"Vira, sedang apa disitu?"
Vira langsung menoleh kearah pintu dapur, ternyata Sinta sudah berdiri menatap mereka dengan tatapan manis.
"Sedang berkeliling saja, Bu." jawab Vira sambil berjalan menghampirinya.
"Kamu bosen ya?"
"Iya, Bu. Pengen deh jalan-jalan keluar," jawab Vira lesu.
"Ya sudah nanti kamu boleh jalan-jalan tapi biar ditemani sama Anisa, ya."
"Anisa, nanti kamu temani Nona Vira jalan-jalan, tapi jangan jauh-jauh! Di dekat-dekat sini saja," ucap Sinta pada asisten rumah tangganya itu.
"Baik, Nyonya."
"Ya sudah ibu masuk dulu, ibu masih banyak kerjaan didalam."
Vira hanya menganggukkan kepala dan tersenyum pada Sinta. Setelah Sinta pergi, Vira ingin sekali melontarkan banyak pertanyaan pada Anisa, tetapi Vira merasa jika wanita itu tak akan berani buka mulut perihal rahasia keluarga ini.
Cuaca pagi hari ini terlihat begitu cerah, hanya saja tanah disekitar lumayan becek akibat guyuran hujan tadi malam. Untung saja, jalan yang mereka lalui sudah diaspal jadi Vira tak perlu takut akan terpeleset karena jalanan yang begitu licin.
Anisa, mengikuti langkah Vira dari belakang. Seperti biasa, ia hanya diam dan menundukkan kepalanya. Padahal Vira ingin sekali mengakrabkan diri padanya agar dia bisa menggali informasi-informasi penting darinya.
Desa ini memang masih sangat terjaga keasriannya. Kebun-kebun teh terhampar luas, banyak pepohonan yang rindang membuat udara sekitar tetap bersih dan sejuk. Tak ada pabrik industri disekitar sini dan tak banyak juga kendaraan yang berlalu lalang. Setiap pagi kita akan disambut suara kicauan burung, saat malam hari pun akan ramai suara-suara binatang seperti jangkrik dan katak.
"Mbak, bisakah kamu ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi? Lalu wanita yang disekap didalam gudang itu, siapa? Kenapa keluarga Mas Panji menyekapnya?" tanya Vira pada Anisa.
"Sekarang tak akan ada lagi yang mendengar pembicaraan kita, aku mohon katakan semuanya agar aku tak merasa takut dan berprasangka buruk pada keluarga Mas Panji lagi," ucap Vira lagi.
Vira menghentikan langkah, menoleh ke arah Anisa yang masih saja diam tak menjawab semua pertanyaannya.
"Teruslah berjalan, Nona. Kita sedang diawasi!" ucapnya pelan sembari menunduk.
Vira mengedarkan pandangan kearah pepohonan dan perkebunan sekitar, akan tetapi dia tak melihat ada seseorang yang memperhatikan mereka.
"Siapa yang mengawasi kita, Mbak?" tanya Vira.
"Anak buah, Nyonya. Saya mohon jangan membuat gerak-gerik yang mencurigakan atau kita akan dalam bahaya," ucapnya.
Ada apa ini sebenarnya? Kenapa untuk keluar rumah saja, mereka harus diawasi seperti ini? Sebenarnya apa yang mereka inginkan? Rasanya Vira sudah tak tahan.
Vira meneruskan langkah dengan hati yang tak karuan, banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya.
"Apa disekitar sini ada warung, Mbak? Aku ingin beli makanan?" tanya Vira.
"Ada, Non. Kita lurus saja terus nanti didepan kita masuk kejalan setapak," jawab Anisa.
Vira merasa aneh, ternyata rumah ibu mertuanya sangat jauh dengan permukiman warga. Sangat melelahkan jika harus berjalan kaki seperti ini.
"Hati-hati Non, jalannya licin."
Anisa memegang tangan Vira, kini ia berjalan berdampingan dengan Vira karena jalan yang begitu licin akibat guyuran hujan.
"Kenapa ya Mbak, rumah ibu sangat jauh dari permukiman warga? Apa dia tidak merasa kesepian jika saat seorang diri di rumahnya?" tanya Vira mencairkan suasana.
"Saya tidak tahu, Nona." jawabnya masih saja kaku.
Didepan sana sudah terlihat sebuah warung toko yang lumayan besar dan banyak sekali dikerumuni ibu-ibu.
"Permisi, Bu."
Seketika ibu-ibu itu menoleh secara bersamaan.
"Ehh, ini ya menantunya Bu Dewi? Sudah hamil berapa bulan?" tanya seorang ibu sembari mengelus perut Vira.
"Sembilan bulan, Bu."
"Wahh, berarti sebentar lagi ya."
Vira hanya tersenyum lalu fokus pada aneka gorengan dan jajanan yang tertata diatas meja.
"Mau yang mana, Nona? Biar saya yang ambilkan," tanya Anisa.
"Semuanya, mbak. Tapi dikit-dikit aja, tadi sudah terlanjur makan nasi soalnya." Vira pun menunjuk satu persatu jajanan dan gorengan dihadapannya hingga satu plastik penuh.
"Jadi berapa totalnya, Bu?"
"Tiga puluh ribu, Neng."
"Anisa, pembantu yang hamil kemarin kemana? kok nggak pernah kelihatan?" tanya salah seorang ibu pada Anisa.
"Di-dia su-sudah dipulangkan karena melahirkan, Bu." jawab Anisa gelagapan.
Vira merasa ada yang disembunyikan oleh Anisa karena seingatnya dulu ada dua orang asisten rumah tangga di rumah Sinta, termasuk Anisa yang sudah bekerja hampir lima tahun di rumah mertuanya itu.
"Lohh... Kapan dipulangkannya?"
"Emm... Su-sudah beberapa minggu yang lalu, Bu." jawab Anisa yang terlihat ragu.
"Ehh..Bu-ibu, saya tuh heran sama pembantunya Bu Dewi yang kemarin itu. Dia kan belum punya suami, masa iya dia bisa hamil. Terus dia kan jarang keluar rumah, kira-kira hamil sama siapa ya? Masa iya hamil sama orang rumah?" celetuk salah seorang ibu yang lainnya.
Apa maksud ucapan ibu-ibu itu?
Ahhh... Makin kesini kenapa kondisi malah semakin runyam? Semoga saja semua teka-teki ini segera terjawab.
Vira menatap ibu-ibu tadi dengan penuh tanya. Apa Anisa tahu sesuatu soal hal itu?
"Emm...maaf, Bu. Saya tidak tahu. Saya permisi!"
Anisa pun berjalan lebih dulu meninggalkan Vira, padahal tadi ia tak berani mendahului langkahnya, aneh sekali gelagatnya itu. Setelah mendapat beberapa pertanyaan dari ibu-ibu itu, Anisa tampak ketakutan seperti sedang berusaha menyembunyikan sesuatu.
Setelah jauh dari warung Anisa pun menghentikan langkah, dan menunggu Vira yang tertinggal jauh.
"Mari, Non. Saya pegangin, saya takut Nona terpeleset." Anisa kembali menuntun jalan Vira.
"Mbak, saat nyuci baju tadi pagi, kamu sempet bilang, dia sudah tewas. Memangnya siapa Mbak yang tewas?" tanya Vira.
"Iya Non. Dia, wanita yang berteriak tadi malam. Dia sudah tewas," jawabnya begitu pelan tetapi Vira masih bisa mendengarnya.
"Bagaimana bisa, Mbak? Apa ada orang yang membunuhnya?" tanya Vira.
Vira berbicara sembari menatap ke perkebunan, agar seseorang yang mengawasi mereka tak menaruh curiga pada gerak-geriknya ataupun Anisa.
"Iya, Nona. Beberapa orang suruhan Nyonya sudah membunuhnya."
"Apa? Kenapa mereka membunuh wanita itu, Mbak?" tanya Vira terkejut sekaligus penasaran.
Anisa malah menggelengkan kepala tanpa menoleh kearahnya.
"Sudahlah Nona, itu tak penting untukmu. Sekarang yang terpenting jaga keselamatan diri Nona sendiri."
Kini mereka telah sampai di jalan yang beraspal, dan Anisa pun kembali berjalan di belakang Vira.
"Jadi, maksudmu aku sedang dalam bahaya, Mbak?" tanya Vira tanpa menoleh.
Namun, Anisa hanya diam tak menjawab pertanyaan Vira hingga mereka sampai di depan gerbang rumah Sinta.
"Anisa, Anisa!"
Seorang ibu tua menghampiri mereka, wajahnya terlihat sedikit panik dan khawatir.
"Emm...Bu Marni."
"Anisa, ibu mau ketemu Susi, apa dia ada didalam? Dia sudah enam bulan tak pulang dan tak ada kabar sama sekali. Bisa minta tolong panggilkan Susi keluar? Ada yang ingin ibu bicarakan dengannya, ini penting!" ucap seorang ibu bernama Marni itu.
Raut wajah Anisa tampak kebingungan, ia seperti berusaha menghindar dari tatapan ibu tua itu.
"Anisa, kamu jangan diam saja! Tolong panggilkan Susi keluar, ibu cuma mau bicara sebentar saja kok."
"Emmm...." Mbak Wati terlihat ragu ketika akan bicara.
"Kenapa, Anisa? Susi lagi sibuk kerja ya didalam?" tanya Marni lagi.
Padahal pekerja wanita di rumah ini hanya ada Anisa sekarang, Vira tak mengetahui atau mengenal sama sekali pekerja Sinta yang bernama Susi itu.
Sebenarnya dimana asisten rumah tangga Sinta yang bernama Susi itu?
--