Chereads / Astrydia / Chapter 3 - Chapter 2 Kecantikan Murni

Chapter 3 - Chapter 2 Kecantikan Murni

Chapter 2

Kecantikan dari Alam

Setelah berjalan cukup jauh meninggalkan hutan berbahaya, akhirnya mereka berempat tiba di gerbang masuk menuju Kerajaan Aredia.

Kerajaan Aredia bagaikan lukisan surga yang diturunkan ke bumi. Pemandangan di depan mata sungguh memukau, seakan alam dalam kanvas telah hidup menjadi kenyataan. Barisan pegunungan hijau mengelilingi kerajaan, menyegarkan indera dengan udara sejuknya yang menggoda.

Aliran sungai biru jernih yang membelah wilayah pegunungan terlihat begitu indah. Gemericik air terjun di kejauhan bak melantunkan simfoni alam yang memesona, membentuk pelangi abadi di sekelilingnya. Padang rumput hijau membentang luas, dihiasi bunga-bunga warna-warni yang menyebarkan semerbak aromanya.

Pepohonan rindang menaungi buah-buahan lebat, sementara kicauan merdu burung-burung mengiringi loncatan riang hewan-hewan ajaib yang berlalu-lalang dengan damai. Semuanya serasi, seimbang, dan harmonis dalam keindahan alami yang memukau.

Di kala malam tiba, keajaiban itu semakin nyata. Kunang-kunang dan bunga-bunga bermekaran menerangi langit. Bintang-bintang bertaburan bak berlian, membentuk sebuah fenomena menakjubkan jika ditatap dengan saksama. Bulan purnama bersinar terang, memantulkan keindahannya pada permukaan danau yang membentang tenang.

Begitu damainya Kerajaan Aredia. Pantas disebut sebagai surga di bumi. Tempat paling indah dan ajaib yang pernah ada. Sekedar memandangnya saja sudah mampu menenangkan jiwa.

'Pemandangan ini membuatku bernostalgia... Infrastruktur dan pemandangannya mirip sekali dengan tempat tinggal peri,' batin Raia sambil tersenyum, menatap apa yang dulu pernah disaksikannya dan kini kembali tersaji di hadapannya.

Raia memikirkan sebuah alasan agar bisa menjelajah kerajaan ini dengan leluasa. Ia mendekati Miss Claudia dan dua temannya di depan.

"Aku ingin pergi ke suatu tempat. Kalian duluan saja ke akademi," ujarnya.

"Baiklah, kami akan menunggumu kembali, Noah," balas Miss Claudia dengan senyum manisnya.

Raia berpisah dari mereka bertiga, memulai pengembaraannya dari sebuah toko buku tua dekat gerbang. Ia ingin mencari tahu lebih dalam tentang apa saja yang terjadi selama kepergiannya, rasa ingin tahunya terpancing.

Di sisi lain, Miss Claudia, Hayden dan Kriss melanjutkan perjalanan ke akademi tanpa Noah. Keheningan melingkupi mereka hingga akhirnya Kriss membuka suara dengan nada serius.

"Miss Claudia, apakah Anda menyadari sesuatu?" tanyanya sambil melempar pandangan ke arah lain.

"Ya, aku tahu. Apakah dia benar-benar Noah yang kita kenal? Aku bahkan hampir tak bisa mengenalinya kecuali dari suaranya," Miss Claudia mengungkapkan kecemasannya, wajah cantiknya sedikit menggelap.

"Rambut dan matanya sangat berbeda, kan? Tapi, aku tetap yakin itu adalah Noah. Mungkin rambut dan matanya berubah karena efek bangkitnya kekuatan," Hayden mencoba menganalisis dengan nada sedikit bercanda, namun raut wajahnya menunjukkan keseriusan.

"Hayden, kau terlalu banyak membaca buku legenda. Tapi siapa tahu, asumsimu itu benar adanya?" Kriss tampak sedikit lega setelah mendengar kata-kata Hayden, senyum tipis tersungging di bibirnya.

"Sudah, sudah, yang penting Noah kembali dengan selamat. Ayo cepat, kita harus segera kembali. Nanti Miss Tresa bisa marah," ajak Miss Claudia sambil tersenyum manis kepada kedua muridnya.

∆∆∆

Raia memasuki toko buku tua yang berdiri kokoh, seakan menantang gempuran waktu. Papan nama yang usang dan memudar hampir tak terbaca, menyembunyikan misteri yang terpendam di baliknya.

Ketika kaki Raia melangkah masuk, derit lantai kayu tua menyambutnya dengan senandung khas, seolah merekam jejak setiap pengunjung yang pernah singgah. Setiap langkah terasa berat, membawa beban kisah masa lalu yang terpendam di bawah kakinya.

Rak-rak buku menjulang tinggi berdiri angkuh, beberapa di antaranya kosong, menjadi sarang laba-laba yang merajut jaring-jaring sabar. Debu menghiasi setiap sudut, menari dalam sinar matahari yang menerobos masuk dari jendela kecil yang tak pernah dibersihkan bertahun-tahun.

Di meja resepsionis dekat pintu masuk, sebuah buku daftar pengunjung terbuka lebar, halamannya menguning dan rapuh. Alat tulis yang tergeletak di sampingnya telah mengering, seolah tak tersentuh dalam waktu lama.

"Tempat ini... mengingatkanku pada sesuatu, perpustakaan bawah tanah, ya? Sangat mirip sekali situasi yang kualami sekarang," gumam Raia, menatap setiap sudut perpustakaan tua dengan senyum tipis.

Setiap langkahnya berderit, seakan lantai kayu menyambut riang kedatangannya setelah sekian lama ditinggalkan. Raia beranjak menuju meja resepsionis, melihat sebuah buku yang sepertinya daftar buku. Tempat ini benar-benar tertutup debu, jejak kakinya terukir jelas di lantai.

Raia menyapu debu yang menutupi daftar buku, membolak-balik halaman kuningnya yang rapuh perlahan. Setiap kali membuka halaman baru, ujungnya selalu hancur.

Ia membaca setiap judul buku yang tertulis di sana meskipun hampir tak terbaca lagi. Halaman demi halaman dilalui, namun tak ada yang menarik perhatiannya.

Raia melangkah menuju pintu keluar. Namun, tiba-tiba ia merasakan ada seseorang di dalam, seolah tengah diawasi dari balik rak buku yang menjulang tinggi. Raia mengabaikan perasaan tak nyaman itu, menganggapnya efek dari tubuh manusia yang dihuninya. Ia meninggalkan perpustakaan tua itu dan melanjutkan pengembaraannya.

Tak jauh dari sana terdapat pasar yang menjajakan berbagai barang, dari sayuran, buah, makanan siap saji, hingga toko pedang dan senjata lainnya. Ada juga toko buku sihir yang dijaga seorang nenek tua bertudung merah bermotif bunga.

Raia mengamati setiap sudut dengan teliti. Waktu berlalu begitu cepat hingga matahari mulai condong ke barat. Ia akhirnya berniat kembali ke akademi yang entah di mana letaknya.

"Ah sial, aku tak tahu rute apapun di kerajaan ini," keluhnya frustrasi, mulai merasakan lelah karena efek tubuh manusianya.

Matahari tenggelam perlahan, menutup sinar yang menerangi Raia sepanjang hari. Kini perjalanannya hanya ditemani lampu-lampu di pinggir jalan. Entah benar atau tidak, Raia berjalan menuju tempat gelap di sudut kerajaan.

"Ugh sial, aku sudah lelah berjalan kesana kemari dan tetap saja tersesat," keluhnya kesal.

Di bawah langit jingga, sebuah peristiwa janggal terjadi di sudut Kerajaan Aredia. Raia berdiri berhadapan dengan seorang pria yang tampak ketakutan setelah melihat kemunculannya yang tiba-tiba. Pria itu menjatuhkan sebuah kotak berwarna coklat tua yang sebelumnya digenggamnya erat.

Pria paruh baya yang usianya kisaran 30 tahun lebih secara mengejutkan muncul dari bawah tanah yang sepertinya sengaja dikamuflasekan oleh seseorang agar menyatu dengan lantai.

Sebelum pria itu sempat mengambil kembali kotaknya yang jatuh, Raia dengan gesit sudah berada di hadapannya. Mata biru langitnya menatap langsung ke arah pria itu, menciptakan keheningan mencekam di antara mereka berdua.

"Apa kau tahu jalan ke akademi?" tanya Raia dengan nada yang terdengar kesal, membuat pria di depannya semakin ketakutan.

Namun, tak lama kemudian pria itu sedikit tenang setelah mendengar pertanyaan aneh dari Raia. Dalam benaknya mungkin ia berpikir, 'Bukankah anak ini dari akademi? Kenapa dia menanyakan jalan ke sana?'

Akan tetapi, pria itu juga menyadari bahwa berlama-lama dengan Raia bisa membuatnya tertangkap oleh penjaga kerajaan yang berpatroli setiap malam.

"K-ke arah sana, nanti kau akan menemukan persimpangan lalu belok kiri, di sana letak akademinya," jawabnya dengan nada cemas dan berbelit-belit.

"Baiklah. Oh ya, satu lagi, tempat apa di bawah ini?" Raia bertanya dengan nada blak-blakan, seperti seorang bocah polos yang tak tahu apa-apa.

"H-hanya tempat b-biasa..." Kali ini ketakutan pria itu benar-benar jelas, dan Raia pun menyadari hal tersebut.

"Aku ingin masuk ke dalam sana, kau bilang hanya tempat biasa, kan?" Raia mencoba memancing pria itu agar mengungkapkan apa yang sebenarnya ada di bawah sana.

Namun, tepat saat itu tiga sosok asing muncul. Mereka berdiri di atas atap rumah warga, menatap Raia dan pria itu dari atas. Masing-masing mengenakan jubah hitam dan masker untuk menyembunyikan identitas mereka.

Dengan sangat cepat, kilatan petir kecil melesat ke samping mata Raia, menembus kepala pria yang bersamanya tadi. Raia menatap ketiga sosok itu, namun belum berniat untuk bertarung karena kondisinya yang sudah sangat lelah.

"Ada lagi orang aneh dan sekarang ada tiga. Apa pria tadi musuh kalian?" Nada Raia terdengar jelas bahwa ia sudah sangat malas untuk melayani pertarungan.

Sekali lagi, tiga sosok berjubah hitam itu menembakkan sihir petir ke arah Raia, mengarah ke kepalanya. Namun, Raia berhasil menghindarinya dengan mudah.

"Apa kalian tak bisa berbicara? Ini membosankan," ujar Raia, mencoba memancing mereka bertiga untuk turun ke bawah, sepertinya ia memiliki rencana tersendiri.

Namun, kata-kata Raia tak membuat mereka bergeming. Mereka berpencar dari arah tengah, kiri, dan kanan untuk menyerang Raia secara bersamaan. Bunyi senjata terdengar jelas di telinga Raia dari sebelah kanan, dan bunyi terbukanya sebuah buku terdengar dari sebelah kiri.

Ia melihat ke tengah, di mana kilatan petir lebih besar dari sebelumnya mengarah langsung ke wajahnya. Dengan terpaksa, Raia bersiap mengeluarkan sihirnya sendiri untuk memblokir serangan dari ketiga arah tersebut.

Namun, belum sempat Raia bertindak, sebuah kain merah bermotif bunga melayang di hadapannya, memblokir kilatan petir dan memantulkannya ke atas. Sementara itu, orang-orang yang menyerang dari kiri dan kanan Raia terkena semacam aroma bunga aneh yang membuat pikiran mereka kosong.

"Pembunuh dari pasar gelap, akhirnya aku melihat kalian secara langsung," sebuah suara indah bagaikan harmoni alam terdengar.

Di bawah langit jingga bercampur awan gelap yang membentang luas, seorang wanita cantik berdiri dengan anggun. Surai putihnya yang indah berkilau bagaikan mutiara tersiram cahaya matahari, berkibar lembut tertiup angin sepoi-sepoi.

Sepasang mata emas miliknya seakan menyimpan misteri yang tak terpecahkan, memancarkan kebijaksanaan yang hanya dimiliki oleh mereka yang telah melihat banyak hal dalam hidup. Tatapannya teduh, namun menyimpan ketegasan yang tidak terbantahkan.

Ia mengenakan gaun yang seakan terjahit dari daun-daun hijau segar dan sulur-sulur merambat. Bagian atasnya terbuat dari kain sutra putih lembut yang memeluk tubuh rampingnya dengan sempurna. Gaunnya melambai ringan setiap kali angin berembus, menciptakan harmonisasi indah disekitarnya.

Ketika wanita itu berjalan, setiap langkahnya meninggalkan jejak kecil di atas rerumputan yang dipijaknya. Namun anehnya, jejak itu tak berlangsung lama dan seakan terhapus oleh alam, meninggalkan hamparan hijau yang utuh seperti sedia kala.

Wajahnya yang rupawan bagaikan pahatan indah sang pemahat terbaik. Tulang pipinya yang tinggi menambah keanggunan penampilannya. Bibirnya yang merah delima membentuk lengkungan senyum lembut yang menenangkan jiwa.

Seluruh penampilannya mencerminkan kecantikan alami yang begitu mempesona. Dia bagaikan personifikasi alam itu sendiri - anggun, indah, namun juga menyimpan kekuatan yang tak terduga.

Ketiga orang itu ternyata pembunuh bayaran dari pasar gelap, berdasarkan informasi dari gadis berparas sangat cantik disebelah Raia.

"Ada orang aneh yang datang. Kenapa kau menolongku?" nada frustasi masih terdengar dari Raia meski wajah cantik di sampingnya tampak tenang bak air tergenang.

Sehelai kain merah bermotif bunga melambai jatuh di antara mereka. Tepat ketika perhatian Raia teralihkan, sosok jelita itu berubah menjadi seorang nenek renta.

"Nenek... penjual buku?" Raia membelalak, mengenali wajah dan kain sama seperti yang ditemuinya dulu.

"Hohoho... Betul, aku Lily Celestvale, hanya rakyat biasa, dan kau tadi baru saja menyebut nenek ini orang aneh bukan?," nenek itu memperkenalkan diri disertai tawa renyah.

Belum sempat bicara lagi, sebilah pedang perak melesat mengancam kepala Lily. Raia gesit menyemburkan gemerlap bintang kecil untuk menghalaunya. Meski hanya gemerlap, pedang perak itu hancur berkeping-keping bak kaca rapuh. Tak seorang pun menyadari bintang kecil Raia, bahkan Lily sendiri terkejut dengan wajah bingung.

"Banyak pertanyaan menanti untuk dijawab olehmu. Untuk saat ini, ayo singkirkan mereka," Raia bersiap dengan kekuatannya, tapi ia tetap menahan diri agar tak menggunakannya secara berlebihan.

Lily mengangguk, kembali ke mode perempuan rupawan. Ia menghentakkan kaki kanannya, memunculkan dua akar hijau tua dari bawah kakinya, menyerang dan melilit kedua orang di sisi kanan dan kiri mereka.

Hanya tersisa satu orang, menghujani mereka dengan sihir petir berkali-kali. Kali ini lebih dahsyat, berupa petir sungguhan dengan ujung runcing dan kilatan membabi buta.

Akar Lily melilit erat, melindungi mereka dari serangan petir mautnya. Raia menatap lurus bilah petir yang terus menyambar dari atas, memberinya sebuah ide. Seringai puas terkembang di wajahnya.

"𝙃𝙪𝙟𝙖𝙣 𝘽𝙚𝙣𝙙𝙖 𝘼𝙨𝙩𝙧𝙖𝙡" Raia mengucapkan sebuah mantra, membentuk spiral sihir biru-putih di angkasa, menerangi sebagian langit malam.

Jari telunjuk Raia menunjuk si pembunuh bayaran terakhir. Dari pusaran, ribuan bintang kecil menyembur menghujaninya tanpa ampun. Ia menghalau dengan petir, namun sia-sia.

"Kau kira petir sekecil itu bisa melawan bintang sejati? Ini seperti penghinaan pada bintangku" Raia menyeringai angkuh, percaya diri seperti dirinya di masa lalu.

Meski petirnya membabi buta, semua bintang tak terhalang, menghantam si pembunuh hingga senjatanya remuk berserakan.

Raia menghentikan hujan bintangnyanya, lalu melesatkan satu bintang lagi, menembus tepat ke jantung si pembunuh bayaran hingga hancur tanpa mengeluarkan darah setetes pun.

"Lumayan untuk manusia, tapi benar-benar bodoh," Raia mengejek sinis, menatap tubuh berlubang bintang di dadanya.

Satu bintang kecil itu cukup untuk merenggut nyawanya, meninggalkan jasad dengan tanda bintang menerobos di dada.