Menetes, menetes, menetes, dan terus menetes membasahi segalanya.
Aku melihat sebuah mimpi.
Itu adalah mimpi buruk.
Seseorang menjerit, bersama air mata kesedihan, anak itu terus menjerit dan menjerit. Suara jeritannya sangat lirih sampai-sampai tidak akan ada yang sadar jika dia sedang menjerit.
Tapi, anehnya suara jeritan yang lirih itu memekakkan telingaku, benar-benar berisik.
Setiap kali aku mendengarnya menjerit, hatiku selalu terguncang, itu menyakitkan. Jeritan anak itu terlalu menyakitkan untuk terus kudengar, seakan ada ribuan jarum yang memenuhi dadaku.
Aku mencoba untuk menutup telingaku, tapi aku langsung sadar jika tanganku tidak ada. Di sana hanya memiliki kegelapan, tidak ada apapun, dibimbing oleh kegelapan tanpa batas, aku hanya bisa meringkuk dengan semua rasa sakitku itu.
Aku ingin berteriak keras, aku ingin menangis keras, tapi tidak ada apapun yang kumiliki. Itu hanya ada kegelapan, dan kegelapan itu adalah semua yang kumiliki di sini.
Ini adalah mimpi.
Mimpi dari seorang anak yang kehilangan segalanya. Mimpi dari seorang anak laki-laki yang telah kehilangan semua harapannya. Kegelapan kosong ini menjadi bukti dari kehidupannya.
Terus berjuang dalam kesendirian dan rasa sakit, dia tidak pernah menerima balasan yang setimpal.
Tidak akan ada yang bisa menyelamatkannya, bersama kegelapan yang dingin itu, dia akan selamanya sendirian dalam rasa sakit ini. Tidak akan ada yang bisa menyelamatkannya, dengan jeritan tanpa suara itu, tidak akan ada yang bisa mendengar suara pertolongannya.
Tapi, suatu hari, untuk pertama kalinya dalam kegelapan itu, muncul cahaya yang menghangatkan. Sebuah cahaya yang menerangi kegelapan itu dengan wujudnya, aku terkejut.
Perlahan-lahan cahaya itu mulai mendekatiku dan memelukku dengan sangat erat.
"Sekarang sudah baik-baik saja, kau tidak sendiri lagi."
Dia berbisik kepadaku, dengan suaranya yang tulus dan hangat. Aku terdiam, tanpa kusadari semua rasa sakit yang menumpuk di dadaku telah menghilang dan diisi dengan kehangatannya. Sekarang semuanya terasa sangat ringan, semua penderitaan itu seakan meletus seperti balon.
Mimpi buruk itu berakhir, dan akhirnya...
—Untuk pertama kalinya, aku dapat tertidur dengan pulas, tanpa ada rasa takut akan kegelapan dan kesendirian lagi.
****************
Hari sudah pagi.
Aku mengernyitkan mataku untuk terbangun dari tidurku yang benar-benar sangat nyenyak.
"Mhn... Hm?"
Tapi, ketika aku berniat untuk bangun, aku merasakan sesuatu yang menggenggam telapak tanganku. Aku membuka selimut untuk mengeceknya dan alisku langsung terangkat.
Di sana, aku melihat tanganku yang digenggam erat oleh seseorang. Aku melihat ke atas lagi untuk mengetahui siapa yang mengenggamnya dan ternyata itu adalah Alicia yang menggeletakkan kepalanya dan tertidur di sampingku, aku terdiam.
"Hmm…"
Aku mulai berpikir, sembari menggosok daguku, aku terus melihat telapak tanganku dan dengan wajah serius terus berpikir. Sebisa mungkin aku mencoba untuk menikmati rasa dari berpegangan tangan dengan seorang gadis cantik itu.
Bagaimana aku harus mengatakannya, ini—
"Yah, ini tidak buruk, dia memiliki nilai yang tinggi dari caranya memegang dan tidur di sampingku. Tapi, seharusnya dia menggenggam tanganku dengan kedua tangannya untuk memberikanku sensasi yang lebih baik atau mungkin tidur di atas tubuhku dengan wajah yang polos. Kurasa dia masih perlu banyak belajar untuk menjadi heroine."
"Apa yang kau katakan pagi-pagi gini, Riku-san?"
"Woo!!"
"Selamat pagi, Riku-san."
"Ya-Yah, pagi." Aku menjawab dengan gagap.
Mengetahui bahwa ada orang lain di tempat itu selain kami berdua, aku dengan buru-buru segera melepaskan pegangan tanganku dari Alicia dan melompat kaget. Entah kenapa aku memiliki perasaan yang sama ketika ibumu mencidukmu sedang membaca majalah porno.
Aku hanya bisa terdiam dan memalingkan pandanganku dengan canggung.
"Ada apa, Riku-san? Bergelisah seperti itu," tanya Elvy sambil memiringkan kepalanya.
"Ti-Tidak, bukan apa-apa!" Aku tersentak, dan menjawabnya dengan panik.
Elvy melihatku, dia kebingungan melihat tingkahku yang mencurigakan. Tapi, aku tidak mengatakan apapun dan terus menghindari tatapannya. Elvy menyipitkan matanya dengan curiga.
"Apa yang kau sembunyikan di sana, Riku-san?" tanya kembali gadis itu ketika dia melihatku yang menutupi bagian bawahku dengan selimut.
"Ti-Tidak ada, ini bukan apa-apa!" jawabku sambil mencoba untuk tersenyum, tapi itu gagal.
"Benarkah?"
"Ya-Yah, tentu saja!"
"Baiklah, jika Riku-san yang berkata begitu. Tapi, tolong beritahu aku jika Riku-san merasa tidak enak badan, aku akan merawatmu," ujar Elvy sambil mendengus dengan penuh percaya diri.
Seperti biasa, dia adalah gadis yang baik.
Tapi, serius, hanya untuk ini saja aku tidak bisa memperlihatkannya kepada gadis itu. Harga diriku sebagai seorang pria akan tercoreng jika ada seseorang yang melihatku sekarang.
Keningku mengerut ketika aku melihat kembali apa yang ada di balik selimutku.
Sial, aku tidak percaya aku akan bermimpi basah hanya karena Alicia menggenggam tanganku!
Apa ini karena aku sudah lama tidak memberikan sobatku perawatan semenjak tiba di dunia ini?
Kurasa sebaiknya aku harus mulai memikirkan solusinya untuk mengatasi masalah ini.
"Haaahh..." Aku menghela nafas lesu.
Aku harus mencuci kasur ini.
Jiwa perjakaku benar-benar tidak bisa diandalkan.
Selagi aku memikirkan hal itu, Elvy berjalan ke arahku, dia membawa beberapa buah berwarna merah yang mirip dengan apel di tanganya. Buah itu memiliki ukuran yang sedikit lebih besar dari apel biasa dan warna yang sangat merah.
Saat ini, dia mengambil kursi di dekat situ dan duduk di sebelahku. Dia mengambil buah itu dan memberikannya kepadaku.
"Pertama, coba makanlah ini, Riku-san. Itu akan membuatmu lebih baik," ucapnya, dia tersenyum lembut, dan memberikan buah itu kepadaku.
"Terima kasih." Aku mengambil buah itu.
Saat aku menggenggamnya, itu memiliki tekstur yang sama dengan buah apel, dan juga warna yang sama. Hanya ukurannya saja yang berbeda. Tapi, aku terhenti saat ingin memakannya, ini membuatku sedikit ragu untuk memakannya karena aku memiliki pengalaman yang buruk dari pemberian seseorang.
"Elvy-chan, Ini bukan buah yang akan membuatku tertidur untuk selamanya dan hanya ciuman dari seorang pengeran tampan dari negeri yang jauh yang bisa membangunkanku, kan? Ini bukan buah yang seperti itu, kan?" tanyaku yang khawatir.
Lagipula, aku tidak ingin dicium oleh seorang pangeran, tidak akan kubiarkan ciuman pertamaku didapatkan oleh seorang pria— Tidak, bukan hanya ciuman pertama, selamanya aku tidak ingin berciuman dengan seorang pria, karena aku pasti akan dihantui oleh mimpi buruk seumur hidupku.
Aku sudah cukup dengan mimpi buruk.
"Aku penasaran apa ada buah yang seperti itu di dunia ini. Tapi, tenang saja, Riku-san. Kali ini aku sama sekali tidak memberikan obat bius di dalamnya," jawab Elvy dengan wajah polosnya yang ceria, yang membuatku mengernyit.
"Ya ampun, jadi itu ulahmu ya. Kau benar-benar membuat orang lain panik saja. Mulai sekarang kau tidak boleh melakukan hal itu lagi, mengerti?" tegurku, dan mulai menggigit buah itu.
Tampaknya kali ini benar-benar aman.
Untuk rasanya, ini mirip dengan apel, tapi memiliki tekstur yang lebih lembut.
Yah, ini enak.
"Tapi, itu salah Riku-san juga karena tidak pernah mau mendengarkanku untuk beristirahat," ujar Elvy sambil menggembungkan pipinya dengan kesal dan memarahiku balik.
Mendengar itu, aku menghela nafas pendek.
"Yah, apa boleh buat, kan? Aku benar-benar sibuk setelah semuanya. Aku harus berkeliling untuk membagikan potion kepada semua orang yang terluka parah, selain itu urusanku dengan Pimpinan Raja Iblis itu juga masih belum selesai."
"Aku paham kalau Riku-san sangat sibuk, tapi kesehatanmu juga harus dijaga atau aku harus menggunakan cara ini lagi untuk membuat Riku-san tertidur, mengerti?" tegas Elvy dengan wajah yang marah, membuatku sedikit terkejut.
Bukan karena aku dimarahi olehnya, tapi itu karena Elvy saat ini benar-benar sangat menggemaskan.
Ya ampun, dia tetap imut meskipun lagi marah. Aku mungkin sedikit paham kenapa wanita itu sangat terobsesi dengannya.
"Riku-san, apa kau mendengarkanku?!"
"Ya yah, aku mengerti. Mulai hari ini aku akan menjaga pola tidurku," ucapku dengan nada yang santai. Aku turun dari kasurku setelah aku memastikan bahwa bagian bawahku sudah kering dan mulai memindahkan Alicia ke tempat tidur.
Tapi, mendengar itu, Elvy hanya semakin kesal, dia menatapku dengan tatapan yang mengeluh, dan menggembungkan pipinya dengan cemberut.
Melihat itu, aku mendengus singkat dan mengelus kepalanya setelah memindahkan Alicia.
"Terima kasih karena telah mengkhawatirkanku, Elvy-chan. Tapi, maaf, kurasa aku tidak bisa memenuhi janjimu itu, karena aku tidak memiliki banyak waktu lagi untuk terus tinggal di sini, jadi setidaknya aku ingin melakukan apapun yang bisa kulakukan untuk membantu kalian." ucapku dengan senyuman yang menyesal.
Elvy menundukkan wajahnya dengan sedih, sepertinya dia juga sudah menebak jika cepat atau lambat kami akan pergi meninggalkan desa ini.
"Apa kalian benar-benar akan pergi?" tanyanya sambil melihatku dengan tatapan seperti seekor anak kucing yang akan ditinggalkan.
Ugh, itu curang.
Jika kau menatapku seperti itu, aku jadi ingin memelukmu, kan?
Ini membuatku menjadi semakin sulit untuk menolaknya. Tapi, tahanlah diriku, kau bukan lolicon.Kau tidak boleh sembarangan memeluk seorang gadis tanpa izin, atau kau akan dicap sebagai penjahat kelamin. Tampaknya pengaruh buruk wanita itu tertular sedikit kepadaku.
Sial, jika saja aku terlahir dengan bakat seorang playboy, aku pasti tidak akan kesulitan untuk menghadapi situasi seperti ini. Apa yang harus kukatakan untuk membuatnya senang?
Memang benar, bulan depan kami berniat untuk segera meninggalkan desa ini, karena kami telah memberi banyak sekali masalah ke desa ini. Itulah kenapa, aku perlu bekerja keras untuk membayar semuanya sebelum waktu itu.
Aku berniat untuk memberikan sebagian besar potionku kepada mereka, karena tampaknya potion milikku tidak hanya dapat menyembuhkan luka seseorang, tapi juga dapat merangsang pertumbuhan tanaman agar lebih cepat tumbuh.
Aku juga berniat untuk mengajari mereka cara melakukan reboisasi untuk memulihkan hutan ini, yang kupelajari dari dunia asalku.
Lagipula kamilah yang menyebabkan semua kekacauan ini, jadi kami harus bertanggung jawab dengan benar. Karena kami, banyak Elf yang kehilangan rumah mereka, dan karena kami juga—
—Elvy harus kehilangan kakaknya.
Aku sendiri tau kalau ini masih belum cukup untuk membayar semua kerugian mereka, jadi jika ada sesuatu yang bisa kulakukan, aku pasti akan melakukannya sekuat tenaga.
Pada akhirnya, aku sama sekali tidak bisa meminta maaf kepada mereka. Apa mungkin karena aku takut mereka membenciku?
Ini pertama kalinya aku merasakan perasaan yang seperti ini. Saat aku mengurung diriku terus di dalam kamar, aku sama sekali tidak peduli pada perasaan orang lain, dan hanya mengadili mereka semua menurut pendapatku sendiri.
Ini adalah pelajaran yang bagus untukku.
Aku benar-benar berutang sangat banyak kepada desa ini, jadi aku harus membayar mereka kali ini.
"Maaf, Elvy-chan. Aku harus tetap pergi. Aku benar-benar berterimakasih kepada kebaikan kalian. Tapi, aku masih memiliki kewajiban untuk membawa pulang Alicia ke rumahnya," ucapku, yang sedikit mengarang ceritanya, tapi aku tidak sepenuhnya berbohong. "Jadi, aku benar-benar minta maaf, Elvy-chan. Aku tidak bisa terus berada di sini bersama kalian," lanjutku dengan jujur.
Rasanya seperti ada jarum yang menusuk dadaku ketika aku mengatakan itu.
Ini benar-benar menyakitkan.
Aku tidak ingin mengatakannya lagi.
"…."
Elvy tidak mengatakan apapun, itu membuatku menjadi semakin sakit seperti pukulan langsung tepat diperutku, aku menjadi sedikit panik.
Sesaat kemudian, dia berjalan dengan wajah yang menunduk dan berhenti ketika dia menyandarkan kepalanya ke dadaku, tanpa membiarkanku untuk melihat raut wajahnya.
Tapi, aku bisa merasakan sedikit basah dari air matanya yang menetes dan meremas bajuku.
"Elvy... -chan?" Alis mataku terangkat, tapi aku tidak mengatakan apapun lagi. Aku hanya mengulurkan tanganku untuk memeluknya, dan mendongak dengan penuh penyesalan.
Sial, padahal aku baru datang ke dunia ini, tapi aku sudah membuat dua orang gadis menangis.
Aku benar-benar menyedihkan.
Tampaknya, aku tidak memiliki bakat untuk menjadi seorang protagonis.