Chereads / Tujuanku Sebagai Figuran Novel / Chapter 1 - Menjadi figuran

Tujuanku Sebagai Figuran Novel

RoruYachi
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 2.4k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Menjadi figuran

Kamar sedang bercat biru, kasur empuk, kumpulan boneka bermacam bentuk, dan meja rias yang memantulkan bayangan seorang gadis berwajah asing yang anehnya selalu mengikuti setiap gerakan gadis itu. Itu bukan wajahnya, warna rambut merah muda senada dengan matanya itu bukan dirinya, ruangan ini bukan kamarnya, semua kejanggalan itu menariknya dalam satu kesimpulan paling masuk akal. Ia bermimpi.

Namun semua terlalu jelas untuk disebut mimpi. Tekstur meja rias, kaca, dan empuknya kasur, semua terlalu nyata. Bahkan aroma citrus yang memenuhi ruangan itu.

Ketukan pintu terdengar, diikuti oleh suara perempuan. "Non, bangun. Nanti terlambat ke sekolah. Saya masuk, ya." Pintu kayu bercat hitam mengkilat itu dibuka. Seorang gadis muncul dengan membawa setelan pakaian yang di hanger. Rambut pirangnya diikat asal.

"Ini seragamnya udah saya setrika," ujarnya sembari menggantungkan pakaian di gantungan yang menempel di dinding. "Nyonya Jessie bilang, kalau Non Mayuno mau berangkat bareng, jam setengah tujuh udah harus ada di meja makan," celotehnya. "Tapi kalau Non berangkat bareng Non Bianca-" Kalimat gadis yang sepertinya asisten rumah tangga itu terhenti saat pundaknya dibalik dan dipaksa menghadap ke arah sang nona.

"Mayuno? Aku Mayuno?" tanya gadis berambut merah muda itu dengan raut serius. "Jawab!" sergahnya sambil menggoncang kedua bahu lawan bicaranya.

Si asisten rumah tangga yang kebingungan itu mengangguk patah-patah. "Non kenapa?" Pertanyaannya tak dijawab, tapi sebaliknya.

"Nama kamu Ita? Sekarang tahun 2012? Negara kita namanya Halixer? Aku sekolah di Halix High School? Nyonya Jessie tadi mamaku? Bianca itu temanku?"

Berbagai pertanyaan meluncur begitu saja. Namun Mayuno tidak peduli jika ia dipandang aneh sekalipun. Yang dibutuhkan saat ini adalah informasi, dan orang yang paling tepat untuk ditanyai adalah Ita jika orang di depannya memang benar Ita. Gadis berusia 19 tahun ini akan menjawab semuanya, serandom apapun pertanyaan itu. Mayuno tinggal mencari alasan nanti.

Kalau benar, berarti ia sudah masuk ke dunia salah satu novel yang dibacanya sehari sebelum kematiannya. Novel yang berlatar di sebuah negara fiksi bernama Halixer yang berisi orang-orang dengan rambut dan mata warna-warni macam pelangi, tapi bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia non-baku.

Mayuno ingin tertawa, semudah itu ia mengambil kesimpulan lain yang di luar nalar dan sangat fantasi. Apakah ia mulai jadi narsis karena cobaan hidup yang mulai menggerogoti akal sehatnya? Bisa jadi dia tidak jadi mati saat itu.

Ita sendiri sempat terbengong, tapi meski kebingungan, ia tetap mencoba menjawab. "Iya, saya Ita. Terus iya, iya, iya ... Non tadi nanya apa aja, ya? Saya lupa," jawabnya sambil menghitung berapa kali ia menjawab 'iya' dengan jari.

Mayuno menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Uh ... Aku juga lupa ... Tapi intinya semua iya, 'kan?"

Ita mengangguk lagi. "Tapi kenapa Non nanyain itu?"

Bingo! Persetan dengan dugaan lainnya. Ia akan jalani saja. Entah itu mimpi, atau halusinasi akibat hilang akal, itu soal nanti.

Ini saatnya Mayuno memutar otak, ia bukanlah orang yang pintar dan Ita pun sebenarnya orang yang polos. Namun alasannya harus tetap terasa masuk akal. "Itu ... aku tadi mimpi nyataaaaa banget! Aku mimpi jadi seseorang yang miskin, setiap hari pintunya digedor renternir. Pokoknya nggak enak! Terus rasanya lamaaaaa banget! Makanya pas aku bangun, aku pengen mastiin kalau aku udah balik jadi Mayuno, gitu ...," jelasnya dengan nada dan raut yang didramatisir agar meyakinkan, walau sejujurnya ia agak meringis mengingat cerita itu adalah cerita hidupnya sendiri.

Ita manggut-manggut. "Oh ... gitu ... tenang aja, Non. Mimpi cuma bunga tidur. Ya udah, saya mau ke dapur dulu, ya." Ia membungkuk sedikit sebelum berjalan ke arah pintu. Saat akan keluar, Ita menoleh lagi. "Oh, iya. Non jadinya bareng siapa?"

"Jes- maksudku Mama. Aku bareng Mama." Mayuno berbalik memunggungi Ita untuk menepuk mulutnya sendiri yang hampir menyebut nama Jessie begitu saja.

"Kalau gitu saya sampaikan ke Nyonya." Pintu kembali ditutup. Sebelum pergi Ita memandang pintu itu sejenak, merasa aneh dengan sikap Mayuno yang lebih banyak bicara dan tidak jutek padanya lagi. Tapi itu bukanlah tempatnya untuk banyak bertanya, dan menurut Ita itu lebih baik. Mungkin, nonanya itu hanya sedang senang.

Mayuno menghela napas lega. Rasanya masih mengawang tapi entah bagaimana mengalir begitu saja. Padahal itu obrolan pertamanya dengan tokoh fiksi yang dulu hanya berbentuk tulisan. Antara masih belum percaya dan mulai percaya, Mayuno akan melihatnya nanti.

Sepeninggalan Ita, Mayuno ingin berpikir lebih banyak tapi jam sudah menunjukkan pukul 6.00. "Setengah jam lagi aku udah harus siap kalau mau bareng Mama, maksudnya mamanya Mayuno. Tapi sekarang aku 'kan Mayuno tapi sampai kapan aku jadi Mayuno? Kalau aku jelas udah mati, terus Mayuno yang asli ke mana? Kok aku bisa jadi dia?" monolognya. Ia menggeleng, menepuk kedua pipi untuk sekali lagi memastikan dengan rasa sakit. "Bersiap aja dulu. Ayo mikir nanti."

Singkat cerita, setelah berseru kagum entah berapa kali pada apapun yang ada di kamar; jendela besar dengan balkon dan pemandangan kota, kumpulan boneka, lalu yang paling membuatnya senang adalah komputer lengkap dengan printer, dan kamar mandi, seperti shower, bak mandi ala orang kaya, dan hal lainnya, Mayuno siap.

Saat ini ia tengah berputar-putar di depan cermin full body, untuk melihat betapa bagusnya seragam dengan blazer hitam dan rok senada bercorak kotak-kotak itu. Sentuhan terakhir adalah dasi pita bermotif sama dengan rok.

Mayuno ingin menata rambut panjangnya yang lembut, tapi waktu tidak cukup karena ia habiskan untuk berkeliling melihat detail dan ornamen yang terdapat di kamar yang tidak terlalu luas itu. Akhirnya, rambut panjang itu hanya diikat biasa.

Di meja makan, sudah tersedia dua piring berisi telur mata sapi, sosis, kentang, segelas susu untuk Mayuno, dan secangkir kopi untuk Jessie. Mayuno duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan wanita yang memiliki warna pupil sama dengannya namun memiliki warna rambut berbeda, hitam. Lagi, Mayuno takjub. Dalam novel, Jessie dideskripsikan sebagai wanita berusia 40 tahun yang tampak awet muda. Tapi ia tidak menyangka, akan terlihat semuda ini. Seperti berusia 20an akhir!

"Ayo makan."

Mereka berdua mengambil garpu dan pisau lalu menyantap sarapan masing-masing tanpa berbicara. Suasana itu membuat Mayuno bertanya-tanya tentang hubungan ibu-anak di antara mereka. Dirinya ingin memulai perbincangan, lebih tepatnya pertanyaan tentang nama uniknya, tapi tampaknya wanita itu tipe dingin yang tidak akan merespon dengan baik. Oleh karena itu, keterdiaman masih bertahan.

Garpu dan pisau bukanlah kombinasi alat makan yang biasa Mayuno palsu gunakan. Jadi gerakannya agak kikuk. Merasa sebal, ia meletakkan kembali pisau dan hanya makan dengan garpu. Tapi hanya garpu untuk menyantap telur mata sapi juga sulit.

"Hah ...." Helaan napas berat lolos dari mulutnya. Perutnya lapar, tapi harus kesusahan hanya untuk makan. Mayuno terkesiap saat netra merah mudanya bertubrukan dengan tatapan tajam Jessie. Ia buru-buru menunduk, mengutuk kecerobohannya sendiri yang lupa akan keberadaan sang Ibu yang bisa saja curiga.

"Ita! Ambilkan sendok buat May!" titah Jessie setelah melihat anak semata wayangnya yang kesusahan. "Kamu Mama kasih keringanan karena waktu tidak cukup," ujarnya datar.

Ita segera datang membawa sendok untuk diserahkan pada Mayuno. "Ini, Non."

"Mama tahu, buat kamu yang sudah lama tinggal di desa bersama nenek, tidak mudah untuk makan dengan alat makan itu. Tapi kalau kamu ingin bisa bergaul dengan kalangan atas, kamu harus belajar sampai bisa, table manner itu penting," ujar Jessie lagi.

Mata Mayuno mengerjap, informasi baru! Ternyata Mayuno dulunya tinggal di desa! Fakta itu baru ia ketahui karena info tentang Mayuno tidaklah banyak. Ia hanya digambarkan sebagai gadis yang terobsesi pada popularitas sehingga mau melakukan apa saja termasuk menjadi pacar Hildan yang terkenal sering bergonta-ganti pasangan. Tapi nama 'Mayuno' yang unik membuatnya selalu mengingat tokoh itu.

"Mama tunggu kamu di ruang tamu. Selesaikan sebelum jam tujuh." Jessie meletakkan alat makannya sebelum mengelap mulut dengan tisu. Setelah itu, ia beranjak ke ruang tamu bersama cangkir kopinya.

Ponsel di saku bergetar, membuat Mayuno berhenti sejenak untuk melihat notifikasi yang muncul. Karena hanya getaran, ia tidak tahu itu hanya pesan singkat atau telepon. Saat melihat layar, rupanya itu adalah telepon dari nomor tak dikenal. Mayuno sempat ragu untuk menjawab. Dari pengalaman yang buruk, kebanyakan yang menelpon adalah renternir atau modus penipuan.

Ia berpikir lagi, harusnya bukan. Mana mungkin ada renternir yang menelpon seorang Mayuno yang hidupnya bebas hutang. Ibunya adalah dokter. Dalam novel juga tidak pernah ada kalimat yang mengatakan kalau Mayuno hidup miskin. Justru ia mampu bergaul dengan geng Bianca yang hedon. Akan tetapi bagaimana hidup Mayuno saat di desa?

Mayuno menggeleng, mencoba menepis pemikiran buruknya. Ia lalu menekan tombol terima di layar. "Halo?"

"Ini nomorku. Sesuai janji semalam, aku jemput kamu pagi ini. Kita berangkat bareng." Telepon dimatikan oleh pihak seberang—yang berjenis kelamin lelaki dari suara bass- nya—segara setelah mengatakan itu.

Mayuno bergeming. Seakan tidak diberi waktu untuk berpikir, suara klakson mobil terdengar dari depan, lalu diikuti oleh suara bel pintu.

"Siapa?" Itu suara Jessie.

"Permisi Tante, saya temannya May. Kita janjian mau berangkat bareng." Yang menjawab adalah lelaki.

"Janjian? Tapi May bilang mau berangkat bareng mamanya."

"Tapi semalam May bilang mau bareng saya, Tan."

"Ya sudah. Saya tanya dulu ke dia nanti. Kamu masuk dulu. Sekarang dia lagi sarapan, kamu nggak masalah nunggu sebentar?"

"Enggak masalah kok, Tan .... " Lelaki itu menjeda sejenak, "ngomong-ngomong, saya belum memperkenalkan diri, nama saya Hildan."