Tentang bagaimana ajaran ilmu Tasawuf dalam mengerjakan amal ibadah di mana kita hamba Allah yang diperintahNya supaya mengerjakan perintah-perintahNya dengan sebaik-baiknya, maka ajaran ilmu itu melarang kita memperlihatkan kepada orang demi maksud keuntungan duniawi.
Ajaran akhlak Tasawuf itu telah dirumuskan oleh Imam Ibnu Athaillah Askandary dalam Kalam Hikmahnya yang ke-11 sebagai berikut:
"Tanamkanlah ujudmu dalam bumi yang sunyi sepi, karena sesuatu yang tumbuh dari benda yang belum ditanam tidak sempurna hasilnya."
Pengertian Kalam Hikmah ini adalah sebagai berikut:
I. Hamba Allah yang sedang berjalan dengan amal ibadahnya untuk menghampiri diri kepada Allah dengan makrifat kepadaNya, salah satu dari syarat-syarat sampai kepada tujuan tersebut ialah "Tawadhuk", yakni tidak bermaksud apalagi berusaha supaya masyhur dikenal orang dan disebut orang namanya di mana-mana. Ia wajib menguburkan dirinya dalam bumi yang sunyi sepi. Maksudnya ia wajib tidak menonjolkan dirinya pada jalan-jalan atau sebab-sebab yang mendatangkan kemasyhuran. Ditahannya dirinya dari mencapai pangkat dan kedudukan, kursi dan jabatan dan lain-lain sebagainya, yang membawa tersiar namanya ke mana-mana.
Kenapa demikian?
Jawabnya tidak lain, sebab menyembunyikan diri dalam sikap dan perasaan adalah membantu atas terwujudnya ikhlas yang hakiki dan sempurna. Tetapi apabila keinginannya dan ambisinya supaya dikenal orang, dan menarik perhatian orang, karena maksud yang tidak baik, di antaranya yang bersifat pribadi, maka hal keadaan ini akan dapat memutuskan hubungan dengan Allah disebabkan keikhlasannya telah berkurang, apalagi kalau rusak sama sekali.
II. Apabila seorang hamba Allah memang sudah masyhur sejak semula, dan kemudian barulah ia mulai berjalan atas jalan yang telah diatur oleh ulama Tasawuf demi untuk mendekatkan dirinya kepada Allah s.w.t. maka kewajibannya adalah tawadhuk dan tidak berlaku sombong kepada siapa pun juga. ,Apabila berpangkat tinggi atau kaya besar, atau memegang peranan penting dalam masyarakatnya; bersikap tidak merasa tinggi dirinya, tidak sok pada kedudukannya, tetapi ia beranggapan bahwa yang lebih baik padanya ialah mcninggalkan apa yang telah ada padanya berupa kedudukan dan lainlain sebagainya. Dalam hal ini ia tidak boleh gegabah dan cepat-cepat mengambil keputusan tanpa berfikir antara maslahat dan mafsadat dan tanpa musyawarah dengan gurunya, yang betul-betul menuntunnya kepada jalan yang baik itu. Apalagi kalau ia mengambil sesuatu keputusan untuk meninggalkan hal-hal di atas tanpa keizinan dari Allah. Tetapi apabila kebalikannya, di mana kenyataan membuktikan bahwa ia harus meninggalkan sebab-sebab yang mendatangkan masyhur dan tersiarnya itu, dan ia pun berusaha agar dirinya tidak begitu menjadi perhatian orang lain demi untuk mencapai keikhlasan yang hakiki, maka tidak apa-apa.
III. Apabila ia tidak melaksanakan ajaran di atas tetapi tumbuh juga kecintaannya kepada Allah, maka hasil yang diperdapat ini walaupun bagaimana, pada umumnya tidak akan sempurna. Sebab benih tanaman apa-bila t1dak ditanam di dalam bumi meskipun ia tumbuh juga, pertumbuhannya itu tidaklah sempurna, bahkan mungkin tumbuh tanaman itu lemah dan kerdil, daunnya kuning tidak berseri dan tentulah tidak ada manfaatnya sama sekali. Dan apabila benih itu sama sekali tidak menumbuhkan tanaman, maka tidak mustahil pada adat, pada umumnya biji tersebut akan dimakan ayam atau bebek atau sebangsa burung atau binatang-binatang lainnya.
Demikianlah seorang hamba Allah apabila ia mengerjakan amal ibadah sedangkan maksudnya supaya dikenal orang maka sedikitlah kemenangan yapg diperolehnya sesuai dengan besar kecil keikhlasannya.
Karena itu sebagian ulama akhlak Tasawuf telah berkata:
"Tidak aku kenal seorang laki-laki (manusia) yang lebih mencintai agar ia dikenal orang, terkecuali agamanya telah hilang dan ia telah mendapatkan keaiban (pada agamanya dan akhlaknya)."
Berdasarkan ini, maka sebagian ahli Tasawuf menambah lagi sebagai berikut:
"Tidak akan dapat kemanisan akhirat seseorang yang lebih mencintai supaya ia dikenal oleh manusia."
IV. Adapun manusia dalam menyembunyikan ujudnya terbagi kepada tiga macam:
[a] Hamba Allah yang telah berkuasa atasnya kepastian yang mendalam tentang "Kamaliahnya Allah s.w.t." yakni perasaannya diliput! bahwa yang sempurna dalam segala hal adalah Allah s.w.t. Selain Allah mempunyai kekurangan-kekurangan dan tidak ada satu makhluk pun yang sunyi dari kekurangan-kekurangan. Karena itu meskipun ia orang kaya besar atau mempunyai kedudukan yang tinggi dan lain-lain sebagainya, semuanya itu hilang dari pandangannya dan perasaannya, demi melihat kepada kekurangan-kekurangan dirinya. Ia melihat bahwa apa yang dipunyai oleh makhluk adalah terbatas dan lain-lain sebagainya. Karena itulah dia merasakan tenggelam dan terbenam di dalam kesempurnaan Allah s.w.t. Hal keadaan ini menimbulkan kepercayaan yang kokoh baginya bahwa semua yang ia dapatkan berupa kesenangan dan lain-lain adalah karena kurnia Allah dan kasih sayangNya. Dengan sebab itu maka bersihlah ia dari rasa congkak dan sombong yang menimbulkan rasa lupa terhadap kekurangan diri sendiri. Inilah maksud firman Allah s.w.t. menurut kacamata akhlak Tasawuf sebagai tersebut dalam surat An-Nur:
"Dan kalaulah tidak karena kemurahan Allah dalam kasih sayangNya kepada kamu, tiadalah seorang pun di antara kamu yang bersih buat selama-lamanya, tetapi Allah mensucikan orang-orang yang dikehendakiNya; dan Allah itu Maha Mendengar dan Maha Tahu." (An-Nur: 21)
[b] Hamba Allah yang mendapat Taufiq dan Hidayat Allah s.w.t. kepada jalan makrifat terhadap Allah, ia dapat melihat segala kebaikan Allah sebagai Pencipta seluruh alam. Dengan demikian ia melihat pula bahwa semua kebaikan yang dikerjakannya dianggapnya masih terdapat kesalahan-kesalahan, bahkan tidak ada artinya. Sebab itu maka gugurlah dirinya dari pandangannya dan tumbuhlah biji hikmah dari hatinya.
Berkata Nabi Allah Isa a.s. kepada sahabat-sahabatnya:
"Di manakah tumbuhnya biji-bijian itu? Menjawab sahabat Isa: Dalam bumi. Maka Isa berkata: Nah demikianlah hikmah Allah tidak akan timbul kecuali dalam hati yang laksana bumi."
Maksud hikmah dalam sabda Nabi Isa tadi ialah "Ilmu" dan "Aqidah" yang bermanfaat bagi manusia dalam hubungannya dengan Allah s.w.t.
[c] Hamba Allah di mana lebih luas pengaruh nafsunya atas segala-segalanya, meskipun dia berilmu, faham dan mengerti, tetapi ia dapat dikacaukan oleh keraguan-keraguannya, sehingga yang cepat terlihat padanya adalah keuntungan dirinya dan kesenangan peribadinya.
Hamba Allah yang ketiga ini tak dapat tidak harus dapat menghilangkan keadaan tersebut dengan berbagai cara apa pun saja, asal tidak terlarang dalam agama. Misalnya membatasi makan makanan yang menimbulkan syahwat atau yang memberatkan ia dalam mengerjakan ibadah, di samping juga harus mcmbatasi diri dari pergaulan kemasyarakatan yang membawa pengaruh yang kurang baik terhadap hatinya. Dan tentulah hamba Allah itu selalu mendapat pimpinan dari gurunya yang Alim dan Arif.
Dia harus menyadari bahwa ia membatasi dirinya dari masyarakat bukan berarti karena niat menjauhkan diri dari masyarakat itu, tetapi a'dalah untuk mencari ketenangan dan ketenteraman dalam menyembah Allah s.w.t. dalam arti yang luas.
Berkata Syeikh Abul Abbas Al-Mirsy:
"Barangsiapa yang cinta pamer, maka ia adalah hambanya (budaknya). Barangsiapa yang cinta pada menyembunyikan diri (menjauhkan diri dari masyarakat tanpa tujuan menghampirkan diri kepada Allah), maka ia adalah budaknya. Dan barangsiapa yang berta'abbud kepada Allah (dengan tidak pamer dan riya'), maka sama saja padanya apakah Allah akan menonjolkannya (sehingga merupakan hamba Allah yang menjadi teladan bagi ummat) atau Allah menyembunyikannya."
Demikianlah pengertian Kalam Hikmah di atas. Apabila kita dapat mengamalkannya, maka kita akan bahagia di sisi Allah dan termasuk dalam golongan hamba-hambaNya yang muttaqin dan mendapat kesudahan yang baik di sisiNya.
Inilah maksud firmanNya dalam Al-Quran:
"Kampung akhirat itu Kami anugerahi kepada mereka yang tidak ada maksud dan kehendak pada ketinggian (yang tidak baik) di dalam bumi dan bencana di permukaannya. Dan kesudahan yang baik adalah buat orang-orang yang memelihara dirinya (dari segala sesuatu yang tidak menguntungkannya di sisi Allah)." (Al-Qashash: 84)
Insya Allah mudah-mudahan kita termasuk dalam hamba-hamba Allah yang dapat mengamalkan akhlak Tasawuf seperti di atas. Amin!