"Ketika manusia tidak lagi memiliki kuasa atas kehendak mereka, lantas siapa yang dapat dijadikan tumpuan dalam mengambil tujuan? Tuhan? Apa itu Tuhan? Siapa dan mengapa dia disebut sebagai Tuhan bukannya manusia? Bagaimana dengan Dewa? Apakah kedudukannya setara dengan Tuhan? Siapa yang pertama kali membuat Tuhan? Siapa yang pertama kali membuat Dewa? Siapa yang pertama kali menyembah Tuhan ataupun Dewa? Apakah mereka hanya ilusi semata? Apakah keinginan manusia yang terlalu kuat menyebabkan mereka terbentuk dengan sendirinya? Kalau begitu, bukankah manusia memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada Tuhan dan Dewa?"
Derap langkah kaki terdengar senyap. Angin berembus lambat, bahkan seekor siput pun dapat mengalahkannya apabila mereka sedang berada dalam perlombaan adu cepat. Terik surya yang menyengat, memanggil debu untuk ikut serta memperkeruh suasanaku saat ini yang tengah mengikuti ujian masuk salah satu asrama elite di Kota Yorn. Aku hanya bisa membolak-balikkan kertas ujianku, bersandingan dengan pensil coklat yang sedari tadi tak terpakai. Mengalihkan pandangan, mencoba mencari sumber energi lain untuk netraku yang sangat jenuh melihat soal yang bahkan ku sendiri tidak tahu bagaimana untuk menjawabnya. Mereka terlihat serius sekali, orang-orang itu. Dengan raut wajah yang tertekuk sempurna hingga muncul tiga kerutan pada keningnya, lalu beberapa lainnya yang terlihat sangat frustasi sampai rambut mereka terlihat seperti benang kusut, serta yang terakhir dan sangat bodoh adalah saat beberapa orang dengan sengaja mengetukkan kaki mereka ke lantai dengan harapan mendapatkan jawaban dari ilahi.
Aku yakin bukan jawaban melainkan sebuah amarah dari apa yang disebut Tuhan, di mana aku sendiri tidak dapat membayangkannya, dan mungkin saja amarah itu adalah sebutan lain untuk panggilan kematian bagi mereka. Namun betapa sialnya diriku, karena nampaknya Tuhan tidak akan muncul hanya untuk membantuku mengeluarkan kekesalan atas tingkah mereka. Sementara seisi ruangan kelas ini hanyalah orang-orang bodoh yang bahkan semakin lama ujian berlangsung, kebodohan mereka semakin terlihat. Maksudku, kalau saja ujian ini tidak mengharuskan pesertanya untuk duduk manis menghadapi setiap siksaan yang dituangkan pada secarik kertas di hadapanku ini, pasti mereka sudah mendapatkan kecupan manis tinjuku. Dasar orang-orang konyol, setidaknya lihatlah aku. Tetap diam dan tenang, walaupun sebenarnya aku sangat ingin berteriak, merobek kertas ujian konyol ini, dan berlari pergi meninggalkan kelas. Aku tidak bodoh, mengerjakan enam dari dua puluh soal yang ada tidaklah buruk, atau itulah yang kupikirkan.
Ayolah Kina. Kerjakan. Kau pasti bisa. Ayo, cobalah sekali lagi.
Namun tentu saja, walaupun ku sudah bertekad untuk mengerjakannya kembali, hasilnya sia sia. Aku tidak mendapat peningkatan dalam hal menjawab soal ujia ini, selain suhu otakku yang meningkat. Dan pada akhirnya, tidak lama dari niatku untuk mengerjakan ulang soal ini, rasa frustasi dan pasrah muncul, membuatku hanya diam terpaku tanpa menunjukkan tanda tanda ingin mengerjakan soal seperti menggenggam pensil atau mencoret kertas untuk melakukan penghitungan. Sepertinya niatku itu hanya akan menjadi niat di mulut belaka.
Ujian telah masuk ke tahap akhir, hanya tersisa enam menit sebelum ujian berakhir. Otakku berasap, mungkin saja menderita overheat karena terlalu banyak memikirkan hal yang bahkan tidak dapat dipikirkan. Sangat sesak, terasa seperti otakku mengembang karena terlalu panas, mendorong tengkorakku dari dalam dan tak lama lagi akan meledak, hancur begitu saja. Keringat bercucuran melalui pelipis, serta tarikan napas yang sangat berat sungguh menyiksa. Ku mengeluh frustasi, berusaha menelan air liur namun entah mengapa terasa sulit. Sepertinya air liurku menguap bersama suhu tubuhku yang semakin lama semakin panas. Aku menyerah, aku tidak ingin berpikir lebih jauh. Ujian ini sangatlah aneh, tidak ada soal yang mudah, hanya ada soal sulit di antara kumpulan soal yang sangat sulit di kertas ujian itu. Desiran kuat tak terasa muncul bersama dengan helaan napas kuat yang membuat beberapa orang tak jauh dari mejaku menoleh. Habis sudah, belum masuk saja aku sudah dicap sebagai anak aneh yang tersirat dari tatapan mereka padaku. Hanya satu yang terlintas di otak berasap milikku, pendinginan. Memberikan ruang untuk otakku bernapas dan menghirup aroma kebebasan sesaat. Akhirnya, dengan berat hati ku menarik pengikat rambut berwarna blue marine yang ku kenakan, membiarkan rambut panjang hitam yang diikatnya tergerai sempurna diterpa angin. Setelahnya, diikuti ucapan maaf, kutarik rambutku kuat sebagai pelampiasan rasa frustasi. Lagi dan lagi, beberapa desiran kuat muncul membuat beberapa orang disekitarku menoleh dengan tatapan sinis dan kebencian, atau mungkin sekarang mereka merasa iba karena ku telah melakukan hal yang sama berulang kali? Entahlah, aku tidak peduli. Aku hanya ingin melepaskan panas di otakku dan membuat diriku tenang sebelum panas ini benar-benar membuatku gila. Lihatlah kondisiku saat ini, tubuh bermandikan keringat, rambut yang sangat berantakan seperti diterpa badai, serta pakaian yang sedikit kotor terkena debu dan tinta pena. Sangat memalukan, bukan seperti ini kesan pertama yang ingin ku buat.
Bagus sekali Kina, kau berhasil membuat kesan pertama yang bahkan tidak akan mungkin kau akan mau mengingatnya kembali setelah ini berakhir.
"Waktu habis. Kumpulkan lembar jawaban kalian dan silahkan nikmati waktu istirahat yang diberikan." Jelas pengawas, lalu ia pun mulai berjalan ke arah belakang kelas, menuju meja yang terletak pada sisi sebelah kanan dan mengambil kertas ujian. Semua peserta termasuk diriku hanya diam, atau mungkin dapat dikatakan kalau diamnya sisi sebelah kiri kelas adalah untuk mengambil kesempatan ini. Dapat kulihat mereka kembali membuka kertas ujian mereka, sekali lagi membakar otak mereka untuk mengerjakan soal yang mungkin hasilnya akan sama, tidak dapat terjawab. Tetapi setidaknya mereka berusaha, begitupun diriku yang tidak mau tertinggal dan pada akhirnya mencoba untuk mengerjakannya sekali lagi. Atau mungkin, mengharapkan keajaiban adalah kata yang lebih cocok untuk menggambarkan tindakan yang kulakukan dibandingkan dengan mengerjakan ulang. Sekali lagi, niat mengerjakan kembali hanya akan menjadi niat tanpa pernah terjadi.
Ayolah keajaiban. Datang padaku sekali ini saja. Akuu tau kau berbeda dan tidak memandang fisik atau ekonomi, maka dari itu aku percaya padamu. Datanglah keajaiban, bantu aku untuk mengisi soal ini. Sedikit saja tidak masalah, aku tidak menuntut banyak darimu.
"Dimulai dari sana saja Mrs. Amber," ucap seorang gadis yang berhasil membuat seisi ruangan menarik napas kuat sembari melirik ke arahnya dengan tajam. Gadis itu nampak tidak bersalah sama sekali setelah mengatakan hal itu, matanya berbinar di balik kacamata bulat berbingkai hitam yang ia kenakan. Tangannya perlahan menunjuk ke arahku dan diikuti oleh Mrs. Amber yang kini sepenuhnya melihat padaku.
Sial, dasar gadis lugu pencari perhatian. Kalau kau memang belum menjawab semua soalnya, setidaknya jangan libatkan orang lain untuk menemanimu melewati kesulitanmu itu. Memangnya kau kira dengan menunjuk ke arahku, semua soalmu akan terjawab begitu saja? Dasar lugu menyebalkan.
"Atas dasar keberanian apa yang kau miliki sampai berani untuk memerintahku seperti itu gadis muda?" Pandangannya berpaling ke arah gadis itu, tubuhnya memancarkan aura tidak menyenangkan yang menyebar ke seluruh penjuru ruangan, membuat beberapa orang menjadi terbatuk secara tiba-tiba, bahkan ada yang terlihat siap untuk pingsan dengan mata yang sayu dan juga kepala yang terkantuk hampir mengantup meja. Sementara gadis itu, ia tidak terlihat terganggu dengan aura itu. "Apa kau belum selesai menjawab semua soalnya Gadis muda?"
Gadis itu terdiam sesaat, terlihat merenungkan sesuatu. Wajahnya dengan lugu menatap Mrs. Amber, sementara tangannya dengan hati-hati mengambil kertas ujian miliknya, lalu menyerahkan kertas itu dengan senyuman terukir jelas pada wajahnya. "Tentu saja saya sudah menyelesaikannya Mrs. Amber."
"Cukup bagus Gadis muda, tetapi harus ku ingatkan bahwa memerintah seorang pengawas sepertiku adalah tindakan tidak sopan. Apa kau mengerti?" Gadis hanya mengangguk pelan, aura tidak menyenangkan yang sebelumnya muncul dan membuat kondisi fisik maupun mental orang yang berada di ruangan ini terganggu pun menghilang. Mrs. Amber mengayunkan kertas ujian gadis itu ke atas, seperti mengatakan bahwa kertas ujian kalian akan ku ambil setelah ini. Hanya dengan seperti itu saja berhasil membuat kami yang semula lega karena terlepas dari aura tidak menyenangkan itupun kembali merasakan adanya sesuatu yang salah pada kondisi kami. Contohnya saja orang di sampingku yang tiba-tiba tubuhnya bergetar sampai menjatuhkan beberapa barang yang ada di atasnya. Jujur saja itu membuatku risih, tetapi aku tidak bisa menyalahkannya. Seandainya aku masih memiliki air liur tersisa, mungkin aku akan melakukan hal serupa.
"Jadi ... mengapa kau ingin sekali mengambil kertas ujian dari sisi sebelah sana?" Seisi kelas hanya diam namun ku yakin sekali mereka juga sangat penasaran mengapa dengan teganya gadis itu membuat keadaan menjadi sangat mencekam seperti ini. Ku melihat terdapat beberapa orang memandangiku dengan aneh, seolah menganggap bahwa aku dan gadis itu sudah merencanakan ini. Bodohnya mereka, tentu saja tidak. Seandainya mereka tahu, aku saja tidak selesai mengerjakan semua soal di dalam kertas ujian ini, jadi bagaimana mungkin aku bekerja sama dengan gadis itu. Dan mungkin beberapa yang tidak melihatku berpikir akan lebih aman apabila tetap diam tidak dan tidak menimbulkan gerakan apapun yang dapat membuatnya menjadi perhatian Mrs. Amber.
Aku benar-benar tersudut sekarang. Aku tidak tahu apa yang sedang Mrs. Amber lakukan. Menatapku? Menatap gadis itu? Aku hanya menundukkan kepala saat ia menunjukkan kertas ujian milik gadis itu dan semakin menunduk kala ku sadari beberapa orang menyiratkan kebencian padaku melalui matanya. Mengapa gadis itu tidak lagi menjawab pertanyaannya? Banyak sekali pertanyaan yang muncul begitu saja membuatku ingin menoleh dan mengetahui apa yang terjadi.
Menoleh? Tidak menoleh? Menoleh? Tidak menoleh?
Dengan berani ku putuskan untuk menegakkan kepala dan menoleh ke arah gadis itu, namun tidak ku sangka pemandangan pertama yang kulihat adalah tampak dekat Mrs. Amber yang kini berada di samping mejaku, menatap dengan tatapan tajam dan menyelidik. Sejak kapan ia berada di sana saja aku tidak mengetahuinya. Atau mungkin ini karena aku yang selalu menunduk? Maksudku, tidak mungkin aku bisa tidak mengetahui pergerakan Mrs. Amber dengan tubuh seperti itu, bahkan kalau aku menunduk. Iris mata merah menyala, postur tubuh tinggi besar dengan rambut keriting hitam benar- benar menyeramkan. Ia sangat mirip, atau bahkan sama seperti penyihir jahat yang ku dengar saat kecil. Hal itu semakin diperjelas dengan jubah hitam kebesaran yang ia kenakan. Aku tidak menemukan kata lain yang tepat selain seram dan menakutkan untuk mendeskripsikannya.
"Siapa namamu Nona?" Ku melihat wajahnya menoleh ke arah gadis itu membuatku sangat lega. Untung saja bukan aku yang ia tanya, atau mungkin belum? Kalau ia menanyaiku bahkan hanya bertanya nama saja, aku bisa pastikan yang ia dapat hanya jawaban berupa tindakan diam.
"Saya Anna Hashimata," jawabnya lantang. Gadis itu benar-benar tidak memiliki rasa takut. Maksudku orang gila seperti apa yang mampu untuk bahkan sekedar melihat wajah Mrs. Amber lebih dari satu menit tanpa bergetar hebat, sementara gadis ini bahkan mampu berkomunikasi dengan lancar seolah tidak memiliki ketakutan apapun. Harus kuakui, di balik tindakannya yang sangat menjengkelkan dan membuatku dalam bahaya, dia adalah gadis yang cukup berani.
"Jadi Anna Hashimata, mengapa kau ingin mengambil kertas dari anak yang bahkan tidak mampu untuk menopang kepalanya sendiri seperti ini? Dia bahkan terlihat seperti orang tanpa jiwa." Bagaimana mungkin? Ingin rasanya ku mengumpat di depan wajah seramnya itu kalau saja aku punya keberanian. Maksudku lihatlah yang lain juga sama sepertiku, bahkan dapat ku katakan bahwa rupaku sekarang tidak semengenaskan yang lain, atau mungkin begitu harapanku, dan sepertinya hal itu adalah wajar mengingat tes ini sangatlah sulit dan menjengkelkan.
Hei! Dasar wanita penyihir. Aku tidak mungkin terlihat semengenaskan itu. Justru aku tampak lebih tenang dari segi kejiwaan apabila dibandingkan dengan yang lain setelah melewati ujian yang konyol ini.
"Itu karena ...," gadis itu menunda kalimatnya, menunjuk ke arah pintu yang bodohnya hampir dari kami semua yang ada di ruangan ini mengikuti arah tunjuknya. "Itu karena pintunya berada di sini Mrs. Amber, bukankah lebih baik apabila mengambil kertas ujian dari sebeleh sana? Jadi Mrs. Amber tidak perlu berjalan memutari ruangan hanya untuk mengambil kertas ujian ini." Aku hanya terdiam mendengarnya, tidak hanya aku tetapi semua termasuk Mrs. Amber. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan oleh peserta lainnya, namun menurutku itu adalah salah satu jawaban terburuk, terboodoh, dan tergila dari setiap kemungkinan jawaban yang diberikan. Dia benar-benar mencari perhatian saja, aku bisa pastikan itu. Oh Tuhan, jangan kabulkan permintaan gadis itu. Kalau permintaan ku yang dapat dikatakan normal saja tidak kau kabulkan, ku harap kau tidak mengabulkan permintaan yang lebih aneh dari permintaanku.
Mrs. Amber nampak mengamati kondisi dengan tatapan dingin. Dia terlihat sedang berpikir, keningnya berkerut tiada henti tanpa sedikitpun mengeluarkan suara. Ayolah Mrs. Amber, jangan setuju dengan permintaan gadis itu. Ku tahu kau akan kerepotan apabila harus berjalan ke sisi sebelah sana, tepat di mana gadis menyebalkan itu berada untuk mengambil kertas ujian karena kau yang sudah berada di samping mejaku sekarang, namun ku mohon jangan mengambil milikku terlebih dahulu. Jika kau memang ingin mengambil kertas ujian dari sisi sebelah sini, setidaknya jangan jadikan aku sebagai yang pertama. Namun nampaknya, Tuhan dan juga Mrs. Amber sangat membenci diriku. Dia mendekatkan dirinya, dengan pandangan menyelidiknya mengitari area wajahku. Raut wajahnya sangat tidak menyenangkan.
"Ide yang sangat bagus Nona Anna, kalau begitu aku akan mengambil kertas ujian dari sisi sebelah sini saja. Namun kertasmu tidak akan aku kembalikan, apa kau mengerti?" Benar benar hari yang buruk. Aku bahkan tidak bisa memikirkan hal yang lebih buruk daripada apa yang sedang menimpaku saat ini. Rasanya seluruh tubuhku lemas, kehilangan rangka yang menopang setiap daging di dalamnya.
"Baiklah kalau begitu...," tangannya meraih kertasku yang berada di atas meja, dengan sigap ku berusaha untuk menahan kertas itu namun apakah berhasil? Tentu saja tidak. Wajahnya menatapku dengan dingin, rambutn hitam keritingnya tergerai menutupi sebagian wajahnya karena posisi menunduk ke arahku benar-benar mengerikan. Seolah berkata, apa yang kau lakukan dasar bocah, berikan kertasmu agar aku bisa tidak lagi melihatmu, atau mungkin dia ingin berkata bahwa dasar anak bodoh, cepat berikan kertasmu atau akan kubuat hidupmu menderita. Apapun itu, keduanya adalah hal yang tidak bagus atau diharapkan untuk menjadi kenyataan.
"Berikan kertasmu padaku gadis muda, lagipula mengapa kau terlihat sangat menyebalkan dengan tatapanmu itu. Apa kau tidak suka dengan keputusanku?" Sial. Apakah sangat terlihat aura kebencian yang kuberikan pada Mrs. Amber? Tidak, ku berusaha sebaik mungkin untuk menyembunyikannya. Apakah memang Mrs. Amber dapat merasakan aura kebencian orang lain untuk dirinya? Dengan berat hati, ku mencoba serahkan kertas ujian milikku pada Mrs. Amber, perlahan dan lebih perlahan berharap Mrs. Amber akan mengambil kertas dari sisi lain ruangan karena ku yang sangat lambat dalam menyerehkan kertas milikku. Namun siapa sangka, wanita itu malah mengambil paksa kertasku dengan tatapan marah, dan langsung mencengkram kertas milikku dengan kuat sampai terlihat kertas itu sedikit berkelok kelok sekarang.
Apa wanita itu marah? Apa yang menyebabkan dia marah? Bukankah bagus ku berhasil mengisi beberapa soal daripada tidak mengisinya sama sekali. Atau jangan-jangan, ada beberapa umpatan yang tidak sengaja kutulis di dalam sana.
"Jelaskan maksud dari semua ini Nona Kina." Aku tidak paham. Apa yang salah dari kertasku. Kalau memang ada beberapa umpatan yang berada di sana aku akan mengaku salah, namun tidak ada tuntutan untuk menjawab semua soal dengan benar bukan? Jadi apa yang wanita itu permasalahkan sekarang?
"Ada apa dengan kertasmu ini? Mengapa semuanya kosong dan tidak ada jawaban apapun. Apa yang kau lakukan selama ujian sedang berlangsung Nona Kina?" Tunggu. KOSONG? Tidak, tidak mungkin. Ku sangat yakin sudah mengisi sekitar 6 soal di dalam sana. Pandangan langsung kualihkan pada kertas coret yang kugunakan untuk menghitung beberapa soal dalam ujian ini. Dan benar saja, semua jawabanku berada di sana. Keringatku mengalir deras, pandanganku menjadi tidak fokus sekarang. Pikiranku pergi entah kemana dalam menghadapi kebodohan yang kubuat sendiri.
Tuhan, bagaimana ini? Tidak mungkin ku mengaku kalau salah mengerjakan pada lembar kertas yang seharusnya kertas ujian tetapi ku kerjakan pada kertas coret. Sial, mengapa hari ini kesialan sangat suka untuk bertegur sapa denganku.
Di tengah kebingungan yang melanda, Mrs. Amber kembali melontarkan pertanyaan padaku, namun kali ini dengan nada yang lebih keras dan terkesan membentak. "Jawab pertanyaan saya Nona Kina, apa maksud dari kertas yang kosong tidak ada jawaban seperti ini? Apakah kau berniat untuk mempermalukan kredibilitas ujian dari asrama ini?" Tunggu dulu. Dasar wanita pemarah. Mana mungkin ku akan melakukan hal seprrti itu, dan apabila ku ingin, pasti akan ku lakukan dengan lebih hati-hati dengan cara yang tentunya lebih baik daripada ini.
Bagaimana ku akan keluar dari situasi ini? Ayo Kina, berpikir.
"Maaf sebelumnya Mrs. Amber, ku tertukar dalam mengerjakan soal ujian. Kertas coret yang seharusnya kugunakan untuk menghitung malah kugunakan untuk mengerjakan soal. Dan ku lupa untuk menulis ulang jawabannya pada kertas ujian tersebut." Pandangan Mrs. Amber perlahan tertuju pada kertas coret milikku yang tergeletak di atas meja, dan dengan segera mengambilnya dan membaca tulisan atau dapat ku kaatakan penghitungan yang kulakukan di sana.
"Apa benar gadis sepertimu yang mengerjakan beberapa soal di kertas ini? Kau tidak mengambil atau mengakui kertas milik orang lain bukan? Nona Kina." TUNGGU DULU. HEI, DENGARKAN APA YANG KU KATAKAN WALAUPUN KU TIDAK AKAN MENYAMPAIKANNYA SECARA LANGSUNG. AKU, KINA, MENGERJAKAN SEMUA SENDIRI TANPA BANTUAN SIAPAPUN. DAN JELAS ITU KERTAS MILIKKU DASAR WANITA PENYIHIR.
Dengan perasaan kesal dan penuh amarah, ku tatap mata miliknya dengan berani. Menyiratkan semua kebencian dan rasa tidak menyenangkan lainnya melalui sudut mataku. "Maaf Mrs. Amber, tetapi tentu saja itu kertas milik saya. Lagipula sejak tadi saya tidak bergerak sedikitpun dari meja ini jadi sangat mustahil bagi saya untuk bisa menukar kertas coret dengan orang lain atau mengambil milik orang lain. Selain itu, saya tidak mengenal hampir semua dari seisi ruangan ini yang saya yakini Mrs. Amber juga sudah mengetahui hal tersebut dari raut wajah mereka yang nampak tidak peduli dengan apa yang terjadi dan memilih untuk tetap diam agar dalam kondisi yang aman. Jadi bisa saya katakan bahwa pendapat Mrs. Amber kurang tepat." APA YANG MERASUKIKU? Tentu saja wajahnya tidak berubah menjadi lebih baik dan bahkan berubah menjadi semakin merah dan ganas. Namun lihat sisi baiknya, nampaknya beberapa bagian dari kalimatku barusan membuat dia sedikit berpikir. Mrs. Amber berjalan meninggalkan mejaku, dengan membawa kertas coret dan juga kertas ujianku.
Sudah berakhir bukan? Tentu saja sudah. Benar kan?
"Nona Kina," panggilnya membuatku yang telah masuk pada masa ketenangan kembali pada masa penuh ketakutan. Ayolah, apalagi yang wanita itu inginkan. Apakah penjelasanku tidak bisa ia terima dan akhirnya ia akan marah padaku?
"Ada apa Mrs. Amber?" Sungguh ku bergetar hebat saat mengucapkan kalimat itu. "Apa ada yang salah?"
"Tidak, tidak ada yang salah. Kalian berdua, Nona Anna dan juga Nona Kina dapat meninggalkan ruangan dan menunggu di luar. Kalian bisa masuk kembali setelah saya selesai mengambil semua kertas ujian peserta di dalam ruangan ini." Tentu saja aku akan keluar ruangan meskipun tidak diizinkan sekalipun, sungguh aku tidak betah berada di dalam ruangan ini. Namun mengapa, harus bersama gadis itu. Lihatlah, bahkan dia masih sempat melirik kepadaku tanpa rasa bersalah sedikitpun dan berjalan keluar dengan acuh.
Sial, gadis itu benar-benar tidak nampak bersalah sama sekali.
Menggurutu lebih lama tidak akan membuahkan hasil, akhirnya akupun berjalan ke luar ruangan dan langsung bertemu dengan gadis itu yang rupanya menungguku di balik pintu. Apa? Aku tidak mengharapkan untuk bertemu dengannya atau senang karena dia menungguku walaupun harus kuakui wajahnya cukup lucu dengan balutan kacamata seperti itu.
"Apa kau menungguku?" Ia terlihat menganggukkan kepalanya dan langsung berlari entah kemana bersama dengan semua pertanyaan yang masih ingin kutanyakan padanya.
Dia menungguku? Mengapa? Permintaan maaf? Jangan harap akan ku berikan semudah itu.
Bel istirahat pun berbunyi, suaranya cukup keras terdengar melalui pengeras suara yang diletakkan pada setiap ruangan dan juga koridor dengan jarak satu pengeras suara setiap dua 8 ruangan. Ku lihat orang lain mulai keluar mennuju kantin atau apapun nama yang digunakan di dalam asrama ini dan mereka pergi bersama dengan orang lain yang terlihat dekat? Teman? Entahlah, aku tidak tahu. Sejak pagi tadi ku menginjakkan kaki di asrama ini, tidak pernah rasanya ku bertegur sapa dengan orang lain, mungkin ... tidak juga. Anna, benar sekali. Baru saja ku berbicara padanya namun ia kabur sebelum ku sempat untuk bertanya.
Cukup sudah, ku sangat kesal. Bagaimana bisa saat yang lain keluar ruangan bersama teman atau setidaknya orang yang baru mereka kenal, ku hanya mampu untuk kembali masuk ke ruang ujian dan berdiam seorang diri. Atau mungkin, tidak sendiri, ada juga rasa lapar yang mendesakku untuk segera pergi ke kantin dan beberapa perempuan yang sedang mengobrol di dekat pintu. Jangan begitu, ku bilang berdiam seorang diri karena memang aku tidak memiliki siapapun untuk kuajak bicara, atau lebih tepatnya aku yang tidak berani untuk memulai percakapan terlebih dahulu.Tetapi tetap saja, hal seperti itu dapat disebut sebagai berdiam seorang diri bukan? Ku melihat mereka dengan saksama dan mataku tertuju pada gadis lugu itu. Benar sekali, siapa lagi selain Anna, dan betapa mengejutkannya bagiku untuk melihat bahwa dia yang telah menyebabkan hampir satu ruangan mengalami kepanikan dan gangguan jiwa masih bisa mendapatkan teman mengobrol yang bahkan terlihat akrab.
Bahkan orang yang menjengkelkan dapat mempunyai teman. Apa nasibku memang sial atau nasibku sangat sial? Tunggu, itu tidak ada bedanya.
Aku pandangi gadis itu dari tempatku, cukup cantik dan lucu . Kacamata bulat hitamnya itu selaras sekali dengan iris matanya yang terlihat memiliki perpaduan coklat dan hitam. Rambut hitam panjang yang ia kuncir membentuk twintail terlihat sangat lucu dan sesuai untuk auranya yang cukup imut dan berpadu sempurna dengan dress panjang sederhana berwarna putih yang ia kenakan. Jujur saja, dia tidak terlalu buruk jika aku tidak harus mengalami kejadian pagi tadi karena tindakan bodohnya yang sangat sulit untuk kulupakan dan mungkin saja tidak akan pernah terlupa. Aku jadi bertanya-tanya, bagaimana tampak rambutnya saat tergerai. Pasti akan terlihat lebih lucu dan sedikit dewasa.
Saat aku terhanyut menatap wajahnya, dia menoleh padaku. Mata kami saling bertemu cukup lama sampai saat di mana ia memalingkan wajahnya dari wajahku, akupun membenamkan wajah pada tanganku yang menyilang di hadapanku, dan dengan cepat menutup kedua mata berharap Anna dan beberapa gadis lain yang sedang mengobrol dengannya tidak menghampiriku. Selama beberapa saat tidak ada yang menghaampiri, ku putuskan untuk sedikit mengintip dan melihat Anna beserta gadis lainnya sudah pergi. Tidak, mungkin tidak sepenuhnya. Mereka hendak pergi, itulah kata yang tepat. Dan sekali lagi, saat di mana ku melihat ke arah Anna, gadis itupun melihat ke arahku dengan wajah yang sedikit memerah.
Tunggu, apa dia malu? Hei Anna, apa mungkin kau tidak seburuk dan semenjengkelkan yang kukira?
Ku yakin sekali wajahnya memerah saat tadi mata kami kembali bertemu. Namun sangat disayangkan ku tidak dapat memastikan apakah wajahnya benar-benar memerah atau itu hanya salah lihat saja. Dan menyadari mereka telah pergi, semuanya tanpa ada sisa, ku beranikan diri untuk mengangkat wajahku kembali dan menatap sekitar ruangan. Benar-benar sepi, mungkin aku, Anna, dan beberapa gadis yang mengobrol dengannya adalah manusia terakhir yang berada di kelas ini, dan karena mereka sudah pergi, jadi sekarang hanya menyisakanku saja.
Jadi sekarang hanya aku sendirian huh. Apa yang kulakukan sekarang?
Beberapa menit menunggu di dalam ruangaan, berharap ada seseorang yang masuk agar bisa kuajak untuk mengobrol walaupun bisa kupastikan tidak akan berjalan baik karena aku sendiri kurang pandai untuk mengobrol dengan orang lain, terlebih lagi dengan kejadian tadi pagi. Apa masih ada seseorang yang mau untuk kuajak mengonrol? Entah, tetapi tidak ada salahnya untuk mencoba meskipun respon yang kudapatkan belum tentu baik. Dan benar saja, belum ada yang kembali ke ruangan. Apa mungkin orangg-orang di asrama ini sangat mudah untuk diajak berteman sampai mereka lupa untuk kembali ke dalam ruangan? Mungkin saja ada kemungkinan seperti itu hanya saja ku yang belum terlalu kenal dengan mereka.
Tetapi tetap saja, dengan tangan menyilang pada atas meja, ku kembali membenamkan wajahku di sana dan merenungkan semua yang telah terjadi. Dalam keheningan pikiran, ku merasakan ada seseorang yang menepuk pundakku sangat pelan, membuatku menoleh dan mendapati Anna, benar sekali, gadis berkacamata yaang entah bagaimana membuat perasaanku dilanda kebingungan yang hebat.
"A-Anna?" Ia pun terkejut, mungkin mengira bahwa ku sedang tertidur atau semacamnya. Ku lihat ia membawa sebuah roti dengan sebuah minuman strawberry, tetapi hanya satu saja untuk setiap makanan dan minuman itu.
Apa maksudnya? Setidaknyaa bawalah dua dan berikan untukku satu. Tunggu ... bukankah itu hal yang tidak sopan untuk meminta pada orang yang baru ku kenal namanya saja?
"I-ini roti untukmu Kina, dan juga minuman rasa strawberry. Aku tidak tahu apakah kau suka dengan minuman rasa ini, jadi maafkan aku apabila kamu tidak menyukainya." Dia meletakkan semua itu di atas mejaku, dan kembali menatapku setelah meletakkannya. "Aku juga ingin meminta maaf untuk kejadian tadi pagi. Sungguh, aku tidak tahu kalau ternyata kamu belum selesai mengerjakan soalnya. Aku benar-benar minta maaf." Sudah kuduga, pasti ada permintaan maaf dibalik tindakannya ini. Namun bagaimana mungkin ku tega untuk mengatakan tidak pada orang yang ternyata cukup ramah dan teman bicaraku yang pertama sejak menginjakkan kaki di asrama ini. Selain itu, jangan lupakan makanan dan minuman yang sudah ia bawakan untukku.
"Bagaimana kalau jalan-jalan sebentar? Ku belum mengelilingi asrama ini dan perutku sedikit lapar. Mungkin aku akan membeli beberapa makanan lagi di kantin tapi ku tidak tahu di mana. Kalau boleh, bisakah kamu mengantarku?" Wajah Anna sedikit bingung. Apa mungkin ku sedikit memaksa?
"Tidak apa kalau tidak mau, aku akan memakan makanan yang sudah kamu bawakan untukku."
"Jangan, maksudku kamu bisa memakannya nanti, tetapi sekarang aku akan mengantarmu berkeliling." Dan begitulah akhirnya, dengan raut wajah Anna yang terlihat senang, aku pun keluar dari ruangan menjenuhkan itu bersama Anna, gadis yang sempat ku cap menjengkelkan dan mungkin cap itu akan hilang setelah ini. Entahlah, kalau dilihat-lihat, dia cukup tulus meminta maaf dan sepertinya dia cukup menyenangkan untuk diajak mengobrol. Hei, aku serius, bukan karena dia lucu atau semacamnya, penilaian dariku ini bersifat objektif.
Sejak keluar ruangan, aku melihat banyak sekali orang lalu lalang bersama dengan beberapa orang lain yang berada di sekitarnya secara dekat, anggap saja teman. Ada juga beberapa orang yang terlihat sendirian saja memakan makanan miliknya pada sebuah kursi panjang yang disediakan. Beberapa lainnya terlihat membaca buku dan mengobrol, dan ada juga yang bermain kartu, entahlah aku tidak tidak terlalu memahaminya, dan ada juga yang terlihat sebagai pasangan mesra sekali. Tunggu, bagaimana mungkin ada pasangan di hari pertama penerimaan murid baru?
Nuansa asrama ini sangat abad pertengahan sekali, masih penuh dengan ornamen tua layaknya ukiran bermotif pada dinding, lentera sebagai penerangan, dan kubah megah yang menjadi titik tengah dari keseluruhan asrama ini. Selain itu, terdapat organ yang terletak pada aula di lantai dasar. Kulihat dengan saksama, organ tua berbalut emas itu sangatlah memukau. Benar sekali, aku sekarang berada di lantai dua, sehingga butuh waktu untuk turun satu lantai apabila ingin mencapai kantin, atau begitu yang dikatakan oleh Anna.
"Kina ... apa kamu mendengarku?" Tunggu, apa ada seseorang di sana? Mataku berusaha melihat lebih jauh ke bawah, dan mendapati sesosok wanita berlaut pakaian putih sedang duduk di sana dan memainkan organ itu dengan sentuhan jarinya. Suara yang dihasilkannya sangat merdu, mungkin salah satu suara terbaik yang pernah kudengar. "Kina? Hei Kina."
"Aw, apa yang kamu lakukan Anna. Jangan menggigitku jariku seperti itu." Gigitannya itu sangat sakit. Entah menggunakan gigi bagian mana namun jelas terlihat ada bekas gigitan di jariku. Dan dia kelihatan sangat kesal. Apa ada yang salah dari tindakanku?
"Apa kamu mendengarkanku berbicara Kina? Aku sedang menjelaskan pertanyaan yang kamu tanyakan padaku sedari tadi." Pertanyaan? Entahlah, ku masih terbuai dengan penampilan dari orang yang memainkan organ tersebut. Suara yang sangat merdu, terasa sangat hangat dan penuh dengan kerinduan mendalam. Mungkinkah lagu yang ia mainkan membuatnya teringat dengan seseorang dari masa lalunya? Ku pernah mendengar bahwa lagu dapat menyampaikan perasaan yang dimiliki kepada seseorang tanpa mengenal batas waktu, dimensi, ataupun ruang. Apakah hal itu yang sedang dilakukan oleh wanita itu? Setiap tuts ia tekan dengan sempurna menciptakan harmoni berwarna kuning penuh cinta.
"Maaf Anna. Pertanyaan apa yang kamu maksud?" Wajahnya benar-benar terlihat marah sekarang. Sedikit ku mencoba untuk meraih tangannya dan diapun langsung menampiknya, seolah ku tidak boleh menyentuhnya. Badannya kini dalam posisi membelakangiku, tangannya tersilang pada dada. Benarkah dia semarah itu? Memangnya aku bertanya hal penting apa yang membuat dia marah karena tidak kuperhatikan penjelasannya?
"Anna ... maaf tetapi ku tidak ingat kalau aku pernah bertanya padamu. Dan kalau memang ku bertanya, pertanyaan apa yang ku tanyakan? Aku serius lupa tentang itu." Anna berbalik, kembali menatapku dengan tatapan memicing.
"Huh ... kamu ini kenapa sih Kina?" Ucapnya setelah menghembuskan napas yang terdengar cukup berat dan panjang. "Padahal dari tadi aku bercerita tentang diriku sendiri karena kamu yang bertanya, tetapi malah begini hasilnya." Kembali ia menghela napas panjang menunjukkan rasa kecewa. Sementara aku? Tentu saja sedang dilanda rasa bingung. Bagaimana tidak? Orang pertama yang mengajakku berbicara adalah orang yang sempat ku benci sebelumnya dan orang yang sempat membuatku tertarik sekarang malah berbalik menunjukkan rasa tidak suka padaku. Bagaimana mungkin aku bisa bersikap biasa saja seolah ini adalah hal kecil?
"Anna ... maaf ya, maafkan aku. Aku tidak mendengarkanmu karena terlalu fokus pada penampilan organ itu, yang dimainkan wanita berpakaian putih di bawah sana." Tunjukku mengarah ke bawah, tepat pada organ itu. Namun Anna hanya menatapku dengan heran, seolah menyiratkan keanehan dari apa yang kukatakan.
"Organ? Organ apa Kina? Wanita mana yang kau maksud?" Hah? Bagaimana mungkin Anna tidak bisa melihatnya. Hmm, mungkin bisa kuterima kalau dia tidak mampu melihat wanita itu karena matanya yang mungkin tidak bisa melihat sejauh itu, walaupun sudah dibantu dengan kacamata, tetapi bagiku itu tidak terlalu jauh. Dan bagaimana mungkin benda sebesar itu tidak bisa ia lihat? Atau mungkin dia masih kesal dan menjahiliku? Mungkin saja, atau bisa jadi tidak.
"Jangan bercanda Anna, aku sedang serius saat ini. Apa kau tidak mendengar suara organ yang sedari tadi bergema, mungkin ke seluruh ruangan yang bisa terjangkau oleh suara itu. Dan organ itu, ada di sana. Tepat di bawah sana, walaupun orang lain hanya terlihat melewatinya begitu saja tetapi ku yakin merekapun mendengar betapa bagusnya suara yang wanita itu hasilkan dengann permainannya." Anna semakin memandangiku aneh. Ayolah, apa dia masih tidak bisa melihatnya?
"Baiklah kalau kau tidak bisa melihatnya, tapi setidaknya kau bisa mendengar nada yang ia wanita itu keluarkan bukan?" Lagi dan lagi, Anna memandangiku dengan aneh sebelum akhirnya tertawa. Tangannya menepuk pundakku pelan dan tersenyum ke arahku. "Kina, kamu sepertinya terlalu lapar ya sampai mengigau seperti itu? Ayo ayo, lebih baik kita segera pergi ke kantin untuk menghentikan kamu yang menghalu seperti itu."
"Tapi aku tidak mengigau, aku yakin sekali melihat dan mendengar itu." Anna benar-benar membuatku kesal. Jelas sekali aku tidak mengigau dan sangat yakin dengan apa yang kulihat. Wanita itu, organ itu, dan suara itu, semuanya nyata. Kesal, aku pun memalingkan muka, membelakangi Anna yang kembali tertawa karena sikapku padanya.
"Iya-iya, apapun untuk membuatmu senang Kina. Jadi ... apa kita jadi pergi ke kantin?" Tangannya menggenggam kedua pipiku, membuatku terkejut dengan hal itu. Tidak ku sangka Anna yang kukira anak polos rupanya mampu untuk melakukan tindakan seperti ini. Dan tentu saja, rasa gugup dengan cepat memenuhi isi kepalaku dan dapat kurasakan pipiku memerah dibuatnya. Segera ku mengarahkan tangan untuk menjauhkan tangan Anna dari pipiku, dan menganggamnya agar ia tidak lagi melakukan hal yang bisa membuat perasaanku menjadi tidak menentu.
"T-tentu saja, Anna sendiri yang tadi menawari untuk menemaniku berkeliling asrama ini dan kantin tentu saja harus kita datangi pertama kali. A-ayo cepat, aku sudah lapar." Anna menguatkan genggaman tanganku, dan dengan cepat berlari menarikku menuju kantin.
"Kalau begitu, ayo," ucapnya dengan menarikku yang sedikit sulit untuk menyamakan langkah dengannya. "Pelan-pelan Anna, aku hampir tidak bisa menyamakan langkah denganmu." Namun Anna sepertinya tidak mendengarkan dan tetap saja berlari dengan tangan menganggamku yang berada di belakangnya dengan napas yang sangat terngah-engah.
"Anna ... tunggu sebentar. A-aku ... tidak kuat ... berlari ... ini." Setelah berlari kurang lebih melewati dua ruang kelas, tidak, mungkin empat atau lima ruang kelas, Anna pun berhenti dan menegok ke belakang, melihatku dengan tatapan heran. "Kina? Mengapa kamu terlihat kelelahan seperti itu?" HAH? BAGAIMANA BISA? BAGAIMANA BISA DIA BERTANYA SEPERTI ITU?
"B-bagaimana bisa kau berlari secepat itu dengan dress seperti itu? Dan lagi mengapa kau harus menarik tanganku? Aku ... aku benar-benar lelah." Anna hanya tertawa sampai muncul sedikit air mata pada sudut matanya, membuatku sangat kesal dan ingin memarahinya namun napasku masih belum membaik. Benar benar melelahkan. "Maaf-maaf, aku kira kamu bisa mengikuti lariku. Kalau begitu, apa kita istirahat dulu saja?" Anna menoleh ke kanan dan kiri, dan terlihat senang saat melihat terdapat bangku kosong untuk kami berdua istirahat.
"Aku melihat bangku kosong, bagaimana kalau istirahat sebentar di sana?" Dengan sisa tenaga yang kumiliki, dan dibantu oleh Anna tentunya, kami pun berjalan ke arah bangku kosong itu dan duduk mengisi kembali tenaga, atau mungkin lebih tepatnya, aku yang mengisi tenaga.
"Anna ... berhenti memandangiku seperti itu. Aku tidak tahu apa maksudmu tetapi hentikan itu. Aku merasa tidak nyaman." Entah mengapa namun sejak kami bertemu, atau mungkin, sejak kami mulai sering berbicara karena Anna yang menawarkan diri untuk mengajakku berkeliling, ia lebih sering memandangiku. Jujur saja aku tidak masalah dengan itu, namun mengapa?
"Kina ... kekuatan apa yang kamu miliki sampai kamu dengan berani masuk ke dalam asrama ini?" Anna dengan cepat mampu untuk membuatku terdiam dengan pertanyaannya. Bagaimana aku menjawabnya, bahwa aku ... tidak memiliki hal semacam itu.