"Aku ingin terbang bebas, melepas semua beban yang ada pada pundak. Menjatuhkannya ke Bumi, berharap ia tidak hancur karena menerima semua beban itu. Tetapi sepertinya, semua itu hanyalah angan belaka. Tidak apa, asalkan aku masih mendapatkan perhatiannya, mendapatkan kasih sayangnya. Namun, apakah semua itu mungkin? Ia hanyalah sebuah kalimat yang hanya mampu terucap penuh harap, namun tidak mampu untuk mewujud menjadi suatu kenyataan. Lantas apa? Apa yang menjadi kenyataan dari sebagian mimpiku yang tidak mampu untuk terwujud dan hanya diketahui oleh diriku sendiri?"
"Aku ingin menjadi warna putih. Mengkilat, terlihat mengkilat hanya dalam sedikit saja taburan Sang Surya. Warna yang disukai oleh orang lain, berbeda dengan diriku yang pada kenyataannya sangat dibenci oleh orang lain. Warna yang sangat diagungkan dan dijaga, ketika sesuatu berwarna putih terkena noda hitam sedikit saja maka langsung dibersihkan untuk menjaga keputihan warnanya. Indahnya ... perhatian yang warna putih dapatkan bahkan melebihi perhatian yang ku dapatkan sebagai seorang manusia., yang mana dikatakan sebagai mahluk dengan derajat paling tinggi di dalam suatu tatanan alam atau mungkin itulah yang selalu kita ketahui sampai sekarang. Namun, apakah itu benar?"
"Aku ... iri dengan sebuah warna. Benar, inilah aku. Seorang gadis biasa tanpa kemampuan apapun untuk membuatnya dirinya senndiri terihat normal selayaknya mereka yang berjalan di sekitarku. Sosok yang berjalan di tengah dunia yang terus berputar demi mengejar sesuatu yang tidak pasti akhirnya. Aku membencinya. Aku membenci diriku, yang selalu mengulang perkataannya. Kalian tidaklah salah, kalimat itu adalah pemberian dari seseorang yang sudah lama ku kenal. Sepasang netra coklat dibalut kacamata hitam pada malam bersalju kala itu membius pikiranku dalam sekali pandang. Tidak pernah ku bertemu dengan seseorang yang mampu untuk merubah pandangan orang lain terhadap sesuatu hanya dengan sepatah kata. Dia sangat menawan, sepasang netra coklat yang mampu merubah diriku itu tidak akan pernah aku lupakan."
Pernahkah kalian merasakan perubahan suasana hati yang begitu mendadak pada suatu waktu? Seperti senang menjadi sedih ataupun sebaliknya? Kalau kalian mengalami sekurangnya sekali dalam hidup kalian, maka kalian sama dengan gadis satu ini. Saat dimana ia mendengar bahwa dirinya akan dimasukkan ke dalam asrama, raut wajah senang ia tunjukkan. Namun sesaat setelahnya, ia menyadari bahwa tinggal di asrama adalah sesuatu hal yang mungkin saja tidak menyenangkan karena itu artinya ia harus tinggal jauh dari keluarganya. Mungkin ... untuk selamanya.
Tentu saja itu hanya sedikit kemungkinan untuk merasakan penderitaan setelah masuk asrama karena pada kenyataannya, ia jarang sekali untuk sekadar berinteraksi dengan keluarganya. Noka, Ibunya yang kini telah pergi dan tidak mungkin kembali, serta Ayahnya yang memberikan hak asuh dirinya kepada seorang tua renta dekat persimpangan pada malam tertutup tangis lelah Sang Halimun sudah cukup untuk membuat gadis itu kehilangan masa kecilnya. Mungkin ... tidak semua. Apa yang hilang tidak mungkin kembali, yang terjadi tidak mungkin terulang, dan apa yang di hadapan selalu lebih baik dibandingkan melihat memori kelam lalu merenung karenanya.
Kehidupan bersama nenek, atau mungkin lebih tepat apabila disebut orang tua angkatnya cukup baik. Gadis itu menyayangi nenek layaknya seorang ibu kandung untuknya. Begitupun sebaliknya, kasih sayang diberikan nenek itu tanpa mengenal tali darah, membuat sang gadis merasakan kehangatan yang sama seperti bagaimana saat ibunya dahulu menyayanginya sebelum ia tiada. Namun tetap saja, kasih sayang semata tidak mampu untuk menyembunyikan ikatan darah yang sesungguhnya. Dalam gelapnya malam bertabur bintang, kenangan datang tanpa diundang, membawa rupa tawa dan wajah sang ibunda yang telah lama tiada meninggalkannya. Sosok yang menyayangi anak tanpa bakat sepertinya dengan tulus. Kala mengingat, tak tertinggal air mata yang senantiasa mengalir dari sudut matanya. Baginya, air mata mampu menggambarkan perasaannya, tidak pernah lupa dalam sehari ia menangis hanya untuk mengingat ibunya dengan atau tanpa kesengajaan membuktikan betapa sayangnya ia kepada ibunya. Namun memori tentang ayahnya ... jangan pernah bertanya. Meninggalkan sesuatu memori yang buruk adalah hal yang wajar dilakukan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Setidaknya seperti itu yang dikatakan oleh banyak orang, benar?
Pertama kali gadis itu melihat sesosok tinggi besar setelah 4 tahun lamanya membuat hatinya terluka. Mengira bahwa orang itu akan membawanya pulang ke rumah asalnya, namun kenyataan segera menjatuhkan angannya. Dengan berani datang menemui sampah yang sudah ia buang, lalu memungutnya kembali tanpa adanya persetujuan benar-benar menunjukkan betapa tidak terhormatnya lelaki itu. Melihat nenek yang mencoba untuk menahan gadis itu agar terus bersamanya sangat menyentuh. Membayangkan betapa banyak cinta yang telah ia berikan lalu dibandingkan dengan lelaki tua tanpa kehormatan itu sungguh membuatnya menitikkan air mata. Mereka sangat berbeda, terlalu jauh bahkan tidak layak untuk dibandingkan.
Batinnya bergejolak, ia tidak kuasa melihat apa yang mungkin terjadi apabila nenek tetap berusaha mencoba untuk menahanku untuk selalu berada di sisinya. Dengan tubuh rentanya, nenek tidak mungkin untuk melawan balik lekaki yang bahkan memiliki umur jauh di bawahnya. Pikirannya kacau, dalam benaknya hanya terlintas kata kembali dan kembali. Tidak! Dia tidak ingin kembali dalam genggaman lelaki itu. Namun bagaimana? Apa yang akan hilang dan apa yang akan ia dapat apabila takdir mengarahkannya untuk kembali?
Berusaha mengambil keputusan di dalam keriuhan yang terjadi sangatlah tidak masuk akal. Deru hujan yang kini menerpa, disertai angin kencang menerbangkan beberapa helai daun yang berada di halaman menambah keruh suasana yang sedang terjadi. Dengan berat hati, mengambil keputusan yang menurutnya adalah yang terbaik, gadis itupun berbicara, memecah kegaduhan yang tengah terjadi. Merekapun menoleh ke arah gadis itu dengan tatapan bingung. Keheningan sesaat pun terjadi sampai akhirnya gadis itu berucap, "Aku akan ikut denganmu, tetapi tinggalkan tempat ini sekarang juga. Dan jangan lagi mengganggu nenek sampai kapanpun."
Lelaki itu hanya menyiratkan senyum miring penuh kemenangan, sementara nenek hanya mampu memandangi gadis kecilnya dengan tatapan sedih miliknya. "Mengapa nak? Jangan pikirkan tentang nenek. Wanita tua ini tidak lagi mampu untuk bertahan hidup. Menjagamulah yang membuat nenek dapat bertahan sampai saat ini."
"Tetaplah bersama nenek. Walaupun pria itu selalu menyakiti nenek, tetapi melihatmu yang pergi dari pelukan nenek selamanya akan menjadi sesuatu yang lebih perih. Tetaplah bersama nenek sampai pemandangan terakhir yang nenek lihat sebelum pergi meninggalkan dunia ini adalah wajahmu yang berada di samping nenek." Tangan menggapai satu sama lain, memohon agar gadis itu tidak pergi untuk selamanya, meninggalkan dirinya berada dalam kehampaan sampai maut datang mengambil nyawanya.
"Aku tidak bisa nek, melihat nenek yang tersakiti setiap kali pria itu datang dan mencoba untuk membawaku kembali bersamanya adalah satu hal yang tidak dapat ku lihat lagi. Tidak apa nek, tidak apa. Nenek sudah cukup membuatku mengerti apa yang disebut orang lain kasih sayang orang tua."
Tatapan nenek terkunci pada gadis kecilnya. Pertama kali bertemu, gadis yang kini sedang dipandanginya hanyalah sosok gadis biasa yang penakut dan kurang ekspresif. Seiring waktu, sedikit terbuka mengenai hidupnya dan menjadi pribadi yang lemah lembut tanpa sekalipun berkata dalam nada tinggi, bahkan saat dirinya sedang marah sekalipun. Namun sekarang, gadis di depannya mampu untuk menaklukan rasa takut terbesar dalam hidupnya, bahkan membuat orang lain tersadar betapa berhasilnya mereka dalam mendidik seorang anak. Tatap mataya tersirat rasa bangga walaupun diiringi duka. Mengingat banyak hal hanya karena beberapa kata dari gadis kecilnya benar-benar membuat nenek tersadar akan siapa dirinya dan apa yang harus ia lakukan di saat sekarang. Binar wajah berani gadis kecilnya tidak akan mampu untuk dilupa. Bangga dan haru, duka dan cinta berpadu sempurna dalam satu tindakan pasti yang akan dilakukan, tentang melepaskan. Helaan napas berat terdengar dari nenek, perasaan terpaksa dan tidak terima membuat wajahnya menahan tangis. "Pergi dengannya, hidupmu akan menjadi lebih baik tanpa nenek. Tidak perlu memikirkan nenek sampai sejauh itu, nenek hanyalah orang yang tidak lama lagi akan pergi meninggalkanmu, cepat atau lambat." Rintihan suara yang terdengar menyayat hati, membekas luka menorehkan cinta. Apa yang tercipta akan hilang pada suatu masa, namun siapa sangka akan lenyap secepat kedipan mata? Apakah perasaan rela untuk melepaskan pada akhirnya akan berubah menjadi sebuah penyesalan?
"Nenek sangat senang, gadis kecil nenek pada akhirnya akan pergi menemukan kehidupan yang terbaik." Relung kecil di dalam hati gadis itu menuntunnya untuk mengambil kembali apa yang sudah terucap. Melihat nenek yang tampak sangat sedih seperti itu membuat gadis itu hanya ingin menua bersama nenek yang senantiasa memberikan kasih sayang layaknya seorang ibu untuknya. Namun bagaimana? Pria itu dapat melakukan apa saja tanpa memikirkan batas kemanusiaan apabila ia sudah menginginkan sesuatu. Tidak mungkin untuk meninggikan ego dan melihat nenek disakiti oleh pria yang terlalu banyak menorehkan luka untuknya. Tidak lagi, bahkan jika kembali dalam genggaman pria itu adalah suatu keputusan yang salah, namun saat ini, itu adalah keputusan yang terbaik.
"Walaupun melepaskanmu untuk pergi sangat berat untuk nenek, namun bagaimanapun dia adalah orang tuamu. Sementara nenek hanyalah orang yang tidak memiliki hubungan darah denganmu. Tidak apa, nenek benar-benar sudah rela melepaskanmu untuk pergi bersamanya." Tidak, tidak mungkin begitu. Melalui mata gadis itu, terlihat jelas nenek tidak ingin agar dia pergi bersama pria itu. Begitupu dengan hatinya yang mengatakan hal serupa, namun kenyataan apabila memaksakan kehendak yang diiginkannya hanya akan membawa rasa sakit bagi nenek dan juga dirinya menjadi penghalang bagi dirinya untuk mewujudkan keinginannya itu.
"Dengar apa yang ia katakan? Cepatlah datang padaku dan tinggalkan tempat ini. Kina Harasawa, atau harus ku panggil dirimu dengan panggilan Kina? Atau mungkin sampah seperti dahulu?" Tatapan gadis itu, Kina Harasawa, tertuju pada pria itu. Sudah sejak lama pria tersebut memanggil namanya dengan lengkap seperti itu. "Lihatlah dirimu. Setelah pergi dari rumah, berjalan tanpa arah dan akhirnya memilih untuk tinggal bersama wanita tua yang bahkan terlihat tidak mampu untuk melakukan apapun sesuai kehendaknya." Pria itu menatapnya dengan rendah, gadis yang ia buang kini tampak begitu besar namun aroma sampah darinya masih saja teringat di dalam memorinya. Semua penghinaan yang harus pria itu terima disebabkan oleh sampah yang kini dengan berani menatap tajam wajahnya.
"Atau mungkin, kau yang tidak tahu diri? Memanfaatkan orang tua seperti nenek ini untuk merawatmu selama ini?" Perkataan itu, menusuk tepat ke dalam pikirannya. Deru memori yang seakan dipaksa untuk berputar memenuhi ruang di antara nenek dan juga dirinya. Apakah selama ini, ia hanya memanfaatkan nenek itu tanpa dia sadari? Kalau begitu, selama ini, yang membuat nenek menderita adalah dirinya? Pernyataan yang diucapkan oleh pria itu berhasil membuatnya jatuh dalam kebingungan. Netranya tak kuasa menahan tangis. Semua kenangan manis yang ia ciptakan saat bersama dengan nenek yang sudah ia anggap sebagai ibu kandungnya sendiri terlintas begitu saja, membuatnya merasa bersalah karena meninggalkan wanita tua itu sendirian, lalu dengan pernyataan dari pria itu berhasil membuatnya semakin merasa bersalah.
Tidak! Aku tidak memanfaatkan nenek!
"Jangan katakan hal yang bahkan tidak kau ketahui dasar pria ego!" Tatapan tajam ia berikan pada orang yang baru saja ia maki, sementara nenek hanya bisa diam dengan menutup rapat bibir dengan tangannya, perlahan terduduk lemas pada lantai ditemani rintik tangis yang dapat terlihat jelas melalui sudut matanya. Dirinya pun menyadari bahwa dalam hidupnya bersama nenek, ia tidak pernah sekalipun berkata kasar atau keras, sehancur atau seberantakan apapun perasaan yang dia rasakan. Dan sekarang? Apa yang sudah terjadi?
Hatinya hancur, perasaannya terombang ambing melihat nenek yang tampak takut mendengarnya berteriak seperti itu. Apa yang ia lakukan? Dalam sekejap, semua memori bahagia yang selama ini gadis itu bangun bersama nenek runtuh begitu saja dalam imajinasinya. Netranya melebar, dengan segera mendekat pada nenek lalu memeluknya dengan erat. Untaian maaf terucap begitu saja saat jemarinya mengusap punggung nenek yang dapat ia rasakan naik turun begitu cepat. "Maafkan aku nenek, maafkan aku." Dalam beberapa waktu, hanya tangis yang berada di antara mereka. Dua insan yang saling menjaga, yang dahulu saling mengutarakan perasaan dengan tawa hangat dan kebahagiaan, kini hanya mampu untuk mengutarakan perasaan melalui tangis.
Tangan meraih kedua bahu, ia mendapati nenek menegakkan dirinya dan menatapnya dengan kedua mata renta miliknya. Senyum terukir jelas di sebalik rambut putih panjang yang terurai sampai bahu, membuat netra gadis itu berkaca pilu. Hatinya semakin teriris menyadari betapa kejam dirinya telah membuat wanita yang merawatnya menangis, membuat wanita yang ada di hadapannya harus menahan kesedihannya hanya untuk membuat dia percaya bahwa Sang Nenek baik-baik saja. Tidak! Tidak mungkin seperti itu. Saat tangisnya kembali pecah, nenek membawanya masuk ke dalam rengkuhnya. Mengusap rambut dengan wajahnya, membersihkan jejak tangis pada wajah gadis kecil itu dengan tangannya.
"Nenek tidak apa-apa. Bangun Kina, tataplah wajah pria itu dengan berani." Tangan terulur, mencoba menegakkan wajah Kina dengan segenap tenaga yang tersisa. Nenek itu tahu, ini akan menjadi terakhir kali ia bersentuhan fisik dengan gadis kecilnya, namun semua kenangan yang ia dapatkan saat bersama dengannya tidak akan dapat ia lupa. Dalam hati, nenek mengucap terimakasih, bahkan untuk kehadiran yang sebentar lagi akan pergi jauh meninggalkannya.
"Hei, apa kau tidak dengar perintah wanita kesayanganmu itu? Tataplah aku, berhenti menjadi sampah yang hanya bisa menyulitkan bagi orang lain." Kina tidak menatapnya. Wajah pria itu berubah masam, dengan cepat mencengkram leher dari gadis yang masih saja angkuh menatap tanah dan memojokkannya ke arah tembok. Batuk terdengar, membuat nenek menjadi sangat khawatir. Dengan tubuh rentanya, nenekpun mencoba berdiri, mendekat pada kedua orang tersebut dan menatap dalam mata pria itu.
"Apa yang kau lihat dasar nenek tidak berguna. Dia menjadi seperti ini pasti disebabkan oleh didikanmu bukan?" Dengan tubuh besarnya, pria itu mendorong nenek sampai ia kembali tersungkur. Tatapan gadis kecil itu menjadi tajam, sementara pria yang sadar tengah ditatap kini hanya tertawa. "Sangat menarik. Kau bereaksi hanya karena nenek tua itu ku dorong?" Hanya tatapan yang pria itu dapatkan membuat dirinya benar-benar marah. Pria itu dengan cepat menjatuhkannya, lalu berjalan dengan tangan mengepalkan tinju ke arah nenek yang tidak dapat berbuat banyak selain tersungkur diam menunggu pria itu datang dan menghajarnya.
"Kau, nenek tua. Apa yang telah kau ajarkan pada Ki-," ucapan pria itu terpotong, terkejut karena sebuah tangan mencengkram kakinya yang sedang berjalan ke arah nenek. "Hentikan."
"Kalau begitu, jawab pertanyaanku, apa kau akan ikut bersamaku?" Gadis kecil itu menatap wajah pria tersebut, dengan sangat terpaksa, melepaskan cengkraman pada kaki pria itu dan berdiri, "Aku akan ikut bersamamu." Pria itupun melengang pergi menuju pintu. Sementara gadis kecil itu dengan cepat bergerak ke arah nenek yang berusaha untuk duduk. Dapat dilihat olehnya, tubuh nenek berubah lebam. Dirinya yang renta tidak sanggup untuk mengalami hal seperti itu.
"Nenek, nenek. Apa nenek baik-baik saja?" Dengan wajah memaksakan senyum untuk menandakan bahwasanya ia baik-baik saja, nenek mengusap wajah gadis di hadapannya dengan menitikkan air mata. Dirinya tahu ia harus pergi karena apa yang sudah ia ucapkan pada pria itu, namun dengan kondisi nenek yang seperti ini? Lagi dan lagi, nenek yang seolah mengerti dengan apa yang sedang dipikirkan oleh gadis kecilnyapun menggelengkan kepala untuk menyuruh gadis itu pergi karena dia baik-baik saja. Gadis itu hanya bisa menangis, mengerti dan berusaha menerima walaupun kenyataannya, dia tidak ingin menerima hal ini. Bahkan kekejaman waktu dan kenyataan dapat mengakahkan empati yang dimiliki oleh manusia.
Kecupan pada kening yang diberikan oleh nenek menandakan perpisahan untuk mereka berdua. Di antara mereka berdua tidak ada yang mengetahui apakah takdir akan mempertemukan kembali. Gadis itu menatap rumah kecil Sang Nenek, terlihat jelas dalam netranya, wanita itu mengenakan payung cokelat dan melambai ke arahnya. Dua insan yang saling menyayangi, tanpa ikatan darah mereka menjalin kasih yang tulus namun dipisahkan oleh batas angan dan kenyataan. Ia harus menerima fakta bahwa mereka berdua tidaklah sedarah, dan suatu saat akan dipisahkan. Tetapi ia tidak menyangka akan dipisahkan secepat ini. Rasanya seperti saat itu. Saat di mana Noka, Ibu kandungnya, meninggalkannya.
Yang kita rasakan hanyalah waktu yang terlalu cepat merenggut kebahagiaan kita, sementara pada kenyatannya kita yang terlalu lelap dalam kebahagiaan itu sampai lupa bahwa waktu adalah hukum terkuat dalam segala hal yang ada di dunia. Menyalahkan waktu tidaklah berguna karena sebenarnya, kita melupakan eksistensi dari waktu itu sendiri dalam kehidupan kita. Namun, apakah hanya karenaa terkekang oleh waktu kita harus sampai menderita karena kehilangan yang disebabkan olehnya? Atau memori yang perlahan terhapus karena disapu olehnya? Lalu bagaimana dengan Tuhan yang menurut sebagian orang sangat menyayangi apa yang sudah Ia ciptakan? Apakah rasa sakit serta kecewa merupakan salah satu bentuk kasih sayang Tuhan kepada ciptaannya? Namun sekali lagi, realita telah bertitah dan tak seorangpun dapat menyangkalnya. Begitupula dirinya yang hanya bisa menerima dengan hati tergores penuh luka.
Dan begitulah akhirnya, dipisahkan oleh orang yang sangat menyayangi dan juga sangat pengertian padanya, di bawa menuju tempat yang dahulu membuatnya menderita, menorehkan luka dalam pada jiwanya yang menghantuinya setiap malam. Sepanjang perjalanan hanya membuatnya tersiksa dengan berbagai kenangan pahit. Sementara itu, lelaki yang sangat enggan ia panggil ayah hanya diam saja sepanjang perjalanan tanpa mengucapkan sepatah katapun yang membuat gadis itu semakin tenggelam dalam kekhawatiran. "Kemana aku akan di bawa?"
"Diam saja dan jangan banyak bertanya. Aku akan memasukkanmu ke dalam asrama. Hanya itu yang perlu kau tahu," jawabnya dengan nada berat menjadi khas pada suaranya. Tatapan lelaki itu sama sekali tidak terarah padanya yang kini duduk merenungkan bagaimana nasib nenek tanpa gadis kesayangannya. Dalam hatinya kini terbelenggu rasa takut dan bersalah. Walaupun pria di hadapannya adalah ayahnya, tetapi dia tidak berkelakuan seperti ayah pada umumnya. Namun yang lebih menyakitkan untuknya adalah fakta bahwa ibunya, Noka Irie, telah pergi meninggalkannya, disebabkan oleh pria itu.
Entah bagaimana, bahkan gadis itupun hampir melupakan semua yang telah ia lalui bersama ayahnya. Pria itu tidak pernah menyukainya, atau itu yang ia pikirkan. Bahkan mungkin, sejak hari di mana ia dilahirkan, pria itu langsung membencinya. Ibunya memang sering bercerita bahwa ayahnya adalah salah satu orang hebat namun sayang sekali kehebatannya itu tidak diketahui oleh orang lain. Seperti melihat bunga mawar di antaranya bunya merah lainnya di dalam taman bunga, kehebatan ayahnya tersamarkan oleh kehebatan orang lain disekitarnya. Namun tetap saja, sebanyak apapun kehebatan atau kemampuan yang ayahnya miliki berdasarkan apa yang dikatakan oleh ibunya, baginya, dia hanya satu di antara pecundang lainnya. Menyiksa Kina hanya karena dipandang sebagai anak buangan karena tidak memiliki bakat apapun, bahkan menyalahkan Noka Irie, ibunya karena melahirkan anak cacat sepertinya. Dan yang tidak bisa ia lupakan adalah kejadian di malam itu, malam di mana ibunya harus pergi untuk selama lamanya, hanya untuk mempertahankan sebuah kehidupan yang menurutnya dapat bersemi menjadi bunga cantik nan menawan untuk memberikan kehidupan dan kebahagiaan bagi orang di sekitarnya. Sempat mempercayainya membuat Kina merasa harus melanjutkan hidup, namun sekarang ... lihatlah yang terjadi. Apakah masih terdapat satu realita di mana harapan tersebut dapat terwujud?