Chereads / Melt My Cold Heart / Chapter 5 - 5. A Little Curious

Chapter 5 - 5. A Little Curious

Julian adalah seorang mahasiswa jurusan bisnis. Dia sekarang sudah menginjak semester 3. Kegiatannya tidak jauh dari kuliah, lembur tugas, dan juga masih memantau toko buku yang jadi anak perusahaan milik ayahnya di bidang penerbitan.

Awal mula Julian ditunjuk untuk mengelola toko buku adalah saat dia mulai masuk kuliah, tapi dia saat itu menolak karena merasa masih terlalu dini dan sangat sibuk sebagai mahasiswa baru. Tapi setelah tahu bahwa sahabatnya, Yovela, kerja paruh waktu di toko bukunya, barulah Julian bersedia bekerja juga.

Julian awalnya tidak mengerti mengapa Yovela, yang juga kuliah di jurusan yang sama dengannya, memutuskan untuk bekerja paruh waktu di toko buku. Padahal menurutnya, orang tua Yovela masih lebih dari mampu untuk membiayai kuliah Yovela sampai lulus. Perempuan itu juga hanya perlu mewarisi bisnis orang tuanya nanti.

Tapi jawaban menohok dari Yovela membuatnya sedikit banyak tersadar. Yovela benar, anak muda tidak bisa selalu menggantungkan masa depannya ke orang tua.

Memang benar Julian bergelimang harta. Tapi rasanya itu saja tidak cukup untuk bisa membuatnya menggantikan posisi ayahnya suatu hari nanti. Mana mungkin sebuah perusahaan dipimpin oleh bos yang bodoh dan malas-malasan, bukan? Jadi, mulai sekarang, Julian berusaha meningkatkan kemampuannya lewat mengelola Melody Bookstore.

Lagipula, di sana juga ada Riku dan Jerry. Mereka berdua berkuliah di kampus yang sama dengannya. Bedanya, dua laki-laki itu jurusan sastra, yang mana lebih cocok untuk bekerja di toko buku. Ada pula Grace, saudara sepupu Yovela, yang bekerja paruh waktu di tempat lain di dekat mereka. Pasti tidak akan membosankan bekerja dengan teman-teman dekat setiap harinya.

Selain itu, lokasi Melody Bookstore tidak terlalu jauh dari area kampus, membuat Julian bisa berangkat kuliah tepat waktu. Tidak perlu ada drama mengebut di jalan karena terlambat kuliah di pagi hari.

Keluar dari kampus, Julian melirik jam di tangannya. Masih jam 15:00, dan kelasnya sudah usai. Tidak ada jadwal kuliah lagi setelah ini. Tapi berjalan pulang ke toko buku juga sepertinya bukan ide yang bagus karena mataharinya masih menyengat.

Julian masih berdiri di tepi jalan, bimbang akan menyeberang atau tidak. Tapi dia sendiri tidak menemukan hal lain yang bisa dilakukan kecuali pulang.

Hampir saja memutuskan untuk menyeberang jalan raya, tanpa sengaja Julian melihat sekelebatan gadis sma yang berjalan seorang diri di seberang jalan. Gadis itu adalah Leony. Dia sepertinya baru pulang sekolah, terlihat dari atribut sekolahnya yang masih lengkap dipakai.

Julian hendak buru-buru menyeberang karena ingin menyapa, tapi dia urungkan niat itu karena Leony nampak gelisah.

Saat sudah mencapai lampu lalu lintas, harusnya Leony tinggal berbelok ke kiri untuk bisa lanjut berjalan menuju rumahnya sendiri. Tapi kaki Leony maju dan mundur beberapa kali, kelihatan bimbang.

Setelah sekian detik, Julian melihat Leony yang justru berjalan lurus. Gadis itu terus berjalan hingga menuju halte bus. Di situlah baru dia berhenti. Leony duduk seorang diri menunggu busnya tiba yang entah akan mengantarkannya ke mana.

Julian tidak tinggal diam. Dia buru-buru menyeberang jalan begitu lampu hijau untuk pejalan kaki sudah menyala, dan lari ke halte yang sama dengan Leony.

Meski sudah berjarak agak dekat, Julian tidak mendekati Leony sama sekali. Dia hanya berdiri di pinggir halte sambil mengawasi Leony yang sedang bengong.

Satu bus berwarna biru baru saja berhenti di halte itu, Leony langsung naik. Julian mengikutinya di belakang. Dia masuk dan menempelkan kartu pembayaran, lalu duduk di kursi kosong tepat di belakang Leony.

Beruntungnya Leony tidak sadar sama sekali dengan kehadiran Julian. Gadis itu justru memasang headset di telinga dan menyandarkan kepalanya di jendela bus. Mulai bengong lagi.

Tapi pada dasarnya Leony ini cuek sekali anaknya. Dia bahkan sepertinya tidak akan peduli meski ada orang asing yang duduk di sebelahnya dan mengajaknya bicara.

Untuk sesaat, Julian mempertanyakan apa yang sebenarnya sedang dia lakukan saat ini. Bahkan dia tidak tahu ke mana Leony akan pergi. Tapi sebagian dari dirinya tidak bisa membiarkan Leony pergi seorang diri dengan wajah kalut seperti tadi.

Tidak ketika Julian sudah tahu apa yang dialami Leony di rumahnya sendiri.

15 menit berlalu dan Leony baru saja turun. Julian tentu saja langsung mengikutinya dari belakang, dan betapa terkejutnya laki-laki itu saat tahu di mana dia berada sekarang.

Pantai.

Masih mengikuti jejak Leony, Julian terus berjalan di belakangnya. Hingga sampai dimana Leony mendudukkan diri di atas tumpukan pasir, Julian memutuskan untuk menyentuh bahunya pelan.

"Leony,"

Leony menoleh dan terkejut. "Eh, kak Julian?"

Julian memaksakan senyum canggungnya. "Hai,"

"Kak Julian kenapa bisa ada di sini?"

Julian kesulitan menjawab. "Eumm, aku,"

"Kak Julian ternyata suka ke pantai juga? Wah, kebetulan sekali."

Julian menggigiti bibir bawahnya, ragu hendak menjawab apa. "Iya, kurang lebih."

Leony menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya. "Duduklah, kak."

Mereka berdua duduk berdampingan dalam diam untuk sementara waktu. Leony sendiri tidak terlalu memusingkan bagaimana bisa Julian tiba-tiba ada di sini dan bertemu dengannya. Lagipula jarak pantai ini bisa dijangkau semua orang dan lumayan dekat juga dari rumah.

Berbeda dari Leony, Julian justru sedang sibuk menenangkan jantungnya yang berdebar tidak karuan. Leony yang diam saja membuatnya takut. Bagaimana kalau gadis itu curiga atau tiba-tiba sadar jika dibuntuti sedari tadi?

"Ngomong-ngomong, kak Julian sendirian? Mana temanmu, kak?"

"Tidak ada. Aku sendirian. Aku hanya kebetulan lewat saja tadi."

Leony langsung mengangguk paham dan tidak banyak bertanya, dan itu membuat Julian lega luar biasa. Hampir saja pikirannya kusut tanpa alasan.

"Kamu sendiri sedang apa di sini?" Julian balik mengajukan pertanyaan.

Leony terdiam sebentar untuk menghirup udara segar yang selalu dia sukai.

"Ini salah satu tempat favoritku selain toko buku. Aku suka bau laut lepas. Rasanya menyegarkan, pikiranku jadi tenang. Aku sering ke sini saat sedang banyak pikiran."

Julian menatap Leony penasaran. "Kamu ada masalah?"

Leony sesekali menunduk, dia ingin menangis saat ada yang menanyakan kondisinya. Sebetulnya, Leony tidak yakin ingin menceritakan tentang keluarganya pada Julian. Tapi setelah dipikir-pikir, Julian kan teman kak Yovela dan kak Grace. Paling tidak mereka berdua pernah, meski satu kali saja, menceritakan kondisi tetangga seberang yang sering cekcok ke Julian, karena Julian orang baru di lingkungannya.

"Ada, setiap hari malah."

"Dengan ibumu?"

Leony mengangguk pelan. Sesuai dugaannya barusan, Julian benar-benar sudah tahu.

"Sebetulnya pergi ke sini pun membuatku takut, kak. Aku takut ketahuan awalnya. Tapi aku tidak tahan lagi dengan perintahnya yang menyuruhku belajar sepanjang waktu. Aku muak sekali."

"Lalu bagaimana kamu menjelaskannya nanti saat pulang? Bagaimana kalau ibumu marah karena kamu pulang terlambat?"

Sesekali, Leony menghirup udara dalam-dalam. Dia tidak ingin kedatangannya ke sini sia-sia tanpa mencium bau laut lepas yang selalu dia rindukan. Leony harus melakukannya berkali-kali agar perasaannya bisa benar-benar tenang. Pantai ini memang yang terbaik. Ombaknya juga tidak ganas, membuat Leony semakin suka.

"Aku punya teman sekelas. Namanya Noura. Kadang aku main ke rumahnya untuk mengerjakan tugas. Jadi, lambat laun Noura mau membantuku berbohong."

Melihat Julian yang nampak bingung, Leony melanjutkan kalimatnya. "Maksudku, setiap kali aku pergi begini, ibuku akan menanyakan keberadaanku ke Noura. Lalu, Noura akan selalu bilang kalau aku ada di rumahnya."

Julian menatap wajah Leony lekat-lekat, semakin tertarik mendengarkan keluh kesah Leony yang tidak pernah dia tahu sebelumnya.

"Berarti Noura juga tahu tentang ibumu yang seperti itu?"

Leony mengangguk sambil tersenyum getir, berusaha keras menahan air mata yang siap tumpah kapan saja. 

Julian semakin sedih mendengarnya. Ingin sekali rasanya Julian meraih kepala Leony dan menepuknya pelan, Julian ingin Leony tahu bahwa dia juga pantas dicintai. Meski cinta itu sendiri sulit dia dapatkan dari orang yang harusnya paling berharga di hidupnya. Cinta lain yang lebih tulus pasti akan datang untuknya suatu hari nanti.

Tapi Julian tidak berani melakukannya, karena Leony pasti akan merasa tidak nyaman.

"Menurutku, kamu gadis yang kuat."

Leony mengerutkan dahi. "Apanya?"

"Kamu bisa bertahan sejauh ini, tentu saja kamu kuat. Kalau aku jadi kamu, mungkin aku sudah kabur sejak lama."

Leony menghela napas pelan dan menggembungkan pipi. "Aku juga sempat ingin kabur, kok. Tapi setelah kupikir agak lama, aku tidak bisa melakukannya. Aku masih anak sekolah yang dibiayai oleh orang tua, dan aku juga masih tinggal satu atap dengan mereka. Kalau aku kabur, aku mungkin tidak akan lulus dan malah jadi gelandangan di luar sana."

Julian menyemburkan tawa. Tidak dia sangka Leony bisa melucu juga.

Leony heran melihat Julian yang tertawa lebar. "Kamu kenapa, kak? Aku serius, loh."

"Ah, iya-iya, maaf. Habisnya kamu lucu."

Leony langsung tersenyum mendengarnya. Perasaannya membaik karena Julian terlihat nyaman berada di dekatnya.

Selang beberapa saat, Leony menatap laut lepas lagi. "Mungkin sekarang belum waktunya. Tapi nanti, saat aku sudah lulus, aku ingin bisa kuliah di tempat yang jauh. Sangat jauh. Jadi, aku tidak perlu terlalu sering pulang. Saat aku sudah kerja sekalipun, aku ingin punya rumah sendiri. Jadi, aku tidak perlu mengunjungi mereka."

Julian menghentikan tawanya dan diganti dengan rasa ngeri. Rupanya Leony punya sisi jahat juga. Kejam sekali memang rencana yang Leony punya, tapi anehnya Julian lumayan suka dengan yang satu ini.

"Aku mendukungmu kalau begitu."

Hanya satu kalimat pendek yang dilontarkan oleh Julian, tapi itu cukup membuat Leony senang karena ternyata Julian mau berdiri di pihaknya. Pikiran buruk Leony tentang Julian tempo hari langsung sirna begitu saja. Sepertinya Julian adalah orang baik yang ditakdirkan untuk bertemu dengannya, sama seperti kak Yovela dan yang lain.

"Kak Julian?"

"Ya?"

"Apa kamu suka dengan kak Yovela?"

Julian sedikit terlonjak mendengarnya. "Aku? Kenapa aku suka dengan Yovela?"

"Bukan apa-apa, hanya saja kulihat kalian dekat sekali. Wajar sih karena kak Yovela itu cantik."

Julian mengerutkan dahi. "Aku memang dekat dengan Yovela, tapi bukan dekat yang seperti itu. Memangnya kenapa? Kamu kelihatannya masih penasaran sekali tentang Yovela."

Leony mengembungkan pipinya lagi. "Hmm, karena kak Yovela sudah seperti kakakku sendiri, jadi aku ingin dia punya pasangan yang benar-benar cocok untuknya."

"Maksudmu aku tidak cocok untuk Yovela? Tahu dari mana?" Julian sedikit tersinggung, tapi tetap tersenyum menanggapi ocehan Leony.

"Aku tidak bilang begitu."

"Bagiku sama saja."

"Kak Julian marah?"

Julian mendengus pelan. "Tidak. Hanya hal sepele begitu, kenapa aku harus marah?"

Tapi nampaknya Leony masih belum lelah menjahili Julian. "Kalau begitu, bagaimana dengan kak Grace? Dia juga cantik, loh."

"Leony!"

Leony tertawa lepas tanpa sadar saat Julian marah betulan.

-To be continued-

A/N : versi lengkap dan sudah direvisi ada di wattpad @starsinbottle :)