ke sini untuk memperingatkanmu, Tora. Kau akan melakukan kesalahan besar yang akan menghancurkan hidupmu dan orang-orang yang kau cintai."
Tora merasa merinding. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Pria itu menatap Tora dengan tatapan serius.
"Kau harus mengubah nasibmu, Tora. Kau harus belajar menghargai orang-orang yang peduli padamu, terutama Hana. Jangan sia-siakan kesempatan yang ada di depan matamu."
Setelah mengatakan itu, pria itu menghilang begitu saja, meninggalkan Tora yang masih bingung dan ketakutan.
Tora terduduk di bangku taman, jantungnya berdebar kencang. Kata-kata pria misterius itu terus terngiang di telinganya. "Kesalahan besar... menghancurkan hidupmu dan orang-orang yang kau cintai..." Apa yang dimaksud pria itu?
"Tora?"
Suara lembut Hana membuyarkan lamunan Tora. Hana duduk di sebelahnya, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. "Kamu kenapa? Sepertinya ada yang mengganggu pikiranmu."
Tora menatap Hana, ragu apakah ia harus menceritakan tentang pertemuannya dengan pria misterius itu. Namun, melihat tatapan tulus Hana, Tora merasa perlu berbagi beban yang ia pikul.
"Hana, aku... aku bertemu dengan seseorang yang mengaku sebagai diriku di masa depan," Tora memulai dengan ragu.
Hana mengerutkan keningnya. "Dirimu di masa depan? Apa maksudmu?"
Tora menceritakan semuanya pada Hana, tentang pria berjubah hitam, peringatan tentang kesalahan besar, dan nasihat untuk menghargai orang-orang yang peduli padanya. Hana mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk atau mengerutkan keningnya.
Setelah Tora selesai bercerita, Hana terdiam sejenak. Ia menatap Tora dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Tora," Hana akhirnya berkata, "aku tidak tahu apakah pria itu benar-benar dirimu di masa depan atau bukan. Tapi, aku percaya satu hal: kamu adalah orang baik, Tora. Kamu tidak akan pernah menyakiti orang lain dengan sengaja."
Tora menatap Hana dengan mata berkaca-kaca. Kata-kata Hana memberinya kekuatan dan harapan.
"Tapi, Hana," Tora berkata dengan suara bergetar, "aku takut. Aku takut aku akan melakukan kesalahan yang tidak bisa diperbaiki."
Hana menggenggam tangan Tora dan menatapnya dengan lembut. "Aku tahu kamu takut, Tora. Tapi, kamu tidak sendirian. Aku akan selalu ada di sisimu, apa pun yang terjadi."
Tora merasakan kehangatan mengalir di tubuhnya. Kata-kata Hana memberinya kekuatan untuk menghadapi masa depan yang tidak pasti.
"Terima kasih, Hana," ucap Tora dengan tulus.
"Sama-sama, Tora," balas Hana sambil tersenyum.
Tora dan Hana menghabiskan waktu berjam-jam di taman itu, berbicara tentang berbagai hal. Tora merasa lebih tenang dan optimis setelah berbagi bebannya dengan Hana. Ia menyadari bahwa ia tidak perlu menghadapi masalahnya sendirian. Ia memiliki Hana, teman sejati yang selalu ada untuknya.
Saat matahari mulai terbenam, Tora dan Hana berjalan pulang bersama. Tora merasa bersyukur karena memiliki Hana dalam hidupnya. Ia bertekad untuk menjadi orang yang lebih baik, seperti yang dinasihatkan oleh pria misterius itu. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ada di depan matanya. Ia akan menghargai orang-orang yang peduli padanya, terutama Hana.
Malam itu, Tora bermimpi tentang pria misterius itu. Pria itu berdiri di tengah kegelapan, menatap Tora dengan tatapan dingin.
"Ingatlah peringatanku, Tora," kata pria itu dengan suara serak. "Kau harus mengubah nasibmu sebelum terlambat."
Tora terbangun dengan keringat dingin. Ia tidak tahu apa arti mimpi itu, tapi ia merasa ada sesuatu yang buruk akan terjadi. Ia harus mencari tahu kebenaran tentang pria misterius itu dan mengubah nasibnya sebelum terlambat.
Keesokan paginya, Tora bangun dengan perasaan gelisah. Mimpi tentang pria misterius itu masih menghantuinya. Ia memutuskan untuk menceritakan mimpinya pada Hana.
"Hana, aku mimpi buruk semalam," kata Tora sambil mengunyah roti bakarnya.
Hana, yang sedang sibuk menyiapkan bekal makan siang, menoleh dengan cemas. "Mimpi buruk? Tentang apa?"
Tora menceritakan mimpinya tentang pria misterius yang memperingatkannya tentang nasib buruk. Hana mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk-anggukkan kepala.
"Mungkin itu hanya bunga tidur, Tora," kata Hana sambil tersenyum. "Jangan terlalu dipikirkan."
Tora mencoba untuk tenang, tapi ia tidak bisa menghilangkan perasaan gelisah yang terus menghantuinya.
"Tapi, Hana, bagaimana kalau mimpi itu benar-benar pertanda buruk?" tanya Tora dengan nada cemas.
Hana tertawa kecil. "Tora, kamu terlalu banyak menonton film horor. Mimpi itu tidak selalu berarti sesuatu yang buruk. Mungkin itu hanya cara otakmu memproses informasi yang kamu terima kemarin."
Tora menghela napas lega. Hana selalu bisa membuatnya merasa lebih baik.
"Ya, mungkin kamu benar," kata Tora sambil tersenyum.
"Nah, begitu dong," kata Hana sambil mencubit pipi Tora. "Sekarang, habiskan sarapanmu dan bersiap-siaplah untuk sekolah. Kita tidak boleh terlambat."
Tora dan Hana berjalan bersama menuju sekolah. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan teman sekelas mereka, seorang gadis ceria bernama Yumi.
"Hai, Tora! Hai, Hana!" sapa Yumi dengan riang.
"Hai, Yumi," balas Tora dan Hana bersamaan.
"Kalian mau kemana?" tanya Yumi.
"Ke sekolah," jawab Hana.
"Oh, ya? Aku juga mau ke sana. Ayo, kita berangkat bersama!"
Yumi berjalan di antara Tora dan Hana, mengapit lengan mereka berdua. Tora merasa sedikit canggung, tapi ia tidak bisa menolak ajakan Yumi yang begitu antusias.
"Ngomong-ngomong, Tora," kata Yumi sambil menatap Tora dengan mata berbinar, "aku dengar kamu mimpi buruk semalam."
Tora terkejut. "Bagaimana kamu tahu?"
Yumi tertawa. "Aku punya sumber terpercaya," katanya sambil mengedipkan mata.
Tora menatap Hana dengan curiga. Hana hanya mengangkat bahu sambil tersenyum.
"Jangan khawatir, Tora," kata Yumi sambil menepuk-nepuk punggung Tora. "Aku yakin mimpi buruk itu tidak akan menjadi kenyataan. Lagipula, kamu kan punya Hana yang selalu melindungi kamu."
Tora tersenyum kecut. Ia tidak yakin apakah Hana bisa melindunginya dari nasib buruk yang mungkin akan menimpanya. Namun, ia merasa sedikit lebih tenang setelah mendengar kata-kata Yumi.
"Terima kasih, Yumi," kata Tora.
"Sama-sama," balas Yumi sambil tersenyum lebar.
Mereka bertiga melanjutkan perjalanan menuju sekolah. Tora merasa sedikit lebih optimis setelah bertemu dengan Yumi. Ia berharap bahwa mimpi buruknya hanyalah bunga tidur dan tidak akan menjadi kenyataan.
Hari itu di sekolah terasa berbeda bagi Tora. Ia tidak bisa berkonsentrasi pada pelajaran. Pikirannya terus melayang pada mimpi buruknya dan peringatan pria misterius itu. Ia merasa ada sesuatu yang harus ia lakukan, tapi ia tidak tahu apa itu.
Saat jam istirahat, Tora memutuskan untuk mencari tempat yang tenang untuk menenangkan pikirannya. Ia berjalan menuju perpustakaan, berharap bisa menemukan buku yang bisa membantunya memahami situasi yang sedang ia hadapi.
Ketika Tora sedang mencari-cari buku di rak, ia menemukan sebuah buku tua yang menarik perhatiannya. Buku itu berjudul "Elotalia: Dunia Fantasi yang Tersembunyi". Tora mengambil buku itu dan mulai membacanya.
Buku itu menceritakan tentang sebuah dunia fantasi bernama Elotalia, yang tersembunyi di balik portal ajaib yang hanya bisa ditemukan oleh orang-orang terpilih. Elotalia digambarkan sebagai dunia yang indah dan damai, tempat di mana semua mimpi bisa menjadi kenyataan.
Tora semakin tertarik dengan buku itu. Ia merasa ada hubungan antara buku itu dengan mimpi buruknya. Ia memutuskan untuk meminjam buku itu dan membawanya pulang.
Malam itu, Tora membaca buku "Elotalia" dengan penuh semangat. Ia semakin yakin bahwa buku itu adalah kunci untuk memahami situasi yang sedang ia hadapi. Ia membaca buku itu sampai larut malam, hingga akhirnya ia tertidur di meja belajarnya.
Dalam tidurnya, Tora bermimpi tentang Elotalia. Ia melihat dirinya sendiri berdiri di tengah padang rumput yang luas, dikelilingi oleh pepohonan yang rindang dan bunga-bunga yang berwarna-warni. Tora merasa damai dan bahagia.
Tiba-tiba, Tora mendengar suara seseorang memanggil namanya. Ia menoleh dan melihat Hana berdiri di belakangnya. Hana tersenyum dan mengulurkan tangannya pada Tora.
"Ayo, Tora," kata Hana. "Kita pergi ke Elotalia."
Tora meraih tangan Hana dan mereka berdua berjalan menuju portal ajaib yang muncul di tengah padang rumput. Tora merasa gugup, tapi ia juga merasa bersemangat. Ia tahu bahwa ini adalah awal dari petualangan baru yang akan mengubah hidupnya.
Ketika Tora membuka matanya, ia menemukan dirinya berada di tempat yang sama sekali berbeda. Ia tidak lagi berada di kamarnya, melainkan di tengah hutan yang lebat. Tora melihat sekelilingnya dengan bingung.
"Hana?" panggil Tora.
"Aku di sini, Tora," jawab Hana dari belakang.
Tora berbalik dan melihat Hana berdiri di belakangnya, tersenyum seperti biasa. Tora merasa lega. Ia tidak sendirian di tempat asing ini.
"Di mana kita?" tanya Tora.
"Kita di Elotalia, Tora," jawab Hana. "Dunia fantasi yang tersembunyi."
Tora tidak bisa mempercayai matanya. Ia benar-benar berada di Elotalia, dunia yang selama ini hanya ia baca di buku.
"Ini luar biasa!" seru Tora dengan penuh semangat.
Hana tertawa. "Ayo, Tora. Kita harus mencari tahu mengapa kita dibawa ke sini."
Tora dan Hana mulai menjelajahi hutan. Mereka berjalan berdampingan, tangan mereka saling menggenggam. Tora merasa senang karena ia bisa berbagi petualangan ini dengan Hana. Ia merasa bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang indah.
Tora terbangun dengan napas terengah-engah. Ia meraba-raba sekelilingnya, merasakan selimut lembut dan bantal empuk. Ia masih berada di kamarnya, buku "Elotalia" tergeletak terbuka di sampingnya.
"Hanya mimpi," gumam Tora sambil mengusap keringat di dahinya.
Meski hanya mimpi, Tora merasa ada sesuatu yang nyata dari pengalaman itu. Ia merasa semakin yakin bahwa Elotalia bukan hanya sekadar cerita fantasi. Ada sesuatu yang memanggilnya ke sana.
Keesokan harinya, Tora menceritakan mimpinya pada Hana. Mereka duduk di bangku taman sekolah, menikmati udara segar pagi hari.
"Hana, aku mimpi tentang Elotalia lagi," kata Tora. "Kali ini, kita berdua pergi ke sana."
Hana mendengarkan dengan seksama, matanya berbinar-binar. "Benarkah? Ceritakan lebih detail!"
Tora menceritakan mimpinya dengan antusias, menggambarkan keindahan Elotalia dan perasaan damai yang ia rasakan di sana. Hana mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mengajukan pertanyaan untuk menggali lebih dalam.
"Tora," kata Hana setelah Tora selesai bercerita, "aku punya firasat bahwa mimpi ini bukan hanya sekadar mimpi. Aku merasa ada sesuatu yang penting menanti kita di Elotalia."
Tora mengangguk setuju. "Aku juga merasakan hal yang sama, Hana. Aku merasa kita harus pergi ke sana."
"Tapi bagaimana caranya?" tanya Hana. "Kita tidak tahu di mana letak portal menuju Elotalia."
Tora terdiam sejenak, berpikir keras. Tiba-tiba, ia teringat sesuatu.
"Hana, ingat buku yang aku pinjam dari perpustakaan kemarin? Buku tentang Elotalia itu?"
Hana mengangguk. "Ya, aku ingat. Memangnya kenapa?"
"Di buku itu disebutkan bahwa portal menuju Elotalia tersembunyi di suatu tempat di sekolah ini," kata Tora dengan mata berbinar.
Hana terkejut. "Benarkah? Kenapa kamu tidak bilang dari tadi?"
"Aku baru ingat sekarang," kata Tora sambil menggaruk kepalanya.
"Kalau begitu, ayo kita cari portal itu!" seru Hana dengan semangat.
Tora dan Hana segera bangkit dari bangku taman dan mulai mencari portal menuju Elotalia. Mereka menjelajahi setiap sudut sekolah, mencari petunjuk yang mungkin bisa mengarahkan mereka ke portal tersebut.
Setelah berjam-jam mencari, mereka akhirnya menemukan sebuah pintu rahasia di balik rak buku di perpustakaan. Pintu itu terbuat dari kayu tua dan dipenuhi ukiran-ukiran aneh. Tora dan Hana saling pandang dengan gugup.
"Ini dia portalnya," bisik Tora.
Hana mengangguk. "Ayo kita masuk."
Tora dan Hana membuka pintu rahasia itu dan melangkah masuk. Mereka merasakan sensasi aneh saat melewati pintu tersebut, seperti ada energi yang menarik mereka ke dalam.
Ketika mereka membuka mata, mereka menemukan diri mereka berada di tempat yang sama sekali berbeda. Mereka berdiri di tengah hutan yang lebat, dikelilingi oleh pepohonan yang tinggi dan bunga-bunga yang berwarna-warni. Udara terasa segar dan bersih, dan suara kicauan burung terdengar merdu.
Tora dan Hana saling pandang dengan takjub. Mereka benar-benar berada di Elotalia, dunia fantasi yang selama ini hanya mereka impikan.
"Ini luar biasa!" seru Tora sambil berputar-putar dengan gembira.
Hana tertawa melihat
tingkah Tora. "Ayo, Tora. Kita harus mencari tahu mengapa kita dibawa ke sini."
Tora mengangguk. Ia merasa ada sesuatu yang penting menanti mereka di Elotalia. Ia tidak sabar untuk memulai petualangannya bersama Hana di dunia fantasi yang menakjubkan ini.
Tora dan Hana berjalan menyusuri hutan Elotalia dengan perasaan takjub. Pepohonan menjulang tinggi, daun-daunnya berdesir lembut tertiup angin. Sinar matahari menembus celah-celah dedaunan, menciptakan pola cahaya yang indah di tanah. Bunga-bunga liar bermekaran di mana-mana, menyebarkan aroma harum yang memabukkan.
"Ini seperti mimpi," bisik Tora, matanya berbinar-binar.
Hana mengangguk setuju. "Aku tidak percaya kita benar-benar berada di Elotalia."
Mereka terus berjalan, mengikuti jalan setapak yang berkelok-kelok. Tiba-tiba, mereka mendengar suara gemericik air. Mereka mempercepat langkahnya dan menemukan sebuah sungai kecil yang mengalir jernih. Di tepi sungai, terdapat sebuah desa kecil yang indah.
"Ayo kita ke sana," ajak Hana.
Tora dan Hana memasuki desa tersebut. Mereka disambut oleh penduduk desa yang ramah. Penduduk desa mengenakan pakaian tradisional yang berwarna-warni dan memiliki senyum yang tulus.
"Selamat datang di desa kami," sapa seorang wanita tua dengan ramah. "Kalian pasti orang asing. Apa yang membawa kalian ke sini?"
Tora dan Hana menjelaskan bahwa mereka berasal dari dunia lain dan tidak sengaja menemukan portal menuju Elotalia. Wanita tua itu mengangguk-anggukkan kepala.
"Kalian adalah tamu istimewa kami," kata wanita tua itu. "Mari, saya antar kalian ke istana. Ratu pasti ingin bertemu dengan kalian."
Tora dan Hana mengikuti wanita tua itu ke istana. Istana Elotalia adalah bangunan megah yang terbuat dari batu putih. Istana itu dikelilingi oleh taman yang indah dan dijaga oleh para prajurit yang gagah berani.
Ketika mereka tiba di istana, mereka langsung dibawa menghadap Ratu Elotalia. Ratu Elotalia adalah seorang wanita cantik dengan rambut pirang panjang dan mata hijau yang tajam. Ia mengenakan gaun putih yang elegan dan mahkota emas yang berkilauan.
"Selamat datang di Elotalia," sambut Ratu Elotalia dengan suara angkuh. "Siapa nama kalian?"
"Saya Tora, Yang Mulia," jawab Tora sambil membungkuk hormat.
"Saya Hana, Yang Mulia," kata Hana sambil melakukan hal yang sama.
Ratu Elotalia menatap Tora dan Hana dengan tatapan curiga. "Kalian berasal dari dunia lain?" tanyanya.
Tora dan Hana mengangguk.
"Bagaimana kalian bisa sampai ke sini?"
Tora dan Hana menjelaskan bahwa mereka menemukan portal menuju Elotalia secara tidak sengaja. Ratu Elotalia terdiam sejenak, lalu ia tersenyum sinis.
"Kalian pasti mata-mata yang dikirim oleh musuh-musuhku," kata Ratu Elotalia dengan suara dingin. "Pengawal, tangkap mereka!"
Para pengawal istana segera menangkap Tora dan Hana. Tora dan Hana berusaha melawan, tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka dibawa ke penjara bawah tanah istana dan dikurung di sel yang terpisah.
Tora dan Hana merasa putus asa. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi pada mereka. Mereka hanya bisa berharap bahwa mereka akan segera diselamatkan.
Sementara itu, di istana, Ratu Elotalia sedang merencanakan sesuatu yang jahat. Ia bertekad untuk menghancurkan Tora dan Hana, karena ia yakin bahwa mereka adalah ancaman bagi kekuasaannya.