Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

At the Boundary (Di Perbatasan)

Asakara_Yoruto
--
chs / week
--
NOT RATINGS
2.4k
Views
Synopsis
Kehilangan orang tuanya dan semangat hidup, Nozomi terbangun di sebuah tempat misterius. Di sana ternyata adalah tempat berkumpulnya anak-anak yang kehilangan semangat hidup, 'Perbatasan'. Meski dengan aturan-aturan yang aneh, anak-anak di sana terlihat bahagia. Akan tetapi di balik kebahagiaan itu, terdapat masa lalu kelam yang membekas dalam hati mereka. Bisakah anak-anak tersebut mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya?
VIEW MORE

Chapter 1 - Prolog – Keputusasaan

Di kala aku masih TK. Saat itu aku sedang menonton Pengendara Bertopeng bertema Dokter Game, bersama dengan Papa.

"Dengar, Nozomi. Kalau kamu menemukan orang yang benar-benar kesusahan, bantulah mereka," kata Papa yang sedang memangkuku.

Aku menengadahkan kepalaku dan melihat wajahnya. "Karena itulah yang dilakukan 'Pembela Keadilan'!" seruku sambil tersenyum.

"Oh, kamu ingat ya?"

"Karena Papa selalu saja bilang begitu!"

Papa selalu saja berkata supaya aku harus jadi seperti Pembela Keadilan. Berkat itu aku awalnya tidak tahu apa itu rumah-rumahan, dan bermain Pembela Keadilan melawan Kelompok Penjahat bersama kelompok laki-laki di sekolah.

Karena leherku mulai sakit, aku mengembalikan posisi kepalaku, lalu berdiri dan berbalik menghadap ke Papa. "Papa. Pembela Keadilan yang aku lihat di TV sering sekali menolong tanpa pilih-pilih. Apakah orang-orang yang ditolong itu benar-benar perlu ditolong? Yang aku lihat adalah mereka saling meninggalkan yang lain hanya untuk menyelamatkan diri dari orang-orang jahat?"

Mendengar perkataanku, Papa membuka mulutnya sama seperti saat dia dimarahi Mama karena tidak sengaja merobek baju favorit Mama saat mencuci dengan tangan di hari libur kemarin. Pada akhirnya, Papa membelikan Mama kalung dan mereka berbaikan.

"Karena Papa bilang aku harus menjadi Pembela Keadilan, aku terus berpikir!" kataku bangga.

"Hahaha... anakku terlalu pintar rupanya." Papa tertawa, akan tetapi tidak terdengar seperti senang. "Memang, banyak orang yang tidak peduli dengan orang lain. Papa tidak ingin kamu menjadi seperti mereka. Papa ingin kamu memiliki hati yang bijak dan tulus."

"Bijak...? Tulus...?" Apa artinya kedua kata itu? Aku pernah dengar itu beberapa kali, tapi aku belum paham artinya.

"Maksud Papa, berpikirlah kenapa kamu perlu menolong orang tersebut, dan lakukanlah tanpa meminta hadiah." Papa menekuk tangannya seperti batu saat bermain suit, dan menariknya ke bawah sambil tersenyum.

Setelah menonton Pengendara Bertopeng episode yang pertama memunculkan sifat asli presiden perusahaan yang gila, aku bertanya "Kenapa Papa sangat suka dengan Pembela Keadilan meski yang mereka lakukan itu merepotkan?"

"Oh, itu karena..."

Yang aku ingat, hanyalah Papa yang tersenyum sambil menjawab pertanyaanku. Akan tetapi, aku lupa apa yang Papa katakan setelah itu.

Rabu, 8 Maret 2023. Kami anak-anak kelas 5, sudah mendekati akhir semester dan tinggal menunggu naik ke kelas 6.

"Yukinohara-san... Maaf mengganggu..."

Sore hari itu sepulang sekolah, ada seorang murid dari kelasku yang hampir tidak pernah bicara denganku, tiba-tiba mengajakku bicara. Kalau tidak salah, namanya Miharu.

"Ini pertama kalinya kita bicara, ya? Ada perlu apa?" tanyaku dengan nada akrab. Aku tidak suka membuat musuh, jadi aku berusaha akrab dengan semua yang kulihat bukanlah orang yang nakal. Miharu biasanya berada di grup perempuan lain dariku, akan tetapi mereka bukanlah tipe yang kuat.

"Umm... Apakah kamu bisa membantuku piket hari ini...? Petugas piket laki-laki hari ini izin pulang terlebih dahulu... Karena butuh tenaga, hanya Yukinohara-san orang yang bisa kuminta tolong..."

Ini bukan pertama kalinya aku dimintai tolong oleh murid perempuan seperti ini, karena sering sekali petugas piket laki-laki pulang dulu tanpa bilang-bilang. Meminta kepada laki-laki lain juga biasanya sia-sia karena mereka tidak memiliki rasa tanggung jawab untuk menggantikan orang bolos. Miharu pasti telah beberapa kali melihatku dimintai tolong.

"Baiklah, Miharu."

"Eh? Ah, anu..." Miharu terkejut, kemungkinan besar karena aku memanggil namanya secara langsung.

"Aku hanya terbiasa mengingat nama orang dibanding nama marga," kataku. Miharu yang tadi terlihat kebingungan, segera tersenyum balik kepadaku.

"Terima kasih, Yukinohara-san," ucapnya.

Setelah aku mengangkat kursi ke atas meja, Miharu menyapu kolong meja. Aku sendiri tidak sekuat laki-laki paling atletik di kelasku, jadi kami memakan cukup banyak waktu untuk menaikkan semua kursi ke atas meja. Setelah Miharu selesai menyapu, aku yang biasanya mengepel sendirian saat piket, dibantu oleh Miharu dengan kain lap yang biasanya tidak pernah dipakai sehingga bebanku berkurang. Saat kami sadar, kami baru selesai setelah hampir semua murid pulang.

"Aku akan membuang sampah dan langsung pulang," kataku sambil membawa kantung sampah di tangan kanan dan mengenakan ransel. Aku terbiasa menawarkan diri untuk membuang sampah karena aku bisa langsung menuju gerbang setelahnya. "Miharu, bisakah kamu mengunci kelas?"

"Baiklah! Terima kasih banyak, Yukinohara-san!" ucapnya dengan riang sambil membentuk lingkaran dengan kedua tangannya di atas kepala.

Aku mencoba melakukan hal yang sama, akan tetapi kantung sampah yang kupegang malah menghantam wajahku. Miharu tertawa, dan aku juga. Untunglah, sepertinya aku bisa akrab dengannya.

...

Letak pembuangan sampah ada di belakang gedung sekolah, tempat yang cukup bau dan tidak banyak yang mau mendekatinya. Aku sih sudah terbiasa mencium bau keringat Papa yang sepulang kerja selalu pergi ke gym.

Saat aku sampai di belakang sekolah, aku menyaksikan tiga murid laki-laki sedang mengepung seorang murid perempuan, dan salah satu dari mereka menjambak rambut murid perempuan itu. Aku tidak kenal siapa para perundung itu, akan tetapi aku kenal murid perempuan itu adalah murid paling pendiam di kelasku. Tunggu, aku dengar kalau beberapa minggu yang lalu kelas sebelah memiliki tiga murid pindahan yang datang-datang langsung membuat masalah. Kemungkinan tiga orang itu adalah para pengepung ini.

"Hentikan! Apakah kalian pikir dirundung itu menyenangkan!?" bentakku sambil lari ke tengah mereka dan menepis tangan yang menjambak rambut gadis itu, membuat perundung yang menjambak melepaskan tangannya.

Ini pertama kalinya aku melihat hal seperti ini terjadi di kehidupan nyata, jadi aku menegur mereka karena itulah yang akan dilakukan Pembela Keadilan!

"Minggir, cebol!" kata perundung yang menjambak tadi, yang matanya sangat beringas dan badannya jauh lebih besar dariku sampai aku tidak percaya dia adalah anak SD kelas 5. Rumornya dia dua kali tidak naik kelas.

Tapi, aku tidak takut! Kata Papa, Pembela Keadilan tidak boleh takut!

"Tidak akan!" tegasku menunjukkan kalau aku tidak akan mundur.

"Nozomi-san..." lirih Shimizu, gadis yang dirundung, di belakangku.

Aku tetap menatap tajam ke depan untuk membuat diriku terlihat lebih mengintimidasi. Untuk jaga-jaga, aku juga mengencangkan tangan kananku untuk melemparkan kantong sampah yang belum sempat aku buang.

"Apa yang Shimizu lakukan sampai kalian merundungnya begini!"

Rumornya mereka sering membuat masalah meski baru saja pindah, tapi aku tidak pernah mendengar mereka merundung seseorang. Terlebih lagi, terhadap Shimizu yang pendiam dan hampir tidak pernah bicara dengan orang lain. Memang salah apa Shimizu!?

"Dia harus dihukum karena sudah berani menentang Boss! Kekekeke!" kata perundung berkacamata lingkar, yang tertawanya sangat jelek. Meniru karakter apa itu?

"Berisik! Kenapa malah kau jawab!" Si perundung terakhir menjitak kepala perundung berkacamata lingkar.

Aku melihat ke perundung terakhir, yang tersenyum bak memandangku remeh sejak tadi dari belakang perundung beringas. Padahal dia sendiri belum melakukan apa-apa.

"Karena dia menolak perintahku untuk pergi kencan dengan teman besarku yang menyukainya sejak dulu, aku hanya memberi izin kepada teman besarku untuk memberinya pelajaran. Dia dulunya juga satu sekolah dengan kami, dan melarikan diri ke sekolah ini," kata si Boss.

Jadi Shimizu itu murid pindahan, ya? Jangan-jangan Shimizu dipindahkan ke sekolah ini karena pernah punya masalah dengan mereka?

... eh, tunggu sebentar. Aku terdiam sejenak mencoba memproses apa yang si Boss katakan. Aku mencoba melihat ke arah Shimizu dan si Beringas secara bolak-balik, lalu bertanya "Anak yang seharusnya sekarang duduk di bangku SMP mengajak kencan gadis kelas 5 SD? Serius?"

Aku melihat ada kacamata rusak di bawah kaki si Beringas. Aku kembali melihat Shimizu. Memang benar, Shimizu tanpa kacamata terlihat lebih cantik dari yang aku ingat. Malahan, rasanya dia punya wajah tercantik dari semua murid yang pernah kulihat. Kini aku bisa paham kenapa si Beringas ingin mengajaknya kencan... Akan tetapi!

"Jadi kau tidak naik kelas agar bisa mencari gadis SD sebagai mangsa!? Dasar lolicon!"

""BUKAN!"" ketiganya serentak menjawab kalau aku salah. Tapi itu tidak penting sekarang.

"Kalau kau laki-laki, tunjukkan ketulusanmu!" teriakku sambil melemparkan kantong sampah ke arah si Beringas, tapi dia berhasil menghentikan itu. Berhasil mengalihkan perhatian mereka, aku membunyikan alarm keamanan yang Papa belikan untuk melawan orang-orang dewasa mesum, cukup untuk membuat para perundung panik. "Sekarang!" Aku menggenggam tangan Shimizu dan membawanya lari dari sana.

Karena terlalu fokus dan ditutupi oleh suara alarm keamanan, aku tidak bisa mendengar suara mereka. Akan tetapi alarm itu mati dalam hitungan lima detik, sepertinya aku menjatuhkannya tanpa sadar, dan mereka menghancurkannya.

Aku membawa Shimizu berlari ke dekat ruang guru, tapi akhirnya Shimizu menarik tangannya lepas dari genggamanku.

"Kumohon... Jangan ceritakan kejadian ini ke siapa-siapa..." itulah kalimat pertama yang Shimizu katakan kepadaku.

"Eh...? Kalau dibiarkan, mereka pasti akan mengganggumu lagi. Kita harus melaporkan ini ke guru," kataku mencoba untuk meyakinkannya. Memang ada risiko kelakuan mereka menjadi makin buruk, akan tetapi kalau tidak segera diselesaikan, Shimizu hanya akan menjadi sasaran mereka sampai lulus. Alasan kenapa tiga orang itu sampai pindah sekolah pasti karena masalah seperti ini, jadi ada kemungkinan lagi mereka akan dikeluarkan bila ketahuan membuat masalah besar. Meski mereka tidak akan memperbaiki diri mereka untuk sekarang, setidaknya tidak akan ada murid dari sekolah ini yang akan menjadi korban mereka.

"Jangan," kata Shimizu sambil menggelengkan kepalanya. "Kalau tidak, Okaa-sama akan..." Dia mulai menangis, entah kenapa. Dia juga menggenggam lengan bajuku, sambil terus menggeleng-gelengkan kepala.

Melihat Shimizu yang sepanik ini, aku jadi bingung harus melakukan apa...

"Ada apa?" Miyamoto-sensei yang datang, menanyai kami. "Tadi kok rasanya dengar alarm keamanan ya... Apakah itu dari kalian?" lanjutnya.

"Ah, anu..." Aku melihat ke arah Shimizu sebelum memutuskan. Kini Shimizu menunduk dan mulai gemetaran. Aku rasa dia tidak ingin ibunya tahu soal ini, jadi aku melanjutkan sambil tertawa "Tadi aku terjatuh dan tali dari alarm keamanan yang kupunya tersangkut gagang pintu lalu tertarik, jadi tidak sengaja berbunyi. Karena panik, aku menghancurkannya."

Aku melirik sedikit ke belakang, dan mendapati Shimizu mengangkat kepalanya dan melihatku dengan tatapan kaget. Aku menoleh ke kiri dan mengedipkan mata kiriku supaya hanya dia yang bisa melihatnya.

"Ya ampun, Yukinohara-san. Jarang sekali kamu ceroboh seperti ini. Lain kali yang hati-hati, ya. Jangan lupa minta orang tua untuk dibelikan yang baru. Kita tidak tahu kapan dan di mana bahaya akan datang."

"Baik, Miyamoto-sensei! Aku akan lebih berhati-hati! Ayo kita pulang, Shimizu!" kataku sambil kembali menarik tangan Shimizu.

Kami menuju ke gerbang sekolah. Aku terus menuntunnya sampai ke depan kafe dekat sekolah. Setelah memastikan tidak ada yang mengikuti, aku melepaskan tanganku dan berbalik untuk menatapnya.

"Yang kamu lakukan hanyalah menunda masalah." Mungkin perkataanku agak kasar kepada orang yang baru saja aku ajak bicara, akan tetapi aku harus mengatakannya. "Kamu tidak ingin merepotkan Ibumu? Bayangkan kalau Ibumu tahu kamu diperlakukan seperti itu, dia tidak akan diam."

"Orang seperti Nozomi-san tidak akan mengerti!" teriaknya.

Teriakkannya tidak mengagetkanku, dan dia lari begitu saja. Aku benar-benar tidak mengerti kenapa dia sampai setakut itu mengatakan ini ke ibunya. Di saat tidak punya sandaran, Shimizu si pendiam seharusnya memiliki ibunya untuk menghiburnya di rumah...

Akan tetapi... mungkin aku terlalu berlebihan. Yang aku tahu hanyalah keluarga ideal di film-film dan keluargaku sendiri. Aku pernah melihat beberapa kali keluarga yang berantakan di film-film... tapi tadi aku tidak sempat terpikir kalau keluarga Shimizu kemungkinan seperti itu...

Kebiasaan Pembela Keadilan yang buruk, menyimpulkan sesuatu dan menganggap dirinya selalu benar... padahal Papa selalu bilang kalau aku harus berpikir lebih luas.

"Aku harus minta maaf dan bicara baik-baik dengan Shimizu."

Jumat, 10 Maret 2023. Hari ke-2 semenjak kejadian itu, aku dipanggil ke ruang Kepala Sekolah.

"Kelas 5-A, Yukinohara Nozomi. Kamu akan dihukum atas tindakan kekerasan."

"... eh?" Atas tuduhan yang tidak pernah aku lakukan, hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.

Dua hari berlalu tanpa ada masalah, tiba-tiba aku dipanggil untuk menghadap Kepala Sekolah, dan aku dituduh atas hal yang tidak pernah kulakukan?

"Memangnya apa yang aku lakukan!?"

Hal paling mencolok yang bisa kuingat hanyalah menghentikan tindak perundungan yang tidak aku sebarkan atas permintaan Shimizu!

Saat aku mencoba memprotes, Shimizu yang kemarin tidak masuk sekolah saat aku mencarinya, datang masuk ke ruang kepala sekolah. Dengan wajah menunduk dan pantulan cahaya di kacamata yang menutupiku dari melihat matanya, dia berjalan menuju ke arah sofa, kemudian duduk. Sepertinya itu kacamata cadangan.

... Aku bisa melihat bekas memar di wajahnya. Di bagian mata kirinya. Bila tidak dipukul dengan keras, tidak akan dia bisa mendapatkan memar seperti itu.

"Apa yang terjadi dengan wajahmu, Shimizu!? Apakah mereka merundungmu lagi!?"

"..."

"Ayo, Shimizu! Katakan siapa yang melakukan ini padamu!"

...

Sesaat, aku tidak bisa percaya oleh apa yang aku lihat. Di saat aku pikir Shimizu menggerakkan tangannya dan mengangkat jari telunjuknya... dia mengarahkan jari itu kepadaku.

... eh? Apa... yang dia lakukan? Bukankah aku menolongnya dari para perundung...? Kenapa dia malah menunjukku...?

"Shimizu! Apa maksudmu!? Aku tidak pernah ingat telah menyakitimu!"

Mungkin aku memang melukai hatinya dari reaksinya kemarin, tapi aku tidak pernah melukainya seperti ini!

Akan tetapi, dia masih tidak menjawab. Aku bahkan belum pernah bertemu dengannya lagi semenjak itu!

"Ayah!" Seorang guru, yang sepertinya anak dari Kepala Sekolah tiba-tiba masuk ke dalam ruangan sambil menggenggam smartphone, lalu membisikkan sesuatu di telinga Kepala Sekolah. Mata Kepala Sekolah langsung terbelalak, dan dia memegang dadanya seolah dia sesak napas. Dia mengeluarkan alat bantu napas dari dalam jas, kemudian menggunakannya.

"Maaf, mungkin ini bukan waktu yang tepat, tapi... Yukinohara-san, orang tuamu dalam perjalanan ke sekolah, telah mengalami kecelakaan..." kata Kepala Sekolah.

*Krak*

"Hah...? Kecelakaan...? Kenapa...?"

"Mobil yang mereka kendarai ditabrak truk yang rem-nya rusak, dan tubuh mereka..." ucap guru yang barusan datang.

Seketika, pikiranku kosong. Yang terpantul di mataku adalah Pak Kepala Sekolah yang panik melihat ke tiga arah secara bergantian, Guru yang panik menjelaskan dan berdebat dengan Pak Kepala Sekolah, serta Shimizu yang menunduk gemetaran.

Kenapa harus begini...?

Kenapa Papa dan Mama yang seharusnya bekerja, mengambil izin dan mementingkan urusan palsu ini...?

Kenapa Papa dan Mama harus terbunuh karena hal seperti ini...?

*Krak* *Krak*

Pak Kepala Sekolah berusaha mengatakan sesuatu padaku. Aku tidak bisa mendengar apa yang dia katakan sebagai pembuka.

*Krak* *Krak* *Krak*...

"Kami mengerti perasaanmu—"

*Pyar*

Saat itulah, aku sadar ada sesuatu yang rusak.

"JANGAN BERCANDA! ATAS KASUS PALSU INI, KALIAN YANG MEMANGGIL MAMA DAN PAPA KE SINI! JANGAN BERLAGAK SEPERTI KALIAN TAHU PERASAANKU, DASAR PEMBUNUH!"

""...""

Aku tidak ingat apa lagi yang aku katakan selanjutnya, tapi aku yakin aku dibutakan oleh amarah. Aku yakin aku juga mengatakan hal yang berlebihan dan membuat semua yang ada di ruangan itu terguncang.

Aku hanya ingin menyalahkan seseorang. Meski kecelakaan itu hanyalah kebetulan, mereka tidak akan perlu terlibat kalau mereka tidak dipanggil ke sekolah.

Yang aku ingat adalah aku sangat marah kepada Shimizu. Dia tidak bisa mengatakan apa pun selama aku terus membentak dan mengata-ngatainya. Dia terus-terusan mencengkeram kepalanya sendiri sambil menunduk. Sampai akhirnya di akhir, dia bilang...

"Maaf... karena telah berbohong..."

...

Setelah itu, aku pulang dulu menuju ke rumah sakit untuk melihat tubuh mereka. Akan tetapi, aku hanya bisa melihat dari jauh. Aku merasa aku akan menangis bila melihat mereka lebih dekat.

"Pembela Keadilan harus tersenyum...! Tidak boleh menunjukkan sisi lemah sembarangan, apalagi di depan orang yang butuh pertolongan...!" karena itulah Pembela Keadilan yang Papa ajarkan...

Aku hanyalah anak kecil yang merengek atas kemalangan yang disebabkan oleh orang lain, yang menimpaku.

Aku telah melanggar ajaran Papa.

Aku bukanlah Pembela Keadilan.

19 Maret 2023. Semester sudah berakhir, dan liburan musim semi telah dimulai. Akan tetapi...

"Kamu dengar? Anak itu bahkan tidak datang untuk melayat orang tuanya," kata Wanita A.

"Benar-benar anak yang durhaka," kata Wanita B.

"Jangan begitu, mungkin saja dia selama ini diperlakukan dengan buruk," kata Wanita C.

"Itu sih tidak mungkin. Dilihat dari mana pun, mereka adalah keluarga harmonis," kata Wanita D.

"Tapi mungkin saja kan mereka bersikap rukun di depan umum, tapi sebenarnya kacau di dalam," kata Wanita B.

"Meski begitu, nasib anak itu bagaimana ya..." kata Wanita D.

"Kemarin seseorang dari panti asuhan datang, akan tetapi tidak ada jawaban," kata Wanita A.

"Sudah kubilang, dia pasti syok telah kehilangan orang tuanya dan tidak ingin menemui siapa pun," kata Wanita D.

Begitulah rumor di perkumpulan kompleks mingguan di kompleks kediaman Yukinohara berada. Mereka bicara seenak mereka sendiri. Entah sampai kapan topik itu akan berlanjut di kompleks tersebut, tidak ada seorang pun yang tahu.

Mereka juga tidak tahu...tentang bagaimana keadaan sebenarnya si anak dari keluarga yang mereka perbincangkan ini.

  1. #Referensi Kamen Rider, seri tokusatsu(drama aktor asli yang memakai efek spesial) dari Jepang.
  2. #-san adalah honorifik yang digunakan untuk orang yang belum terlalu akrab. Kalau sudah akrab, biasanya dipanggil nama pemberiannya tanpa honorifik, atau dengan -chan, atau malah dengan nama panggilan lain.
  3. #Di Jepang, umumnya orang yang belum akrab dipanggil dengan nama marga/keluarga. Nama orang Jepang adalah Marga + Pemberian. Di luar Jepang sering penulisannya dibalik karena alasan penyesuaian budaya.
  4. #Lolicon: Penyuka Gadis Kecil.
  5. #Okaa artinya Ibu. -sama adalah honorifik yang biasanya dipakai untuk orang yang derajatnya lebih tinggi.
  6. #-sensei: Honorifik untuk banyak gelar seperti guru, profesor, artis, dan banyak profesi lainnya.