Chereads / Elotalia : Love is Strange / Chapter 2 - Rahasia Elotalia

Chapter 2 - Rahasia Elotalia

Sel penjara bawah tanah Istana Elotalia dingin, lembap, dan membosankan. Tora, dengan gaya dramatis, bersandar di dinding batu yang kasar, mendesah panjang. "Hana, kau bisa percaya ini? Kita baru saja tiba di dunia fantasi, dan sekarang kita sudah jadi tahanan. Kurasa kita harus menambahkan 'penjelajah ruang bawah tanah' ke daftar riwayat hidup kita."

Hana, yang duduk di sel sebelahnya, terkekeh pelan. "Kau selalu bisa menemukan sisi humor dalam situasi apa pun, ya, Tora?"

"Tentu saja! Hidup terlalu singkat untuk dirisaukan," jawab Tora sambil mengedipkan mata.

Tiba-tiba, pintu sel Tora terbuka dengan derit yang nyaring. Seorang pria tua berjubah putih melangkah masuk. Rambut putih panjangnya diikat rapi, dan janggutnya yang lebat membuatnya tampak seperti penyihir dari buku cerita. Tapi, alih-alih tongkat sihir, pria itu membawa sebuah buku besar dan pena bulu.

"Selamat malam, anak muda," sapa pria tua itu dengan suara serak. "Maaf mengganggu tidur nyenyakmu, tapi aku punya kabar baik."

Tora mengangkat alisnya. "Kabar baik? Di tempat seperti ini?"

Pria tua itu terkekeh. "Memang, penjara bukanlah tempat yang ideal untuk menyampaikan kabar baik. Tapi percayalah, ini kabar yang akan membuatmu senang."

"Kalau begitu, aku siap mendengarnya," kata Tora dengan penuh harap.

"Namaku Geito," pria tua itu memperkenalkan diri. "Aku adalah penasihat Ratu Elotalia, atau setidaknya dulu begitu. Sekarang, aku lebih suka menyebut diriku sebagai 'pencari kebenaran yang terjebak dalam birokrasi istana'."

Tora tertawa. "Sepertinya kau orang yang menarik, Geito."

Geito tersenyum. "Terima kasih. Nah, kembali ke kabar baik. Kalian berdua, Tora dan Hana, bukanlah mata-mata seperti yang dituduhkan Ratu. Kalian adalah orang-orang terpilih yang ditakdirkan untuk menyelamatkan Elotalia."

Tora dan Hana saling berpandangan dengan mata terbelalak.

"Menyelamatkan Elotalia?" ulang Tora. "Maksudmu, seperti pahlawan dalam cerita-cerita itu?"

"Tepat sekali, anak muda," jawab Geito. "Elotalia sedang berada di ambang kehancuran. Ratu yang sekarang, Ratu Morwenna, telah dirasuki oleh kekuatan jahat yang dikenal sebagai Bayangan Kegelapan. Ia telah mengubah Elotalia menjadi tempat yang penuh dengan ketakutan dan penderitaan."

"Bayangan Kegelapan?" tanya Hana dengan cemas. "Kedengarannya mengerikan."

"Memang mengerikan," Geito menghela napas panjang. "Tapi jangan khawatir, kalian berdua memiliki kekuatan untuk mengalahkannya. Kalian harus menemukan artefak suci yang disebut Kristal Harapan. Kristal itu adalah satu-satunya cara untuk membebaskan Ratu Morwenna dari cengkeraman Bayangan Kegelapan dan mengembalikan kedamaian di Elotalia."

"Kristal Harapan?" Tora menggaruk kepalanya. "Kedengarannya seperti barang langka. Di mana kita bisa menemukannya?"

"Kristal itu tersembunyi di Hutan Terlarang, tempat paling berbahaya di Elotalia," jawab Geito. "Tapi jangan khawatir, aku akan memberikan kalian peta dan beberapa perlengkapan yang mungkin akan berguna."

Geito mengeluarkan gulungan perkamen dan beberapa benda aneh dari jubahnya. Ia memberikan peta itu kepada Tora dan benda-benda aneh itu kepada Hana.

"Ini adalah peta menuju Hutan Terlarang. Dan ini," Geito menunjuk benda-benda aneh di tangan Hana, "adalah beberapa artefak magis yang akan membantu kalian dalam perjalanan. Ada jubah tembus pandang, sepatu anti gravitasi, dan topi penerjemah bahasa hewan. Gunakanlah dengan bijak."

Tora dan Hana menatap benda-benda aneh itu dengan takjub.

"Wow, ini keren sekali!" seru Tora. "Aku tidak sabar untuk mencobanya."

"Aku juga," kata Hana sambil tersenyum.

"Ingat, anak-anak muda," Geito mengingatkan, "perjalanan ini tidak akan mudah. Kalian akan menghadapi banyak rintangan dan bahaya. Tapi aku percaya kalian bisa melakukannya. Nasib Elotalia ada di tangan kalian."

Tora dan Hana mengangguk dengan tekad bulat. Mereka siap menghadapi segala tantangan demi menyelamatkan Elotalia.

Geito, dengan sigap, menggulung kembali peta dan memasukkan artefak-artefak ajaib ke dalam jubahnya. "Cepat, anak-anak muda! Kita harus pergi dari sini sebelum ada yang melihat kita."

Tora dan Hana mengangguk, adrenalin mulai mengalir di tubuh mereka. Mereka mengikuti Geito keluar dari sel, menyusuri lorong-lorong gelap penjara dengan langkah cepat dan hati-hati. Suara tetesan air dan derit engsel pintu menambah suasana mencekam.

Tiba-tiba, suara langkah kaki berat terdengar dari ujung lorong. Geito mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Tora dan Hana bersembunyi di balik tumpukan peti kayu.

"Cepat!" bisik Geito dengan nada mendesak.

Tora dan Hana meringkuk di balik peti, menahan napas. Jantung mereka berdebar kencang saat mereka mendengar suara langkah kaki semakin mendekat.

Seorang penjaga penjara muncul dari balik tikungan, obor di tangannya menerangi lorong yang gelap. Ia berjalan dengan langkah tegas, matanya mengawasi sekeliling dengan waspada.

Geito melangkah keluar dari tempat persembunyiannya, berpura-pura terkejut melihat penjaga itu.

"Oh, Tuan Penjaga," sapa Geito dengan nada ramah. "Ada yang bisa saya bantu?"

Penjaga itu menatap Geito dengan curiga. "Geito? Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah kau seharusnya berada di kamarmu?"

"Saya sedang mencari buku di perpustakaan, Tuan Penjaga," jawab Geito dengan tenang. "Tapi saya tersesat di lorong-lorong ini."

Penjaga itu menyipitkan matanya. "Kau yakin?"

"Tentu saja, Tuan Penjaga," Geito tersenyum ramah. "Saya tidak mungkin berbohong pada Anda."

Penjaga itu tampak ragu, tapi akhirnya ia mengangguk. "Baiklah, kalau begitu. Hati-hati, Geito. Jangan sampai tersesat lagi."

"Terima kasih, Tuan Penjaga," kata Geito sambil membungkuk hormat.

Penjaga itu berlalu, meninggalkan Geito yang menghela napas lega. Ia memberi isyarat pada Tora dan Hana untuk keluar dari persembunyian mereka.

"Hampir saja," bisik Geito. "Ayo, kita harus segera pergi dari sini."

Mereka bertiga melanjutkan perjalanan mereka, melewati lorong-lorong berliku dan tangga-tangga sempit. Akhirnya, mereka sampai di pintu keluar penjara.

Geito membuka pintu dengan hati-hati, mengintip keluar untuk memastikan tidak ada penjaga di sekitar. "Aman," bisiknya. "Ayo, cepat!"

Mereka bertiga menyelinap keluar dari penjara, berlari menuju hutan di belakang istana. Namun, mereka belum sempat jauh ketika suara teriakan menggelegar menghentikan langkah mereka.

"Tangkap mereka!"

Tora, Hana, dan Geito menoleh ke belakang dan melihat Ratu Morwenna berdiri di balkon istana, wajahnya merah padam karena marah. Di belakangnya, sekelompok penjaga istana berlari mengejar mereka.

"Lari!" teriak Geito.

Mereka bertiga berlari sekuat tenaga, melintasi hutan dengan putus asa. Namun, penjaga istana semakin dekat. Tora dan Hana merasa putus asa. Mereka tidak mungkin bisa lolos dari kejaran penjaga istana yang terlatih.

Tiba-tiba, Geito berhenti berlari. Ia berbalik menghadap para penjaga istana, tangannya terulur ke depan.

"Hentikan mereka!" teriak Ratu Morwenna dari kejauhan.

Sebuah kilatan cahaya menyilaukan meledak dari tangan Geito, menciptakan gelombang energi yang kuat. Para penjaga istana terpental ke belakang, terjatuh ke tanah dengan erangan kesakitan.

"Lari, anak-anak muda!" teriak Geito. "Aku akan menahan mereka!"

Tora dan Hana ragu-ragu, tapi mereka tahu mereka tidak punya pilihan lain. Mereka berlari sekuat tenaga, meninggalkan Geito yang berjuang melawan para penjaga istana.

Tora dan Hana berlari sekuat tenaga, melintasi hutan dengan napas terengah-engah. Mereka tidak berani menoleh ke belakang, takut melihat Geito yang tertangkap oleh para penjaga istana. Suara pertempuran semakin samar, memberikan sedikit harapan bahwa Geito berhasil menahan para pengejar.

"Kita harus terus berlari, Tora!" seru Hana, berusaha menyemangati dirinya sendiri dan Tora.

Namun, harapan mereka pupus ketika tiba-tiba udara di sekitar mereka menjadi dingin menusuk tulang. Embusan angin yang sebelumnya hangat berubah menjadi hembusan es yang membekukan. Tora dan Hana merasakan tubuh mereka mulai kaku, gerakan mereka melambat.

"Apa yang terjadi?" Tora bertanya dengan suara gemetar, giginya bergemeletuk.

Sebelum Hana sempat menjawab, sebuah suara dingin dan angkuh menggema di seluruh hutan.

"Kalian tidak akan bisa lari dariku!"

Ratu Morwenna muncul dari balik pepohonan, wajahnya pucat dan matanya menyala dengan kebencian. Ia mengangkat tangannya, dan sebuah bola energi biru berkilauan terbentuk di atas telapak tangannya.

"Rasakan kekuatan Ice Breaker!" teriak Ratu Morwenna.

Bola energi itu melesat ke arah Tora dan Hana, menyelimuti mereka dalam cahaya biru yang menyilaukan. Tora dan Hana merasakan tubuh mereka membeku seketika, gerakan mereka terhenti sepenuhnya. Mereka terjebak dalam penjara es, tidak bisa bergerak atau berbicara.

Ratu Morwenna tertawa puas melihat Tora dan Hana yang tak berdaya. "Akhirnya kalian tertangkap juga," katanya dengan nada mengejek. "Bawa mereka kembali ke istana!"

Para penjaga istana yang baru saja tiba mengangkat Tora dan Hana yang membeku seperti patung es. Mereka membawa kedua tawanan itu kembali ke istana, meninggalkan Geito yang terluka parah di tengah hutan.

Di dalam istana, Tora dan Hana ditempatkan di sebuah ruangan khusus yang terbuat dari es. Ruangan itu sangat dingin, bahkan lebih dingin dari sel penjara bawah tanah. Tora dan Hana menggigil kedinginan, tubuh mereka terasa mati rasa.

"Tora," bisik Hana dengan susah payah, "apa yang akan terjadi pada kita?"

Tora tidak bisa menjawab. Ia terlalu kedinginan untuk berbicara. Ia hanya bisa menatap Hana dengan mata sendu.

Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka. Ratu Morwenna masuk, diikuti oleh dua orang penjaga istana. Ia menatap Tora dan Hana dengan tatapan penuh kemenangan.

"Selamat datang di istana esku," kata Ratu Morwenna dengan suara dingin. "Kalian akan menjadi hiasan yang indah di sini."

Ratu Morwenna tertawa jahat, lalu ia berbalik dan meninggalkan ruangan. Tora dan Hana ditinggalkan sendirian dalam ruangan es yang membekukan. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi mereka tahu bahwa mereka harus tetap kuat dan bertahan. Mereka harus menemukan cara untuk membebaskan diri dan menyelamatkan Elotalia dari cengkeraman Ratu Morwenna.

Di tengah Hutan Terlarang, Geito terbaring lemah, napasnya tersengal-sengal. Jubah putihnya ternoda darah, dan luka-luka menganga di tubuhnya. Kekuatan sihirnya terkuras habis setelah pertarungan sengit melawan para penjaga istana. Geito memejamkan mata, pasrah pada nasibnya.

Namun, sebelum kegelapan sepenuhnya menelan kesadarannya, Geito mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia membuka mata dan melihat seorang wanita tua berdiri di hadapannya. Wanita itu memiliki rambut putih panjang yang diikat rapi, mata biru yang memancarkan kebaikan, dan senyum hangat yang mengingatkan Geito pada seseorang yang sangat ia kenal.

"Geiso?" gumam Geito dengan suara lemah.

Wanita tua itu tersenyum. "Sudah lama tidak bertemu, Kakak."

Geiso adalah adik perempuan Geito. Ia adalah seorang penyihir yang sangat kuat dan bijaksana. Ia telah meninggalkan Elotalia bertahun-tahun yang lalu untuk mencari kedamaian di tempat lain. Geito tidak menyangka akan bertemu dengan adiknya di saat-saat terakhirnya.

"Geiso, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Geito dengan susah payah.

"Aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres di Elotalia, Kakak," jawab Geiso. "Aku datang untuk mencari tahu apa yang terjadi."

Geiso berlutut di samping Geito dan mulai memeriksa luka-lukanya. Ia mengeluarkan ramuan penyembuh dari kantongnya dan mengoleskannya pada luka Geito.

"Kau terluka parah, Kakak," kata Geiso dengan cemas. "Tapi jangan khawatir, aku akan menyembuhkanmu."

Geiso mengucapkan mantra penyembuhan, dan luka-luka Geito mulai menutup. Geito merasa kekuatannya perlahan kembali.

"Terima kasih, Geiso," ucap Geito dengan tulus. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku tanpa bantuanmu."

Geiso tersenyum. "Kau adalah kakakku, Geito. Aku akan selalu ada untukmu."

Geito menceritakan pada Geiso tentang Tora dan Hana, dua orang muda yang ditakdirkan untuk menyelamatkan Elotalia. Ia juga menceritakan tentang Kristal Harapan dan Hutan Terlarang.

Geiso mendengarkan dengan seksama. Ia tahu bahwa Tora dan Hana adalah harapan terakhir Elotalia. Ia harus membantu mereka menyelesaikan misi mereka.

"Geito, aku akan pergi ke istana dan mencari tahu apa yang terjadi pada Tora dan Hana," kata Geiso dengan tekad bulat. "Kau tetaplah di sini dan sembuhkan lukamu."

Geito mengangguk. Ia tahu bahwa Geiso adalah satu-satunya orang yang bisa ia percaya. Ia berharap Geiso bisa menyelamatkan Tora dan Hana dari cengkeraman Ratu Morwenna.

Geiso meninggalkan Geito dan berjalan menuju istana. Ia tahu bahwa ini akan menjadi pertarungan yang sulit, tapi ia tidak akan menyerah. Ia akan melakukan apa pun untuk menyelamatkan Elotalia dan orang-orang yang ia cintai.

Geiso, dengan langkah tegap dan penuh tekad, menyusuri jalan setapak menuju Istana Elotalia. Jubah putihnya berkibar tertiup angin, menyatu dengan kabut tipis yang menyelimuti hutan. Di tangannya, ia menggenggam sebuah tongkat kayu berukir rumit, sumber kekuatan sihirnya.

Sebelum memasuki wilayah istana, Geiso berhenti sejenak. Ia memejamkan mata, memusatkan konsentrasi, dan merapalkan mantra kuno. Cahaya putih lembut menyelimuti tubuhnya, perlahan-lahan membuatnya transparan. Jurus ini, yang disebut "Kabut Hantu", adalah salah satu kemampuan unik Geiso yang memungkinkannya bergerak tanpa terdeteksi oleh mata biasa.

Dengan jurus "Kabut Hantu" aktif, Geiso melanjutkan perjalanannya. Ia melewati gerbang istana tanpa kesulitan, para penjaga bahkan tidak menyadari kehadirannya. Geiso menyusuri koridor-koridor istana yang megah, mengamati setiap detail dengan cermat. Ia merasakan aura kegelapan yang kuat menyelimuti istana, pertanda bahwa pengaruh Bayangan Kegelapan semakin kuat.

Geiso akhirnya tiba di ruang tahta, tempat Ratu Morwenna biasanya menerima tamu. Namun, yang ia temukan bukanlah ratu yang anggun dan bijaksana, melainkan sosok yang dingin dan penuh kebencian. Ratu Morwenna duduk di singgasananya, wajahnya pucat dan matanya menyala dengan cahaya merah yang menakutkan.

"Selamat datang, Geiso," kata Ratu Morwenna dengan suara serak. "Sudah lama tidak bertemu."

Geiso melangkah maju, melepaskan jurus "Kabut Hantu". Ia muncul di hadapan Ratu Morwenna, tongkatnya teracung.

"Morwenna, apa yang telah kau lakukan pada dirimu?" tanya Geiso dengan nada sedih. "Kau bukanlah ratu yang dulu kukenal."

Ratu Morwenna tertawa sinis. "Aku adalah ratu yang sebenarnya, Geiso. Ratu yang kuat dan berkuasa. Dan kau, pengkhianat, akan membayar mahal karena telah membelot dariku."

Ratu Morwenna mengangkat tangannya, dan bola energi gelap terbentuk di atas telapak tangannya. Geiso bersiap untuk melawan, tapi ia tahu bahwa ia tidak akan bisa mengalahkan Ratu Morwenna dalam kondisi saat ini. Ia harus menemukan cara lain untuk menyelamatkan Tora dan Hana.

Geiso mengalihkan pandangannya ke arah pintu ruang tahta. Ia melihat dua orang penjaga istana berdiri di sana, mengawasi mereka dengan waspada. Geiso tersenyum licik. Ia punya ide.

"Morwenna," kata Geiso dengan suara lantang, "aku tahu kau telah menculik dua orang anak muda yang tidak bersalah. Lepaskan mereka, atau kau akan menyesal!"

Ratu Morwenna tertawa mengejek. "Kau pikir kau bisa mengancamku, Geiso? Kau hanya seorang penyihir tua yang lemah."

"Mungkin aku lemah, tapi aku tidak akan membiarkanmu menyakiti mereka," balas Geiso dengan tegas.

Geiso mengayunkan tongkatnya, menciptakan ilusi optik yang membuat Ratu Morwenna dan para penjaga istana melihat dua sosok Geiso yang berbeda. Ratu Morwenna dan para penjaga istana bingung, tidak tahu mana Geiso yang asli.

Geiso memanfaatkan kebingungan mereka untuk menyelinap keluar dari ruang tahta. Ia berlari menuju penjara bawah tanah, berharap bisa menemukan Tora dan Hana sebelum Ratu Morwenna menyadari tipu muslihatnya.

Tora dan Hana terkurung dalam penjara es, menggigil kedinginan. Mereka mencoba berbagai cara untuk melepaskan diri, namun sia-sia. Mantra pembeku Ratu Morwenna terlalu kuat.

"Tora," Hana berkata dengan suara gemetar, "apa yang akan kita lakukan?"

Tora menghela napas panjang. "Aku tidak tahu, Hana. Tapi kita tidak boleh menyerah. Pasti ada cara untuk keluar dari sini."

Tiba-tiba, mereka mendengar suara gemuruh dari luar. Dinding es di sekitar mereka mulai bergetar. Tora dan Hana saling berpandangan dengan cemas.

"Apa itu?" tanya Hana.

Sebelum Tora sempat menjawab, dinding es di depan mereka pecah berkeping-keping. Kabut putih tebal masuk ke dalam ruangan, menyelimuti mereka berdua. Tora dan Hana terbatuk-batuk, berusaha menghalau kabut yang menyesakkan.

Ketika kabut mulai menghilang, Tora dan Hana melihat sosok seorang wanita tua berdiri di depan mereka. Wanita itu memiliki rambut putih panjang yang diikat rapi, mata biru yang memancarkan kebaikan, dan senyum hangat yang menenangkan.

"Kalian pasti Tora dan Hana," kata wanita tua itu dengan suara lembut.

Tora dan Hana mengangguk, bingung. Mereka tidak mengenal wanita tua itu.

"Siapa kau?" tanya Tora.

"Namaku Geiso," jawab wanita tua itu. "Aku datang untuk menyelamatkan kalian."

Geiso mengangkat tangannya, dan kabut putih kembali menyelimuti mereka. Tora dan Hana merasakan tubuh mereka menjadi ringan, seolah-olah mereka sedang melayang.

Ketika kabut menghilang, Tora dan Hana mendapati diri mereka berada di luar istana. Mereka berdiri di tengah hutan, dikelilingi oleh pepohonan yang tinggi dan bunga-bunga yang berwarna-warni.

"Bagaimana... bagaimana bisa?" tanya Hana dengan takjub.

"Aku menggunakan sihir teleportasi untuk membawa kalian keluar dari istana," jawab Geiso. "Sekarang, kita harus pergi dari sini sebelum Ratu Morwenna menyadari bahwa kalian telah kabur."

Geiso memimpin Tora dan Hana masuk ke dalam hutan. Mereka berjalan dengan cepat, mengikuti jalan setapak yang berkelok-kelok. Setelah beberapa saat, mereka tiba di sebuah gubuk kecil yang tersembunyi di balik semak-semak.

"Ini adalah tempat persembunyianku," kata Geiso. "Kalian bisa beristirahat di sini."

Tora dan Hana masuk ke dalam gubuk. Gubuk itu sederhana, tapi nyaman. Ada perapian yang menyala di sudut ruangan, memberikan kehangatan. Tora dan Hana duduk di dekat perapian, merasa lega karena akhirnya bisa lepas dari cengkeraman Ratu Morwenna.

"Terima kasih telah menyelamatkan kami," kata Tora pada Geiso.

"Sama-sama," jawab Geiso sambil tersenyum. "Aku sudah lama menunggu kedatangan kalian."

Tora dan Hana mengerutkan kening. "Menunggu kedatangan kami?"

Geiso mengangguk. "Aku adalah penjaga Kristal Harapan. Aku ditugaskan untuk melindungi kristal itu dari tangan-tangan jahat."

Tora dan Hana tertegun. Mereka tidak menyangka bahwa Geiso adalah penjaga Kristal Harapan, artefak suci yang mereka cari.

Geiso mulai menceritakan kisah Elotalia pada Tora dan Hana, sambil terus memandu mereka menjauh dari istana.

"Elotalia dulunya adalah kerajaan yang sangat indah," Geiso memulai, suaranya bergetar karena kenangan masa lalu. "Tanahnya subur, rakyatnya hidup makmur, dan sihir mengalir bebas di setiap sudutnya. Ratu sebelumnya, Ratu Elysia, adalah seorang pemimpin yang bijaksana dan dicintai rakyatnya."

Geiso berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Namun, semuanya berubah ketika Bayangan Kegelapan datang. Kekuatan jahat itu merasuki Ratu Elysia, mengubahnya menjadi Ratu Morwenna yang kejam dan haus kekuasaan. Bayangan Kegelapan menyebarkan pengaruhnya ke seluruh Elotalia, meracuni tanah dan merusak sihir yang pernah menjadi sumber kehidupan."

Tora dan Hana mendengarkan dengan seksama, mata mereka membelalak karena terkejut. Mereka tidak menyangka bahwa Elotalia yang indah ternyata memiliki sejarah kelam seperti itu.

"Aku adalah salah satu penasihat Ratu Elysia," Geiso melanjutkan. "Aku melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Bayangan Kegelapan merubahnya menjadi monster. Aku mencoba melawan, tapi aku tidak cukup kuat. Aku terpaksa melarikan diri dari Elotalia, meninggalkan kakakku, Geito, yang juga merupakan penasihat ratu."

Geiso mengusap air mata yang mengalir di pipinya. "Selama bertahun-tahun, aku berkelana mencari cara untuk mengalahkan Bayangan Kegelapan. Aku mempelajari berbagai macam sihir dan artefak kuno, berharap bisa menemukan kunci untuk membebaskan Elotalia dari cengkeraman kekuatan jahat itu."

"Dan kau menemukannya?" tanya Tora dengan penuh harap.

Geiso menggelengkan kepalanya. "Belum, Tora. Tapi aku tidak akan menyerah. Aku akan terus mencari cara untuk menyelamatkan Elotalia, apa pun yang terjadi."

Mereka tiba di sebuah sungai kecil yang mengalir deras. Geiso berhenti sejenak, mengatur napasnya. "Kita harus menyeberangi sungai ini," katanya. "Di seberang sana, ada sebuah gua tersembunyi yang akan menjadi tempat persembunyian kita."

Mereka bertiga menyeberangi sungai dengan hati-hati, airnya yang dingin membuat mereka menggigil. Setelah sampai di seberang, mereka segera masuk ke dalam gua yang ditunjukkan oleh Geiso.

Di dalam gua, Geiso menyalakan obor, menerangi ruangan yang gelap. Dinding gua dipenuhi dengan ukiran-ukiran kuno yang menggambarkan sejarah Elotalia.

"Ini adalah tempat yang aman," kata Geiso. "Kalian bisa beristirahat di sini sementara aku mencari cara untuk membebaskan kalian dari mantra Ratu Morwenna."

Tora dan Hana mengangguk, kelelahan mulai menguasai mereka. Mereka berbaring di lantai gua yang dingin, pikiran mereka dipenuhi dengan pertanyaan tentang masa depan Elotalia dan peran mereka dalam menyelamatkan kerajaan itu.