Chereads / Astrydia / Chapter 6 - Chapter 5 Penyerangan dari Pembunuh Bayaran Pasar Gelap

Chapter 6 - Chapter 5 Penyerangan dari Pembunuh Bayaran Pasar Gelap

Chapter 5

Penyerangan Pembunuh dari Pasar Gelap I

Setelah cukup lama mengamati pelajaran Miss Claudia yang membahas cara membentuk pertahanan dari elemen sihir dan kelemahannya, kantuk luar biasa mulai menyelimuti Raia. Ia hampir tak percaya betapa membosankannya sekolah ini, padahal dulu ia membayangkan akan sangat menyenangkan.

Raia tetap berusaha mengikuti penjelasan Miss Claudia, dengan tangan kiri menompang kepalanya yang terasa semakin berat. Sesekali kelopak matanya menutup sesaat. Berbeda dengan Aron, teman sebangkunya. Sejak awal pelajaran, anak itu sudah terlelap lebih dulu dan entah bagaimana Miss Claudia tidak menyadarinya.

Waktu terus berlalu, dan kantuk Raia pun semakin menjadi-jadi. Namun tak lama kemudian, lonceng istirahat berbunyi, menandakan waktu bagi para murid untuk beristirahat sejenak. Miss Claudia mulai merapikan tumpukan kertas di mejanya, tentu saja menjadi momentum bagi murid laki-laki untuk mencuri kesempatan mendekatinya.

Raia menghembuskan napas lega, entah mengapa kantuknya seketika menghilang. Ia meregangkan tubuhnya yang terasa pegal, lalu bangkit berdiri.

Pandangannya beralih pada Aron yang masih pulas. Karena hanya anak itu yang bisa dianggap temannya, Raia berniat membangunkannya untuk mengajaknya berkeliling sekolah.

"Hei, bangun. Sekarang sudah waktunya pulang sekolah," Raia berbohong, berusaha memancing Aron agar segera terbangun dari tidur lelapnya.

"Huh...apa sekarang sudah waktunya pulang?" Aron menyahut setengah sadar. Ia bangkit berdiri dan meraih blazernya, kemudian berjalan melewati Raia.

Raia menarik kerah belakang blazer Aron sambil tersenyum tipis. "Tentu saja belum. Ayo kita berkeliling sekolah, aku ingin tahu apa saja yang ada di sini," ujarnya seraya melangkah menuju pintu keluar kelas.

"Ah, sial kau. Aku sedang bermimpi mandi dengan bidadari dan kau mengacaukannya," gerutu Aron dengan nada kesal. 

"Tenang saja, nanti kau akan mendapatkan bidadari sungguhan," balas Raia, hatinya kini merasa lebih tenang dan nyaman. Menikmati kehidupan seperti ini dahulu tak pernah dibayangkannya.

Aron dan Raia berjalan beriringan. Raia memasukkan kedua tangannya di saku celana, sementara Aron memasukkan tangan kanan di sakunya dengan blazer merah tersampir di lengan kiri.

Dari sisi kanan, tampak sesosok pria yang melintasi mereka dengan langkah terseok-seok. Punggungnya sedikit membungkuk seakan menahan beban berat di pundak. Rambut ikalnya yang berantakan mencuat ke segala arah, memberi kesan kusut masai. 

Wajah pria berusia 30 tahunan itu tampak sangat lesu dan lelah. Lingkaran hitam menghitam di bawah kedua matanya, membuat sorot matanya menyiratkan kantuk yang amat teramat sangat. Bibirnya sedikit terbuka seperti menahan kuapan yang akan keluar kapan saja.

Pria itu adalah salah satu guru di Akademi Sihir Aredia. Namun, penampilannya saat ini sangat kontras dengan kredibilitasnya sebagai seorang pengajar. Rambut dan pakaiannya berantakan, jakun di lehernya naik-turun seperti orang sehabis berlari maraton.

"Siapa itu?" tanya Raia pada Aron, merasa ada yang aneh dengan orang yang baru saja lewat di hadapan mereka.

"Ah, itu Tuan Alistair Wistingley, guru di bidang perafalan mantra sihir. Dia berasal dari keluarga peneliti terbaik di Kerajaan Aredia. Namun, di antara anggota keluarganya, dialah yang paling berbeda. Banyak orang menganggap remeh ramuan yang dibuatnya dan terkadang tidak dihargai. Tapi aku tahu, ramuan buatan Tuan Alistair sangatlah efisien, salah satunya untuk penyembuhan," jelas Aron panjang lebar. Penampilannya yang menyedihkan itu mungkin disebabkan penelitiannya tentang ramuan yang membuatnya kurang istirahat.

Bagus, sambungan ceritanya mengalir dengan baik. Berikut penyuntingan dengan beberapa perbaikan kalimat:

"Hmm... Apa dia juga akan mengajar di kelas kita?" tanya Raia lagi pada Aron.

"Ya, Tuan Alistair mengajar di kelas kita. Namun ironisnya, tak ada murid yang memperhatikan ketika beliau menjelaskan," sahut Aron dengan nada merendah, seolah bersimpati pada Tuan Alistair.

"Bukankah kau juga sama?" Raia membalas dengan nada menggoda, merasa aneh jika Aron yang biasanya santai tiba-tiba melontarkan kalimat seperti itu. 

"Hei, itu kasus berbeda! Jika aku tidak mengantuk, tentu aku akan memperhatikannya," Aron membela diri dengan raut wajah kesal melihat seringai Raia yang seperti mengejeknya.

"Ahahahaha, sudahlah. Ayo kita pergi berkeliling."

Raia dan Aron pun mulai menjelajahi Akademi Sihir. Pertama, mereka mengintip setiap kelas di lorong dan terkadang mendapat tatapan tajam dari murid yang kelasnya dimasuki.

Usai berkeliling di lorong kelas dan dikejar-kejar siswi aneh yang ingin menghajar mereka, Aron dan Raia akhirnya beristirahat di bawah pohon besar dekat pintu masuk lorong kelas.

"Hei Aron, apa sekolah ini pernah diserang dari luar?" 

"Ya, dulu pernah saat aku masih kelas satu. Eh, tunggu, bukankah kau juga ada saat penyerangan itu?" Aron balik bertanya dengan nada terkejut, rupanya dia termasuk orang yang detail memperhatikan sekitarnya, bahkan pada orang yang tak dikenalnya sekalipun.

"Penyerangan? Aku lupa pernah mengalami hal seperti itu di sekolah," jawab Raia dengan nada yang begitu natural, tak terdengar kebohongan sama sekali.

"Baiklah, biar kuceritakan. Jadi, du--"

BOOM!

Tepat sebelum Aron memulai ceritanya, terdengar ledakan dan jeritan para siswi dari dalam lorong kelas. Ratusan derap langkah kaki menggema, berlarian menuju pintu keluar. 

"Wow, ceritamu jadi kenyataan, loh, Aron Ahahahaha," Raia menertawakan Aron yang kebingungan dengan kejadian itu.

"Sialan kau, Noah!" umpat Aron kesal menatap Raia.

"Baiklah, ayo kita cek ke dalam, ada apa gerangan," ajak Raia yang dibalas anggukan Aron. 

Mereka kembali masuk saat hanya tersisa sedikit murid di dalam. Banyak murid tergeletak tak sadarkan diri di lantai.

Raia dan Aron masuk dengan berjalan, mengamati sekeliling dengan saksama. Aron mengecek nadi salah seorang siswa yang tergeletak. Benar, mereka hanya tak sadarkan diri.

Tiba-tiba, mata biru Raia menangkap kilatan pedang panjang melesat ke arahnya. Namun sebelum Raia bereaksi, Aron dengan gesit menangkap pedang itu dan melemparkannya kembali.

"Hampir saja kau tinggal nama, Noah," cengir Aron, mengejek Raia dengan senyuman seperti yang tadi dilakukan Raia padanya. 

Raia membalasnya dengan senyuman, merasakan bagaimana rasanya punya teman yang langsung terasa akrab meski baru kenal. Hal baru terus berdatangan, dan masih banyak lagi yang menantinya.

Akibat lemparan balik dari Aron sebelumnya, pedang itu tepat mengenai seseorang berjubah hitam - sosok yang sangat dikenal Raia sebagai pembunuh dari pasar gelap.

Mengingat kejadian beberapa hari lalu yang membuatnya kehilangan Lily, membuat Raia merasa marah pada mereka. Apalagi ketika ia masih terbayang ekspresi Lily saat ditusuk oleh perempuan misterius itu.

"Aron, jika kau melihat orang seperti mereka, habisi saja," ujar Raia, nadanya berubah drastis menjadi mengintimidasi dan dingin.  

Aron tentu menyadari perubahan sikap Raia dan menganggap ada hal buruk terjadi antara Noah dan orang berjubah yang menyerang Akademi. Aron mengacungkan jempol dan bergegas masuk lebih dalam ke lorong kelas.

Raia berjalan mendekati orang berjubah hitam yang lengan kirinya tertancap pedang, menanamkan tatapan biru sedingin es yang mencekam.

"Hei, kau dari pasar gelap kan? Bagaimana keadaan gadis yang kalian culik?" Suara Raia terdengar menakutkan, membuat siapa pun merinding mendengarnya.

"T-tidak tahu!" Pria berjubah itu menjawab ketakutan dengan wajah panik, keringat dan darah bercucuran dari tubuh dan lengan kirinya.

"Begitu ya? Aku hanya bertanya satu kali, jadi nikmatilah rasanya menjadi Lily." Raia mencabut perlahan pedang yang menancap di lengan pria itu, menyiksa dengan rasa sakit luar biasa. 

Dengan cepat, Raia menusuk dada pria itu menggunakan pedangnya sendiri, namun secara perlahan agar pria itu merasakan kesakitan sebelum kematiannya. Sedikit demi sedikit, jantungnya tertusuk hingga darah muncrat dari mulutnya dan ironisnya dia masih hidup.

"Rasanya enak bukan? Aku harap kau menikmatinya." Raia berbalik pergi, meninggalkan pria itu dengan pedang menancap di dadanya hingga mati kehabisan darah tanpa bisa dan tanpa ada yang menyelamatkannya.

"Bagaimana keadaan Aron ya? Apa dia baik-baik saja?" gumam Raia, mengingat orang-orang dari pasar gelap ini cukup kuat.