Chereads / My Journey In This Universe Of Magic / Chapter 3 - A Mistake I Realized

Chapter 3 - A Mistake I Realized

"Kekuatan?" Aku menggantungkan kalimatku, membuat Anna sedikit penasaran, dapat kulihat dari badannya yang sedikit mendekat ke arahku dengan tatapan mata menyelidik. Bahkan di balik kacamatanya itu, sorot matanya masih saja membius. Akupun berusaha menjauh dengan memundurkan badanku, namun tanganku yang berada di atas bangku karena kugunakan untuk menopang tubuh yang terlalu lelah ditahan olehnya. Semakin dekat ... semakin dekat ... Anna benar-benar menggodaku sekarang. TIDAK, BUKAN MENGGODA. Tetapi memang sikapnya ini membuat hatiku dilanda perasaan yang terasa ambigu.

"A-anna ... aku tidak bisa bergerak." Sungguh, aku tidak tahu apa yang Anna ingin lakukan namun genggaman tangannya sangatlah kuat. Aku ... AKU TIDAK BISA MENAHAN SEMUA INI. "Anna, lepaskan aku." Dengan cepat ku melepaskan genggaman tangannya dan mengarahkannya pada pundak Anna, sedikit mendorongnya, mencegahnya mendekat padaku, yang akan kuartikan sebagai benar-benar dekat, sangat dekat.

"Kina? Kamu kenapa?" Percuma saja aku menjelaskannya, karena sudah pasti aku akan kembali ditertawakan olehnya. Bagaimana ini, bagaimana aku menjelaskan padanya tentang aku yang mendorongnya dan tentang kekuatan yang orang lain miliki namun tidak denganku.

"Maaf Anna, aku hanya tidak biasa untuk sedekat itu dengan orang lain. Apa ada bagian yang terasa sakit? Maafkan aku, hanya saja aku tidak terbiasa dengan itu." Anna hanya memandangku dengan raut wajah aneh dan berubah menjadi tawa setelahnya. Tangannya mengelus kepalaku, lalu tersenyum dengan lembut ke arahku.

"Aku tidak apa Kina, aku juga minta maaf kalau mengejutkanmu ya. Aku tidak apa-apa." Bukan dia yang seharusnya meminta maaf seperti itu, mungkin, aku saja yang bereaksi terlalu berlebihan dengan tindakannya padaku. Tetapi Anna tidak terlihat kesal dan aku juga sudah meminta maaf, sepertinya tidak ada masalah.

"Sudahlah tidak apa, selama kau tidak apa, aku tidak perlu merasa bersalah, bukan begitu?" Anna mengangguk setuju, dan kami pun melanjutkan langkah kami menuju kantin. Banyak sekali pertanyaan yang datang menghampiri ke dalam diriku sekarang, tentang bagaimana Anna bisa tidak melihat dan mendengar permainan organ wanita itu, dan pertanyaan berikutnya yang masih berhubungan dengan beberapa kejadian sebelumnya, seperti mengapa Anna terlihat tertarik sekali denganku, dan bagaimana kalau aku menanyakan tentang kekuatan yang ia miliki. Apa dia akan kesal dan membenciku?

Kami pun turun melalui tangga, tangga yang melingkar pada tiang penyangga yang berada di tengah sebagai penopang. Tangga besi berwarna hitam mengilap, dengan railing berwarna perak terlihat sangat mewah, terlebih railing tersebut memiliki pola seperti ombak laut dari atas sampai bawah. "Anna ... apa menurutmu asrama ini memang didesain untuk memiliki nuansa abad pertengahan atau hanya perasaanku saja ya?"

"Aku tidak terlalu memerhatikan, tetapi kamu cukup tepat kalau menganggap asrama ini memiliki nuanasa seperti itu. Lihatlah pola pada railing ini Kina."

"Kau benar, pola ombak ini terlihat sangat hidup. Bahkan menurutku, semakin dipandang, pola ombak ini terlihat seperti bergerak." Anna memandangiku dengan aneh, namun hanya sekejap saja sebelum ia kembali menatap pola ombak pada railing. " Ini bukan ombak Kina, ini adalah Akhrina Hokitu atau naga air. Ia adalah salah satu dari empat naga yang melambangkan elemen alam." Hah? Aku hanya mencari topik agar kami tidak terlalu canggung dan hanya diam saja selama menuju kantin, dan aku tidak terlalu menganggap bahwa hal ini, yang mana ku salah menganggap bahwa pola pada riling ini ternyata adalah sebuah naga yang merepresentaikan alam merupakan topik yang berat, namun entah mengapa nada bicara dari Anna sedikit menyiratkan kalau pola ini bukan sekadar pola biasa. Apa aku salah bicara kali ini?

"Anna? Apa yang terjadi? Sepertinya kau sangat mengerti dengan pola ini. Bisa beritahu aku tentang itu?" Anna memandangiku dengan tatapan sayu dibalik kacamatanya itu, ditemani senyum terpaksa yang melintang pada bibirnya. "Tidak apa Kina, aku hanya terkagum dan entah mengapa terasa sedih saat mengucapkannya. Sepertinya, aku terlalu terbawa cerita tentang naga air yang ditulis pada banyak buku legenda."

"Memangnya sebagus itu ya sampai kau terbawa seperti itu?" Anna mengangguk, namun kali ini, tidak lagi ada wajah dengan tatapan sayu, tidak ada lagi senyum yang dipaksakan. Anna kembali, gadis kacamata itu telah kembali. "Bisa kau ceritakan padaku nanti? Sepertinya aku cukup tertarik dengan legenda naga air itu."

"Aku tidak terlalu ingat tentang legenda itu Kina, jadi aku tidak bisa menceritakan secara keseluruhan, bahkan aku saja tidak ingat bagaimana awal legenda itu. Aku hanya merasa kagum dan sedih saat melihat pola ini." Ah, jadi begitu. Sangat disayangkan sebenarnya karena aku sendiri cukup tertarik dengan legenda itu. Tetapi karena Anna mengatakannya begitu, sepertinya aku tidak akan memaksanya. Lebih baik aku cari sendiri saja legenda itu di tabloid online atau semacamnya, atau mungkin, begitu pikirku.

"Ayo, sebaiknya kita segera menuju kantin atau semua makanan di sana habis terjual." Sebelum ia sempat menarik tanganku, aku mencoba untuk menggandeng tangannya lebih dahulu, wajahnya terlihat kaget merona merah karenanya namun aku tidak peduli. Sebelumnya juga ia menarikku tanpa memikirkan apakah aku sanggup untuk mengikutinya, jadi kurasa ini cukup adil? Adil ataupun tidak, aku tetap tidak peduli.

"Ki-Kina? Apa yang kamu lakukan?" Wajahnya sangat panik namun aku tetap menggandengnya sampai kami menuruni tangga. "Sebelumnya kau bertingkah seperti itu padaku, dan sekarang biarkan aku melakukan hal yang sama padamu." Dan akhirnya Anna hanya mampu untuk pasrah, mengikuti di belakangku dengan sesekali berteriak dan menarik tanganku karena salah arah menuju kantin.

"Harum sekali," ucapku saat pertama kali menginjakkan kaki di dalam kantin, atau lebih tepatnya, di depan pintu kantin. Binar mataku dan penciuman hidungku tidak cukup untuk mengagumi semua ini. Aroma makanan yang didominasi berbagai jenis roti sungguh membuat perutku meronta dan dompetku menjerit tersiksa. "Ayo masuk Kina, dan jangan terlihat seperti orang kelaparan di dalam sana, karena di depan sini saja wajahmu sudah seperti orang belum makan beberapa hari."

"Memangnya aku terlihat seperti itu? Lagipula siapa yang sebelumnya menarikku tanpa alasan ke sini?" Anna nampak kesal dengan pertanyaanku. "Hei, kamu juga menarikku ke sini ya. Jadi jangan sepenuhnya salahkan aku."

Yah Anna tidak salah. Walaupun dia menarikku pada awalnya, tetapi akhirnya aku yang menariknya. Jadi sekarang aku yang salah? Benar-benar tidak terduga.

"Iya maafkan aku. Jadi bagaimana kalau langsung masuk saja? Aku juga sudah lapar dan wajahmu juga terlihat kesal kalau hanya berdiri di luar sini saja. Jadi, masuk?" Anggukan Anna menyatakan persetujuan dan kami pun masuk ke dalam kantin. Benar-benar sebuah mahakarya. Warna keemasan itu, suara renyah roti saat disobek, dan aroma mentega itu, semuanya menyatu sempurna, bekerja sama untuk mengundang banyak orang masuk dan menghabiskan uangnya, namun aku tidak mempermasalahkannya kalau memang mendapat makanan yang enak seperti ini, atau mungkin hanya terlihat enak. Entahlah, aku hanya berharap makanannya terasa lezat seperti apa kelihatannya.

"Ikuti aku Kina, dan kali ini jangan ada tarik-menarik seperti tadi." Aku hanya mengangguk, mengikuti Anna yang membawaku melihat berbagai jenis roti mulai dari roti berukuran kecil sampai besar, berbagai macam isian namun yang sangat menarik perhatianku adalah isian keju yang meleleh saat menyobek roti.

Aku akan membeli roti keju meleleh itu.

"Anna, tunggu sebentar. Aku ingin membeli roti dengan keju meleleh itu." Anna melihat ke arah toko itu dan tiba-tiba tertawa. Aku pun heran, memangnya ada yang salah dengan roti keju meleleh itu? "Mengapa kamu tertawa Anna?"

"Tidak, bukan begitu. Ternyata orang yang terlihat dingin dan menakutkan sepertimu menyukai sesuatu hanya karena sesuatu itu bisa meleleh? Kina, kamu lucu sekali. Senang rasanya bisa bersamamu ke sini dan melihat sisi lain darimu yang biasanya dingin dan jutekmu itu." JUTEK? DINGIN? Apa yang Anna bicarakan. Aku tidak seperti itu. Benar kan?

"Aku tidak seperti itu, lagipula aku ingin membeli roti itu bukan karena keju melelehnya, tetapi memang aku menyukai sesuatu yang manis." Anna mendekat padaku, lantas meraih tanganku dan menarikkku menuju kedai dengan roti meleleh itu. "Kalau begitu, ayo kita membelinya. Aku akan mencoba sesuatu yang kamu juga sukai." Dengan senyuman ia mengatakan hal seperti itu padaku, sementara yang bisa aku lakukan hanya terdiam dengan pipi yang memerah. Bagaimana bisa Anna mengucapkan hal seperti itu dengan tenangnya dan tampak tidak memikirkan perasaan orang lain yang ia ucapkan seperti itu. Bagaimana kalau lelaki yang ia berikan ucapan itu, pasti lelaki itu sudah jatuh cinta padanya. Beruntungnya aku adalah perempuan, namun perasaan apa yang melandaku ini?

Anna ... jangan kamu tunjukkan senyummu itu di hadapan orang lain selain diriku, Tetapi, apa aku pantas untuk mengharapkan itu?

Kami pun sampai di depan toko roti itu. Benar saja, sangat harum. Dengan banyak sekali varian roti pada menu yang ternyata bukan hanya keju meleleh saja, namun ada cokelat, strawberry, dan juga beberapa rasa lain yang semuanya terlihat menggugah selera, Anna memanggilku yang sepertinya terlihat jelas sedang bingung untuk menentukan rasa apa yang harus kubeli "Kina, kamu mau yang mana?"

"Entahlah Anna, semuanya terlihat enak. Mungkin aku akan memilih keju, tetapi aku akan bertanya padamu, ada sesuatu yang mungkin bisa kamu rekomendasikan untukku?" Anna terlihat memikirkannya, dan berubah menjadi raut wajah senang.

Sepertinya dia sudah memikirkannya.

"Jadi Anna, apa yang kamu pikirkan?"

"Roti keju meleleh." Aku hanya bisa diam mendengarnya. Sepertinya aku salah mengira kalau ia akan benar-benar memikirkannya dengan serius. Aku pandangi Anna dengan tatapan kesal dan tidak puas, sementara dia hanya tertawa dengan reaksi yang kuberikan. "Kina, jangan marah begitu."

"Bagaimana aku tidak marah, aku kira kamu akan memberikan rekomendasi lain dari apa yang menjadi tujuan awal kita ke sini."

"Bagaimana kalau cokelat?"

"Cokelat? Mengapa?"

"Bukannya kamu bilang suka sesuatu yang manis? Itu juga yang jadi alasanmu datang ke kedai ini bukan? Jadi aku berpikir, mungkin cokelat akan cocok dengan seleramu."

"Wah, aku tidak menyangka kamu memikirkannya sampai seperti itu Anna." Anna kini berbalik menatapku dengan kesal, dan kali ini, aku yang tidak mengerti mengapa ia memandangku kesal seperti itu. "Anna, kenapa wajahmu terlihat kesal seperti itu?"

"Aku kesal denganmu Kina. Kamu kira aku main-main ya sampai mengatakan hal seperti itu?" Jadi dia kesal karena hal itu. "Jadi? Apa kamu kesal karena itu? Salahmu sendiri mengatakan hal yang sudah jelas seperti itu." Anna tampak semakin kesal denganku, dan pergi begitu saja menjauh dariku. "Aku pergi saja kalau begitu. Kalau kamu sudah selesai membeli, temui aku di luar kantin."

"Tunggu, Anna. Anna ...." Tidak, Anna tidak bisa mendengarku. Dia terdengar sangat kecewa dengan apa yang aku katakan padnaya. Apa aku terlalu keras padanya? Tidak, aku tidak merasa begitu, tetapi entah mengapa hatiku terasa sakit dan sepi melihat Anna yang tidak ada disampingku. Padahal kami baru saja berkenalan, namun mengapa kehadiran Anna begitu penting sampai aku merasakan sesuatu seperti ini?

"Teman nona pergi? Atau mungkin dia kabur karena mencium bau paman yang tidak enak ya?" Seorang pria baruh baya mendekat ke arahku dari dalam kantin, mengenakan pakaian berwarana putih, berlengan panjang dengan topi berkerut menjulang tinggi pada kepalanya. Ia terlihat seperti seorang juru masak, dan sepertinya tebakanku benar kalau melihat dari bagaimana orang itu tercium, penuh dengan aroma mentega dan bajunya cukup banyak tumpahan tepung terigu.

"Tidak, paman tercium sangat enak, seperti mentega."

"Jadi, apa yang membuat teman nona pergi?"

"Apa tidak masalah bercerita tentang itu sekarang? Paman terlihat sibuk dengan banyaknya orang yang membeli roti paman." Aku sebenarnya ingin cerita, tetapi kalau mengganggu, lebih baik tidak perlu melakukannya. Aku akan mencari cara sendiri agar Anna tidak marah padaku.

Tetapi apa yang harus aku lakukan?

"Cepatlah, kami juga ingin membeli roti itu." Beberapa orang di barisan belakang mulai berteriak agar aku mempercepat pembelianku, yang nyatanya adalah aku belum memutuskan sama sekali ingin membeli roti yang mana. Sesuai perkataanku sebelumnya, roti yang ada di toko ini terlihat sangat enak dengan harum yang sungguh menggoda. Sangat masuk akal apabila orang beramai-ramai datang ke sini, bahkan jika orang tersebut tidak menyukai roti, ia pasti akan penasaran dengan aroma yang sangat enak ini.

"Tidak masalah nona, paman mempunyai beberapa pegawai yang bisa membantu paman untuk menjaga toko." Paman itu mengatakan pegawai namun aku tidak melihat orang lain selain dirinya di toko ini.

"Apa paman mempunyai pegawai? Seingatku selama berdiri di sini seperti orang kebingungan ingin memesan roti yang seperti apa, aku hanya melihat paman saja." Aku sama sekali tidak berniat untuk menyinggung perasaan paman itu, namun entah mengapa wajahnya berubah menjadi sedikit sedih. Atau mungkin, itu hanya pemikiranku saja, namun aku melihat perubahan wajahnya yang kini menunduk menghadap lantai. Benar-benar, aku jadi tidak enak hati melihatnya.

"Paman? Apa paman baik-baik saja? Maafkan perkataanku apabila itu menyinggung paman."

"Apa nona ingin melihat para pegawai paman?" Hah? Bagaimana mungkin paman ini memiliki pegawai. Jelas sekali pegawai yang dapat ku lihat sedari tadi hanyalah paman seorang. Tetapi, tentu saja aku tidak bisa melewatkan kesempatan untuk bertemu dengan pegawai di sini. Aku tahu aku tidak terlalu bisa bersosialisasi layaknya Anna yang dalam waktu beberapa jam saja sudah memiliki teman sebanyak yang ku lihat sebelum pergi ke kantin ini, dan menurutku tidak terlalu buruk untuk memulai pertemanan dengan pegawai toko yang dalam pikiranku memiliki umur jauh di atasku.

Kalau saja aku tidak membuat Anna marah, mungkin aku dan dia bisa menjadi lebih dekat karena kejadian ini. Aku yakin dia pasti senang dengan hal seperti ini.

"Tentu saja paman, aku ingin bertemu dengan mereka." Wajah paman itu kembali terangkat dengan senyum mengembang di wajahnya. "Kalau begitu, lihatlah ini, nona muda. Akan aku tunjukkan pada nona, para pegawai paman yang paman banggakan." Cukup aneh sebenarnya untuk mendengar paman itu mengatakan hal seperti itu, terlebih lagi dilihat dari mata orang lain dan juga diriku, tidak ada siapapun di toko itu. Jadi siapa yang harus paman banggakan?

"Ankani Makari," ucap paman itu, dan tiba-tiba saja, banyak sekali orang dengan pakaian yang serupa dengannya.

A-apa yang baru saja terjadi? Bagaimana bisa tiba-tiba ada banyak sekali orang yang muncul?

"Kalau begitu, paman perkenalkan pegawai-pegawai paman." Tangannya terbuka, dengan suara keras menyambut semua orang yang ada di depan tokonya, dan mungkin saja di seluruh kantin apabila mereka mampu untuk mendengar suaranya, untuk mendekat dan memperhatikan pegawai di tokonya. Aku tidak menyangka paman itu sampai berteriak seperti itu, aku kira paman hanya mau menunjukkannya di hadapanku saja. Kalau tahu seperti ini aku tidak perlu bertanya. Suara kerasnya nampaknya berhasil mengambil atensi beberapa orang yang sebelumnya tidak tertarik untuk datang ke tokonya, tidak, maksudku banyak orang untuk hadir dan melihat pegawai di tokonya.

"Ternyata toko ini memiliki pegawai."

"Aku kira paman ini seorang diri mengelola tokonya."

"Wah, keren sekali. Apa kamu lihat pegawainya yang membawa banyak roti sekaligus itu? Bagaimana dia melakukannya ya?"

"Apa kamu lihat itu? Bukankah itu sihir untuk menyembunyikan keberadaan seseorang?"

"Aku jadi ingin membeli rotinya segera. Aromanya sangat enak."

Dapat ku katakan kalau respon yang mereka berikan sesuai dengan apa yang paman itu harapkan. Senyuman yang ia berikan semakin membesar seiring dengan banyaknya orang yang datang dan melihat tokonya. Jujur saja, beberapa respon dari orang yang datang cukup membuatku tersadar betapa terbiasanya paman ini untuk terlihat sendirian di tokonya padahal dia memiliki pegawai yang membantunya, namun lebih daripada itu, salah satu respon membuatku berpikir berulang kali untuk mencernanya.

"Bukankah itu sihir untuk menyembunyikan seseorang?" Kalimat itu, sangat mengangguku. Apa kemampuan paman ini adalah menyembunyikan seseorang? Aku tidak terlalu memahami tentang kemampuan seperti itu, alasan utama adalah karena orang tuaku tidak pernah mengajariku untuk itu, dan aku sendiri sudah menyerah untuk mempelajari tentang itu, dan lebih percaya bahwa aku tidak mempunyai kemampuan atau kekuatan seperti itu. Umumnya, orang akan mendapatkan kemampuan atau kekuatan apabila mereka sudah berumur 10 tahun, beberapa orang percaya bahwa itu hanyalah umur untuk kekuatan seseorang akhirnya dapat terdeteksi atau mulai menampakkan tanda tertentu, sementara untuk mendapatkannya, layaknya sebuah takdir, mereka mendapatkannya setelah mereka lahir ke dunia. Aku sendiri cukup tidak mengerti dengan konsep seperti itu, bukankah mereka mempunyai kekuatan atau tidak itu tergantung bagaimana Tuhan menuliskan takdir untuknya? Mengapa fakta yang ada sangat terbalik, seolah takdir adalah sesuatu yang didapatkan dan bukan sesuatu yang sudah digariskan oleh Tuhan?

"Paman aku mau rotinya."

"Aku ingin rasa cokelat." Seleranya cukup bagus. Walaupun sejak pertama aku sudah tertarik dengan roti keju meleleh yang ada di toko ini, tetapi roti cokelat bukan pilihan yang buruk. Bahkan kalau saja kejadian sial menimpaku dan membuatku tidak bisa mendapatkan roti keju meleleh itu, aku akan beralih ke roti cokelat karena memang selain terlihat enak, Anna yang merekomendasikannya untukku. Anna, kamu di mana sekarang? Apa benar kamu menungguku di luar kantin? Aku harus segera menemuinya, tentu saja setelah membeli beberapa roti.

"Paman, berikan aku roti terbaikmu." Wah, siapapun orang yang mengatakan ini sepertinya termasuk golongan orang yang memiliki uang cukup banyak untuk membuat dompet mereka tidak bisa tertutup secara sempurna.

"Paman aku mau satu rotimu." Setidaknya sebutkan apa rasa yang kau inginkan.

"Paman aku mau pegawaimu yang tampan itu." Hah? Tampan? Bagaimana mungkin dia bisa mengatakan bahwa pegawai paman ini tampan jika posisinya jauh di belakang dan mengatakannya dengan berteriak. Aku saja yang sedari tadi berdiri di depan etalase dan melihat seperti orang linglung tidak menemukan yang seperti itu, bagaimana mungkin dia bisa menemukannya? Apakah dia hanya asal bicara saja? Atau mungkin, dia memiliki kekuatan untuk melihat suatu hal dari jauh dengan tingkat keakuratan yang sempurna? Ingin sekali aku meragukan pemikiranku untuk yang terakhir itu, namun segala kemungkinan bisa terjadi, begitupun dengan kemungkinan terakhir itu.

Mereka terlihat sangat antusias, sementara aku dengan semua kebingungan yang melanda pikiran, secara sadar sedikit bergeser menjauhi kerumunan orang kelaparan, atau mungkin orang yang penasaran dengan toko milik paman itu. "Paman, aku akan bergeser sedikit agar mereka bisa membeli roti paman."

"Maaf ya, paman akan mendengarkan ceritamu setelah ini."

"Tidak apa-apa paman, ini juga salahku yang tidak percaya kalau paman memiliki pegawai sehingga paman harus melakukan semua ini." Mengapa aku meminta maaf? Bukannya bagus kalau toko pama mejadi ramai karena permintaan bodohku? Sementara itu, paman hanya tersenyum menatapku sebelum berbalik melayani orang-orang itu. Aku tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa aku kesal karena harus bergeser menjauh dari toko itu yang sangat memiliki aroma sangat harum, kesal karena aku tidak bisa memutuskan roti apa yang ingin aku pesan, perselisihan dengan Anna yang membuatnya pergi meninggalkanku di sini seorang diri, serta paman yang harus mengurus pelanggannya terlebih dahulu. Aku memang tidak berhal untuk kesal kepada paman karena memang itulah pekerjaannya, tetapi seingatku, paman ingin memanggil atau mungkin memunculkan pegawainya padaku agar paman bisa mendengarkan ceritaku, tetapi nyatanya, setelah paman memunculkan pegawainya, ia tetap di sana, menjaga toko rotinya.

Kalau tahu akan jadi seperti ini, aku akan menolak penawaran pam"an untuk menunjukkan pegawai miliknya. Semoga saja Anna tidak terlalu marah denganku. Akan aku jelaskan alasan mengapa aku terlambat kepadanya nanti.

Aku hanya mengamati dari kejauhan sembari terduduk menatap langit. Atap kantin ini terbuat dari kaca sejernih kristal yang mampu melihat dengan jelas apa yang ada di baliknya. Tetapi aneh sekali, hawa di dalam ruangan ini terasa biasa saja, bahkan dapat kukatakan hawanya terasa dingin untuk ruangan yang menerima cahaya matahari secara langsung. Cukup mengesankan menurutku. Langitnya terasa sangat dekat, berwarna biru keputihan dengan awan yang bergemul di sekelilingnya seolah menjaga dan bermain bersama. Aku ingin seperti itu, berkumpul dan bermain bersama, berbagi tawa dan juga sedih untuk dilewati bersama layaknya sebuah kisah yang tertulis di dalam buku fiksi. Tentu saja aku tidak bisa mendapatkannya, lagipula itu hanyalah kisah yang terdapat di dalam kisah fiksi, dan kenyataan selalu mampu untuk menggulingkan sebuah fiksi yang sangat didambakan banyak orang.

"Paman, aku datang lagi." Tentu saja aku datang, aku belum membeli roti apapun dan paman itu pun belum mendengarkan ceritaku tentang Anna. Walaupun aku tidak menceritakannya dan pergi meninggalkan paman itu seperti tidak pernah bertemu sebelumnya, aku belum membeli roti itu. Aku belum memenuhi tujuan utamaku rela menunggu sampai akhirnya mendapatkan situasi yang sepi seperti sekarang yang membuatku bisa akhirnya melanjutkan obrolanku dengan paman itu, dan tentu saja, Anna. Aku tidak bisa pergi begitu saja, dengan tangan kosong dan berpotensi kehilangan Anna, orang pertama yang kuajak bicara sejak menginjakkan kaki di asrama ini. "Kali ini, aku sudah siap memesan. Tolong berikan aku roti keju meleleh, roti cokelat, dan juga roti strawberry."

"Nona datang lagi rupanya." Apa dia tidak sadar? Jangan bilang dia tidak mendegar sapaan dan pesananku. Aku sedikit memasang wajah kecewa, kututup kedua mataku bersaaman dengan mulutku yang melepaskan hembusan napas kecil, dan setelahnya kembali menatap paman itu yang hanya bisa tersenyum. Baguslah kalau dia tidak sadar dengan apa yang baru saja kulakukan.

"Tentu, jadi aku sudah memesan dan mungkin aku akan mulai bercerita karena situasi yang sudah sedikit sepi."

"Nona sudah memesan?" BENAR SAJA, DIA TIDAK MENDENGARKU.

Sebelum aku menahan rasa kesalku dan menjawab bahwa aku sudah memesan, seorang pria mendekat dan menatapku dengan membawa roti yang sudah kupesan, lalu memasukkannya ke dalam kantong kertas berwarna putih dengan logo mirip seperti roti. Yah, wajar saja, karena ini adalah toko roti. "Ini pesanan Anda, nona." Dia sangat tampan, maksudku, mmemang semua pria pasti tampan, jadi tidak salah kalau aku memujinya seperti itu. Perwakannya tinggi dengan rambut hitam hampir menutupi kedua matanya, hampir terlihat seperti penjahat namun aku rasa tidak. Terbukti dengan dia yang diterima sebagai pegawai paman itu. Tidak mungkin paman mempekerjakan seorang penjahat bukan? Sekilas ku lihat telapak tangannya sedikit cerah, tidak terlalu pasti karena tertutup terigu atau memang dia memiliki kulit yang cerah, cuma akan aku bayangkan dia dengan kulit berwarna cerah, dan otot dada yang terbentuk dengan bagus. Cukup sampai situ, aku tidak berani untuk memandanginya dengan detail atau dia akan merasa bahwa aku menyukainya dalam sekali lihat dan dianggap sebagai gadis yang tidak sopan.

"Terimakasih." Jujur saja aku tidak enak hati kalau hanya begitu saja caraku untuk berterimakasih tanpa menyebutkan namanya, namun aku juga tidak mempunyai cukup keberanian untuk menanyakan siapa namanya dan kembali mengulang ucapan terimakasihku. Dia hanya melihatku saat kata terimakaasih terucap, bersama dengan senyum yang terlintang pada wajahnya sebelum ia membalikkan badan dan sepertinya berjalan ke arah belakang toko, melanjutkan membuat roti pikirku. Akhirnya hanya ada aku dan paman itu, dia berjalan ke luar toko dan menepuk nepuk ruang kosong pada bangku panjang yang baru saja ia tempati. Yah, sebenarnya aku lebih suka untuk duduk tanpa menggunakan bangku karena kaki yang menggantung membuatku tidak nyaman, tetapi sudahlah. Seharusnya aku berterimakasih karena paman itu mau mendengarkan ceritaku.

"Jadi, bagaimana?" Paman itu menoleh sesaat setelah aku mendudukkan tubuhku pada bangku.

"Sebenarnya aku tidak tahu paman, apakah aku bersalah atau tidak dalam kejadian dengan temanku itu." Paman itu menepuk pundakku, dengan senyum seolah mengerti dengan apa yang terjadi, dia menatap langit begitu jauh dan dalam seolah sedang menjelajah memori yang pernah terjadi dengan kasus yang sedang aku alami.

"Paman pernah sepertimu nona, saat di mana paman bertengkar karena perbedaan keinginan. Paman lupa hal apa itu, tetapi pertengkaran itu terjadi cukup lama, bahkan sampai sekarang, paman masih belum bisa untuk bertemu dengannya lagi." Wah, memangnya mereka meributkan apa? Dengan asumsiku bahwa umur paman ini sudah lebih dari 30 tahun, berarti paling sedikit kejadian itu berlangsung adalah sekitar 10 atau 15 tahun yang lalu. Mereka belum bertemu selama itu? Sepertinya ada yang memiliki ego tinggi untuk tidak meminta maaf dan memilih untuk berdiam diri yang berujung perpisahan.

"Apa tidak ada yang meminta maaf, paman?"

"Tentu saja paman meminta maaf walaupun paman cukup yakin kalau paman tidak bersalah atas apa yang terjadi saat itu." Tidak yakin tetapi tetap meminta maaf. Paman ini seperti tahu saja kebimbangan yang aku rasakan. Aku tidak masalah kalau harus meminta maaf kepada Anna, tetapi yang aku khawatirkan adalah Anna yang tidak memaafkanku. Aku membenci ini. Aku benci dengan perasaan yang tidak pasti seperti ini.

"Jadi nona, walaupun nona memang tidak bersalah, lebih baik nona meminta maaf lebih dahulu sebelum kalian benar-benar terpisah dan tidak bertemu lagi seperti apa yang paman alami." Aku hanya terdiam mendengarnya, mengatupkan kedua tangan di hadapanku seperti berdoa. Paman benar, mungkin aku harus melakukan sesuatu seperti meminta maaf dan memberikannya sebuah roti sebagai bentuk maafku.

"Sebenarnya paman, sepertinya memang aku yang salah di sini."

"Bagaimana bisa nona berpikir begitu."

"Aku tidak memiliki banyak teman karena hari ini adalah hari pertama masuk dan menginjakkan kaki di sini. Perempuan yang sebelumnya bersamaku adalah satu satunya orang yang mengajakku berbicara. Kalau diingat, pertemuan pertama kami pun tidak berjalan dengan begitu baik, bahkan aku sempat tidak menyukainya karena apa yang terjadi sebelumnya." Paman itu hanya mengangguk dan menyiratkanku untuk melanjutkan ceritaku dengan gerakan tangannya. "Tetapi dia meminta maaf, paman. Dia meminta maaf padaku. Dan setelah itu kami pun berjalan berdua sampai ke sini."

"Sepertinya bukan sesuatu yang rumit."

"Sampai bagian itu belum terlalu rumit, paman. Aku sempat mengatakan padanya kalau aku ingin membeli roti keju meleleh yang ada di toko paman, karena memang roti itu yang pertama kali memikatku dengan toko paman. Aku meminta pendapatnya, mungkin dia ada rekomendasi lain untuk diberikan untukku dan dia menjawab roti keju meleleh." Aku hanya bisa menghela napas dengan pandanganku tertuju pada kakiku.

"Dan nona kesal karena hal itu?"

"Tentu saja, wajar bukan? Dia tahu kalau tujuanku memang ingin membeli roti keju meleleh, dan dia memberikan ku rekomendasi yang sama dengan apa yang menjadi tujuan awalku ke sini. Wajar bukan kalau aku kesal dengannya?" Paman itu hanya mengangguk. Ayolah, aku buttuh respon lain. Rasanya seperti berbicara dengan boneka yang hanya bisa mengangguk. "Paman, apa paman tidak memiliki respon lain? Paman hanya mengangguk sedari tadi."

"Luapkan dahulu apa yang ingin nona luapkan. Emosi manusia adalah sesuatu yang sangat rumit untuk dimengerti, bahkan ketika benang dari emosi itu berhasil untuk kita raih."

"Aku tidak paham, paman. Memangnya emosi manusia serumit itu?"

"Sederhananya, nona yang mengalaminya sendiri saja belum mampu untuk menemukan benang dari emosi yang nona rasakan, dan masih diselimuti oleh kebingungan apakah nona bersalah dalam kejadian ini atau tidak. Sementara paman hanya mampu untuk mendengarkan apa yang ingin nona ceritakan. Begitulah emosi manusia. Layaknya sebuah labirin, ketika kita sedang diselimuti oleh emosi yang berlebihan, maka kemampuan otak untuk mencari jalan keluar dari emosi tersebut akan tertutup dan hanya akan berputar tanpa bergerak maju. Itulah mengapa paman hanya diam dan mendengarkan nona bercerita. Luapkan semua emosi yang nona sedang pikirkan dan rasakan, biarkan emosi itu keluar dan nona akan mampu untuk menemukan jalan keluar dari masalah yang nona alami."

"Tetapi aku sedang tidak kesal atau marah paman, hanya bingung."

"Emosi tidak selalu berkaitan dengan amarah, nona. Emosi adalah apa yang kita rasakan, dan apa yang kita pikirkan." Perkataan paman ada benarnya. Aku ... tidak mengerti apapun tentang Anna. Sikapnya yang terkadang menjengkelkan, terkadang menjadi sangat lucu, terkadang menjadi sangat tidak terduga. Mungkin, tidak seharusnya aku mengatakan hal seperti itu kepadanya. Dia berusaha untuk memberikanku rekomendasi berdasarkan apa yang ia lihat dari kesukaanku tentang sesuatu yang manis.

Sehausnya aku tidak mengucapkan itu.

Seharusnya aku lebih bisa menunjukkan sikap menghargai pendapatnya itu.

Tetapi dia juga berlebihan jika menanggapi perkataanku dengan serius, bukan begitu?

"Jangan menolak dirimu sendiri yang mencoba untuk mengakui bahwa tidak ada salahnya meminta maaf meskipun dirimu tidak salah, nona." Aku benar-benar terdiam mendengar apa yang baru saja paman katakan. Seolah mengetahui apa yang aku pikirkan, kalimat itu menusuk hatiku lebih cepat dibandingkan dengan perginya Anna yang cukup membuatku merasakan sedih mengingat dialah yang mengajakku ke sini. Paman benar, mungkin saja penyebab semua ini adalah aku yang terlalu egois untuk meminta maaf kepada Anna, bahkan ketika Anna yang mungkin melakukan kesalahan dalam hal ini. Tidak, kami berdua melakukan kesalahan, aku dan dia, dan harus ada yang memulai untuk meminta maaf.

"Paman," panggilku. Dia menoleh dengan sedikit menunjukkan tanya pada wajahnya. "Ada apa, nona?"

"Terimakasih." Aku tahu ini tidak cukup, sangat tidak cukup atas apa yang paman itu sudah lakukan untukku. Walaupun terlihat hanya duduk berdua dan mengobrol biasa, namun setiap kata yang diucapkan paman ini mampu untuk menembus bagian diriku yang sangat egois. Paman benar, aku mengakuinya. Anna sangat penting dan berharga untukku, terlepas dari siapa yang salah di antara kami, dia tetap orang yang akan ku kenal sebagai teman pertama, walaupun aku tidak tahu pasti apakah dia menganggapku dengan hal yang sama.

"Tidak perlu sungkan, nona. Pelanggan toko roti paman adalah tanggung jawab paman juga, termasuk untuk menjaga senyum yang ada di wajah mereka."

"Paman berjualan roti untuk menjaga senyum?" Aku tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh paman, namun kurang lebihnya mungkin seperti paman tidak ingin melihat pelanggannya muram atau sedih. Entahlah, aku tidak tahu pasti tentang itu.

"Mari kita mengobrol lain waktu, nona. Bukankah nona mempunyai hal yang harus dilakukan?" Benar, aku harus menemuinya.

"Kalau begitu, sekali lagi terimakasih paman." Aku berdiri, membungkukkan badan sebagai tanda terimakasih, dan berbalik menuju pintu luar kantin. Dengan beban pikiran yang sedikit berkurang, ku percepat langkah dengan senyum terukir manis pada wajahku. Hanya satu yang sekarang menjadi tujuanku, Anna, teman pertamaku, gadis berkacamata yang menyebalkan tetapi sangat lucu.

Tunggu aku, Anna.