Di awal waktu, alam semesta berada dalam keadaan harmonis. Para dewa, yang menguasai berbagai aspek realitas, bekerja sama untuk menjaga keseimbangan dan ketertiban. Namun, seiring berjalannya waktu, beberapa dewa mulai merasa tidak puas dengan peran mereka. Mereka menginginkan lebih—lebih kekuasaan, lebih pengaruh, lebih pengakuan.
Ambisi ini perlahan-lahan menggerogoti kesatuan di antara para dewa. Pertikaian dan perselisihan mulai terjadi, dengan setiap dewa menarik pengikutnya sendiri, menciptakan faksi-faksi yang saling bertentangan. Kekuatan yang seharusnya digunakan untuk menciptakan dan memelihara kehidupan mulai digunakan untuk konflik dan penaklukan.
Ketidakstabilan ini mengancam seluruh kosmos. Realitas-realitas yang rapuh mulai retak dan terpecah, menciptakan lubang hitam kekacauan yang menelan segala sesuatu di jalurnya. Alam semesta yang dulu damai kini berada di ambang kehancuran total.
Melihat kekacauan yang terjadi, GENOSA, yang telah lama mengamati dari kejauhan, memutuskan untuk turun tangan. Dengan kekuatan yang melampaui para dewa, GENOSA bertekad untuk mengembalikan ketenangan dan keseimbangan yang telah hilang. Ia menghadapi para dewa yang kacau, bukan dengan kekuatan yang merusak, tetapi dengan kebijaksanaan dan kekuatan yang membangun, mengajarkan kepada mereka esensi sebenarnya dari kekuasaan dan tanggung jawab.
Konflik yang semakin membesar itu menjadi titik balik dalam saga GENOSA. Para dewa yang iri dengan kekuatan GENOSA yang tak terbatas, merasa terancam oleh kehadirannya yang bisa mengubah tatanan kekuasaan yang telah lama ada. Aliansi gelap terbentuk di antara mereka, sebuah persekutuan yang didasari oleh ketakutan dan keinginan untuk mempertahankan dominasi mereka atas realitas.
Mereka merencanakan dan melancarkan serangan terkoordinasi terhadap GENOSA, menggunakan kekuatan mereka yang paling dahsyat.