"Kekuatan dari bapak ya? Hahaha...."
Celis menundukkan kepalanya sambil memegang matanya. Perasaan kecewa terhadap dirinya tidak mempunyai hasil.
"Pada akhirnya, aku selalu dibantu orang. Sampai kapan aku gini terus? Besok? Lusa? 1 tahun? 2tahun? Aku kira aku punya kekuatan sendiri, aku pikir aku membangkitkan kekuatanku sendiri...."
Dia melihat ke mayat mereka lalu menyadarkan dirinya.
"Ahh...Aku pulang-pulang disambut banjir darah..."
Celis sengaja menjatuhkan diri, terlentang di lantai penuh darah. Menatap lampu yang mati dan juga ada cicak cicak yang berlari.
"Ini dimaksud pulang? Untuk apa aku kesini lagi? Emang ini rumahku?"
Menatap kosong keatas, bingung, harus berekspresi apa setelah kejadian ini. Rumah berantakan, kamar peninggalan orangtua jadi banjir darah, rahasia orangtua di incar orang.
"Rumah?"
Celis menutup mata menggunakan tangannya.
"Andai penyakit anxienty bisa sembuh, sudah 4 tahun. Ngapain, dimana, kapan, apapun... Rasa gelisah dan kekhawatiran tanpa akhir tanpa ujung. Senang atau sedih, selalu khawatir padahal gada yang dipikirkan."
Tiba-tiba didalam pikiran putih kosong dengan sedikit retakan hitam di ujung. Celis berdiri lalu membulatkan tekadnya kembali. Mengabaikan perasaan, berbicara pelan.
"Sesak."
Jam 11.28 WITA, Rumah bersih dan rapi seperti semula. Celis kehabisan tenaga langsung rebahan ke kamarnya sendiri.
Di suatu kebun yang asing, pria yang mungkin itu pemiliknya berjalan ingin pulang menuju motornya tiba-tiba ada suara jatuh di belakangnya.
"Durian?!"
Dia mencari asal suara itu namun ketika menjumpainya, melihat mayat tanpa kepala dan satunya dicincang halus. Dia menjauh lalu muntah melihatnya.
Keesokan harinya, di jam istirahat sekolah. Di lapangan banyak orang berkumpul, melingkari sesuatu ditengahnya.
Celis sedang scroll sosmed pun merasa terganggu dan kemudian melihat keluar.
"Apasih ribut banget."
Kebetula Hella datang lalu menyapa Celis.
"Woi cel."
Celis langsung menanyakan.
"Kenapa itu?"
"Drama."
"Masalah apa?"
Celis berpikiran ada yang ingin berkelahi.
"Mending langsung liat."
"..."
Celis menyelip diantara mereka yang berkumpul menonton, dan Hella dengan santai jalan entah kemana tiba-tiba sampai didepan. Kemudian Celis sampai dan dia terkejut melihat Hella duluan sampai. Hella tersenyum tipis membalasnya dan kemudian mereka melihat perdebatan cewek.
Celis kecewa dengan ekspektasinya.
"Aku pikir, ada yang mau berantem tadi. Emang mereka siapa."
"Mereka teman kelasku, Kelas 2 Wizard."
Hella menunjuk perempuan berambut panjang yang di ikat belakangnya dengan belah dua di poninya.
"Kiri yang kena masalah namanya Shintia.
Lalu dia menunjuk lagi, perempuan rambut pendek dengan sedikit pirang di ujung-ujungnya.
di kanan yang buat masalah namanya Dea."
Celis heran melihat sekitar diantara banyaknya orang yang melihat, tiada yang misahkan mereka.
"Terus kenapa gada yang misahin?"
"Liat aja."
Disisi lain, Shintia yang panik tidak bisa melakukan apapun karena Dea terus menerus membentaknya.
"Dipikir kamu cantik hah?!!!."
"Bukan gitu, maksudku rambutmu bagus. Ga harus di pirang."
"Berisik!!! Kamu sendiri tadi bilang "rambutmu jelek kalau pirang." gitu."
"Gaa. Ga ada aku ngomong gitu."
"Bacot."
Mendengarnya membuat Shintia terkena mental dan dia berbicara pada dirinya sendiri.
"Kenapa kamu gitu Dea? Kenapa kamu berubah? Kenapa kamu bentak aku?"
Dea menegaskan kepada Shintia.
"Aku....benci kau."
Shintia berlari menampar wajah Dea. Terlepas dari kesabarannya membuat dia ikut marah.
"Kenapaa Deaa??!! Kenapa baru bilang sekarang?! Kenapaaa!!!"
Di tengah keributan mereka berdua, ada seorang laki-laki tinggi berambut panjang berjalan menerobos masuk ke tengah, dia terlihat tampan dan orang-orang yang melihatnya terpukau seperti orang istimewa di sekolah, tak hanya itu bahkan ada yang ketakutan melihatnya saja.
Mereka yang menonton berkomentar.
"Oi bukankah itu?"
"Jir, Dia!"
"Hilanglah tu cewe cantik rambut panjang."
"Waduh, dia datang."
Shintia melihat laki-laki itu gemetar ketakutan dan mundur kebelakang berbicara dalam pikirannya.
"Harus gimana akuuuu..."
Dia menghampiri mereka berdua dan membelai pipi Dea.
"Pipimu kok merah Dea?"
Dari Pandangan mata Dea, dia terlihat malu.
"Ga, Gapapa kok."
Disisi lain, Celis melihatnya merasa seperti menonton film sinetron. Celis menunjuk Ke Laki-laki itu dan bertanya ke Hella.
"Oi, itu siapa lagi?"
Celis melihat Hella berkeringat dingin, beranggapan seperti dia bukan sembarang orang.
Berbicara sendiri dalam pikiran Celis.
"Bahkan aku ga nyangka sekelas Hella, takut dengan dia."
Hella menjawabnya.
"Dia adalah Suo Diha. Terkenal dengan kekuatan Greenflame nya dan dia dulunya juga mantan juara karate tingkat nas—."
Tiba-tiba suara tamparan keras membalaskan Dea, Suo menampar wajah Shintia dan mendorongnya. Membuat Celis, Hella dan Orang-orang melihatnya terkejut.
Menurut Hella.
"Shintia mungkin tulangnya patah, karena menampar pacarnya Suo."
Celis mengingat nama Suo Diha pernah mendengar atau melihat sebelumnya, terasa tak asing baginya.
Mengingat waktu itu sebelum melawan Hella, Dia melihat layar besar dan melihat nama Suo Diha disana.
Suo menggenggam tangan Shintia seperti memegang gelas, mengangkatnya ke atas. Shintia kesakitan dan mencoba menahannya. Suo menguatkan genggamannya, melampiaskan kekesalannya.
"Tangan ini, yang menyakiti Dea."
Shintia semakin kesakitan dan berteriak keras tak bisa menahan sakit, meneteskan air mata lalu Suo melempar Shintia ke bawah.
Suo baru saja meninggalkan Shintia merangkul pundak Dea dan tiba-tiba di teriak-in dengan Celis yang ikut datang ke tengah.
"Datang cuma nyakitin terus kabur. Gitukah pahlawan menurutmu? Suo."
Hella kaget terkejut melihat Celis pergi kesana. Suo Kembali berhadapan dengan Celis yang berdiri di belakang Shintia.
Senyum smirk terlihat di mulut Suo menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi.
Mereka Menatap satu sama lain.
"Aku dengar kau murid pindahan ya? Terus apaan matamu sinis banget kek mata cewe lagi kelahi."
Celis juga tersenyum smirk menunjukkan keberaniannya.
"Aku dengar kau orang kuat ya? Lagian,mataku emang gini."
"Kamu siapa dia? Temannya? Cowonya? Atau mungkin pahlawannya?"
"Mana tau."
Celis maju sedikit mencari jarak, melepaskan teknik tendangan yang lintasan geraknya melengkung seperti sabit, menggunakan punggung kaki untuk menyerang kepala Suo.
Hella melihatnya berteriak panik.
Shintia berkeringat dingin melihatnya.
Suo menahan menggunakan lengannya untuk menutupi kepalanya. Dia dengan santai menanyakan kepada Celis.
"Silat ya?"
Celis melepas kakinya dan menjauh mencari jarak.
"Siapa yang peduli."
Celis berbalik badan pergi menjemput Shintia.
"Sinting, Kamu mau tanganmu sakit terus?"
Shintia melihat kiri kanan bingung lalu menatap kembali Celis sambil berkedip-kedip cepat. Celis menunjuk.
"Aku?"
Celis menghela nafas.
"Ayo cepat bangun, Si-sin... Sinting."
Shintia langsung marah ke Celis.
"Shintia. Bodo."
"Yaudah, namanya lupa. Cepat bangun."
"Bantuin."
Celis membuka tangannya mengangkat tangannya ke atas. Shintia kemudian bangun dan marah-marah lagi.
"Aku ga nyuruh berdoa tolol."
Celis menurunkan tangannya.
"Toh, berdiri kan."
Shintia kehabisan tenaga untuk berdebat dengan Celis dan memutuskan untuk diam.
"...."
Suo berteriak.
"Oi belah tengah."
Celis melihat kebelakang.
Suo tersenyum lebar.
"Ayo Kelahi diluar."
Celis terkejut mendengarnya.
"Atur aja waktunya asal jangan malam."
"Ku patahkan tulangmu."
Dea mendengar juga melihat pesona ayang alias Suo yang begitu keren, mukanya Dea memerah dalam pikirannya.
"Kamu keren banget sayangggg..."
Celis hanya melihatnya sebagai responnya lalu Shintia memiringkan badannya melihat Dea dengan ragu-ragu juga sebenarnya malu karena ditolong.

Shintia memberi salam kepada Dea dengan perasaan tak enak.
"Dadah Dea."