"Ngapuro, Mas!"
Tabrakan tak disengaja itu menyebabkan beberapa barang belanjaan berupa tepung terigu dan mentega robek, bahkan tumpah lumayan banyak.
Laki-laki yang menabrak, dengan sigap membantu memungut belanjaan lain yang masih aman. "Sorry, yah, saya nggak senga__" Ia mendongak. "__ja".
Sorot mata keduanya bersirobok tajam, tampak dari bola mata yang melebar. Batas pagi yang baru saja menjamah siang, berhenti sejenak, ikut melirik dua sejoli itu. Siapa sangka mereka akan bertemu kembali, sealur dengan perubahan di sekitar yang dulunya hanya sebuah tanah kosong tak terpakai, kini telah berdiri sebuah toko besar.
Perempuan itu tak punya kuasa mengontrol isi kepala yang secara otomatis mereka ulang kenangan beribu-ribu hari di antara keduanya yang telah digilas waktu. Ia sadar, tak ada yang berubah. Mereka mungkin telah dewasa, tampak dari sedikit perubahan pada si lelaki yang kini mengenakan kacamata berbingkai tipis, pun rambut-rambut halus di area dagu. Mereka juga mungkin telah melangkahi masa-masa berat, dan tengah berjuang meniti masa depan. Namun, gejolak yang sama kembali hidup. Gejolak yang tak bisa pudar hanya karena tergerus waktu yang begitu nafsu menelan siang menjadi malam dalam satu kedipan mata.
"Melinda."
Jantung perempuan itu berdetak lebih cepat dari biasanya, seakan sumber pemompa darah itu mencuat keluar dari perut. Ia mendengar jelas namanya dipanggil masih dengan cara dan intonasi yang sama seperti dulu. Ia tak menyangka, bahkan setelah mengudak diri selama hampir setengah dekade, tembok bata yang ia susun bisa runtuh begitu saja. Namun realita berhasil menyentak, membuatnya sadar akan kebodohan. Ia segera menggeleng dan mengangguk kaku.
Keduanya sama-sama menghiraukan barang belanjaan yang berserakan akibat perasaan campur aduk, seperti air teh yang dicampur gula dan garam secara bersamaan—sulit dicerna.
"Kak ... Panji?" Suara perempuan itu teramat halus dan pelan sebab ia takut salah mengira dan berakhir malu sendiri.
Melinda yakin pertemuan kali ini nyata, tak seperti sebelum-sebelumnya yang hanya terjadi lewat bunga tidur. Pertemuan itu berlangsung di bawah terik matahari Jogja, di depan Sari Abadi Toserba yang dikelilingi orang dari pintu masuk dan keluar toko. Lalu lalang kendaraan beroda dua dan empat seakan menjadi saksi bisu pertemuan keduanya. Bising suara penjual makanan terdengar samar, hilang perlahan-lahan ditelan kesunyian.
Butir keringat mengakibatkan dahi si lelaki mengilap disenter matahari yang begitu panas membakar wajah hingga merah. Salah sendiri bagi orang-orang yang tahu tetapi mengabaikan, sebab BMKG telah memprediksi sebelumnya bahwa musim kemarau akan berlangsung pada Agustus 2018.
"Udah lama nggak ketemu, Mel."