Seorang siswa SMA membuka kedua mata seraya mengumpulkan kesadaran sebelum merasakan sesak oleh asap hitam. Sebuah api turut melahap setiap bagian dari kelasnya, hingga memecahkan jendela. Dia mengumpulkan tenaga untuk bangkit sambil terengah-engah.
Di depan mata, seluruh siswa di sekitarnya tak sadarkan diri. Mereka tergeletak di lantai tanpa bergerak, meja dan kursi menindih tubuh. Lantai kelas sudah bertumpah darah segar. Seluruh mayat itu teman sekelasnya.
Sang siswa membalikkan badan menuju luar kelas. Matanya melotot, muka mengerut. Hal yang dia lakukan hanyalah bertanya-tanya dalam hati. Gemetar tubuhnya menjadi lebih kencang.
Begitu mulai meninggalkan pintu kelas, darah segar mengalir dari setiap mayat di di luar kelas. Terlebih, mayat-mayat itu merupakan guru, staf, dan siswa sekolah. Sebuah pertanyaan muncul, mengapa hanya dirinya masih tetap bertahan hidup?
Beberapa dari mayat tersebut telah kehilangan beberapa dari bagian tubuh, menunjukkan daging manusia masih segar dengan luka dalam. Darah segar masih mengalir dari beberapa daging manusia menuju pakaian yang mereka kenakan.
Keringat sang siswa seakan-akan membanjiri kulitnya. Kecepatan detak jantungnya sedang mengebut menambah getaran tubuh. Benak siswa dilanda badai ketakutan dan pertanyaan.
Ketika menggerakkan kedua kaki secara perlahan, siswa itu sering memandang ke belakang, khawatir dengan sinyal berbahaya. Sinyal-sinyal berdasarkan pandangan itulah yang membuat sang siswa menanam keraguan di dalam benaknya.]
Seorang siswi telah terlihat berjalan lurus dari belokan samping kanan. Tetapi, dia membuang muka, mengabaikan sang siswa tanpa perlu peduli.
"Tunggu!" jerit sang siswa berbelok mengikuti siswi itu.
Sang siswi menghentikan langkah ketika berada di dekat tangga menuju lantai dasar. Mendadak, kedua kakinya telah terangkat dan kehilangan kendali.
Pandangannya bertemu ketakutan dalam mata sang siswi. Sebuah makhluk berkulit duri hijau tengah mengangkat tubuhnya. Tingginya satu setengah kali dari manusia biasa. Seakan-akan memegang kerikil, makhluk itu mendekatkan tubuh si siswi ke mulut.
"ENGGAAK!"
Mulutnya terbuka lebar, barisan rapat taring tajam menyambut. Mata si makhluk, sepekat permata hitam, mengawasi mangsa di tangannya menggeliat. Sang siswi menjerit lagi, suaranya jatuh ke dalam gua gelap di dasar mulut si makhluk.
Dari dua buah permata hitam itu terkilat kenikmatan. Tangannya mengangkat tubuh si siswi, serupa ibu menimang bayi. Tangan yang sama mendekatkan si siswi ke dalam mulutnya.
"ENGGAAAAK! GAAAK!!"
Taring telah di atas kulit, helaian rambut telah menyentuh permukaan lidah. Pandangan si siswi bertemu dengan mata si siswa.
"Tolongin gu—!"
Mulut si makhluk menutup memenggal kepala sang gadis. Darah menetes damai dari wajahnya, diikuti suara kunyahan renyah.
Kaki sang siswa tanpa sadar mendorong tubuhnya mundur. Tindakan ini tidak terproses dalam benak; tengah sesak oleh panik, mendesak tetes demi tetes keringat keluar.
Kenyataan ini tidak masuk akal.