Chereads / At the Boundary (Di Perbatasan) / Chapter 2 - Chapter 1 - Perbatasan

Chapter 2 - Chapter 1 - Perbatasan

Ketika seorang anggota keluarga meninggal, orang-orang di sekitar yang tahu akan mengucapkan kata-kata seperti mereka turut berduka, memberikan kata-kata penyemangat, bilang kalau mengerti perasaanku...

Akan tetapi, tidak ada seorang pun yang bisa mengerti perasaanku.

Bagiku, keluargaku adalah segalanya. Semenjak aku gagal menjadi Pembela Keadilan yang Papa inginkan, aku merasa kosong. Aku terus-terusan berpikir 'andai saja aku tidak menolong orang itu pada hari itu, semua ini tidak akan terjadi'. Pikiranku saat ini bertentangan dengan apa yang Papa ajarkan.

Aku sadar aku selalu ingin menjadi Pembela Keadilan karena ingin dipuji oleh Papa. Aku sadar aku ingin dimanja oleh Mama.

Akan tetapi dengan kepergian mereka, semua itu sudah tidak berarti.

Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara menghadap ke tubuh Papa dan Mama yang sudah dingin dan hancur.

Aku sudah tidak punya apa pun untuk diperjuangkan.

"Aku sudah tidak peduli lagi..."

"... Di mana aku?"

Saat aku terbangun, aku ada di sebuah kamar yang tidak aku kenal. Tembok dan dekorasi kamar tidak terlihat seperti kamarku, bahkan tidak terlihat seperti kamar orang Jepang.

Aku berdiri dari kasur dan berjalan menuju ke jendela. Matahari sudah bersinar terang di atas.

... Aku tidak ingat turun salju kemarin di Prefektur Chiba, akan tetapi salju sudah menumpuk di halaman luar. Malahan, seharusnya ini sudah bulan Maret. Jangan-jangan aku dibius dan diselundupkan ke luar negeri yang musim dinginnya bulan Maret?

"... Heh, peduli apa aku."

Padahal seharusnya aku panik dan mencari tahu tempat apa ini, bahkan sekarang aku tidak peduli ada kemungkinan bahwa aku mungkin telah diculik saat tidur.

Ternyata ini ya yang namanya kehilangan semangat hidup? Terkadang karakter dalam cerita pernah mengalami ini, akan tetapi mengalami ini sungguhan... rasanya sulit juga.

Aku pergi ke luar kamar, dan berdiri di lorong. Aku mendapati lantai keramik, tembok semen yang sudah dicat, dan pintu kayu. Sejauh yang kulihat, semua pintu terlihat sama kecuali mereka memiliki papan nama yang berbeda-beda. Dilihat dari tulisannya, banyak yang terkesan seperti karya anak kecil. Rasa curigaku bahwa tempat ini adalah tempat penculikan, mulai berkurang.

Aku sampai di pojok lorong, dan melihat ada sebuah tangga yang cukup lebar. Aku menuruni anak tangga, dan menuju ke lantai bawah. Ternyata langsung terhubung dengan ruang makan.

"Ada anak baru rupanya. Selamat datang." Seorang pria yang terlihat tidak bersemangat, menyapaku sambil menyiapkan alat-alat makan. Rambutnya dipotong rapi seperti model, akan tetapi wajahnya terlihat seperti orang kurang tidur. Dia mengenakan kaos kain tipis dan celana kain tipis yang agak longgar.

Aku menuruni tangga, dan berjalan mendekatinya. "Apakah ini tempat penculikan?" tanyaku langsung ke intinya.

Dia menatapku sejenak, lalu kembali beraktivitas dengan normal. "Bisa dibilang begitu." Dia menjawab bagaikan sudah terbiasa dengan ini.

Jujur, aku tidak peduli apakah dia serius atau tidak. Setidaknya, sepertinya di sini tidak akan ada yang terlihat akan menggangguku dengan belas kasihan, gosip, dan kewajiban untuk mengucapkan kata-kata kosong.

... tapi sekarang ini, memangnya untuk apa aku hidup?

"Aku tahu kamu sudah tidak memiliki semangat hidup, akan tetapi percuma saja bunuh diri di sini. Karena di sini, kamu tidak akan bisa terluka secara fisik, maupun diperbolehkan untuk mati," katanya.

Pria itu mengambil pisau daging dari rak di dapur, kemudian memenggal kepalanya sendiri... Aku pikir begitu, akan tetapi dia sama sekali tidak terluka seolah pisau daging itu menembusnya.

Di saat aku masih sedikit terkejut, dia giliran melemparkan pisau daging itu kepadaku. Secara refleks, aku menghalangi dengan tanganku, akan tetapi aku tidak bisa merasakan apa-apa. Saat aku menoleh ke belakang, pisau itu ternyata telah menembusku dan menancap di pegangan tangga.

Jujur, aku tidak bisa memahami apa yang terjadi dalam waktu yang sesingkat itu. Akan tetapi, pisau tadi sudah jelas mengarah langsung ke depan wajahku. Pria itu bahkan tidak segan untuk melakukan itu...

Pria itu berjalan melewatiku untuk mengambil pisau daging tersebut, dan berjalan kembali untuk mengembalikannya ke rak. Dia kemudian membuka penutup panci di atas kompor, dan mengaduk-aduk apa pun yang ada di dalamnya. Dari baunya, sepertinya kare.

*Kruuuuuk* perutku berbunyi setelah mencium bau kare.

"Meski begitu, kamu masih bisa lapar. Aneh, tapi terimalah fakta itu. Sebentar lagi waktunya makan siang, jadi tunggulah."

... dunia di mana aku tidak bisa terluka maupun mati...?

"... Apakah itu berarti aku sudah mati? Apakah di sini surga!?" seruku.

Maksudku, hanya itu satu-satunya cara untuk menjelaskan konsep aneh ini. Apakah tempat ini surga? Kok sangat berbeda dari yang aku dengar...?

Tunggu, itu tidak penting! Itu berarti aku bisa bertemu dengan Papa dan Mama!

"Bukan. Selamat datang di 'Perbatasan'," jawabnya.

"... oh..." Setelah mendengar itu, aku kembali tidak terlalu peduli. Kalau ini bukanlah surga, aku berarti tidak bisa bertemu dengan Papa dan Mama.

"Bukan surga, bukan neraka, bukan dunia yang kamu tahu. Ini adalah tempat bagi anak-anak yang telah kehilangan semangat hidup berakhir. Dengan kata lain, dunia ini telah menculikmu," ujarnya sambil masih mengaduk-aduk kare.

Pria itu tampak bosan, memainkan pisau lipat yang dia keluarkan dari sakunya, seperti anak-anak memainkan gasingan sambil menjelaskan kepadaku. Apakah dia sebegitu sukanya dengan benda tajam?

Aku mulai kehilangan niatku ingin tahu lebih jauh, karena aku tetap tidak bisa bertemu dengan Papa dan Mama lagi. Aku pun menarik kursi, duduk dan menguburkan wajahku ke meja.

"Haaaaaaaaaaah" Aku berteriak sepanjang yang aku bisa, protes karena ini bukan surga dan mengentakkan kakiku ke lantai berulang-ulang. Setelah cukup puas, aku mengangkat kepalaku untuk melihat pria itu lagi.

"Aku sudah cukup lama di sini, tapi baru kamulah anak kecil yang tidak panik dengan sambutanku. Yang lainnya berteriak dan meminta ampun meski sudah kujelaskan."

Aku bisa membayangkan itu terjadi. Apalagi kelihatannya ada yang lebih muda dariku, orang ini jangan-jangan sadis?

"Paman juga terdengar tidak tertarik denganku, begitulah juga aku. Dunia tanpa Papa dan Mama, untuk apa aku hidup di sana. Di sini malah terasa lebih baik karena tidak ada pengganggu," jawabku dengan nada naik turun, tidak memedulikan cara bicaraku. Untuk sekarang, aku akan memanggilnya 'Paman'. Rasanya aneh untuk menyebutnya 'Pria itu' terus-terusan.

"... Kamu negatif dan dewasa sekali untuk anak seusiamu," komentarnya.

"Itu karena didikan orang tuaku yang hebat." Aku sering sekali dipuji dewasa, tapi baru kali ini aku menjadi senegatif ini. Meskipun sekarang tidak terlalu ada artinya karena aku mengikuti ajaran orang tuaku demi mendapatkan kasih dan pujian dari mereka.

"Rasanya seperti ada orang dewasa baru di sini. Mohon kerja samanya," begitulah katanya, akan tetapi dia sama sekali tidak berbalik maupun menghentikan aktivitasnya.

"Sikapmu tidak mencerminkan ucapanmu, Paman. Aku pernah melihat tipe sepertimu, dan hanya ada dua jawaban, yaitu antara chuunibyou atau sok keren," kataku sambil mengangkat dua jari.

"Chuunibyou?" Dia menoleh, kemudian memiringkan kepala. "Kenapa kelas dua SMP disebut penyakit?"

"Serius tidak tahu? Ternyata Paman ini ternyata jadul, ya."

"Semua yang datang ke sini juga bilang begitu," balasnya.

"Tapi, kehilangan semangat hidup, ya..." gumamku, mengingat yang tadi dia katakan.

"Orang sepertimu akan pulih sendiri tanpa perlu aku urus, jadi tidak perlu ceritakan soal masa lalumu yang pahit." Dia tidak peduli dengan asal-usulku, sepertinya karena itulah aku juga bisa bicara sesukaku.

Kenapa aku bisa di sini, dari sekian banyaknya anak yang juga kehilangan semangat hidup? Bagaimana caranya pulang ke duniaku? Saat ini, aku tidak peduli dengan semua itu. Kalau Perbatasan memang tempat untuk orang-orang seperti itu, tempat ini mungkin sangat cocok bagiku.

Aku tidak punya tujuan, aku juga tidak punya niat. Mau mati juga tidak bisa, mau pulang juga tidak tahu caranya. Apa boleh buat, aku akan tinggal sementara di tempat ini.

"Ngomong-ngomong, aku pun tidak akan takut meski hujan seribu jarum datang menusukku, jadi silakan gunakan aku untuk contoh saat anak baru datang. Mau dibuat musikal, mau dibuat horor, terserah saja," ujarku.

Setidaknya aku tahu dia adalah yang membuat makanan di sini, dan aku tidak ingin berhutang padanya.

"Aku tidak akan segan kalau begitu," katanya, kini sambil memutar-mutar pisau daging dan berpose seperti pembunuh di film horor.

... Kurasa kemanusiaannya juga sudah hilang entah ke mana. Atau karena dia tahu tidak akan ada yang terbunuh? Yah, mau yang mana saja sih tidak masalah.

"Anak-anak yang lain sedang bermain salju di luar, sebentar lagi akan kembali. Salju di sini turun dan hilang dengan cukup cepat," katanya langsung ke intinya seolah aku sudah tahu ada anak-anak lain di sini. Dari semua yang dia katakan, serta papan-papan nama di lantai dua tadi, sudah jelas sih. "Juga, Sok Pintar, pindahkan penanak nasi dari situ ke tengah meja makan," katanya sambil menunjuk ke mesin penanak nasi di pojok dapur.

"Sudah dipekerjakan sebagai pembantu, ya." Aku berjalan ke arah penanak nasi yang ada di pojok dapur, mencabut kabel dari stop kontak, mengambil kain untuk melapisi tanganku dan membawa penanak nasi ke tengah meja makan.

Aku juga sekalian menata sendok dan garpu yang belum ditata dari rak alat makan, ke samping semua piring karena Paman tadi terlalu sibuk mengobrol denganku.

"Juga, namaku Nozomi. Aku tidak suka dipanggil yang aneh-aneh saat aku punya nama yang orang tuaku berikan."

"Nozomi tanpa harapan, ya. Ironis sekali."

"Jangan memelesetkan namaku!"

Meski aku sudah kehilangan semangat hidup, aku tidak akan membiarkannya mengejek nama yang orang tuaku berikan!

"Baiklah. Ngomong-ngomong, namaku Yukikazu, 28 Tahun," katanya padahal aku tidak bertanya.

Tapi... Yukikazu, ya? Namanya terdengar jadul juga.

"Sepertinya kanji kedua dari namamu terlalu cocok untukmu, Kazu-oji-san."

Yuki(幸) berarti kebahagiaan, Kazu(和) ditulis dengan arti tenang atau harmonis. Untuk saat ini, aku hanya bisa melihat dia adalah orang yang tenang.

"Aku terkejut kamu bisa menebak kanji namaku dengan benar, bukan satunya dengan Ichi(一) sebagai kanji kedua, yang terkenal mudah. Apa kau ini benar-benar anak kelas 3 SD?"

"Aku sudah kelas 5! Juga, aku hobi belajar kanji!" Bisa-bisanya dikira kelas 3 SD!

"Meski begitu, tetap mengesankan. Tapi aku lega juga, cara marahmu masih tetap seperti anak-anak."

Kenapa orang ini bisa setenang ini, sih? Dia terlalu mencerminkan kanji ke-dua dari namanya. Apa dia sengaja, atau tidak sadar melakukan itu?

Kazu-oji-san selesai memasak kare dan mematikan kompor. Dia membagikan nasi ke atas piring-piring kosong di atas meja, kemudian menuangkan kare di atasnya. Totalnya ada enam piring. Setelah itu, dia membunyikan bel yang menggantung di pojok ruangan.

*Dudududu* suara langkah kaki beberapa orang terdengar. Sepertinya anak-anak yang lain kembali.

"Oh, Kazu-nii! Hari ini kare, ya?" kata seorang anak laki-laki seusiaku dengan penuh semangat, masih mengenakan baju tebal yang dilumuri salju di beberapa tempat. Rambutnya gondrong seleher.

Jadi ada yang memanggil Kazu-oji-san seperti kakak laki-laki, ya?

"Lepas di depan, atau tidak akan ada makan siang untukmu," balas Kazu-oji-san.

"Ah, kelupaan!" Anak itu langsung berputar arah dan kembali ke depan untuk melepas baju tebalnya. Dia bahkan tidak menyadariku, ya?

Kemudian, dia kembali dengan pakaian yang mirip dengan Kazu-oji-san.

Disusul dengan dua anak perempuan lain yang kelihatannya masih duduk di TK. Keduanya memiliki wajah dan model rambut bobcut, jadi aku rasa mereka kembar. Bahkan keduanya memakai pakaian yang sama, yaitu sweater kuning dan celana jeans warna putih krim. Bedanya, satunya memakai pita tali putih, dan satunya tidak.

Keduanya sepertinya langsung menyadariku, dan berlari untuk sembunyi di belakang Kazu-oji-san.

"Itadakimasu!" sedangkan si laki-laki dengan santainya mengambil kursi dan langsung melahap nasi kare itu. Sulit dipercaya, dia selesai dalam dua puluh detik. "Gochisousama!" dia membawa piringnya ke tempat cucian, dan merendamnya dengan air. Dia kemudian berbalik, dan akhirnya menyadari keberadaanku.

"Eh!?" dia terlihat sangat amat terkejut. Aku di sini yang ingin kaget karena dia sangat lama untuk menyadariku.

"Perkenalkan, aku hantu," gurauku.

"AAAAAHHHH!!!" teriaknya, dan dia langsung lari menuju ke belakang Kazu-oji-san bersama dengan si kembar. Dia melihatku dengan takut, sungguhan, sepertinya melebihi yang lainnya. Dia percaya saja dengan gurauanku, begitu?

"Hanya bercanda. Aku Nozomi, sadar-sadar sudah diculik ke sini. Salam kenal."

"Untunglah...! Aku kira kau hantu sungguhan..." dia terlihat lega, jatuh berlutut sambil memegangi baju Kazu-oji-san. Kenapa dia bisa setakut itu?

"Namanya Reiji. Anak ini dihantui oleh hantu dari pengikut sekte yang ayahnya dirikan, kehilangan semangat hidup di dunia nyata, dan berakhir di sini. Untung baginya, di sini tidak ada hantu. Ini sudah ke-3 kalinya, tapi dia masih tetap tidak bisa terbiasa karena dia telah direpotkan oleh hantu-hantu tersebut menggantikan ayahnya," kata Kazu-oji-san sambil mengelus kepala Reiji.

Aku tidak akan bisa menerima latar belakangnya yang terlalu unik, kalau bukan karena situasi ini. Ketakutannya barusan juga sangat nyata, terlihat putus asa dan meminta pengampunan. Bisa-bisanya aku memilih gurauan yang sangat tidak tepat.

"Maaf," kataku sambil menundukkan kepalaku kepadanya, meminta maaf.

"Ah, tidak... aku juga minta maaf karena takut berlebihan..." balasnya, sambil menundukkan kepala beberapa kali. Sepertinya aku telah dimaafkan.

Kemudian, Kazu-oji-san mendorong si kembar ke depan dan membuat mereka bisa terlihat olehku. Keduanya terlihat takut saat melihatku, dan kembali melihat ke arah Kazu-oji-san.

"Yuuka, Ririka, ayo ucapkan salam," kata Kazu-oji-san sambil menepuk punggung mereka. Keduanya mengangguk, kemudian berbalik menghadapku.

""Konnichiwa..."" ucap keduanya sambil bergandengan tangan, membungkuk sebisa mereka. Sopan sekali mereka. Siapa yang mendidik mereka?

"Untuk si kembar ini, ibunya meninggal saat melahirkan mereka. Saat mereka akan menginjak lima tahun, ayahnya bilang akan mengadakan pesta ulang tahun mereka untuk yang pertama kalinya dalam hidup mereka, tapi ternyata dia lari dengan wanita yang sudah punya anak seusiamu. Mereka berdua dibiarkan hampir mati kelaparan, ingin mati saja dibanding terus menderita. Asalkan mereka bisa bersama, dan sampailah ke sini. Si Kakak yang punya tahi lalat di bawah mata adalah Yuuka, si Adik yang terlihat lebih pendiam adalah Ririka." Kazu-oji-san menjelaskan kepadaku.

Baiklah, setidaknya aku tahu bukan ayah brengsek mereka yang mendidik mereka. Dari yang kudengar juga keduanya tidak sempat diputar ke kerabat, jadi Kazu-oji-san yang mendidik mereka?

... entah kenapa aku makin tidak bisa menebak karakter Kazu-oji-san.

Tapi rasanya cukup sulit untuk mendekati Yuuka dan Ririka begitu saja. Rasa hati-hati mereka terhadapku tampaknya tinggi. Apa boleh buat sih, anak dari wanita yang mengambil ayah mereka, adalah gadis seusiaku.

... sepertinya aku harus melakukan ajarannya Mama.

"Kazu-oji-san, apakah di sini ada minyak, susu sapi, dan empat butir telur?"

Kazu-oji-san berjalan dan membuka lemari es, mengeluarkan semua bahan yang aku minta dan menyerahkannya kepadaku.

Tunggu dulu... ada yang aneh di sini. Susu sapi karton? Kenapa bisa ada bahan makanan dari supermarket di sini?

"Sebagai Penguasa Perbatasan, tingkat kebahagiaan kalian akan menjadi poin untukku belanja di supermarket." Lagi-lagi, dia menjelaskan seolah ini adalah hal yang biasa.

... Apa sebenarnya Perbatasan itu...

"Ah, terserahlah!" Aku sudah menyerah untuk berpikir. Aku membawa dua piring dari meja makan ke meja dapur.

Aku pun mengambil teflon, meletakkannya di atas kompor dan menuangkan sedikit minyak ke atasnya. Aku mengambil tisu yang ada di meja dapur untuk mengelap minyak yang berlebihan, kemudian menyalakan kompor ke api rendah.

Selagi menunggu teflon panas, aku memecahkan semua telur ke dalam mangkuk dan mengaduknya dengan sumpit. Setelah menambahkan sedikit susu dan mengaduknya lagi, aku menyaringnya ke mangkuk lain. Aku mengambil sendok sayur, kemudian menuangkan setengah dari mangkuk ke atas teflon dengan api rendah.

Aku mengaduk-aduk telur dengan cepat dan merapikan telur ke tengah. Setelah dua kali melakukan itu. Aku memiringkan teflon, memukul-mukul gagang sambil mengankat teflon supaya omelette bisa melipat. Setelah memukul-mukul dan membalik omelette, aku membiarkannya selama sepuluh detik, kemudian meletakkannya ke atas nasi kare.

Aku bergegas membuat omelette kedua dengan proses yang sama, sebelum omelette pertama dingin.

"Dua nasi kare with omelette, silakan dinikmati," kataku sambil menyajikan hidangan kepada Yuuka dan Ririka. Aku mengambil pisau dapur, kemudian membelah bagian tengahnya di depan mereka. Untunglah, dalamnya masih creamy. Ini adalah hidangan yang menurutku cukup sulit, yang pernah Mama ajarkan padaku.

"... Jangan bersedih lagi, Nozomi. Apa yang sudah terjadi, biarlah terjadi. Ini adalah proses menuju keberhasilan." Aku teringat kata-kata Mama saat dia mengajariku sesuatu.

Oh, aku sampai melamun. Bagaimana reaksi Yuuka dan Ririka?

"Wow..." Mata Yuuka dan Ririka terlihat bersinar-sinar.

"Dan yang terakhir..." Aku menambahkan sedikit kare di atasnya sebagai ganti saus. Karena sudah ada kare, kali ini aku tidak memakai garam.

"Kamu bisa memasak omurice(Omelette Rice)? Hebat, Kazu-nii saja tidak pernah berhasil!" seru Reiji. Sepertinya Reiji sudah tidak takut kepadaku.

"Jadi ini ya yang namanya omurice?" tanya Yuuka.

"Aku baru pertama kali melihat telur bisa seperti ini..." kata Ririka.

... Mereka tidak pernah makan omurice? Bahkan ayahnya tidak pernah membelikan omurice untuk mereka!? Kalau iya, aku harap aku bisa menghajar ayahnya!

"Silakan dimakan," kataku kepada mereka berdua.

""Untuk kami...?"" tanya mereka berdua, tampak ragu apakah mereka boleh memakan itu atau tidak. Pasti mereka juga seperti ini saat bersama dengan ayahnya.

Aku mengelus kepala mereka berdua, lalu mencoba tersenyum sebisaku. Dibandingkan diriku yang sudah dimanja habis-habisan sejak lahir, mereka berdua belum pernah merasakan kasih sayang dari orang tua. "Aku ingin kalian senang!"

Keduanya mengangguk, kemudian memakan dengan lahap.

"Terima kasih, Nozomi-nee!" kata Yuuka.

"Enak sekali. Makasih, Mii-nee," kata Ririka, sepertinya memberikan nama panggilan kepadaku.

Mereka tersenyum dan berterima kasih padaku. Itu membuatku sedikit senang.

Kata Kazu-oji-san, ini pertama kalinya mereka makan dengan begitu semangat. Jadi Kazu-oji-san tidak terlalu bisa memasak, ya? Karena aku punya banyak resep yang diajarkan oleh Mama, aku menawarkan diriku untuk memasak sekali sehari.

Juga, Kazu-oji-san memasak berlebihan karena sampai sebulan yang lalu dia terus memasak untuk enam orang, dan ingin meneruskan itu setidaknya sampai satu bulan. Dengan kedatanganku, hari ini dia hanya perlu memakan total dua porsi.

Di tengah malam, Yuuka dan Ririka mengetuk pintu kamarku dalam piama kuning, dan meminta izin tidur bersama. Pintu kamar hanya bisa dibuka oleh penghuni kamar, jadi aku membukakan pintu dan membolehkan mereka masuk ke kamarku

Karena kasurnya aslinya untuk dua orang, mereka tidur sambil memelukku. Aku tidak bisa balas memeluk mereka sebab mereka memelukku seperti bantal peluk, menyegel kedua tanganku.

Cepat sekali mereka terbuka kepadaku. Jadi ini ya yang namanya 'menangkap perut'. Ajaran Mama memang benar-benar ampuh, walau bukan untuk laki-laki yang aku suka. Mama dulu juga membuatkan Papa bekal tiap hari, sampai dia menyatakan cintanya ke Papa lewat tulisan di bekal.

Aku bisa beradaptasi secepat ini mungkin karena dulu mereka mengajakku ke panti asuhan... tapi aku lupa namanya karena sudah dua tahun lalu. Tapi aku rasa itu tidak penting sekarang.

Aku memejamkan mataku dan mencoba untuk tidur.

Begitulah, hari pertamaku di 'Perbatasan'.

Peraturan Perbatasan sejauh ini:

1. Anak-anak yang kehilangan semangat hidup bisa masuk ke sini.

2. Tidak bisa terluka secara fisik maupun mati.

3. Entah bagaimana, ada listrik, perabotan, dan bahan makanan.

4. Kebahagiaan penghuni bisa menjadi poin untuk belanja di supermarket?

5. Penghuni punya kamar masing-masing, dan pintu kamar hanya bisa dibuka oleh pemilik kamar.

  1. #Chuunibyou: Sindrom kelas 2 SMP, sering dilokalisasikan dengan "penyakit alay" adalah orang-orang yang bertingkah sebagai karakter secara berlebihan.
  2. #Kanji: Sistem tulis Jepang yang mengambil dari Cina dan memiliki cara baca yang beda. Jumlahnya ada ribuan.
  3. #Oji artinya paman, Ojii artinya kakek. Banyak orang luar yang tidak tahu bedanya.
  4. #Onii artinya kakak laki-laki, dan Onee artinya kakak perempuan. Tanpa O juga bisa.
  5. #Itadakimasu: Selamat makan atau minum. Bisa juga saat menerima atau mengambil sesuatu milik yang bukan miliknya.
  6. #Gochisousama: Terima kasih atas sesuatu yang telah dikonsumsi, biasanya atas makanan.
  7. #Ohayou artinya selamat pagi, Konnichiwa artinya selamat siang, Konbanwa artinya selamat malam atau selamat petang, dan Oyasumi artinya selamat tidur.