"Heri, bagaimana? Apa kamu menemukan seseorang yang masuk kesini?!" tanya Sinta dengan nada tegas.
Vira terpaku di tempatnya berdiri, sementara matanya tak berkedip menatap Heri. Untuk beberapa saat ia hanya berdiri mematung masih dengan ekspresi terkejut.
"Tidak ada, nyonya!" jawab Heri sembari menutup pintu lemari.
"Lalu siapa yang berani membuka pintu gudang ini tanpa perintahku, hah?"
"Maaf nyonya, ta-tadi saya yang buka," ucap Anisa terbata.
Akhirnya Vira bisa bernafas lega, Heri dan Anisa sudah menjadi penyelamat Vira kali ini. Tetapi, mengapa mereka melakukan itu?
"Apaa? Kamu ngapain masuk kedalam gudang!? Apa aku menyuruhmu, hah!?" bentak Sinta.
Sinta berteriak sangat lantang membuat tubuh Vira gemetar dan keringat bercucuran. Vira tak menyangka wanita yang selalu berlaku baik dan lemah lembut kepadanya itu memiliki kepribadian yang tegas dan pemarah.
"Maaf nyonya, tadi perempuan itu berteriak sangat kencang. Saya terpaksa masuk dan menenangkannya, tetapi tiba-tiba Non Vira memanggil, karena saya takut dia datang kemari jadi saya buru-buru menemuinya dan lupa mengunci pintu kembali. Maafkan saya, nyonya," jelas Anisa panjang lebar.
"Benar begitu? Apa kamu tidak berbohong?" tanya Sinta lagi.
Vira mengira jika Sinta adalah ibu mertua yang baik dan lemah lembut pada semua orang termasuk para pekerjanya, tapi ternyata ia hanya baik kepada orang-orang tertentu saja.
"Benar nyonya, saya tidak berbohong!" ucap Anisa menyakinkan.
Hawa lemari yang begitu sesak serta perutnya yang membuncit membuatnya sudah tidak tahan berlama-lama didalam lemari itu, apalagi betis Vira sudah terasa pegal saat ini.
"Baik, saya maafkan! Tapi lain kali kamu jangan ceroboh seperti ini! Saya tidak ingin ada orang luar tahu mengenai rahasia ini, termasuk menantu saya!"
"Baik, nyonya."
Akhirnya Vira bisa bernafas lega. Sinta sudah percaya, itu artinya sudah tak ada lagi orang yang menggeledah ruangan ini. Akhirnya Vira sudah aman. Tetapi apa maksud dari perkataan Sinta? Sebenarnya rahasia apa yang disembunyikan Sinta dari Vira?
"Lalu, dimana menantuku sekarang?" tanya Sinta lagi.
"Di kamar nyonya, sepertinya Non Vira sedang mandi," jawab Anisa.
Kenapa Anisa rela berbohong demi melindungi Vira? Ada apa ini sebenarnya?
"Hem, baiklah. Sekarang kita keluar dari sini dan jangan lupa kunci pintunya. Apapun yang terjadi jangan masuk ke gudang ini lagi tanpa seizinku," titah Sinta.
Kali ini Vira kembali menegang. Mereka semua akan keluar, lalu bagaimana dengannya? Bagaimana cara Vira keluar dari ruangan itu?
Terdengar suara langkah kaki kian menjauh serta suara pintu yang ditutup. Setelah itu, hening tak ada lagi suara yang terdengar.
Vira membuka pintu lemari untuk mengintip keadaan sekitar. Benar saja, Sinta dan yang lainnya sudah keluar. Vira hanya bisa berjalan mondar-mandir didepan pintu memikirkan bagaimana caranya ia bisa keluar dari ruangan itu.
Beruntung nasib baik masih berpihak padanya, diluar terdengar seseorang yang sedang membuka kunci gembok. Tak lama kemudian pintu pun terbuka secara perlahan dan nampaklah wajah Anisa dengan tatapan datar.
"Ayo cepat keluar, non!" titah Anisa pelan.
Vira hanya mengangguk lalu keluar dengan cepat tanpa banyak bertanya. Setelah itu ia segera masuk kedalam kamar, untuk berganti pakaian. Jangan sampai Sinta tahu atau bertanya, kenapa baju Vira penuh debu dan sarang laba-laba.
"Vira!"
Terdengar suara Sinta memanggil dibarengi dengan ketukan pintu.
"Iya, bu. Ada apa?" tanya Vira sembari membuka pintu.
"Sudah makan?" tanya Sinta.
"Belum bu. Ibu kapan pulang?"
"Baru saja, oh iya ibu bawakan makanan buat kamu. Itu ada di dapur, lagi disiapin sama Anisa. Nanti dihabiskan ya," ucap Sinta tersenyum ramah.
"Oh iya bu, terimakasih. Kita makan sama-sama saja gimana, bu?" ajak Vira.
"Tidak Vira, ibu sudah makan. Lagian banyak yang harus ibu kerjakan. Kamu makan sendiri saja ya!" jelas Sinta.
"Emm.... baiklah, bu."
Sinta bergegas pergi menuju kamarnya di lantai atas, sementara Vira ke dapur mencoba mendekati Anisa. Vira merasa jika wanita itu mengetahui apa rahasia yang disembunyikan keluarga itu darinya.
"Ini makanannya, non," ucap Anisa, seperti biasa ia sangat hormat dan kaku.
"Terimakasih, mbak."
Vira menatap ayam goreng madu kesukaannya dengan sambal tomat yang sudah tersaji di atas meja. Sementara Anisa berjalan menjauh.
"Tunggu, disini saja mbak. Temani saya makan ya!?"
"Iya, non." Anisa pun berbalik dan berdiri di sampingnya.
Vira menyuapkan ayam goreng itu kedalam mulutnya.
"Saya ingin bicara sesuatu denganmu, mbak!" ucap Vira dengan suara pelan.
Anisa tak menjawab hanya menatap Vira sekilas.
"Sebenarnya siapa wanita yang berteriak meminta pertolongan dari dalam gudang itu, mbak?" tanya Vira dengan suara pelan, sambil celingukan kearah dalam.
Namun, Anisa hanya diam. Dari ekspresi wajahnya, ia ingin menjawab tetapi dilanda keraguan. Berarti jelas sekali jika keluarga suami Vira memang menyembunyikan rahasia besar.
"Jawab saja singkat, mbak! Tidak perlu dijelaskan secara rinci!" bisik Vira lagi.
Anisa menggeser posisi agar lebih dekat dengan Vira.
"Kalau nona ingin tahu, malam ini nona jangan sampai tertidur! Tetapi semua orang harus mengira jika nona tertidur lelap. Dan jangan makan sampai habis ayam ini," bisik Anisa membuat Vira urung untuk menyuapkan makanan pemberian Sinta.
Vira terdiam memikirkan ucapan Anisa, bagaimanapun juga Vira harus faham tanpa harus dijelaskan secara rinci.
Anisa pasti dalam keadaan terdesak dan tidak bisa banyak bicara. Bisa juga ini menyangkut pekerjaan atau juga nyawanya. Sehingga ia terlihat sangat ketakutan dengan Sinta.
Apa yang harus Vira lakukan? Setelah ini pasti Sinta akan bertanya makanan yang ia bawa habis atau tidak. Harus Vira buang kemana makanan itu agar Sinta tak melihatnya?
"Jika nona ingin, saya bisa bantu membuang makanan ini dengan aman," bisik Anisa.
Vira kembali celingukan ke arah dalam, takut saja ada orang lain atau Sinta yang sedang memperhatikan. Dan saat keadaan aman, Vira pun menganggukkan kepala.
Segera Anisa mengambil sebuah kantong kresek berwarna hitam, menumpahkan daging ayam dan setengah porsi nasi itu kedalamnya. Lalu ia pergi keluar lewat pintu belakang.
Kini di hadapan Vira hanya ada setengah porsi nasi yang tersisa dan segelas teh hangat. Dan kali ini ia pun sama sekali tak berani meminum teh hangat itu.
"Wahh, ayamnya sudah habis. Kok nasinya nggak dihabisin?"
Vira tersentak kaget mendengar suara Sinta yang datang secara tiba-tiba dari belakangnya. Ia pun berusaha mengatur ekspresi agar terlihat biasa saja.
"Iya bu, abisnya ayamnya enak bumbunya juga meresap. Kalau aku habisin nasinya takutnya nanti ayamnya malah nggak habis jadi nasinya aku sisain setengah deh."
Sinta terkekeh sambil duduk dihadapan Vira.
"Iya juga sih, Ra. Hamil tua emang bawaannya pengen makan terus tetapi belum tentu juga kitanya kuat makan banyak."
Vira merasa akan menjadi menantu paling bahagia jika tak menemukan hal-hal aneh di rumah itu. Namun, sekarang ia malah merasa was-was atas semua kebaikan Sinta padanya, apalagi setelah melihat ada makam manusia di belakang rumah itu.
--