Chereads / Melt My Cold Heart / Chapter 3 - 3. Something about You

Chapter 3 - 3. Something about You

Dengan langkah pelan tapi pasti, Leony menyeberang jalan dan menuju toko buku favoritnya. Suara gemerincingnya selalu membawa ketenangan sendiri di hati Leony tiap kali membuka pintu.

Leony mengedarkan pandangannya, mencari-cari kak Yovela. Tapi sejauh mata memandang, dia tidak menemukan siapapun selain kak Riku di meja kasir dan Julian yang sedang menempelkan ponsel di telinganya di pojok ruangan.

Baguslah. Kak Yovela jadi tidak perlu dekat-dekat dengan Julian lagi hari ini. Lagipula menurutnya, yang bernama Julian itu agak berbahaya. Terlihat dari cara bicaranya yang menyebalkan saat mengajak Leony berdebat kemarin.

"Hai, Leony!" Kak Riku menyapanya seperti biasa.

"Hai, kak." Leony membalas singkat sambil berjalan ke rak buku yang sudah biasa dia sambangi.

Sibuk memilih buku, Leony tiba-tiba dikejutkan oleh seseorang yang sebenarnya ingin dia hindari. Tapi sayang, orang itu justru mendekatinya lagi kali ini.

"Hai, pelanggan tetap."

Leony berdecak. Rupanya orang ini masih belum lelah beradu mulut dengannya perkara masalah kemarin.

"Namaku Leony, bukan pelanggan tetap."

"Oh, Leony, ya. Namaku Julian. Salam kenal kalau begitu, Leony."

Leony makin mengerutkan keningnya, apalagi saat Julian mencoba tersenyum lebar seperti yang biasa dilakukan kak Yovela padanya. Bukannya merasa hatinya damai, Leony justru bergidik ngeri. Aneh sekali rasanya disenyumi oleh orang asing dalam jarak dekat begini.

Leony tidak membalas perkataan Julian, hanya sibuk menekuri kegiatannya mencari buku seperti sebelumnya.

"Kamu rajin sekali ke sini, ya. Mencari buku atau mencari Yovela?"

Leony menghentikan tangannya yang hendak meraih buku lain. "Apa maksudmu?"

Julian mengendikkan bahu. "Loh? Bukannya kamu memang suka mencari Yovela tiap kali ke sini?"

Leony mendesis. "Sok tahu. Aku ke sini untuk membeli buku. Tapi karena aku sudah kenal baik dengan kak Yovela, jadi otomatis aku selalu mencarinya."

Julian hanya mengangguk, pura-pura paham walaupun sebenarnya dia tidak terlalu mendengarkan ucapan Leony yang menggebu-gebu.

"Lalu, kamu mencari buku apa?"

"Bukan urusanmu."

Leony terlonjak mendengar suara sedingin es yang lolos dari bibir gadis di hadapannya. Gila, bisa-bisa Julian beku di sini.

Bermenit-menit mereka saling mendiamkan satu sama lain, utamanya karena Leony yang sibuk memilih buku. Ia baru mengambil buku pertama, bergeser sedikit untuk memilih buku kedua. Tapi, Leony tiba-tiba merasakan lengannya dicengkeram begitu akan mengambil buku ketiga.

Leony menatap Julian penuh tanda tanya.

"Apa yang kamu lakukan, Leony?"

Leony semakin bingung dengan pertanyaan aneh yang baru saja dilontarkan Julian.

"Aku? Mau membeli buku, lah. Apa lagi?"

"Sebanyak itu?"

Leony menatap ketiga bukunya lekat-lekat. "Iya. Memangnya kenapa?"

"Kamu bilang kamu sering ke sini, kan? Berarti sudah banyak buku yang kamu beli dari sini. Mau berapa banyak buku lagi yang akan kamu bawa? Mau berapa juta uang kamu habiskan di sini? Apa kamu tidak sayang uangmu?"

Dicecar pertanyaan sebanyak itu, Leony kehilangan kata-kata untuk menjawab. Dia memutuskan untuk merogoh dompet kecil di tangannya dengan cepat, lalu menunjukkan kartu pelanggan tetapnya seperti kemarin.

"Tidak apa-apa, kok. Aku kan punya ini."

Julian menghela napas lelah. "Iya, aku sudah tahu fungsi kartu itu. Kamu akan dapat diskon untuk pembelian minimal tiga buku. Tapi tetap saja tiga buku itu mahal, Leony. Satu buku saja harganya nyaris menyentuh seratus ribu."

Leony berdecak, tidak suka dicereweti orang yang tidak dia kenal. "Aku punya uang."

Melihat Leony yang keras kepala, Julian jadi stres sendiri. "Aku tahu. Aku tahu orang tuamu punya banyak uang. Tapi lebih baik simpan uangmu, atau pakai untuk jajan di sekolah."

Leony melepaskan cengkeraman tangan Julian di lengan kanannya. "Kenapa kamu cerewet sekali? Memangnya kenapa kalau aku beli buku sebanyak ini? Aku kan juga butuh."

"Untuk apa?"

"Untuk referensi makalah biologiku."

"Kenapa kamu tidak cari di internet saja? Sekarang kan zamannya internet."

Leony menggeleng. "Tidak mau. Semua anak-anak di kelas pasti sudah mencari di internet juga. Aku tidak mau hasil tugasku sama dengan mereka. Aku harus jadi nomor satu, artinya makalahku harus lebih berbobot daripada yang lain. Walaupun itu artinya aku harus mencari referensi sampai ke modul perkuliahan sekalipun."

Diberi penjelasan sebegitu panjangnya, Julian jadi bengong sendiri. Dia semakin stres melihat betapa ambisiusnya Leony, dan betapa hausnya gadis ini akan kemenangan. Padahal Julian sendiri tidak pernah merasa sebegitu terbebaninya dengan nilai saat sekolah dulu.

Menghela napas perlahan sambil memejamkan mata, Julian akhirnya meraih tiga buku di tangan Leony dan membawanya ke meja kasir. Leony mengekorinya karena bingung.

"Sebentar, Julian, apa yang kamu lakukan?"

Namun Julian tidak mendengarkan Leony, laki-laki itu lebih memilih bicara dengan Riku yang ada di balik meja kasir.

"Riku, cepat hitung semua buku ini. Aku yang bayar."

Riku menganga. "Ada apa ini, bos?"

"Sudah cepat hitung saja. Aku ceritakan nanti."

"Sebentar, aku bingung. Kenapa kamu tiba-tiba membeli buku di toko bukumu sendiri, bos? Kamu kan kemarin bilang tidak suka membaca buku." Riku menggaruk kepalanya, mendadak pusing.

"Bukan apa-apa. Aku hanya ingin memberi hadiah untuk pelanggan tetap kita."

Leony di belakang Julian hanya bisa termangu. Dia berhenti menarik-narik lengan Julian untuk mengembalikan bukunya agar bisa dia bayar sendiri. Leony sedang bingung atas apa yang dia dengar. Kenapa kak Riku menyebut Julian sebagai pemilik toko buku ini? Julian juga sepertinya mengiyakan ucapan kak Riku.

Tapi belum sempat Leony memastikan, Julian sudah lebih dulu menyeretnya menjauh dari meja kasir. Mereka berjalan ke belakang toko buku, melewati ruang istirahat pekerja paruh waktu yang kosong, dan terus ke belakang hingga menyentuh pintu keluar.

Tepat di sana, Leony melepaskan diri. "Julian, lepas. Apa yang kamu lakukan?"

"Ayo, ikut aku."

Sekali lagi, Julian menarik lengan Leony. Kali ini Leony melihat sebuah rumah minimalis yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Letaknya ada tepat di belakang toko buku. Terlihat sangat cantik karena ada kolam ikan kecil di bagian depannya. Ada pula tanaman gantung di bagian terasnya.

Julian membawa Leony menuju teras dan duduk bersama di dua kursi yang ada di sana.

"Aku mau kamu baca buku-buku itu sekarang."

Leony terlonjak. "Hah?"

"Aku bilang baca bukunya sekarang, dan cari tahu apakah isinya sudah sesuai dengan yang kamu cari. Kalau belum, akan aku carikan lagi."

Air muka Leony berubah masam. "Kenapa kamu seenaknya begini?"

Julian mendengus pelan. "Sudah aku bilang, kan? Aku tidak mau kamu buang-buang uang jajanmu. Kalau kamu beli satu, tidak apa-apa. Tapi kalau langsung tiga begitu, namanya boros."

Leony kehilangan kata-kata untuk menjawab. Dia tidak punya pilihan lain sekarang selain menuruti perintah Julian.

Julian tersenyum tipis saat melihat wajah Leony yang merengut tapi tetap membaca buku sesuai permintaannya.

Dalam diam, Julian terus memperhatikan wajah Leony. Tiba-tiba ingatannya melayang ke kejadian kemarin malam selepas Leony keluar dari toko buku.

---

Flashback

Julian ingat betul saat dia sedang mengobrol dengan Yovela, tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh kedatangan Grace yang terus menerus bergidik ngeri.

Beruntung pelanggan terakhir toko bukunya baru saja keluar, jadi tidak akan ada yang menganggap Grace aneh karena bertingkah dramatis begitu.

"Kenapa, Grace?" Yovela menatap sepupunya khawatir.

"Ibu Leony marah-marah seperti biasa." Grace sekarang sudah berdiri tenang menopang dagu dengan tangannya di meja kasir, tapi air mukanya nampak sedih.

Yovela berdecak. "Kenapa lagi kali ini?"

Grace menghela napas panjang. "Entahlah. Sepertinya suaminya ketahuan selingkuh lagi."

Yovela ikut menghela napas panjang. "Kasihan Leony. Mereka pasti ribut lagi malam ini."

Grace mengangguk lemah. "Benar. Leony pasti akan kesulitan tidur lagi."

Julian yang sedari tadi diam saja, jadi bingung setengah mati. Dia tidak paham apa yang sedang dibicarakan dua perempuan ini, dan kenapa wajah mereka lesu sekali.

"Apa yang kalian bicarakan?"

"Oh, iya, benar. Kamu tidak tahu, Julian. Tapi ini tentang Leony, anak yang tadi ke sini."

Grace mengangguk menanggapi perkataan Yovela. "Benar. Aku membicarakan Leony. Dia sering ke sini, kan? Kamu pasti sudah melihatnya, Julian. Aku kasihan sekali padanya. Ingin sekali rasanya aku peluk dia, atau aku sajalah yang jadi ibunya sekalian agar dia tidak sedih lagi."

"Memangnya dia kenapa?" Julian bertanya hati-hati.

Yovela tersenyum getir. "Ibunya galak. Ayahnya suka berselingkuh. Biasanya, saat menjelang tengah malam, kamu bisa mendengar keributan mereka. Aku saja yang biasa pulang jam sepuluh malam terkadang dengar."

Julian kehilangan kata-kata setelah mendengar penjelasan Yovela. Dia tidak tahu kalau tetangga depan rumahnya adalah orang yang bermasalah seperti itu. Julian belum pernah mendengarnya secara langsung, mungkin karena dia masih pendatang baru.

"Kamu sendiri sudah tahu ibunya galak begitu, kenapa masih bekerja di sana?" Julian menatap bingung ke arah Grace.

Namun Grace menggeleng. "Tidak seburuk itu, kok. Ibu Leony bisa saja galak ke keluarganya, tapi kalau ke orang asing baik sekali. Buktinya aku tidak pernah dimarahi. Selain itu, gajiku lumayan besar untuk ukuran pekerja paruh waktu. Jadi, aku betah-betah saja."

Julian hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar penuturan Grace. Dalam diam, dia curi-curi pandang ke rumah Leony. Dilihatnya lantai atas yang menyala lampunya. Ada sekelebatan anak perempuan yang mondar-mandir di sana. Sepertinya itu kamar Leony.

Julian jadi menyesal sudah bicara aneh-aneh tentang Leony tadi.

---

"Julian!"

Julian tersadar dari lamunannya saat tubuhnya diguncang seseorang di sebelahnya. Dia pun langsung menatap bingung ke arah Leony yang sedang mendekap tiga bukunya.

"Ya, Leony? Kenapa?"

"Kenapa kamu melamun?"

Julian membisu ditanyai begitu, tidak bisa jujur atas apa yang baru saja menjadi beban pikirannya. Dia lantas berdeham sebentar, berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Bagaimana bukunya? Sudah cocok atau belum?"

Leony mengangguk. "Cocok, kok. Kamu tidak perlu membelikanku lagi. Eh, tapi apakah buku ini benar-benar untukku?"

Julian tersenyum sekilas. "Tentu saja. Memang untuk siapa lagi? Aku bukan anak biologi juga."

Leony berdecak. "Kamu orang teraneh yang pernah kulihat. Kenapa ada orang yang beli di toko bukumu justru kamu larang? Bukankah harusnya kamu senang bukumu laku?"

Julian mengernyit bingung. "Tahu darimana itu toko bukuku?"

Leony balas menatap Julian bingung. "Bukankah tadi kak Riku bilang begitu?"

Julian tidak menjawab sama sekali. Untuk sesaat dia lupa kalau tadi sudah membongkar identitasnya sendiri di depan Leony.

"Eum, Julian."

"Ya?"

"Maaf, ya. Aku pikir kamu pekerja paruh waktu yang baru di sini. Habisnya kamu di sini sepanjang waktu, bahkan sampai tengah malam."

Sudut bibir Julian tertarik ke atas mendengar ucapan Leony. "Oh, jadi kamu memperhatikanku?"

Leony menggeleng keras. "Bukan begitu. Aku hanya tidak sengaja lihat lampu toko buku ini masih menyala setelah jam sepuluh malam. Biasanya kan sudah tutup."

Julian terdiam lagi, tapi kali ini menatap wajah Leony lekat-lekat. Leony sampai terheran-heran dibuatnya.

"Kenapa melihatku seperti itu?"

Julian mengendikkan bahu. "Entahlah. Karena kamu belum berterima kasih, mungkin?"

"Berterima kasih untuk apa?"

Julian menunjuk tiga buku dalam dekapan Leony dengan dagunya.

"Aku kan tidak minta." Balas Leony tidak terima.

Mendengarnya, Julian hanya bisa menghela napas panjang. Dia bahkan tidak bisa lagi beradu mulut dengan Leony setelah mengetahui rahasia menyedihkannya.

"Itu kan hanya etika dasar, Leony. Semua orang normalnya berterima kasih setelah dibantu atau diberi sesuatu."

Leony mencebikkan mulutnya. "Baiklah, baiklah. Terima kasih. Puas?"

Julian mengangguk. "Sama-sama."

Ada jeda di antara percakapan keduanya. Entah mereka yang tidak punya bahan obrolan, atau semata-mata canggung karena baru saling kenal.

"Oh, satu lagi. Kenapa

kamu sejak tadi hanya memanggil namaku saja? Kenapa tidak pakai 'kak'? Aku kan seumuran dengan kak Yovela favoritmu itu."

Mendengarnya, Leony mengerang frustasi. "Kenapa kamu ini banyak maunya, sih?"

-To be continued-