Chereads / Melt My Cold Heart / Chapter 4 - 4. Cold Heart

Chapter 4 - 4. Cold Heart

Sepulang sekolah, Leony menjalani kehidupannya seperti biasa. Tapi nampaknya minggu ini agak berbeda, karena kemunculannya di toko buku yang makin sering.

Bunyi gemerincing di pintu menandai kedatangan Leony di hari yang sudah gelap ini, membuat dua orang yang sedang bicara di depan meja kasir menoleh padanya.

"Eh, ada Leony." Kak Jerry menyapanya.

"Hai, kak." Leony balas menyapa kak Jerry.

Julian menatapnya terus sedari tadi. "Ada apa, Leony? Mau beli buku lagi? Biar aku belika-"

"Bu-bukan." Leony menghentikan kalimat Julian.

Sedikit banyak Leony takut juga karena ternyata Julian serius tentang ingin membelikannya buku lagi. Mentang-mentang punya banyak uang.

"Aku bukan mau membeli buku. Tapi aku bawakan kalian ini. Ibuku yang membuatnya."

Leony meletakkan dua porsi makanan di meja kasir, membuat Julian dan Jerry bertanya-tanya.

"Apa ini, Leony? Baunya seperti kwetiau. Benar, tidak?" Jerry menyentuh-nyentuh plastik pembungkus makanannya karena penasaran.

"Benar, kak."

"Nah, kan. Pantas saja baunya tidak asing. Satu untukku, kan?" Mata kak Jerry nampak berbinar-binar.

Leony mengangguk singkat.

"Yeay. Terima kasih banyak, Leony. Kamu memang paling mengerti aku. Tidak seperti bosku ini. Padahal aku belum makan sejak siang, tapi dia tidak memberiku makan sama sekali." Jerry mengusap matanya dramatis.

Julian melotot tidak terima. "Enak saja. Aku bukan tidak mau memberimu makan, tahu. Tapi kamu ini sekali beli makan langsung tiga porsi. Rugi di aku."

Jerry tertawa-tawa tanpa dosa, sementara Leony hanya bisa geleng-geleng kepala melihat perdebatan antar laki-laki di hadapannya yang sangat kekanakkan.

"Eumm, kenapa ibumu tiba-tiba memberi kami makanan, Leony?" Julian sudah mengabaikan Jerry yang baru saja menyobek plastik pembungkus sumpit dan siap makan.

"Oh, itu karena ibuku tahu kalau kak Julian membelikanku buku. Dia bilang sebagai ucapan terima kasih."

"Kenapa kamu beritahu ibumu?"

Leony mengendikkan bahu. "Sudah terlanjur ketahuan. Daripada dimarahi, lebih baik aku bilang sejujurnya."

Julian menatap lekat-lekat Leony yang wajahnya selalu nampak lesu. Selain itu, Leony juga jarang tersenyum. Sejauh ini mungkin baru Yovela saja yang pernah melihat senyum gadis ini. Sementara Julian masih perlu berjuang keras untuk bisa melihatnya.

Leony tiba-tiba melangkah menjauhinya, menyentuh pintu toko. Julian yang sadar langsung menahannya.

"Kamu mau ke mana?"

"Pulang. Lagipula di sini tidak ada kak Yovela yang bisa kuajak bicara. Aku juga harus mengerjakan tugasku."

Julian belum melepaskan tangannya di lengan Leony. "Kan ada aku. Kamu bisa mengajakku bicara."

Leony mendongak, namun tidak bisa berkata apa-apa. Apa maksud perkataan Julian barusan?

Julian menggaruk belakang kepalanya untuk sesaat dan mengambil bungkus kwetiau yang tinggal sisa satu di meja.

"Eumm, bagaimana kalau kamu menemaniku makan dulu sebentar?"

Leony semakin menatap Julian penuh tanda tanya. Ia lantas menunjuk laki-laki lain di balik meja kasir. "Kan sudah ada kak Jerry."

Tatapan mata Julian mengikuti arah telunjuk Leony. Ia terdiam sebentar. Ada benarnya juga. Tapi setelah dia lihat-lihat, Jerry terlalu larut dalam acara makan malamnya seorang sendiri. Terlalu lahap malah, hingga membuat Julian kehilangan nafsu makan.

"Kwetiaunya enak sekali, Leony! Masakan ibumu memang yang terbaik!" Jerry mengacungkan jempolnya.

Tidak ingin berlama-lama diganggu Jerry, Julian segera meraih lengan Leony dan menyeret gadis itu ke belakang. Lagi-lagi Julian membawa Leony ke teras rumahnya.

Leony sempat merengut sesaat. "Kenapa tidak makan dengan kak Jerry saja, kak?"

Julian menggeleng pelan. "Aku maunya ditemani kamu saja. Dia berisik."

Leony menggaruk pipinya, sedikit banyak dia bingung dengan Julian yang sikapnya berubah secara mendadak. Tidak marah-marah lagi seperti kemarin, tidak mengajaknya berdebat.

"Kamu sudah makan?"

"Sudah kok, kak. Ibuku buat banyak tadi. Enak tidak?"

Julian mengangguk sembari menelan suapan kwetiau pertamanya. "Enak sekali. Tolong sampaikan ucapan terima kasihku untuk ibumu, ya."

"Tentu."

Leony diam sambil mengamati langit malam yang cantik. Dia berakhir menuruti permintaan Jaemin lagi kali ini untuk menemaninya makan. Sementara Julian sendiri tengah menikmati makan malamnya dengan tenang.

Selang beberapa saat, Julian membawa masuk kotak makanannya yang sudah kosong, mungkin untuk dibuang. Ia lantas ke luar rumah lagi dengan sudah membawa sebotol air mineral.

Leony hanya menunggu di luar, sambil sesekali melirik ke dalam rumah Julian karena penasaran interiornya seperti apa.

Julian tersenyum tipis saat melihat Leony curi-curi pandang ke dalam rumahnya. "Kenapa, Leony? Mau masuk ke rumahku?"

Leony menggeleng. "Tidak, kok."

"Aku tidak masalah kalau kamu mau main ke dalam."

Leony agak terlonjak mendengarnya. "Memangnya tidak apa-apa perempuan main ke rumah laki-laki? Sepertinya bukan ide yang bagus."

Julian menyentil pelan dahi Leony sambil terkekeh. "Apa yang kamu pikirkan?"

Leony menggeleng keras. "Tidak ada. Hanya saja, aku tidak bisa main begitu saja ke rumah laki-laki. Apalagi aku juga belum izin ke ibuku."

"Kenapa harus minta izin?"

"Nanti dimarahi."

Julian tertegun mendengarnya. "Itukah alasannya ibumu tahu aku membelikanmu buku kemarin? Karena kamu harus selalu izin padanya?"

Leony memaksakan senyum. Bukan senyum manis, tapi senyum getir. "Yah, begitulah."

"Kenapa kamu tidak bilang beli sendiri saja? Dengan begitu ibumu tidak perlu repot-repot merasa berhutang padaku begini."

"Tidak bisa. Begitu aku masuk rumah, ibuku langsung bertanya habis berapa untuk membeli buku sebanyak itu. Aku tidak bisa menjawab karena aku tidak tahu totalnya. Jadi, aku terpaksa jujur kalau kak Julian yang membelikan."

Julian kehilangan kata-kata. Dia sendiri tidak mengerti apa yang sebenarnya ada dalam benak Leony. Kalau Julian ada di posisi Leony, mungkin dia sudah melarikan diri sejak jauh-jauh hari, daripada harus mendengarkan ibunya yang terus-menerus ingin mengatur kehidupannya.

"Rumah ini benar-benar milikmu, kak?" Leony bertanya tiba-tiba.

"Benar, kok. Tadinya dipakai manajer operasional. Tapi dia sudah mengundurkan diri. Jadi, sekarang aku yang memakainya."

"Memangnya kak Julian tinggal di mana sebelum ini?"

"Di apartemen. Tapi aku didepak ayahku. Dia menyuruhku untuk memantau kemajuan toko buku ini daripada hanya bisa menghabiskan uang saja. Yah, lumayan juga. Hitung-hitung sekalian latihan sebelum aku mengambil alih perusahaan nanti."

Leony menganga tak percaya. "Wah, kak Julian benar-benar orang kaya, ya. Masa depan kak Julian pasti sudah terjamin."

Julian hanya terkekeh mendengar ucapan Leony. "Kamu juga, kok."

Leony mengernyitkan dahi. "Apanya?"

"Masa depanmu. Kamu bilang kamu selalu jadi nomor satu, kan? Berarti masa depanmu juga cerah, Leony."

Leony menghela napas panjang. "Kak Julian tahu dari mana? Aku saja belum tahu masa depanku akan seperti apa."

Julian sedikit terlonjak mendengarnya. "Memangnya kamu belum tahu mau masuk jurusan apa saat kuliah nanti?"

Leony menggeleng pelan sebagai jawaban.

"Kenapa? Padahal aku yakin anak sepintar kamu bisa jadi apa saja yang kamu mau suatu hari nanti."

Leony tertawa geli. Julian yang melihatnya mendadak tersenyum sendiri. Ini pertama kalinya dia melihat Leony tertawa untuknya.

"Kamu berlebihan, kak. Aku sebetulnya tidak sepintar itu. Aku juga bukannya pintar dari lahir. Aku begini karena terlalu sering dipaksa belajar. Akhirnya jadi kebiasaan."

Julian buru-buru mengalihkan pandangannya dari wajah Leony saat gadis itu balas menatapnya. Jujur, dia juga tidak mengerti apa alasannya bersikap aneh seperti barusan.

"Kurasa bukan masalah. Tidak pintar pun bukan masalah, Leony. Apalagi kamu masih sma. Jangan terlalu menekan dirimu sendiri."

Mendengar kalimat Julian, Leony mengerutkan dahi. Dia tidak setuju, karena Julian saja tidak tahu ibunya seperti apa. Kalau tahu, Julian pasti akan menarik kata-katanya.

Ada keheningan yang tercipta sejenak setelah mereka lumayan banyak berbicara. Keduanya sama-sama terpaku menatap ke satu bintang yang tiba-tiba muncul di langit. Nyalanya lumayan terang dan nampak cantik.

Julian tersenyum tipis saat melihat bintang itu, dan tatapannya lantas jatuh ke wajah gadis di sampingnya. Sama cantiknya.

"Leony,"

"Ya?"

"Boleh aku bertanya sesuatu?"

Leony mengangguk.

"Kenapa kamu sesuka itu dengan Yovela?"

Leony mengernyit. "Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?"

Julian terkekeh pelan. "Aku penasaran saja. Tiap kali kamu ke sini, kamu selalu mencari Yovela. Apa karena dia yang paling mengerti kamu?"

Leony terdiam sejenak. Lamat-lamat dia mulai memikirkan semua hal-hal baik yang sudah kak Yovela lakukan untuknya.

"Iya, sepertinya begitu. Kak Yovela itu pendengar yang baik. Ah, aku juga suka kak Grace, kok. Dia sama baiknya."

Julian mengulas senyumnya kembali. Dia senang karena Leony mau terbuka padanya meskipun baru sedikit. "Oh, ya?"

Leony mengangguk antusias. "Aku sudah menganggap mereka seperti kakakku sendiri. Intinya aku sayang mereka."

Sekali lagi Julian mendapati dirinya terlalu terpaku pada wajah Leony. Ia lantas menatap hal lain saat Leony membalas tatapannya.

"Mereka juga menyayangimu, Leony."

"Tahu dari mana?"

"Tahu saja."

Leony tersenyum mendengarnya. Seketika itu juga, Julian merasa terhipnotis melihat senyuman tulus Leony. Entahlah, mungkin karena Leony jarang tersenyum, jadi sekali dia tersenyum, terlihat istimewa sekali dan sayang untuk dilewatkan.

"Kalau aku bagaimana, Leony?"

Leony mengerutkan dahi lagi. "Maksudmu?"

"Kalau aku juga menyayangimu seperti Yovela atau Grace, boleh?"

---

Malam makin larut. Banyak toko yang tutup satu persatu. Lampu-lampu mulai dimatikan, kecuali lampu penerangan jalan.

Leony masih belajar dengan tenang di kamarnya. Dia tidak mempedulikan ibunya yang baru saja membuka pintu untuk mengecek apakah dia masih belajar atau tidak. Dia juga tidak peduli bahwa barusan ayahnya pulang sambil mabuk dan membuat ibunya marah.

Tanpa disangka, ponsel Leony bergetar. Ada pesan masuk dari Julian. Kebetulan mereka tadi saling bertukar nomor ponsel sesaat sebelum selesai mengobrol.

[Julian] : Leony, coba lihat ke bawah.

Leony bangkit berdiri dari kursinya dan langsung membuka tirai jendela. Tak lama dia terlonjak kaget saat melihat Julian sedang melambaikan tangannya berkali-kali.

[Leony] : Kak Julian sedang apa?

[Julian] : Aku hanya ingin mengucapkan selamat malam. Kamu jangan belajar terlalu malam, ya. Jangan begadang.

[Leony] : Kak Julian sendiri sering begadang. Aku lihat loh dari sini.

[Julian] : Hehe. Aku masih banyak kerjaan.

[Leony] : Ya sudah. Lanjutkan saja kerjanya kalau begitu.

[Julian] : Iya. Tapi Leony...

[Leony] : ???

[Julian] : Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi.

[Leony] : Yang mana?

[Julian] : Apakah aku boleh ikut menyayangimu seperti Yovela dan Grace?

Leony menggaruk pipinya yang mendadak gatal. Tiba-tiba saja ia merasa berdesir aneh setelah membaca pesan dari Julian.

Padahal kak Yovela dan kak Grace saja tidak pernah bertanya begini jika hanya ingin menganggap Leony sebagai adik mereka. Kenapa Julian berlebihan sekali?

[Leony] : Ya, boleh.

[Julian] : Benarkah? Kalau begitu aku janji akan melindungimu mulai sekarang. :)

Leony merinding tiba-tiba karena Julian yang semakin berlebihan. Padahal Leony baik-baik saja selama ini dan tidak perlu dilindungi. Ada apa gerangan Julian bersikap seperti ini?

[Julian] : Tidur yang nyenyak, Leony. Mimpi indah.

Leony meninggalkan pesan terakhir Julian tanpa dibalas, karena dia tidak tahu harus bagaimana membalas

nya. Tapi sebagai gantinya, dia menuruti permintaan Julian untuk tidak belajar terlalu larut. Lampu kamar dia matikan dan mulai menarik selimut. Leony memejamkan mata sambil tersenyum.

Lucu sekali, pikirnya.

-To be continued-