Reol melepas kepalan tangannya. "Baiklah, kalian dipersilahkan untuk berbicara."
Rikka duduk dan meletakkan kepala Kumine di pangkuannya. "Terimakasih, kami akan berusaha menjelaskannya pada kalian."
"Kumine adalah sahabatku dan Tan sejak di akademi. Kami berdua sangat mengenalnya, jadi kami tahu bahwa ia bukanlah orang yang memiliki keburukan sedikitpun di dalam hatinya."
"Kau yakin?" tanya Shiro memotong penjelasan Rikka.
Rikka mengangguk. "Ya. Ia adalah murid paling baik diantara yang paling baik. Sejak lulus, kami mulai berpisah dan belum pernah bertemu lagi sejak itu. Tetapi, kami rutin surat menyurat dan aku yakin ia tidak memiliki motif apapun untuk menyerang kita."
Reol duduk di depan Rikka dan memperhatikan Kumine. "Surat tidak tentu berisi tentang isi hati sebenarnya seseorang."
"Aku tahu, tapi aku mengenalnya jauh dari itu."
Army melempar cincin yang ia gunakan ke depan Rikka. "Pakaikan ke dia. Cara ini jauh lebih cepat dan akurat dibandingkan mendengar cerita kalian."
Army menatap semua orang disana. "Kalian sudah tau apa yang akan aku lakukan?"
Mereka semua mengangguk. Sejak insiden Ardent yang tertidur, mereka sudah tahu bahwa Army bisa memasuki pikiran seseorang dengan kekuatan kegelapannya. Dengan memasuki langsung kedalam seseorang, maka cerita yang didapatkan bisa lebih akurat.
Rikka mengambil cincin tersebut dan memakaikannya pada Kumine. "Sudah."
"Tofu, aku meminta bantuanmu."
Cincin yang diberikan oleh Army adalah cincin dari Tan. Ia menggunakannya sebagai perantara amplifikasi sihir untuk menembus tubuh Kumine. Karena Kumine bukan Ardent, Army bisa langsung masuk ke dalam ingatan Kumine.
"Saatnya memulai Memory Diving."
Bagi Army, ia sedang berada di dalam ruang hampa dengan banyak layar yang menampilkan memori Kumine. Beberapa diantaranya terdistorsi karena sudah terlalu lama, tapi masih banyak memori yang masih bisa terlihat dengan jelas.
Army berusaha mencari memori yang penting. "Hmm? Tidak ada ingatan saat ia menyerang kota. Sebaiknya aku mencari lebih dalam sebelum menyimpulkannya."
Army terus berjalan di dalam ruang hampa tersebut, memperhatikan tiap layar di sekitarnya. "Ah, ini saat ia masih di akademi."
Army melihat beberapa ingatan Kumine bersama dengan Rikka dan Tan saat mereka masih di akademi. "Setidaknya dengan ini aku bisa tahu bahwa Rikka tidak berbohong."
Seiring Army berjalan, ingatan tersebut terus maju hingga memperlihatkan momen kelulusan Kumine. "Haha, ternyata Rikka sudah seperti itu sejak dulu ..."
Tiba-tiba, muncul sebuah layar yang menarik perhatian Army. Layar tersebut menampilkan ingatan Kumine saat kereta kudanya diserang oleh sosok misterius.
"Ah, terlalu cepat! Aku harus mengulangnya."
Army mengulang ingatan tersebut, berusaha melihat siapa yang menyerang Kumine.
"Tcih, hanya terlihat sosok hitam. Bandit amatir sekalipun pasti memakai pakaian serba hitam."
Karena tidak mendapat jawaban apa-apa, Army lanjut berjalan untuk melihat ingatan setelahnya. Akan tetapi, tidak ada layar ingatan satupun yang muncul setelahnya.
"Ini ... Aneh ..."
Army mempercepat langkahnya, berharap menemukan setidaknya satu layar ingatan yang bisa ia lihat. Ia mulai khawatir saat tidak ada satupun layar yang muncul.
"Sial, apa yang terjadi?!"
Army melihat sekeliling, tapi tidak ada satupun disana. Ia seakan terjebak di dalam ruang hampa yang gelap.
"Kembali!"
Khawatir dirinya terjebak, Army segera menghentikan penyelaman ingatannya. Saat kembali, Army langsung menghela nafas setelah mengetahui bahwa ia telah kembali ke tubuh aslinya.
Reol segera menghampiri Army. "Bagimana?!"
Army mengabaikan Reol. "Tofu, apakah terjadi malfungsi?"
Tofu muncul dan melayang dihadapan Army. "Tidak sama sekali."
"Kenapa tidak ada apa-apa disana?"
"Entahlah ..."
Army diam dan berpikir sebentar. "Apakah mungkin ..."
Reol menepuk bahu Army. "Oi! Bagaimana?"
Army menengok. "Kurasa aku tahu apa yang terjadi."
Army berdiri dan berjalan menghampiri Tan. "Semua yang Rikka katakan benar. Mereka sudah saling mengenal dan berkirim surat sejak lama begitupun dengan sifatnya yang sangat baik."
"Akan tetapi, ada suatu kejadian terjadi di masa lalu. Setelah saat itu, tidak ada ingatan yang tersisa."
"Apa maksudnya?" tanya Shiro.
"Aku juga tidak tahu, tapi kemungkinan besar setelah kejadian itu ia tidak sadarkan diri sama sekali."
Army berdiri di depan Tan. "Aku juga tidak menemukan ingatannya menghancurkan kota."
Army menatap Tan dengan serius. "Singkatnya, ia tidak pernah bangun dari tidurnya sejak saat itu, dan kejadian itu sudah terjadi bertahun-tahun lalu."
"Jadi?" tanya Reol yang tidak sabar menunggu jawabannya.
Army berjalan ke depan Rikka dan duduk di depannya. Ia menatap Kumine dan tersenyum. "Dia yang menjadi monster, bukanlah dia yang sebenarnya. Dia tak bersalah, karena ia tidak punya kendali apapun atas tubuhnya sejak lama."
Mendengar ucapan Army, Rikka menjadi sangat bahagia. Ia menangis bahagia dan menatap Kumine di pangkuannya. "Selamat datang kembali, sahabatku!"
Shiro menepuk bahu Army. "Tunggu, bagaimana jika ia masih di dalam kendali monster itu?"
"Oh, kalian tak usah khawatir."
Tiba-tiba, terdengar suara Ardent yang suda berada di dekat mereka.
"Papa?!" Mereka menengok dan sangat terkejut melihat Ardent.
"Rajanya sudah kalah, jadi ia pasti bisa dinetralkan."
Kembali ke beberapa saat sebelumnya, setelah Kumine baru saja dikalahkan. Ardent dan Lucius masih sengit berduel. Lucius mengetahui bahwa Kumine sudah dikalahkan, tapi ia tidak boleh kehilangan fokus. Ardent terus menyerangnya tanpa berhenti sama sekali. Dengan kekuatan yang lebih besar dari sebelumnya, kali ini Lucius menjadi kewalahan.
Lucius menangkis pedang Ardent dan menendangnya. "Tcih, bakatmu memang merepotkan. Kau tidak cocok dijadikan sebagai alat."
Ia menerjang Ardent dengan sangat keras, hingga pedang Ardent sedikit retak saat menahannya. "Padahal kau adalah yang paling menjanjikan dari semuanya!"
Ardent menahan pedang Lucius dengan satu tangan, dan menggunakan pedang satunya lagi untuk menebas Lucius. "Berisik."
Ardent kembali menyerang bertubi-tubi. Ia melompat dari satu titik ke titik lainnya melewati Lucius sambil menyerang. "Aku tidak mengerti apa yang kau ucapkan, tapi aku tahu satu hal ..."
Ardent berhenti melompat dan melakukan sebuah Charge. Api biru di sekitar tubuhnya semakin membesar. "Pecundang akan berbicara semakin banyak saat mereka hampir kalah ..."
Charge dilepas dan ia melesat menuju Lucius, tapi Lucius menahan serangan tersebut. Mereka beradu kekuatan dalam bertahan dan menyerang.
"... Dan sekarang kau telah kalah."
Ardent meningkatkan kekuatannya dan membuat api biru di tubuhnya semakin besar lagi. Lucius semakin tidak bisa menahan serangan Ardent, sampai pada akhirnya serangan Ardent menembus tubuh Lucius. Zirah kerasnya sudah tidak bisa lagi menahan serangan Ardent setelah menerima banyak serangan dari awal duel mereka. Zirah tersebut hancur, bersamaan dengan bolongnya pinggang Lucius yang tertembus oleh tebasan Ardent.
Lucius menengok ke belakangnya secara perlahan, melihat Ardent yang bersiap menyerangnya kembali. "K-k-kau ..."
"Inilah akhirnya."
Ardent kembali menebas Lucius, memotong tubuhnya menjadi dua bagian. Melihat Lucius sudah tidak bergerak, Ardent menghampirinya. Ia menatap Lucius dengan tatapan kosong dan tidak berbicara apapun.
Lucius mengangkat tangan kanannya. "M-masih ada lagi ..."
Tangan kanan Lucius tiba-tiba memancarkan cahaya biru yang menyilaukan, tapi cahaya tersebut langsung menghilang lagi. Tidak ada yang terjadi setelahnya selain tubuh Lucius menguap meninggalkan zirahnya. Ia telah resmi dibunuh oleh Ardent. Ia curiga bahwa Lucius melakukan sesuatu, tapi ia tidak bisa memikirkan apa yang Lucius lakukan. Akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan tempat tersebut dan memeriksa kondisi yang lainnya.
Kembali ke Ardent setelah bergabung dengan yang lain. Ia bisa langsung mengenali Kumine yang berada di pangkuan Rikka. Ia berjalan menuju Rikka dan memperhatikan Kumine dari dekat.
"Tim kalian telah kembali berkumpul Tan, dan Rikka."
Ashborn mengisi ulang peluru senapannya secara manual karena tidak ada yang bisa ditembak lagi dengan Vanquisher. "Apakah ini sudah berakhir?"
Need memandangi matahari terbenam di depan mereka. "Sepertinya begitu ..."
Vivien mengangguk "Ya, aku dapat mendengar sorakan mereka yang ada di dalam kota."
"Kita berhasil!" Reol melompat kegirangan.
"Sekarang, aku tinggal menyusul pengungsi secepat mungkin." Shiro mengaktifkan kembali Detentionnya.
Beberapa diantara mereka duduk diatas tanah, mengistirahatkan diri setelah pertempuran yang sangat melelahkan. Tapi, sesuatu yang tidak terduga kembali terjadi sesaat setelahnya. Muncul sebuah portal misterius di gerbang utama kota yang hanya bediameter 3 meter. Kemunculan portal tersebut tidak disadari oleh siapapun dan disusul oleh gelombang kejut yang sangat luas. Semua orang yang terkena gelombang kejut itu terserap masuk ke dalam portal, termasuk seluruh anggota Fallen Orions yang baru saja beristirahat. Seluruh kota menjadi seperti kota mati, menyisakan artileri dengan laras yang masih panas disana.
Disisi lain, para pengungsi masih tertahan oleh pertempuran mereka melawan Tremor yang dikirimkan oleh Lucius. Pelindung sudah mulai melemah karena terus aktif. Para penyihir yang mempertahankan pelindung telah kelelahan dan kehabisan mana.
Saki berlari menuju anggota Slow Kill Party sambil membunuh ular yang dilemparkan kearah mereka. "Apakah masih lama?! Barrier akan hancur sebentar lagi!"
"Sebentar lagi!" jawab Akane yang sedang berfokus meningkatkan jangkauan Crimson Realitynya.
Tiba-tiba, tanah bergetar hebat. Tremor mulai bergerak menuju mereka setelah mengetahui bahwa barrier sudah semakin lemah.
Kurosaki menengok kearah Akane. "Cepat, ia sudah kesini!"
Reina menggenggam tangan Kurosaki dengan erat, agar ia tidak kehilangan keseimbangan. "Akaneee!!!"
"Cherry!" Akane melihat sekeliling, mencari posisi Cherry.
"Disini!" Cherry turun dari atas kereta kuda, dan langsung berdiri di samping Akane.
Muncul singgasana merah khas Akane. Ia segera duduk disana berdampingan dengan Cherry.
Akane memangku wajah dengan tangan kirinya. "Crimson Reality ..."
Cherry duduk menyamping di lengan singgasana bagian kanan. "... Hell Trials!"