Chereads / AL HIKAM / Chapter 14 - Jalan-Jalan Terbuka Matahati Menuju Hadirat Allah s.w.t.

Chapter 14 - Jalan-Jalan Terbuka Matahati Menuju Hadirat Allah s.w.t.

"Bagaimana hati akan dapat disinari sedangkan gambar-gambar alam mayapada ini tercap dalam kaca hatinya. Atau bagaimanakah seseorang boleh berjalan kepada Allah, sedangkan ia terikat dengan syahwat-syahwatnya. Atau bagaimana seseoiang berkeinginan kuat untuk masuk ke hadirat Allah, sedangkan ia masih belum suci dari junub kelalaiannya. Atau bagaimana seseorang mengharapkan agar dapat memahami rahasia-rahasia yang halus sedangkan ia belum taubat dari dosa-dosanya."

Kalam Hikmah ke-13 dari yang mulia Al-Imam Ibnu 'Athaillah Askandary adalah merupakan rumusan-rumusan hikmah yang bersifat pertanyaan-pertanyaan. Tetapi mengandung pengertian-pengertian yang mendalam yang bertalian dengan Kalam Hikmah sebelumnya tentang 'uzlah.

Kalam Hikmah ini mengandung empat pertanyaan di mana antara pertanyaan dan jawaban menimbulkan kontradiksi yang mustahil pada akal berkumpul antara keduanya. Marilah kita perhatikan hal keadaan ini sebagai berikut:

I. Bagaimanakah hati kita akan bersinar apabila sesuatu di dalam alam ini melengket sedemikian rupa dalam matahatinya? Maksudnya ialah apabila seorang hamba Allah telah menjauhkan dirinya dari makhluk, tetapi hatinya masih terikat kepada hartanya, kekayaannya, kedudukannya dan lain-lain, maka pastilah tujuan yang dimaksud, supaya hati bersih menghadap dengan sempurna kepada Allah dalam arti yang luas, pasti tidak akan berhasil.

Alam dunia ini apabila telah begitu terpaut dalam hati kita, maka hati kita akan menemui kegelapan, sehingga menimbulkan kesulitan dalam hati untuk dapat menerima selain dari dunia. Sama seperti kaca apabila debu begitu banyak telah melengket kuat atasnya, maka kaca itu tidak ada cahayanya untuk kita berkaca padanya, kaca tersebut tidak akan menerima bayangan sesuatu di dalamnya karena debu telah berkarat atasnya.

Demikianlah hati manusia apabila telah begitu kuat terpaut pada dunia yang fana ini, akan sulitlah hati kita mengarah kepada tujuan menghadap Allah dengan syuhud dan tajjali seperti yang dimaksud dengan pengertian ihsan dalam Hadis Rasulullah s.a.w. yaitu:

"Bahwa anda sembah Allah seolah-olah anda melihatNya. Maka jika anda belum dapat melihatNya, maka sesungguhnya Allah s.w.t. melihat anda."

Jadi apabila hati kita telah gelap sedemikian rupa, maka sinar makrifat akan jauh daripadanya. Sebab hati, mukanya hanya satu saja. Apabila muka yang satu itu tertuju kepada dunia, maka jauhlah ia dari Allah. Dan apabila tertuju kepada Allah, maka jauhlah ia dari dunia. Tegasnya, meskipun ia hidup di dunia dan secara lahiriah tidak terpisah dari dunia, tetapi hatinya tidak terikat dan terpaut kepada dunianya.

Kesimpulan:

Mustahil pada akal berkumpul di dalam hati antara cahaya iman dan yakin dengan gelap gulita keduniaan yang telah berkarat di dalam hati sedemikian rupa.

II. Atau betapakah seseorang hamba Allah berjalan kepadaNya padahal ia diikat dengan syahwat-syahwatnya.

Kita dalam mengerjakan ajaran-ajaran agama pada hakikatnya bukanlah sekedar patuh dan taat kepada Allah s.w.t. saja, tetapi juga pada hakikatnya kita berjalan kepada Allah dengan arti kita dengan Allah akan semakin dekat, baik dalam ilmu kita, keyakinan kita, dan seluruh perasaan kita. Ini akan dapat kita capai apabila kita memutuskan hubungan dengan kehendak-kehendak hawa nafsu dan syahwat yang dapat menjerumuskan kita jauh dari Allah s.w.t. Tetapi apabila kita berada dalam tawanan hawa nafsu dan syahwat, maka sulitlah bagi kita mencapai maksud tersebut tadi. Setiap kali kita bangun berdiri untuk melangkah, setiap kali pula kita jatuh tersungkur. Meskipun kita sanggup berjalan tetapi perjalanan kita lambat sekali dan akhirnya kitatertinggal berceceran. Meskipun kita sanggup berjalan cepat tetapi di dalam perjalanan kita, kita sering ditahan-tahan oleh perampok-perampok dan musuh-musuh di dalam perjalanan itu. Setiap kali di waktu pagi berkumpul di dalam hati kita keinginan yang kuat untuk berjalan kepada Allah, tetapi pada waktu sorenya tentara-tentara syahwat menyerang pertahanan, sehingga benteng hati yang telah dibangun sedemikian rupa akhirnya porak peranda.

Demikianlah gambaran bagaimana sulitnya kita menuju Allah s.w.t., apabila kita masih terikat dengan ikatan-ikatan syahwat dan nafsu.

Berkata ahli Tasawuf:

"Sengatan beberapa ekor kala atas tubuh-tubuh yang luka lebih enteng dari sengatan syahwat-syahwat atas hati yang menghadap (kepada Allah)!"

Ingatlah bahwa Allah s.w.t. telah mewahyukan kepada Nabi Daud a.s.:

"Hendaklah engkau berikan peringatan kepada kaum engkau (tentang bahaya) seluruh syahwat, karena segala hati (hamba Allah) yang bergantung dengan segala syahwat keduniaan (berarti) akal orang-orangnya terdinding, lagi jauh daripadaKu (Allah)."

Maksudnya, bahwa syahwat apa pun saja bentuknya apabila telah terikat dalam hati, maka ia mempengaruhi pada akal seseorang. Berarti akalnya mengikuti keh endak h atinya yang telah terbalut dengan ikatan-ikatan syahwat. Pada waktu itu terdindinglah antara akal dan Allah sehingga akal tidak dapat meningkatkan makrifatnya kepada Allah s.w.t.

III. Atau betapakah seseorang (hamba Allah) berambisi masuk dalam daerah khusus Allah padahal ia belum suci dari junub kelalaian-kelalaiannya. Maksudnya apabila seorang hamba Allah telah bersusah payah mengharungi perjalanan yang mempunyai banyak cubaan-cubaan menuju Allah s.w.t. dan berkat ketabahannya, akhirnya ia sampai pada satu perbatasan antara daerah kebanyakan manusia dengan daerah khusus hamba-hamba Allah yang baik-baik.Pada waktu itu si hamba Allah tadi secara kasarnya loba dan tamak atau ambisius untuk dapat masuk dalam daerah khusus yang telah dikhususkan Allah bagi para RasulNya, Nabi-nabiNya dan para auliaNya, tetapi hatinya belum begitu bersih dari bermacam-macam kelalaian, tentu saja tidak mungkin baginya masuk ke daerah tersebut. Sebagai contoh orang yang masih dalam keadaan junub, yakni belum menunaikan mandi wajib setelah junub, tentu saja terlarang baginya masuk masjid, apalagi buat mengerjakan amal ibadah yang memerlukan kepada kesucian jasmaniah. Apabila ibadah lahiriah memerlukan kepada kesucian jasmaniah, maka demikian pulalah ibadah maknawiyah, yakni hubungan makrifat antara manusia dengan Allah s.w.t. Junub lahiriah memerlukan kepada kesucian maknawiyah (batiniah).

Junub maknawiyah ialah kelalaian-kelalaian hati sehingga dalam banyak hal kita lupa kepada Allah s.w.t. Karena itu maka perlu kepada kesucian maknawiyah, yaitu mengingat Allah dengan berzikir dengan lidah dan hati dan seluruh perasaan sekalian anggota, atau dengan hati saja kepada Allah s.w.t. Di samping itu kita harus berfikir mencari jalan bagaimana supaya kita jangan sampai jatuh ke dalam jurang-jurang kelalaian. Tentang berfikir ini telah kita terangkan dalam Kalam Hikmah yang ke-12.

IV. Atau betapakah seseorang berharap untuk dapat memahami rahasia-rahasia yang halus, sedangkan ia belum taubat dari maksiat-maksiatnya (yang dikerjakannya tanpa sengaja).

Apabila seorang hamba Allah telah sampai ke daerah khusus buat para hamba-hambaNya yang saleh, maka pada waktu itu ia berharap supaya ia dapat memahami ilmu-ilmu pengetahuan Ketuhanan yang halus-halus di mana telah dikurniakan oleh Allah pada segala hati hamba-hambaNya yang 'Arifin, yakni hamba-hamba Allah yang telah terbuka dinding dan hijab antara mereka dengan Allah s.w.t.

Harapannya baru sampai apabila dirinya dan hatinya sudah terpelihara daripada dosa-dosa yang diperbuatnya dengan sengaja, karena yang kedua ini sudah jelas hukumnya, yaitu kita wajib tau bat kepada Alla h daripadanya.

Harapan yang tadi tidak akan mungkin pada adat apabila kita sering khilaf dalam mengerjakan dosa-dosa, karena dosa-dosa yang begini sifatnya adalah mengeruhkan hati dan mcmbawa karat padahati, sebagaimana firman Allah s.w.t. dalam Al-Quran:

"Jangan berfikir begitu. Bahkan apa yang telah mereka kerjakan itu menjadi karat bagii hati mereka." (Al-Muthaffifin: 14)

Karena inilah maka siapa pun saja dari hamba Allah yang menginginkan agar Allah mcmberikan kepadanya ilmu-ilmu yang halus dalam keagamaan dan Ketuhanan, di samping ik hti ar pada menuntutnya, juga wajib taqwa kepada Allah hingga sampai tidak mengerjakan dosa tanpa disengaja. 

Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran:

"Dan bertaqwalah kepada Allah, dan Allah akan memberikan ilmu pengetahuan kepada kamu." (Al-Baqarah : 282)

Jadi apabila kita bertaqwa kepada Allah, bersih dari segala dosa, baik yang disengaja atau yang tidak disengaja. Dan mengamalkan apa yang telah diketahui dari ajaran-ajaran agama, maka Allah s.w.t. akan memberikan ilmu ladunni kepada kita, yakni ilmu yang belum kita ketahui sama sekali. Berkata Imam Ahmad bin Hanbal dari Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Nu'aim dari Hadis Anas sebagai berikut:

"Barang siapa yang beramal dengan ilmunya, maka Allah s.w.t. akan memberikan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya."

Ketahuilah bahwa ilmu Allah s.w.t. adalah nur Allah karena itu kita wajib memelihara nur itu. Imam Malik telah berwasiat kepada muridnya Imam Syafi'i r.a.:

"Taqwalah kepada Allah, dan janganlah engkau padamkan cahaya yang tdah dikurniai Allah s.w.t. kepadamu, dengan mengerjakan dosa-dosa."

Kesimpulan:

Bahwa tuntunan dalam mengerjakan ajaran agama adalah 4:

1. Agar hati kita terang dan bersinar. Karena itu maka hendaklah kita jauhkan segala sesuatu di dalam alam dunia ini yang telah begitu melengket pada matahati kita di mana menjauhkan kita pada jalan Allah s.w.t.

2. Berjalan ke hadirat Allah. Karena itu jauhkanlah segala syahwat yang menawan hati nurani kita.

3. Dapat masuk ke hadirat Allah s.w.t. Karena itu jangan kita biarkan diri dan hati kita berlumpur dengan kelalaian-kelalaian.

4. Dapat melihat bahkan memahami segala ilmu Ketuhanan yang demikian halusnya. Karena itu maka kita harus bertaubat dari segala dosa yang dikerjakan, tanpa disengaja.

Mudah-mudahan segala maksud kita sebagai yang telah dijalani oleh hamba-hamba yang saleh, Insya Allah diperkenankan oleh Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang.