Suasana pagi itu sungguh mengenakkan jiwa juga raga. Aku terbangun mendengar suara adzan dari masjid sebelah rumah yang sekarang menjadi tempat tinggalku. Suara merdu itu membangunkan diriku.
Aku bangun dari tempat tidur lalu melakukan kewajibanku sebagai umat muslim. Setelah selesai sholat, aku bergegas menuju dapur untuk mencari keberadaan ibuku. Benar saja, Ibu sudah sibuk menyiapkan sarapan pagi ini.
"Rhea," ucapnya sembari menolehkan kepala kearahku.
"Iya Bu, ada apa?" tanyaku seraya menghampirinya.
"Kamu hari ini sekolah kan, buruan sana siap-siap nanti keburu siang."
"Bentar dulu Bu, aku ingin membantu ibu menyiapkan sarapannya."
"Tidak usah, ini juga hampir selesai. Kamu siap-siap aja sana," suruhnya padaku.
"Ya sudah lah, Ayah kemana?" tanyaku.
"Dia pergi ke masjid sejak tadi, tapi belum pulang," jawabnya.
Aku hanya menjawab dengan anggukan.
Aku meninggalkan Ibuku di dapur menuju kamar mandi untuk mandi pagi, setelah itu aku memakai seragam OSIS untuk pergi ke sekolah.
"Rhea, sudah siang kita sarapan dulu," ucap Ayah dari luar kamarku.
"Bentar Yah," jawabku singkat.
Aku juga memakai sedikit make up di wajah agar tidak terlihat pucat. Tidak lupa memakai jepitan rambut yang selalu ku pakai dan membiarkan rambut panjangku tanpa mengikatnya.
Setelah semuanya selesai aku keluar kamar, lalu menuju tempat untuk kami sarapan bersama.
"Menu makanan hari ini, Ibu masak kesukaan Ayah," ucapnya sembari membawa lauk tumisan kangkung.
Tumisan kangkung memang lauk masakan Ayahku dari dulu. Ibu meletakkannya di depan wajahku dan Ayahku, diatas meja kayu yang sudah lama umurnya. Meja itu sudah ada sejak aku masih kecil.
"Woww, kalau gini kan Ayah jadi semangat untuk sarapan," ucap Ayah dengan wajah yang sumringah.
"Besok gini lagi ya Bu," sambungnya lagi.
"Nggak gitu dong, Rhea juga pengen sambel teri," ucapku.
"Iya besok Ibu masakin sambel teri. Kemarin ibu belanja di warung Bi Sumi ikan terinya udah habis. Makannya Ibu nggak masak Rhe," jawabnya.
"Yaudah deh, Rhea kan selalu bersyukur pada Tuhan. Jadi makanan apapun Rhea suka," ucapku sembari mengeluarkan senyuman.
"Yaudah deh makan sekarang. Ayah nanti mau ke perkebunan, jadi kamu Ayah antar sampai ke sekolah ya sekalian gitu."
"Oke kalau gitu kan Rhea juga yang untung," jawabku dengan sedikit tawa.
Hari itu aku diantar sekolah dengan Ayah menggunakan mobil miliknya.
Sesampainya di depan gerbang sekolah, aku kira ayah tidak ikut turun. Tapi justru Ayah turun dari mobil karena ada pak Ipul, satpam sekolah Jayasakti waktu itu.
"Selamat pagi Pak Ipul," sahut Ayah.
"Eh Pak Bagus, gimana kabarnya?" tanya Pak Ipul.
"Yah, begini begini aja nih," jawabnya dengan tertawa.
"Ini Rhea?" tanya Pak Ipul dengan menatap ke arahku.
"Iya pak," jawabku singkat.
"Udah besar ya, jadi ingat dulu kalau pulang kampung pasti mainnya di sungai belakang rumah saya. Kalau belum di cariin neneknya pasti udah sampai malam mainnya," jelasnya diikuti tawa.
"Memang begitu Pak? Rhea udah lupa," jawabku dengan senyuman.
"Apa yang Rhea nggak lupa, semua di Belasangkar ini udah tidak ada dipikirannya," ucap Ayah juga diikuti tawa.
"Yaudah Pak Ipul. Tolong jagain Rhea ya, kasihan di sini belum kenal siapa-siapa," sambung Ayah.
"Baik pak, Bapak nggak sekalian nganterin ke dalam?" tanya Pak Ipul.
"Nggak pak, saya mau ke perkebunan atas desa itu," jawabnya.
"Oh yaudah hati-hati Pak," ucap Pak Ipul.
Aku pun mencium punggung tangan kanan Ayah, lalu dia pergi menggunakan mobilnya.
"Ya sudah Pak Ipul, Rhea masuk dulu ya. Mari Pak," ucapku.
"Iya silahkan neng."
Aku kemudian berjalan mencari ruang guru untuk mengkonfirmasi tentang diriku.
Tiba-tiba aku dikejutkan denganĀ dua anak laki-laki yang menabrakku.
"Gimana sih kalian?!" ucapku reflek kepada mereka.
"Eh maaf, nggak sengaja kita," jawabnya dengan badan yang masih terjatuh di lantai.
"Yaudah, lain kali hati-hati," ucapku sembari membersihkan kotoran yang menempel di seragamku.
Aku berusaha pergi dari tempat itu tapi di halangi oleh kedua anak tadi.
"Eh, bentar bentar. Udah lama kita belajar di sini, tapi gue belum pernah liat mukannya, lo udah pernah?" tanya salah satu diantara mereka.
"Sama sih gue juga belum pernah liat," jawabnya.
"Eh nama lo siapa? nama gue Ian, banyak anak-anak di sekolah ini bilang gue paling ganteng," ucapnya sembari menjulurkan tangan kepadaku dengan gaya yang sok.
"Rhea," jawabku singkat dengan membalas uluran tangannya.
Tiba-tiba anak laki-laki dengan perawakan tinggi, anaknya putih menggunakan jaket hitam polos menghampiri kami.
"Kalian kenapa kok baju seragamnya kotor semua?" tanya anak itu pada kedua temannya.
Dia kemudian menatap ke arahku.
"Oh gara-gara cewek lagi. Ian udah berapa kali gue ngomong ke lo, nggak usah goblok jadi laki. Lo disuruh apa sama cewek ini?!" bentaknya.
"Apaan sih, kita yang salah. Tadi kita lagi lari terus," ucap Ian belum selesai.
Anak tinggi itu menatap fokus pada wajahku seolah olah dia membenciku karena kejadian ini.
"Kenapa sih? bukan aku yang salah," ucapku.
Dia terus menatapku.
"Tadi aku cuma lagi jalan terus mereka menabrakku," jelasku.
Dia tetap menatapku.
Tatapan itu membuatku sedikit kesal.
"Memang ada yang salah? nggak usah menatapku seperti itu! Kamu dari tadi menatapku seolah olah aku yang salah disini!" bentaku.
"Lo ngebentak gua? emang lo siapa sih," balasnya dengan nada kasar.
Suara kerasnya itu membuat banyak anak keluar dari kelasnya.
"Aku nggak mau cari masalah ya disini."
"Orang yang udah berani ngebantak gue itu pasti punya masalah," jawabnya.
"Udahlah. Rhea kamu pergi aja dari sini, emang anaknya seperti itu," suruh Ian padaku.
Aku menuruti saja ucapan Ian, meninggalkan mereka. Mencoba untuk melupakan kejadian tadi, tapi masih saja terpikir di kepalaku.
Ku lanjutkan langkahan kaki ini menuju ruang guru.
Aku merasa ada anak yang mengikutiku sejak tadi. Akhirnya ku hentikan langkahku dan menoleh ke arah belakang.
Benar saja ada empat cewek cantik yang mengikuti sejak tadi.
"Ada apa ya?" tanyaku tanpa basa basi.
"Woww" ucap salah satu diantara mereka dengan bertepuk tangan.
"Rhea, baru kali ini ada orang apalagi cewek yang berani ngebentak anak yang tadi," ucapnya dengan tersenyum kepadaku.
"Anak yang tinggi tadi?" tanyaku.
"Heem, oh iya namaku Gretha Emerilda, biasanya dipanggil Gretha," ucapnya dengan mengulurkan tangannya untuk berkenalan.
"Rhea," jawabku.
"Sebelahku ada Hazel Isabela. Biasanya dikenal dengan Bela, walaupun terlihat anggun tapi kalau udah kenal orangnya Bela jauh dari kata anggun," jelas Gretha."
"Yang rambutnya diikat namanya Ocha Magnolia. Ocha emang kelihatannya serem ya, tapi dia anak yang baik kok," sambungnya.
"Dan yang paling pojok namanya Luna, lengkapnya Luna Mentari Permata."
Penjelasan Gretha membuatku bahagia, karena mereka mau berkenalan denganku. Aku menuju ruang guru juga diantar keempat anak itu.
"Kringg!!!" bunyi bel sekolah.
Aku masih di ruang guru saat itu.
"Rhea, kamu ibu minta belajar di kelas 12 IPS 2. Oke sekarang kamu ikuti Ibu menuju ke ruang kelasnya," suruh Bu Maria.
Bu Maria adalah kepala sekolah SMA Jayasakti waktu itu.
Aku pun menurutinya dan mengikuti langkahnya.
Memasuki ruangan 12 IPS 2, aku melihat Gretha, Bela, Ocha dan Luna berada dalam kelas itu. Perasaan senang lalu muncul karena bisa satu kelas dengan mereka.
Bu Maria menyuruhku untuk memperkenalkan diri kepada murid kelas itu.
"Perkenalkan nama aku Rhea Talita Hendratama, pindahan dari SMA Garuda Jakarta, semoga bisa berteman baik sama kalian."
Aku pun disuruh duduk di bangku kosong.
Aku mendekati bangku belakang yang masih kosong, tapi Gretha berjalan ke arahku dan menyuruhku untuk duduk di sebelah Luna.
"Kamu duduk di sebelah Luna saja, tempat duduk itu sudah ada yang punya. Orangnya suka marah-marah nanti kamu dimarahin lagi," jelas Gretha padaku.
"Iya Rhe kamu duduk di sebelahku saja," ucap Luna.
"Terimakasih Luna," ucapku.
"Iya," jawabnya singkat.
Jam pertama itu, guru pelajaran sejarah sudah memasuki ruang kelasku.
Dia mengabsen satu persatu anak di kelas. Hanya satu anak yang tidak datang di jam itu.
"Emang anaknya suka nggak masuk?" tanyaku pada Luna.
"Nggak tau sih, nggak jelas anaknya," jawabnya.
Tiba-tiba anak pintu kelas terbuka dan benar saja ada anak laki-laki memasukinya.
"Zayyan, kamu telat lagi ya!" bentak guru sejarah.
"Maaf Bu, ini surat keterlambatan dari BK," jawabnya.
Zayyan, aku melihat anak itu dari kejauhan. Dia juga menatapku, rasa tidak karuan ini muncul saat kami sama-sama bertatapan.
"Ya sudah kamu boleh duduk," suruh guru sejarah.
Dia duduk di kursi yang sebelumnya aku hampiri untuk duduk.
Aku terus menatapnya, entah kenapa rasanya mata ini ingin terus melihatnya, anaknya tidak terlalu tinggi tidak juga pendek. Seimbanglah untuk tinggi pria. Rambutnya sedikit acak-acakan tidak rapi, bajunya juga tidak tergolong rapi tapi entah kenapa dia menarik mataku untuk terus melihatnya.
"Rhea," ucap Gretha dari depan tempat dudukku.
"Gretha kamu ngagetin aja," ucapku.
"Lagian ngapain sih, nggak kesulitan kan pelajarannya?" tanya Gretha.
Aku menggeleng.
"Yasudah bagus kalau begitu."
"Luna, itu Zayyan?" tanyaku.
"Zayyan Galaxy, kenapa?" tanya Luna padaku.
"Emang anaknya kebiasaan telat, kok seperti nggak bersalah gitu ya," ucapku.
"Anaknya nggak jelas," jawab Gretha dengan menolehkan kepala ke arahku.
Aku hanya mengangguk.
Aku melihat ke arah Zayyan, dia tidak memperhatikan pelajaran sejarah sedikitpun. Dia disibukkan dengan tidur pulas dimejanya.
"Kringg!!!!" bunyi bel menandakan istirahat.
"Rhea, kantin yuk," ajak Luna padaku.
"Ayok," jawabku.
"Bentar dong kita pergi bareng-bareng," ucap Bela.
"Gretha mana?" tanya Ocha dengan muka datarnya.
"Itu," jawab Bela menunjuk ke arah Gretha yang sedang memarahi Zayyan.
Aku melihat Zayyan saat itu masih belum bangun dalm tidurnya.
"Zayy!!" ucap Gretha keras.
"Apa sih? gangguin orang tidur aja."
"Lo niat sekolah nggak sih? kalau tiap hari BK terus kan nggak cuma nama lo yang jelek tapi juga nama kelas!" bentak Gretha.
"Lo nyalahin gue, lo siapa? ngatur-ngatur hidup orang. Jadi kalau gue bangun kesiangan atau ada masalah apa gitu gue nggak boleh berangkat sekolah?!" bentaknya yang sontak membuat Gretha terdiam.
"Emang biasanya gitu, serem," bisik Luna padaku.
"Gretha udah. Ayok kita ke kantin," ajakku.
Gretha menuruti permintaanku untuk ke kantin.
Aku hanya menunduk. Terlalu takut jika melihat wajah Zayyan, entah kenapa aku dari kecil sudah takut jika mendengar suara keras dari orang.
Kami berlima menuju kantin bersama. Kami memilih tempat duduk yang dekat penjual makanannya.
"Aku aja ya yang pesenin makan kalian," ucap Luna dengan senyuman.
"Makanan biasa," jawab Gretha singkat.
"Rhea juga disamakan aja ya, biasanya kita makan baso ikan," ucap Luna.
"Boleh," jawabku singkat.
Luna pergi memesankan kita makan.
"Capek juga pagi pagi udah adu mulut, hahh," ucap Gretha.
"Lagian lo ngapain sih ta, orang seperti Zayyan tuh nggak bisa dinasehatin. Kalau mau suruh dia dengerin, minimal tonjok wajahnya dulu," sambung Ocha.
Emang sekesal itu mereka sama Zayyan? pikirku.