Chapter 4
Kelas Akademi
"Untuk hari ini, sudah cukup. Aku sudah sangat lelah," gumam Raia. Kelelahan tergambar jelas di wajahnya setelah menghadapi orang-orang misterius tanpa jeda sedikitpun dan menggunakan tubuh manusia yang terbilang lemah.
Raia berjalan menuju Akademi saat ini. Menara jam di tengah kota sudah menunjukkan pukul 22.00, membuat jalanan saat itu sudah sangat sepi. Hanya ada beberapa orang yang terlihat mengangkut kotak-kotak menuju suatu tempat.
Orang-orang itu nampak menghindari tatapan Raia yang memandang mereka sambil berjalan. Raia tidak memperdulikannya dan terus berjalan menuju Akademi.
Setelah cukup lama berjalan di bawah langit malam yang gelap, akhirnya pukul 23.00, Raia sampai di depan gerbang Akademi Sihir Aredia.
Di tengah kota Kerajaan Aredia, berdiri megah sebuah Akademi Sihir yang sangat tersohor. Bangunan utamanya yang menjulang tinggi dengan atap-atap runcing dan menara-menara kokoh memberikan kesan anggun sekaligus gagah. Dindingnya yang terbuat dari batu alam berukir cantik dan jendela-jendela kacanya yang lebar memantulkan sinar mentari, seolah akademi itu memancarkan kehangatan tersendiri.
Memasuki gerbang utama, tampaklah halaman akademi yang luas terbentang. Hamparan rumput hijau yang terawat apik dihiasi berbagai jenis pepohonan, semak belukar, dan tang berbungaan yang menghamparkan warna-warni menawannya. Di sudut-sudut tertentu, terdapat air mancur dan kursi untuk menikmati keindahannya.
Di sisi barat, terdapat bangunan asrama putra yang tampak kokoh dengan aksen batu alam. Sementara di sisi timur, berdiri asrama putri yang lebih anggun dengan sentuhan kayu dan batu hias. Keduanya didesain dengan fasilitas lengkap untuk memenuhi kebutuhan para murid.
Tak jauh dari deretan asrama tersebut, terdapat sebuah bangunan besar berlantai dua yang dikhususkan sebagai tempat latihan bertarung dan sebagai tempat pertandingan antar kelas.
Di sudut utara kompleks, berdiri megah perpustakaan akademi yang terbuat dari bangunan batu alam dan kayu berukir. Rak-raknya yang menjulang tinggi menyimpan ribuan buku kuno berisi ilmu sihir dan kisah legenda dimasa lalu tersusun rapi disetiap raknya.
Terakhir, di sisi selatan terdapat sebuah menara yang dipenuhi dengan panas yang menyengat dan kepulan asap dari cerobong-cerobongnya. Tempat ini merupakan bengkel pembuatan senjata sihir para pandai besi yang sangat terkenal kualitas dan keindahan karyanya.
Raia menyempatkan diri untuk mengelilingi Akademi Sihir Aredia, berjalan di bawah cahaya bulan yang menerangi jalannya. Ia mendudukkan diri di salah satu bangku batu dekat air mancur bangau di tengah halaman, merasakan betapa lelahnya dia sekarang. Suara gemericik air yang jernih menambah suasana tenang di malam itu.
"Kehidupan manusia dibatasi oleh hal-hal seperti ini, pasti sangat menyulitkan bagi mereka. Bahkan hanya untuk menggunakan sihir saja akan menguras banyak energi bagi tubuh manusia," batin Raia, menatap ke langit indah yang terbentang. Bintang-bintang mulai bermunculan satu per satu, membentuk pola indah ketika diperhatikan.
Raia termangu, apakah dengan menjadi manusia, dirinya akan bisa menghilangkan rasa bosan dan kesepian yang menyelimutinya selama ini? Pikirannya melayang, memikirkan apa yang harus dilakukannya selanjutnya. Kini dirinya tak bisa leluasa bergerak karena tubuh manusia bernama Noah ini begitu lemah dan fana.
Sebenarnya, Raia bisa saja kembali ke wujud aslinya kapan pun dia mau, namun itu hanya akan membuatnya jatuh ke lubang kebosanan lagi. Dirinya ingin merasakan bagaimana rasanya memiliki banyak keterbatasan seperti makhluk manusia.
Raia menyadari, menjadi manusia biasa seperti dirinya sekarang cukup menghibur. Ia bisa bertemu dengan berbagai individu, baik maupun jahat, dan bertarung bersama melawan mereka. Namun, satu hal yang kurang darinya adalah tidak memiliki perasaan sedih dan empati kepada orang lain. Jika ada yang mati di hadapannya, ia akan biasa saja dan tidak memperdulikan keadaan orang itu.
Tetapi kini, Raia tahu cara untuk menghibur dirinya sendiri dengan merasakan berbagai hal dari kehidupan manusia pada umumnya. Sebuah pengalaman baru yang menantang dan menarik untuk dijalani dalam wujud seorang manusia.
"Lily Celestlave, ya? Aku akan menyelamatkannya" Tekad itu terpatri dalam benak Raia. Sebuah tujuan baru telah ditemukan untuk menyelamatkan Lily. Ada semacam hutang yang harus dibayar, sebuah ikatan tak terlihat yang membuatnya merasa bertanggung jawab atas keselamatan gadis itu.
Namun, Raia menyadari bahwa dirinya kini menjadi target empuk bagi para pembunuh bayaran. Latar belakang kehidupan Noah yang kini menjadi wadahnya akan dicari hingga ke akar-akarnya - relasi, sejarah, dan sihir yang mengalir dalam nadinya. Sebuah pengejaran tak terelakkan yang harus dihadapi.
Raia menatap tangan kanannya yang tadi telah melesatkan pukulan telak ke wajah perempuan misterius itu. Terlihat retakan panjang membelah kulitnya, garis-garis mencuat mengerikan hingga mencapai sikunya. Sebuah konsekuensi ketika kekuatan tak terbatas bertemu dengan wadah fana manusia.
"Tak kusangka tubuh ini pun tak kuat untuk menerima sedikit dari energiku. Aku harus sangat menahan diri sekarang," gumam Raia, pikirannya berkelana mencari solusi untuk menyembuhkan retakan di tangannya tersebut.
Dibalik semua itu, ada kekhawatiran tersembunyi. Bagaimana jika energi dahsyatnya yang terperangkap dalam tubuh Noah ini meluap tak terkendali? Akankah ia sanggup mengendalikannya demi melindungi makhluk rapuh di sekitarnya? Pertanyaan-pertanyaan itu menari-nari di benaknya, membawa keraguan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Dari kejauhan, telinga Raia menangkap derap langkah sepatu hak tinggi yang menggema. Langkah itu sepertinya menuju ke arahnya. Tak lama kemudian, dari jalan di sebelah timur, muncullah sosok seorang wanita tinggi dan cantik. Dengan lengan terlipat di dada, ia berjalan anggun mendekati Raia. Dialah Miss Tresa.
Miss Tresa adalah sosok guru yang menawan. Tubuh semampainya dibalut gaun ketat yang memamerkan lekuk indah tubuhnya. Rambut hitam panjangnya tergerai hingga pinggang, dengan ujung-ujung yang bersemburat warna ungu misterius. Beberapa helai rambut mencuat liar dari ikatan ekor kuda yang membingkai wajah rupawannya. Sepasang mata tajam menatap dari balik kacamata berbingkai kotak yang bertengger di batang hidung mancungnya.
Penampilannya memancarkan aura pesona sekaligus otoritas. Sebagai seorang guru sihir, dia nampak menguasai ilmu magis yang dibalut dalam penampilan fisik yang memukau. Setiap gerak-geriknya memancarkan percaya diri, menunjukkan bahwa dia benar-benar menguasai wilayah kekuasaannya di akademi ini. Jubah panjangnya berkibar anggun setiap kali ia melangkah.
"Apa kau benar-benar Noah, anak berambut abu-abu?" Suaranya menusuk dan mengintimidasi, membuat siapa pun yang mendengarnya tak berani berbohong.
"Ya, saya Noah. Apakah ada yang salah dengan saya, Miss Tresa?" Raia mengubah cara bicaranya menjadi formal, berusaha mengurangi kecurigaan guru sihir itu. Ia tahu intuisi Miss Tresa sangat tajam.
"Noah Arcanorius... Miss Claudia sudah menceritakan kejadian di hutan. Aku ingin bertanya padamu, apa yang terjadi di hutan itu sampai warna rambut dan sifatmu berubah?"
"Hanya sedikit kecelakaan dan akhirnya membuat rambut saya berubah. Dan mengenai sifat saya, sepertinya anda sudah tahu alasannya kenapa," jawab Raia dengan tenang.
Miss Tresa masih menatapnya tajam, intuisinya terus berkata bahwa orang di hadapannya ini bukanlah Noah yang sebenarnya. Namun, dia juga tak bisa asal menuduh tanpa bukti. Lagipula, Noah menjawab semua pertanyaannya dengan tenang, tanpa menunjukkan ekspresi mencurigakan.
"Baiklah, itu saja. Cepat kembali ke asrama dan istirahat. Kabar tentang kemunculan orang berjubah sudah terdengar di mana-mana, jadi kau harus berhati-hati saat malam hari," ujar Miss Tresa. Meskipun terlihat tidak peduli pada Noah, jauh di lubuk hatinya, ia merasa iba pada anak itu yang sepertinya tidak beruntung dan menjalani hidup penuh kesepian. Ia berjanji akan melindungi muridnya itu selama di akademi.
Mengikuti pesan Miss Tresa, Raia melangkah di bawah cahaya rembulan menuju asrama laki-laki. Bahkan dari kejauhan, terlihat tak ada seorang pun di luar asrama. Hanya seekor kucing berbulu hitam-putih yang sibuk bermain dengan gulungan benang, menjadikannya bola mainan.
Di atas atap asrama, sekelompok gagak bertengger, mengeluarkan kepakan sayap dan jeritan yang memekakkan telinga. Mata merahnya menyala, menatap lekat ke arah Raia seolah ia adalah target mereka. Sebuah sambutan seram dari makhluk-makhluk malam.
Raia membuka pintu dan masuk ke dalam asrama. Di atas meja tengah ruang santai, sebuah buku daftar kamar tersedia. Di bagian paling akhir, tertulis nomor 60 atas nama Noah Arcanorius.
Raia menuju kamarnya, menyusuri lorong gelap di lantai dua. Entah mengapa, hanya sedikit lampu yang menyala di sepanjang koridor. Di ujung lorong sebelah kanan, ada jendela yang menghadap ke sisi luar asrama, di situlah kamar Noah berada.
Dengan perlahan, Raia membuka pintu dan masuk ke dalam kegelapan. Tak ada penerangan seperti lampu api di sana, hanya cahaya rembulan yang menerobos masuk melalui kaca jendela.
Raia mengambil sebuah gelas kaca di atas meja belajar dan memasukkan sebuah bintang kecil yang bersinar terang ke dalamnya. Cahaya yang memancar jauh melampaui dugaannya, menerangi seluruh ruangan dengan sinar keperakan yang gemerlap. Cahaya itu bahkan terlihat jelas dari luar jendela asrama.
Rembulan, gagak, dan kucing sungguh menciptakan nuansa misterius yang kental di malam itu.
Hari itu sangat melelahkan bagi Raia, maka ia memutuskan untuk beristirahat.
Ketukan di pintu membangunkannya dari tidur lelap. Cahaya matahari pagi menerobos masuk melalui jendela, menghilangkan rasa kantuk yang tersisa.
Raia mengambil bintang kecil bersinarnya dari dalam gelas dan beranjak perlahan dari tempat tidur. Untuk pertama kalinya, ia merasakan seluruh tubuhnya terasa sakit saat bangun tidur. Dirinya paham alasan di balik rasa sakit tertunda ini dan memilih untuk tidak terlalu mengkhawatirkannya.
Dengan hati-hati, Raia membuka celah pintu untuk melihat siapa yang mengetuk di pagi buta. Seorang kakek tua berpakaian sederhana, memegang sapu, tersenyum ke arahnya yang mengintip dari balik pintu.
"Noah, ayo bangun, nanti kamu akan terlambat masuk kelas," ujar kakek itu ramah, matanya terpejam karena faktor usia yang sudah sangat lanjut.
Raia menggali ingatan Noah, mencari tahu identitas kakek di hadapannya ini. Tak butuh waktu lama untuk mengetahui bahwa kakek itu bernama Aldrin Greymist, seseorang yang menjaga kebersihan asrama laki-laki bersama istrinya.
Dari kenangan Noah, Raia mendapat gambaran tentang kebaikan kedua pasutri itu. Ia mengapresiasi Noah yang beruntung memiliki kenalan sehangat mereka.
"Oke, aku akan berangkat," sahut Raia, membalas senyuman kakek Aldrin.
Raia merapikan dirinya di depan cermin lemari dan bersiap untuk pergi ke kelas akademi. Sepertinya ia akan telat bersama murid lain dari asrama cowok.
Dengan santai, Raia berjalan menikmati udara segar pagi hari yang dihasilkan dari berbagai tanaman dan pepohonan di sepanjang jalan menuju kelas. Kupu-kupu beterbangan bebas dan hewan-hewan kecil berwarna memukau hinggap di semak-semak hijau.
Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya Raia masuk ke kelasnya. Murid lain pun memasuki kelas masing-masing. Beruntung ia tak terlambat di hari pertama kalinya dirinya merasakan masa sekolah.
Sesampainya di lorong kelas, Raia melihat berbagai jenis murid dengan penampilan yang beragam - ada yang mencolok dan ada yang biasa saja, begitu pula dengan para siswi. Sebagian dari mereka memiliki kelompok pertemanan sendiri, sementara yang lain memilih untuk menyendiri. Namun, Raia tahu bahwa yang sendiri itu bukanlah karena ingin begitu, melainkan dikucilkan.
Raia juga menyadari adanya perbedaan perlakuan antara masyarakat biasa dan bangsawan. Kebanyakan bangsawan memiliki kelompok sendiri dan selalu bersama-sama saat berjalan. Mereka juga lebih dihargai dibandingkan murid dari kalangan rakyat biasa.
Sebuah gambaran kecil tentang kehidupan di akademi yang penuh dengan dinamika sosial yang rumit. Bagi Raia, semua itu adalah pengalaman baru yang menarik untuk diamati sebagai makhluk yang terjun ke dalam kehidupan manusia.
Ruangan kelas sihir itu berbentuk persegi panjang dengan langit-langit setinggi menara. Dindingnya terbuat dari batu kokoh yang diukir dengan detail-detail rumit bak karya seni. Lukisan-lukisan besar memajang panorama indah Aredia dan potret para penyihir agung, menghiasi dinding bagaikan galeri seni magis.
Di bagian bawah ruangan, terdapat lingkaran setengah berbentuk tapal kuda yang melingkar. Di sanalah sebuah meja persegi panjang dan kursi guru pengajar berada. Dua papan tulis besar terpapar jelas, memastikan setiap murid dari barisan terdepan hingga terbelakang dapat melihat dengan leluasa.
Kursi-kursi panjang untuk murid tertata seperti tangga yang terbagi menjadi dua jalur berbeda. Setiap meja lebarnya cukup untuk dua orang murid duduk berdampingan. Susunannya seperti penonton di sebuah amfiteater, memungkinkan semua murid menghadap ke arah podium guru dengan saksama.
Cahaya masuk melalui jendela-jendela tinggi yang dikelilingi oleh lusinan obor biru yang memancarkan api ajaib. Berpendarnya cahaya lembut itu menciptakan nuansa misterius dan penuh sihir.
Raia memasuki kelas dan duduk di bangku paling belakang yang tampaknya memang tempat duduk Noah. Di sampingnya, seorang anak laki-laki berpenampilan berantakan duduk santai. Blazernya teronggok begitu saja di atas meja, tak terpakai.
Sosoknya terlihat seperti bayangan tengah duduk tepat disebelah Raia. Rambutnya yang berwarna biru malam terurai pendek, mencuat tak beraturan seolah baru bangun tidur. Mata merahnya yang menyala memancarkan aura tak acuh.
Dia hanya memakai kemeja sekolah, tidak dengan blazernya. Kemejanya terlihat berantak, kerah kemejanya terbuka lebar, memperlihatkan bagian atas dadanya. Penampilan keseluruhannya seperti orang yang tak lagi peduli pada tata krama berpakaian.
Penampilannya yang berantakan dengan sikap cuek dan tak peduli itu membuatnya tampak seperti anak nakal yang suka membuat onar. Atau mungkin dia hanyalah anak yang merasa tak lagi punya harapan dan masa bodoh dengan kehidupannya sendiri.
Raia kembali menggali ingatan Noah tentang anak laki-laki ini. Tak butuh waktu lama untuk mendapat informasi bahwa namanya Aron Farseer. Hanya itu saja yang Raia ketahui darinya berdasarkan memori Noah.
Aron melirik ke arah Raia, menelusuri dari kaki hingga kepala dengan tatapan penasaran yang kentara.
"Kau Noah, kan? Kurasa, rambutmu dulu berwarna hitam," sapa Aron, membuka percakapan lebih dulu. Raia tak menyangka Aron ternyata orang yang seperti ini. Sebelumnya, ia mengira Aron hanyalah seorang pembuat onar yang tak peduli pada orang lain.
"Ya, ada kejadian yang membuat rambutku berubah warna," jawab Raia dengan tenang sambil tersenyum tipis.
"Oh... Oke, aku paham," balas Aron singkat. Ia lalu menidurkan kepalanya di atas meja, menggunakan blazer yang teronggok untuk dijadikan bantal.
Raia kebingungan dengan maksud 'paham' yang diucapkan Aron. Namun, ia berpikir mungkin Aron tahu tentang masalah yang dialami Noah dan beranggapan perubahan warna rambutnya disebabkan oleh beban pikiran yang berat. Tentu saja itu hanya asumsi dari Raia belaka.
Pintu masuk terbuka, disusul derap langkah dari sepatu hak tinggi. Wajah cantik yang telah dikenali Raia muncul dan melangkah anggun menuju lingkaran podium di depan kelas. Miss Claudia tampaknya akan menjadi pengajar di kelas ini.
"Selamat pagi, murid-murid. Apa kalian semangat untuk belajar hari ini?" sapanya riang, senyuman yang sangat amat manis menghiasi wajah cantik Miss Claudia, jelas murid laki-laki terpesona akan hal itu.
Serempak, semua murid menjawab "Semangat!" dengan kompak. Kecuali Raia yang diam saja. Dan yang lebih aneh lagi, Aron dengan santainya berkata, "Tidak semangat."
Seulas senyum tersungging di wajah Raia melihat kelakuan unik Aron. Ia ingin melihat lebih jauh bagaimana sifat anak itu selama di sekolah ini.
Suasana kelas yang ramai dengan berbagai karakter yang menarik tampaknya akan menjadi pengalaman baru yang menghibur bagi Raia. Mengamati dinamika kehidupan remaja manusia dari dekat, sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.