Di dalam Istana Elotalia, Ratu Morwenna mengamuk. Jeritannya menggema di seluruh ruangan, memecahkan keheningan yang mencekam. Ia baru saja mengetahui bahwa Tora dan Hana, dua orang asing yang ia yakini sebagai mata-mata, telah melarikan diri dari penjara es. Kemarahannya memuncak, ia merasa dipermalukan dan dikhianati.
"Bagaimana bisa mereka kabur?" teriak Ratu Morwenna, suaranya bergetar karena amarah. "Bukankah aku sudah memerintahkan kalian untuk menjaga mereka dengan ketat?"
Para penjaga istana yang berlutut di hadapannya gemetar ketakutan. Mereka tidak berani menatap mata Ratu Morwenna yang menyala-nyala dengan kemarahan.
"Ampuni kami, Yang Mulia," salah satu penjaga istana memohon. "Kami tidak tahu bagaimana mereka bisa lolos."
"Tidak tahu?" Ratu Morwenna mencengkeram kerah baju penjaga istana itu, mengangkatnya hingga kaki penjaga itu tidak menyentuh lantai. "Kalian tidak berguna! Kalian semua tidak berguna!"
Ratu Morwenna melemparkan penjaga istana itu ke dinding. Penjaga itu terkapar tak bergerak, darah mengalir dari kepalanya. Ratu Morwenna kemudian mengalihkan pandangannya pada penjaga istana lainnya.
"Kalian semua akan membayar mahal atas kegagalan ini!" teriak Ratu Morwenna. "Aku akan memastikan kalian semua menderita!"
Ratu Morwenna mengeluarkan sihirnya. Bola energi gelap terbentuk di atas telapak tangannya, lalu melesat ke arah para penjaga istana. Para penjaga istana tidak sempat menghindar. Mereka terhempas ke dinding, tubuh mereka terbakar oleh energi gelap Ratu Morwenna.
Jeritan kesakitan memenuhi ruangan. Ratu Morwenna tertawa puas melihat para penjaga istana menderita. Ia tidak peduli dengan nyawa mereka. Yang ia inginkan hanyalah melampiaskan amarahnya.
Setelah semua penjaga istana tewas, Ratu Morwenna duduk di singgasananya, napasnya terengah-engah. Kemarahannya belum sepenuhnya mereda. Ia masih memikirkan Tora dan Hana, dua orang asing yang telah membuatnya merasa dipermalukan.
"Kalian tidak akan bisa lari dariku," gumam Ratu Morwenna dengan suara serak. "Aku akan menemukan kalian dan membuat kalian membayar atas apa yang telah kalian lakukan."
Ratu Morwenna memanggil penyihir istana. Ia memerintahkan penyihir istana untuk mencari tahu keberadaan Tora dan Hana. Ia juga memerintahkan penyihir istana untuk menyiapkan pasukan untuk mengejar mereka.
"Aku akan menghancurkan kalian, Tora dan Hana," kata Ratu Morwenna dengan mata menyala-nyala. "Aku akan membuat kalian menyesal telah datang ke Elotalia."
Sementara itu, di gubuk persembunyian Geiso, Tora dan Hana sedang beristirahat. Mereka tidak tahu bahwa Ratu Morwenna telah mengamuk dan membunuh semua penjaga istana. Mereka juga tidak tahu bahwa Ratu Morwenna sedang merencanakan untuk menangkap mereka kembali.
Geiso duduk di dekat perapian, matanya terpejam. Ia sedang memikirkan cara untuk membebaskan Tora dan Hana dari mantra Ratu Morwenna. Ia tahu bahwa ini tidak akan mudah, tapi ia tidak akan menyerah. Ia harus melindungi Tora dan Hana, karena mereka adalah harapan terakhir Elotalia.
Di dalam gua yang remang-remang, Tora tertidur pulas, terbungkus dalam selimut hangat yang dipinjamkan Geiso. Mimpi-mimpi aneh mulai menari-nari di benaknya, membawa Tora ke dunia fantasi yang berbeda.
Dalam mimpinya, Tora berdiri di altar, mengenakan setelan jas hitam yang gagah. Di hadapannya, Hana berjalan dengan anggun dalam balutan gaun pengantin putih yang berkilauan. Senyum bahagia terpancar dari wajah Hana, membuat jantung Tora berdebar kencang.
"Tora," Hana berkata dengan suara lembut, "aku bersedia."
Tora tersenyum lebar, tidak dapat menyembunyikan rasa bahagianya. Ia meraih tangan Hana dan menatap matanya yang indah.
"Hana, aku mencintaimu," ucap Tora dengan tulus.
"Aku juga mencintaimu, Tora," balas Hana sambil tersenyum manis.
Tora mendekatkan wajahnya ke wajah Hana, siap untuk memberikan ciuman pertama sebagai pasangan suami istri. Namun, saat bibir mereka hampir bersentuhan, tiba-tiba...
"SRAAKKK!"
Semburan air dingin mengenai wajah Tora, membuatnya terbangun dengan kaget. Ia membuka mata dan mendapati Hana berdiri di hadapannya, memegang botol air kosong dengan ekspresi geli.
"Selamat pagi, pengantin baru!" seru Hana sambil tertawa.
Tora mengusap wajahnya yang basah, masih setengah sadar. "Apa yang terjadi?"
"Kau mengigau dalam tidurmu, Tora," jelas Hana. "Kau bilang kau mencintaiku dan ingin menikahiku. Aku jadi penasaran, seperti apa rasanya mencium pengantin pria yang sedang tidur."
Wajah Tora memerah padam. Ia tidak bisa berkata-kata. Ia merasa malu sekaligus senang karena Hana telah membangunkannya dengan cara yang unik.
"Sudahlah, jangan malu-malu," kata Hana sambil mengulurkan tangannya. "Ayo bangun, kita harus melanjutkan perjalanan."
Tora menerima uluran tangan Hana dan bangkit dari tidurnya. Ia masih merasa sedikit canggung, tapi ia tidak bisa menyembunyikan senyum di wajahnya.
"Terima kasih, Hana," ucap Tora dengan tulus.
"Sama-sama, Tora," balas Hana sambil tersenyum. "Oh ya, lain kali kalau mau menciumku, jangan sambil tidur ya."
Tora tertawa terbahak-bahak. Ia merasa beruntung memiliki Hana sebagai teman seperjalanannya. Hana selalu bisa membuatnya tersenyum, bahkan dalam situasi yang sulit sekalipun.
Mereka berdua kemudian bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Geiso telah menyiapkan sarapan sederhana untuk mereka. Setelah makan, mereka berpamitan pada Geiso dan melanjutkan perjalanan mereka menuju Hutan Terlarang.
Tora berjalan di samping Hana, sesekali meliriknya dengan malu-malu. Ia masih memikirkan mimpinya tentang pernikahan mereka. Mungkinkah mimpi itu pertanda.
Hutan Terlarang Elotalia adalah tempat yang menakjubkan sekaligus menakutkan. Pepohonan raksasa menjulang tinggi, menghalangi sinar matahari sehingga menciptakan suasana remang-remang yang misterius. Suara-suara aneh terdengar dari segala penjuru, membuat bulu kuduk Tora merinding. Namun, di tengah ketegangan itu, ada keindahan yang tak terbantahkan. Lumut hijau bercahaya menempel di batang pohon, bunga-bunga aneh bermekaran dengan warna-warni yang memukau, dan serangga-serangga bercahaya beterbangan di udara, menciptakan pemandangan yang magis.
Tora dan Hana berjalan berdampingan, tangan mereka saling menggenggam erat. Kehadiran Hana memberikan rasa aman bagi Tora, menghilangkan sebagian ketakutannya akan hutan yang misterius ini.
"Tora," Hana tiba-tiba berhenti, suaranya bergetar.
Tora menoleh, melihat wajah Hana yang diterangi cahaya remang-remang. Mata Hana berkaca-kaca, dan bibirnya bergetar seolah menahan tangis. Tora merasakan jantungnya berdebar kencang. Ada apa dengan Hana?
Tanpa peringatan, Hana melangkah maju dan mencium bibir Tora. Ciuman itu lembut namun penuh perasaan, membuat Tora terpaku di tempatnya. Rasa terkejut bercampur dengan kebahagiaan membanjiri hatinya.
Hana melepaskan ciumannya, air mata mengalir di pipinya. "Aku mencintaimu, Tora," bisiknya dengan suara serak. "Bahkan sejak pertama kali aku melihatmu."
Tora terdiam, tidak bisa berkata-kata. Ia tidak pernah menyangka Hana memiliki perasaan yang sama terhadapnya. Ia selalu menganggap dirinya tidak pantas untuk dicintai.
Hana menatap Tora dengan mata penuh harap. "Bagaimana denganmu, Tora? Apa kau merasakan hal yang sama?"
Tora menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberaniannya. Ia menatap mata Hana dan berkata, "Aku juga mencintaimu, Hana. Aku tidak tahu sejak kapan, tapi aku tahu bahwa aku tidak bisa hidup tanpamu."
Hana tersenyum lebar, air matanya masih mengalir. Ia memeluk Tora erat, membenamkan wajahnya di dada Tora. Tora membalas pelukan Hana, merasa bahwa ia telah menemukan tempatnya di dunia ini.
Mereka berdua berdiri di tengah hutan yang sunyi, terlarut dalam pelukan hangat. Suara kicauan burung dan gemericik air sungai menjadi saksi bisu dari pengakuan cinta mereka. Tora dan Hana tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang dan penuh bahaya, tapi mereka yakin bahwa dengan cinta sebagai kekuatan mereka, mereka bisa menghadapi segala rintangan.
Geiso, yang sedari tadi mengamati dari kejauhan, terbatuk-batuk kecil. "Ehem! Maaf mengganggu momen romantis kalian," katanya dengan nada menggoda, "tapi mungkin kita bisa melanjutkan perjalanan ini sebelum ada monster hutan yang jatuh cinta pada pemandangan ini dan memutuskan untuk bergabung?"
Tora dan Hana melepaskan pelukan mereka, wajah mereka memerah padam. Geiso terkekeh melihat reaksi mereka.
"Jangan khawatir, anak muda," kata Geiso sambil menepuk pundak Tora. "Cinta pertama memang selalu manis. Tapi ingat, kita punya misi penting untuk diselesaikan."
"Iya, Geiso," jawab Tora, masih tersipu malu.
"Ngomong-ngomong," Geiso melanjutkan dengan nada jahil, "aku jadi iri melihat kalian berdua. Aku sudah setua ini, tapi belum pernah merasakan manisnya cinta."
Hana menatap Geiso dengan simpati. "Jangan khawatir, Geiso. Aku yakin suatu hari nanti kau akan menemukan cinta sejatimu."
"Kau benar, Hana," Tora menambahkan. "Siapa tahu, jodohmu sedang menunggumu di ujung Hutan Terlarang ini."
Geiso tertawa terbahak-bahak. "Kau ini bisa saja, Tora. Tapi aku tidak terlalu berharap banyak. Lagipula, siapa yang mau dengan nenek tua sepertiku?"
"Geiso, jangan bilang begitu," protes Hana. "Kau itu wanita yang baik dan bijaksana. Aku yakin banyak pria yang akan terpesona olehmu."
"Terima kasih, Hana," kata Geiso sambil tersenyum. "Tapi aku sudah terbiasa hidup sendiri. Aku sudah mengabdikan hidupku untuk melindungi Elotalia. Itu sudah cukup bagiku."
Tora dan Hana terdiam, merasa kagum dengan dedikasi Geiso. Mereka berdua menyadari bahwa Geiso adalah wanita yang luar biasa.
"Baiklah, anak muda," Geiso berkata sambil bertepuk tangan. "Cukup dengan drama percintaannya. Ayo kita lanjutkan perjalanan kita. Kita tidak boleh membuang waktu."
Mereka bertiga melanjutkan perjalanan mereka, menyusuri jalan setapak yang berliku. Tora dan Hana berjalan berdampingan, tangan mereka kembali saling menggenggam. Geiso berjalan di belakang mereka, tersenyum melihat kemesraan kedua anak muda itu.
"Ah, muda memang indah," gumam Geiso sambil menggelengkan kepala. "Tapi tidak apa-apa. Aku punya misi penting untuk diselesaikan. Dan siapa tahu, mungkin saja aku akan menemukan cinta sejatiku di sepanjang jalan."
Hutan Terlarang Elotalia semakin dalam, dan suasana semakin mencekam. Pepohonan menjulang tinggi, menghalangi sinar matahari sehingga hanya sedikit cahaya yang bisa menembus masuk. Suara-suara aneh terdengar dari segala arah, membuat bulu kuduk merinding.
Tora, Hana, dan Geiso berjalan dengan hati-hati, waspada terhadap segala kemungkinan bahaya. Mereka terus mengobrol, mencoba mengusir rasa takut yang mulai menghantui.
"Geiso, ceritakan lebih banyak tentang Elotalia," pinta Tora, berusaha mengalihkan perhatiannya dari suasana yang mencekam.
Geiso tersenyum, "Tentu saja, Tora. Apa yang ingin kau ketahui?"
"Bagaimana dengan makhluk-makhluk yang menghuni hutan ini? Apakah mereka berbahaya?" tanya Hana, matanya menyapu sekeliling dengan waspada.
Geiso mengangguk. "Hutan Terlarang memang dihuni oleh berbagai makhluk, baik yang jinak maupun yang berbahaya. Kalian harus selalu waspada dan jangan pernah lengah."
Tiba-tiba, suara ranting patah terdengar dari balik semak-semak. Ketiga orang itu langsung berhenti, tubuh mereka menegang. Geiso mengeluarkan tongkat sihirnya, siap untuk melawan segalaancaman.
Sebuah sosok muncul dari balik semak-semak. Itu adalah makhluk aneh dengan tubuh pendek dan gemuk, kulit berwarna hijau berlendir, dan mata melotot yang terlihat cabul. Makhluk itu menyeringai lebar, memperlihatkan gigi-giginya yang tajam.
"Wuih, ada cewek cakep!" seru makhluk itu dengan suara serak. Matanya tertuju pada Hana, tepatnya pada dada Hana yang besar.
Tanpa peringatan, makhluk itu melompat ke arah Hana, tangannya terulur hendak meremas dada Hana. Hana menjerit kaget, berusaha menghindar. Tora refleks mendorong Hana ke samping, membuat makhluk itu kehilangan sasaran.
"Dasar monster cabul!" teriak Tora sambil menendang makhluk itu hingga terpental beberapa meter.
Makhluk itu bangkit dengan marah. "Berani sekali kau mengganggu kesenanganku!" teriaknya sambil mengeluarkan senjata dari balik punggungnya.
Geiso melangkah maju, tongkat sihirnya teracung. "Jangan macam-macam dengan kami, makhluk menjijikkan!"
Pertempuran pun tak terelakkan. Geiso melancarkan mantra sihirnya, menciptakan bola api yang melesat ke arah makhluk itu. Makhluk itu menghindar dengan lincah, lalu membalas dengan serangan senjata tajamnya.
Tora dan Hana hanya bisa menyaksikan pertarungan itu dengan cemas. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu Geiso. Mereka hanya bisa berharap Geiso bisa mengalahkan makhluk cabul itu.
Monster cabul itu melompat ke arah Geiso, tangannya terulur dengan niat jahat. Namun, ia salah perhitungan. Alih-alih meremas dada Hana yang montok, tangannya malah mendarat di dada Geiso yang... rata.
"Aduh!" teriak monster itu kesakitan, melompat mundur sambil memegangi tangannya yang merah padam. "Dada apa ini? Keras sekali! Seperti batu!"
Geiso menatap monster itu dengan tatapan dingin. "Dasar makhluk cabul! Berani-beraninya kau meraba-raba tubuhku yang suci!"
Wajah Geisomemerah padam karena marah. Ia mengangkat tongkat sihirnya tinggi-tinggi, mengumpulkan energi sihir di ujungnya.
"Rasakan ini, dasar mesum!" teriak Geiso sambil mengayunkan tongkatnya.
Sebuah bola api raksasa muncul dari ujung tongkat Geiso, membentuk wujud naga yang ganas. Naga api itu mengaum dengan dahsyat, lalu melesat ke arah monster cabul.
Monster itu terkejut melihat naga api yang datang menerjang. Ia berusaha menghindar, tapi naga api itu terlalu cepat. Naga api menghantam monster itu dengan kekuatan penuh, membakarnya menjadi abu dalam sekejap.
Geiso menurunkan tongkat sihirnya, napasnya terengah-engah. Ia menatap abu monster cabul itu dengan tatapan puas.
"Rasakan itu, dasar mesum!" kata Geiso dengan nada kemenangan.
Tora dan Hana mendekati Geiso, wajah mereka dipenuhi kekaguman.
"Wow, Geiso, itu tadi keren sekali!" seru Tora.
"Kau benar-benar hebat!" tambah Hana.
Geiso tersenyum malu-malu. "Ah, itu hanya sihir biasa. Tidak ada yang istimewa."
"Tapi naga api itu sangat keren!" kata Tora. "Aku belum pernah melihat sihir seperti itu sebelumnya."
Geiso tertawa. "Itu adalah jurus andalanku, Fire Dragon. Aku mengembangkannya sendiri setelah bertahun-tahun berlatih."
"Kau memang hebat, Geiso," kata Hana. "Aku senang kita memiliki penyihir kuat sepertimu sebagai pelindung."
Geiso tersenyum hangat. "Aku akan selalu melindungi kalian, anak-anak muda. Kalian adalah harapan Elotalia."
Mereka bertiga melanjutkan perjalanan mereka, meninggalkan abu monster cabul yang berserakan di tanah. Tora dan Hana merasa lebih aman sekarang, mengetahui bahwa mereka memiliki Geiso di sisi mereka.
"Ngomong-ngomong, Geiso," kata Tora sambil menyeringai, "aku jadi penasaran, apa yang membuat dadamu sekeras batu?"
Geiso melotot pada Tora. "Dasar anak muda kurang ajar! Jaga bicaramu!"
Tora dan Hana tertawa terbahak-bahak. Mereka tahu bahwa Geiso hanya bercanda. Mereka merasa beruntung memiliki Geiso sebagai teman seperjalanan.
Setelah perjalanan yang melelahkan, Tora, Hana, dan Geiso akhirnya tiba di tempat yang ditunjukkan oleh peta. Sebuah gua besar menganga di hadapan mereka, mulut gua dihiasi oleh ukiran-ukiran kuno yang menggambarkan simbol-simbol misterius.
"Menurut peta, Kristal Harapan ada di dalam gua ini," kata Geiso sambil menunjuk ke arah mulut gua.
Tora dan Hana mengangguk, perasaan mereka campur aduk antara semangat dan cemas. Mereka sudah melewati banyak rintangan untuk sampai ke tempat ini, dan kini mereka hanya selangkah lagi untuk mendapatkan Kristal Harapan.
Mereka bertiga memasuki gua dengan hati-hati. Udara di dalam gua terasa dingin dan lembap. Cahaya obor yang mereka bawa berkedip-kedip, menerangi stalaktit dan stalagmit yang menjulang tinggi.
Setelah berjalan beberapa saat, mereka tiba di sebuah ruangan besar. Di tengah ruangan, terdapat sebuah kristal raksasa yang memancarkan cahaya putih yang menyilaukan. Kristal itu berbentuk seperti berlian, dengan permukaan yang halus dan berkilauan.
"Itu dia Kristal Harapan!" seru Tora dengan penuh semangat.
Mereka bertiga mendekati kristal itu dengan hati-hati. Geiso mengulurkan tangannya, menyentuh permukaan kristal yang halus. Tiba-tiba, kristal itu memancarkan cahaya yang lebih terang, memenuhi seluruh ruangan.
Tora dan Hana menutup mata mereka, silau oleh cahaya yang menyilaukan. Ketika mereka membuka mata, mereka melihat Geiso berdiri di depan kristal, tangannya masih menyentuh permukaan kristal.
"Geiso, apa yang terjadi?" tanya Hana dengan cemas.
Geiso menoleh ke arah mereka, wajahnya dipenuhi kebingungan. "Aku tidak tahu," jawabnya. "Aku hanya menyentuh kristal ini, lalu tiba-tiba..."
Geiso tidak melanjutkan kata-katanya. Ia menatap kristal itu dengan tatapan kosong, seolah-olah sedang terhipnotis.
Tora dan Hana saling berpandangan, khawatir dengan keadaan Geiso. Mereka mencoba membangunkan Geiso, tapi tidak berhasil.
"Geiso, bangunlah!" teriak Tora.
Geiso tidak merespon. Ia tetap berdiri di depan kristal, matanya terpejam.
Tora dan Hana mulai panik. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka hanya tahu bahwa mereka harus segera membawa Geiso keluar dari gua itu.
Tora dan Hana menggendong Geiso dan membawanya keluar dari gua. Mereka berlari secepat mungkin, meninggalkan Kristal Harapan yang masih memancarkan cahaya putih menyilaukan.
Mereka berlari hingga tiba di tepi sungai. Tora dan Hana meletakkan Geiso di bawah pohon besar, lalu mereka duduk di sampingnya.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Hana dengan cemas.
Tora menggelengkan kepalanya. Ia tidak tahu jawabannya. Ia hanya bisa berharap bahwa Geiso akan segera sadar dan memberi tahu mereka apa yang harus mereka lakukan.
Mereka berdua duduk di sana, menunggu Geiso sadar. Matahari mulai terbenam, langit berubah menjadi jingga kemerahan. Tora dan Hana semakin khawatir.
"Geiso, bangunlah," bisik Hana sambil menggenggam tangan Geiso.
Namun, Geiso tidak merespon. Ia tetap tertidur pulas, seolah-olah tidak akan pernah bangun lagi.
Tora dan Hana merasa putus asa. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan selanjutnya. Mereka hanya bisa berharap bahwa ada keajaiban yang akan menyelamatkan mereka.