Chereads / Zay GALAXY / Chapter 3 - Bhadrika

Chapter 3 - Bhadrika

"Capek juga pagi pagi udah adu mulut, hahh," ucap Gretha.

"Lagian lo ngapain sih ta, orang seperti Zayyan tuh nggak bisa dinasehatin. Kalau mau suruh dia dengerin, minimal tonjok wajahnya dulu," sambung Ocha.

Beberapa saat kemudian Luna datang dengan membawa lima mangkok yang berisi bakso.

"Sudah sudah. Nih baksonya dimakan deh," ucap Luna sembari membagikan mangkoknya satu persatu.

Suara ribut anak anak di kantin yang membuatku terdiam.

"Kok rame banget sih emang ada apa?" tanyaku pada mereka.

"Itu anak Bhadrika Dateng," jawab Bela.

Aku melihat 4 anak laki-laki, anak yang tadi pagi membuat masalah denganku juga ikut diantara nya.

"Mereka siapa sih?" tanyaku lagi.

"Sini Rhe gue jelasin," ucap Gretha sembari mendekati posisi dudukku.

"Itu mereka anak Bhadrika," sambungnya lagi.

"Bradika apaan?" tanyaku.

"Anak anak bandel," jawab Ocha.

"Ocha, bentar dong gue mau jelasin sama Rhea. lo diem dulu ya oke."

"Rhea bukan Bradika tapi Bhadrika. Bhadrika tuh artinya apa itu aku lupa," ucapnya sembari menepuk tubuh Bela.

"Kamu sok soan pakai kata jelasin segala artinya aja nggak tahu haha. Bhadrika itu anak anak yang gagah," jawab Bela.

"Iya itu, sebenarnya mau ngomong gitu tapi udah lupa karena ngelihat anak anaknya," ucapnya diikuti tawa.

"Gaya lo sok soan," sambung Ocha.

"Lo hari ini sewot amat sama gue Cha, stt diem dulu," suruh Gretha.

"Iya mereka itu anak anak pentolan di sekolah ini, terus kita semua nih para pelajar menyebutnyai Bhadrika artinya yang gagah. Ya walaupun banyak guru yang tidak terlalu suka sama mereka, tapi mereka baik kok."

Aku hanya mengangguk mendengar penjelasan Gretha.

"Tuh Ian, kamu tahu kan anak yang tadi pagi kenalan tuh. Ihsan Ahmad Narendra nama lengkapnya, nggak tau juga kok bisa dipanggil Ian itu dari mana asalnya. Emang anaknya nggak ganteng sih, tapi sifat percaya diri dan soknya itu yang sudah menjadi ciri khas anak itu."

"Sampingnya Arzan Cakra Brawijaya, anak yang tadi pagi ngebentak lo. Dinginnya seperti kulkas 7 pintu, dia jago dalam pelajaran Matematika. Nggak heran sih anak itu menjadi incaran cewek cewek sekolah ini, pesonanya itu loh."

"Itu yang lagi becanda sama Ian, namanya Gibran Fadell Pradanta. Ganteng nggak? banget kan?," tanya Gretha padaku.

"Lumayan sih," jawabku.

"Tuh Cha Rhea aja bilang lumayan. Gibran tuh udah lama suka sama Ocha, tapi kamu tau kan Ocha gimana."

"Dan si paling penguasa dengan rambut yang bagus dan muka ganteng sih, tapi yang lebih menariknya dia baik hati, nggak pernah ngomong kasar sama cewek dan murah senyum. Gue udah suka dia dari kelas 10, tapi sayang dianya udah punya pacar. Pacarnya itu ya sombongnya minta ampun. Angkasa Damian namanya."

"Angkasa Damian?" tanyaku.

"iya," jawabnya singkat.

"Angkasa," panggil Gretha.

Anak itu akhirnya menoleh ke arah kami.

Benar saja itu Angkasa temanku dulu.

"Udah makan Rhe, keburu dingin. Kalau diajak ngomong sama Gretha paling juga sampai nanti sore kamu nggak ngerasain enaknya bakso ini," suruh Bela.

Aku mengangguk lalu mulai memakan bakso yang sudah diambilkan Luna tadi.

"Enak kan Rhe?" tanya Luna padaku.

"Enak kok," jawabku.

Dari kejauhan aku memang terus memperhatikan Angkasa. Tiba-tiba dia pergi begitu saja tanpa teman temannya. Aku pun berniat untuk mengikutinya.

"Eh gaes, bentar ya aku mau ke toilet sebentar," ucapku.

"Kamu tau tempatnya? atau mau diantar?" ucap Gretha.

"Nggak usah aku tau kok dimana toilet," jawabku.

"Ya sudah deh. Kita tunggu di sini ya Rhe."

Aku pun segera bergegas mengikutinya.

Mungkin Angkasa merasa ada yang mengikutinya, dia pun menghentikan langkahnya dan menghampiriku.

"Rhea?"

"Sa," jawabku.

"Ini beneran kamu? kamu ngapain disini? pindah?"

Aku tidak mengeluarkan kata apapun untuk membalasnya.

"Jadi beneran Rhea kamu yang tadi pagi diceritakan teman temanku? gimana kabarmu Rhe?"

"Kamu tanya aku Sa? seharusnya aku yang nanya begitu ke kamu. Gimana kabarmu Sa? berapa tahun kamu menghilang, kamu nggak ada kabar. Kamu pindah jauh tanpa ngabarin aku ataupun Yasmin. Kami, aku dan Yasmin udah berusaha mencari kabar tentangmu tapi juga nihil, kami tidak menemukan apapun tentang dirimu. Sampai akhirnya aku pun berfikir kalau kamu sudah tidak ada di kehidupan ini."

"Rhe, aku nggak bermaksud seperti itu. Waktu itu keluargaku buru buru untuk segera meninggalkan rumah dan akhirnya aku tidak berpamitan kepada siapapun."

"Seenggaknya kamu bisa hubungi aku lewat WhatsApp ataupun sosial media yang lain Sa. Kamu tau nggak sih aku kangen sama kamu dan setiap malam aku berusaha untuk tidak memikirkan keberadaanmu, tapi tetap saja selalu terpikirkan. Sampai akhir-akhir ini aku bisa melupakanmu, tapi memang tuhan telah mengirimkan mu kembali setelah aku sudah lupa padamu."

Tak terasa air mataku jatuh saat berbicara pada Angkasa.

"Maafkan aku Rhe," ucapnya.

"Nggak papa Sa. Sekarang kamu tinggal dimana?" tanyaku.

"Dekat kok dengan sekolah ini. Jalan Jayasakti nomor 5, sebelah kanan itu menjadi tempat tinggalku sekarang Rhe."

Aku mengangguk.

"Kamu sendiri tinggal dimana?" tanya Angkasa.

"Rumah nenekku," jawabku dengan tersenyum.

"Kalau nanti tidak ada kegiatan aku pasti ke rumahmu."

"Boleh," jawabku.

Aku meninggalkan Angkasa dan kembali ke kantin.

Aku masih melihat Gretha, Ocha dan Bela. Sementara Luna sudah tidak ku lihat ditempat semula.

"Lama amat sih Rhe," ucap Gretha.

"Emang lama ya? aku kira bentar," jawabku.

"Luna kemana?" tanyaku.

"Luna udah kembali ke kelas dari tadi. Katanya mau ngerjain tugas kemarin," jawab Bela.

"Yaudah yuk balik kelas," ajak Gretha.

Kami bertiga mengiyakan ucapannya.

Tiba-tiba Ian, Gibran dan Arzan berjalan ke arah kami.

"Eh Rhea," sapa Ian padaku.

"Haii," jawabku.

"Ketemu lagi nih kita di sini. Positif thinking aja ya jangan jangan kita jodoh," ucap Ian diikuti tawa.

Aku pun membalas dengan tertawa.

"Rhea, maaf kejadian tadi pagi," ucap Arzan padaku.

"Iya udah aku maafkan kok."

"Haii Cha," panggil Gibran pada Ocha.

Ocha hanya diam tanpa menjawabnya.

"Haii juga Gibrann," jawab Gretha.

"Mewakili kata hatinya Ocha," sambungnya.

"Udah yuk balik kelas," ajak Ocha sembari melangkahkan jalan meninggalkan kantin.

Kami berempat pun menuju kelas.

"Woww, Arzan minta maaf sama kamu Rhe, baru kali ini dengar kata maaf darinya," ucap Gretha.

"Sama nih," sambung Bela.

Kami pun memasuki ruang kelas. Aku melihat Luna yang sedang sibuk mengerjakan soal.

"Ngerjain apa sih Lun?" tanyaku.

"Sosiologi," jawabnya singkat.

"Emang kita sekarang pelajaran apa?" tanyaku lagi.

"Nanti kita sosiologi sampai pulang sekolah," jawab Bela.

Aku melihat Zayyan yang berjalan ke arah kami.

"Lun, lihat tugas sosiologi yang kemarin dong," ucap Zayyan.

"Ini nih," jawabnya sembari memberi buku miliknya.

"Tumben lo mau ngerjain Zayy," ucap Gretha.

"Emang salah!" jawabnya ketus.

"Biasa aja kali, kan gue cuma bilang," jawabnya.

"Ya lain kali nggak usah bilang!"

Aku hanya memperhatikan adu mulut antara keduanya.

Zayyan kemudian menatapku dengan tajam.

"Dia siapa sih Lun?" tanya Zayyan tentangku pada Luna.

Aku yang merasa terpanggil pun akhirnya memperkenalkan diri.

"Namaku Rhea, lengkapnya Rhea Talita Hendratama," jelasku sembari mengulurkan tangan.

Zayyan hanya menatapku tanpa membalas uluran tanganku.

"Oh," jawabnya singkat.

Oh? satu kata aja yang muncul dari mulutnya. Walaupun murid SMA ini mengatakan kulkas 7 pintu adalah Arzan, maka aku mengatakan lain. Zayyan lebih beku dari padanya.