Chereads / Tujuanku Sebagai Figuran Novel / Chapter 2 - Bertemu Hildan

Chapter 2 - Bertemu Hildan

Mata Mayuno membelalak lebar. Begitu mendengar nama itu disebut, rasa penasaran langsung menyuruhnya untuk segara berlari ke ruang tamu. Rasa antusias mengalahkan ketidaksukaan pribadinya untuk melihat tokoh yang digambarkan sangat tampan, hingga membuatnya tak perlu susah mencari pacar setelah putus karena banyak yang mengantre meledak-ledak, menyebabkan kaki Mayuno gemetar dan tubuhnya merinding.

Mayuno menguatkan hati untuk tetap tenang dan tidak bertindak tanpa berpikir seperti pagi tadi bersama Ita. Ia bisa lepas karena itu Ita, dan beruntung Jessie tidak curiga karena kebiasaan makannya sama dengan Mayuno asli.

"Kalau dipikir lagi, sih ... kayaknya nggak masalah aku langsung ke sana. Lagian Mayuno 'kan bucin banget ke Hildan. Justru aneh kalau mendadak aku cuek, " pikirnya.

Apakah ia harus mengikuti alur? Cerita tokoh Mayuno hanya sampai pada pertengahan di mana ia akhirnya dipindahkan ke luar negeri oleh Jessie setelah diskors satu minggu.

Penyebabnya adalah kekerasan fisik yang ia lakukan pada tokoh utama perempuan dalam novel atas perintah Bianca. Dari situlah Jessie mengetahui pergaulan putrinya yang tidak sehat dan bertekad untuk menjauhkan segala pengaruh buruk dari sang anak.

Akhir yang tidak buruk. Namun jika mengikuti alur, ia harus menjilat Bianca, bucin dan manja pada Hildan, berlaku kasar pada Niria, dan tindakan lain yang bertentangan dengan karakternya. Membayangkannya saja sudah membuat Mayuno bergidik ngeri dan jijik.

Pertimbangan lain, apa yang akan terjadi jika ia berlaku melenceng dari alur? Akankah berpengaruh pada dirinya?

"Belum selesai juga? Jam berapa sekarang? Tinggalkan saja sisanya, cepat ke depan!"

Sentakan Jessie itu membuat pikiran Mayuno yang sedang melayang menghantam kesadarannya seketika. "I-iya, Ma!" jawabnya gelagapan. Ia langsung berdiri kaku, kegugupan itu menyebabkan tangannya tak sengaja menyenggol gelas berisi susu hangat yang baru berkurang setengah, isinya tumpah ke meja dan sebagian mengenai rok sekolahnya.

Kedua perempuan di ruangan itu sama-sama mematung. Mayuno bengong dengan mulut setengah terbuka, terkejut lalu rasa takut mulai menjalar. Perlahan ia melirik Jessie yang kini memijit pelipisnya pelan.

Ita datang tergopoh-gopoh dalam kondisi baju bagian bawahnya yang basah dari arah dapur. Entah apa yang gadis itu lakukan. "Ada apa, Non? Saya denger suara ribut tadi. Ada yang jatuh?"

Mayuno baru membuka mulut, tapi Jessie mendahuluinya. "Sudah! Tidak ada waktu. Ita, ambil kain lap," titahnya pada Ita. "Lalu kamu, May. Lap saja rok kamu seadanya dulu. Tutup basahnya pakai jaket atau apapun. Nanti beli seragam lagi di sekolah. Uang kamu masih ada, 'kan?"

"Masih, Ma," jawab Mayuno dengan suara lirih. Padahal faktanya ia tidak tahu soal uang itu dan tidak berani untuk bertanya lebih banyak karena situasi yang sedang tegang.

"Baguslah kalau begitu. Sekarang temanmu menunggu di depan. Dia bilang kamu mau berangkat bareng dia. Kenapa sekarang mau bareng Mama?" tanya Jessie sambil melipat tangan di depan dada.

Di saat itu Ita muncul membawa dua kain lap. Satunya ia gunakan untuk mengelap meja, dan satunya di serahkan pada Mayuno. Sambil mengelap roknya, Mayuno menjawab, "Soal itu .... " Mata Mayuno bergerak ke kiri dan ke kanan, mencoba mencari alasan. "Kupikir dia 'nggsk mau jemput."

"Kenapa?"

" Feeling aja, Ma."

Dahi Jessie mengerut. " Feeling? "

"Habisnya ... waktu kuajak barengan dia cuek, gitu," Mayuno terus menjawab berdasarkan pemikiran singkatnya mengikuti alur novel.

Hildan bukanlah orang yang cuek sebenarnya, ia termasuk orang yang ramah. Namun entah mengapa, Hildan sangat cuek pada Mayuno. Ia ingat betul saat Mayuno dengan menggelikan memohon pada Hildan untuk mengantar-jemput karena iri pada pasangan utama. Hildan hanya menjawab, "Hm."

Akhirnya? Mayuno yang malang tidak dijemput karena lelaki itu lupa. Iya, lupa. Setidakpenting itulah Mayuno baginya. Apakah gadis itu menyerah? Oh, tentu saja tidak. Tokoh yang diciptakan hanya untuk menjadi budak cinta bodoh dan tolol plus menyebalkan di mata Hildan karena sikap kekanakannya itu memiliki hati baja, bahkan saat ia tahu hati lelaki itu sudah berpaling pada gadis lain pun, ia masih mencoba mempertahankan hubungannya.

Kalau kekanakan itu menyebalkan, maka playboy itu keren. Memang, Hildan tidak pernah menduakan pacarnya, tetapi ia mudah bosan. Tidak ada yang membenci sikap Hildan yang satu itu. Kalau ada yang membuatnya illfeel, maka dengan mudah kata putus akan terucap. Padahal keduanya adalah sikap yang buruk. Hanya saja, seperti pada novel romantis pada umumnya, Hildan perlahan berubah setelah bertemu dengan Kara yang lemah lembut dan pengertian menurutnya.

Gadis itu berbeda dari Mayuno yang akan marah-marah bila melihatnya dekat dengan gadis lain, bukan marah pada Hildan, tapi pada para gadis itu. Kara hanya akan diam dan bersikap seakan tidak terjadi apa-apa. Tapi yang membuat lelaki itu menyukainya adalah Kara seperti sosok penenang untuknya. Di situlah pencarian cinta Hildan selesai. Hatinya berlabuh pada Kara.

Kara, nama itu selalu mengingatkan Mayuno pada merek santan yang terkenal di Indonesia.

Mata Jessie menyipit. "Kamu tidak memohon ke dia untuk menjemput kamu 'kan?"

"Enggak kok, Ma! Makanya aku mau bareng Mama aja karena enggak mau maksa dia." Kenyataannya ia tidak tahu.

"Tapi dia sudah datang. Terserah kamu mau sama siapa. Kalau mau sama dia, bawa semprotan merica, oke? Bagaimanapun kamu harus waspada. Mama tidak mau membatasi pertemanan kamu, dan kamu juga harus tahu batasannya. Paham?"

Tangan kanan Mayuno terangkat membentuk pose hormat. "Siap!" guraunya. Setengah senang dengan perhatian kecil dari seorang ibu. " Ternyata Mama Jessie tsundere!" batinnya.

"Ngapain kamu?" Namun sepertinya wanita yang kaku bak kanebo kering ini radar humornya sudah konslet.

Tangan yang diangkat itu turun perlahan. Mayuno berdehem pelan demi menutupi rasa malu. Biasanya tokoh lelaki utamalah yang kaku dan dingin begini. Ternyata menghadapi tokoh dengan karakter semacam ini tidaklah mudah untuknya.

10 menit kemudian.

Atas izin Jessie, Mayuno ikut dengan Hildan. Meski sebelumnya Mayuno sempat mendapat tatapan menyelidik karena mulut lemas Hildan yang sengaja atau tidak mengatakan, "Kita berangkat, Sayang?" Meski setelahnya lelaki itu langsung meralat. "Aduh! Aku masih belum move on dari Fera. Maaf May."

Mayuno yakin, sepulangnya wanita itu dari bekerja, ia pasti akan setidaknya bertanya soal panggilan Hildan itu. Mana mungkin alasan aneh macam itu mudah dipercaya! Di hari pertemuan pertama mereka, Mayuno sudah merasa kesal, teramat kesal hingga kekagumannya pada Hildan saat pertama kali melihat visual lelaki itu berkurang. Sudahlah ia sebelumnya memang tidak menyukai tokoh Hildan sebagai pembaca, dan sekarang dibuat kesal pula.

"Parfum kamu vanilla, ya?" Itulah pertanyaan pertama Hildan sekaligus pembuka percakapan mereka semenjak meninggalkan rumah Mayuno.

Gadis yang sedang menatap bangunan-bangunan tinggi dari balik jendela mobil itu menarik napas lalu menoleh pada lelaki di sampingnya yang masih fokus menyetir. "Enggak. Aku ketumpahan susu."

"Kok bisa?"

"Ya begitu lah."

"Begitu? Gimana?"

"Aku kaget Mama mendadak dateng padahal lagi melamun."

Tanpa disangka Hildan terkekeh, dan itu membuat Mayuno melirik tajam.

"Konyol," ejeknya masih terkekeh. " By the way, kenapa kamu mau bareng Mama kamu padahal udah janjian sama aku?"

"Aku yakin kamu denger obrolanku sama Mama di dapur. Jadi nggak perlu kujawab lagi." Mayuno merutuki dirinya sendiri yang secara tidak sadar menjawab pertanyaan Hildan dengan nada ketus karena memang sedang kesal, tapi sisi dirinya yang lain mengatakan harusnya sekarang tidak bersikap begitu.

"Karena aku cuek? I am sorry. Kemarin aku lupa konfirmasi ke kamu. Lagian aku 'kan udah iyain di kelas. Oh iya! Kalau mau chat atau nelpon, ke nomor itu aja, ya. Nomor itu khusus buat kamu,"

jelas Hildan sambil tersenyum hingga kedua mata yang membingkai bola mata hitam itu menyipit. Bulu mata merah yang senada dengan rambut yang ditata ala boyband itu menambah serangan visual bagi siapapun yang tidak siap.

Jantung Mayuno berdegup kencang seketika. Segera ia memalingkan wajah ke arah jendela yang masih menampilkan pemandangan kota. Gawat! Ia baru akan bertekad untuk tidak menjadi Mayuno yang bucin, tapi masih bisa terpesona itu sangat gawat.

"Kenapa nggak jawab? Kamu marah?"

Masih menatap jendela, Mayuno menjawab, "Aku nggak marah."

"Hm? Terus kenapa cuek gitu?"

"Kenapa cowok ini cerewet banget, sih?! Iya emang dia banyak omong kalau sama gengnya atau Kara. Tapi enggak sama Mayuno! Argh! Kupikir perjalanan ke sekolah ini bakalan tenang, ternyata—"

"May, kamu sakit?"

Mayuno membelalak saat dahinya disentuh dengan lembut oleh tangan lebar Hildan. Reflek, ditepisnya tangan itu.

Hildan sempat menunjukkan ekspresi terkejut, hanya sebentar, lalu selanjutnya memasang wajah sedih yang dibuat-buat. "Tuh, 'kan ... kamu marah."

"Nggak! Aku cuma kaget!" ketus Mayuno. Tepat setelah itu, gerbang sekolah yang berdiri megah terlihat. Gerbang bercat hitam yang di atasnya terdapat tulisan besar berwarna emas, Halix High School. Gedung sekolah yang megah itu mencuri perhatiannya. Ingin saja Mayuno berseru, tapi ingat bahwa di sebelahnya saat ini ada makhluk lain selain dirinya yang pasti akan memandangnya aneh jika melakukan hal itu. Jiwa udiknya tidak boleh keluar sekarang.

Mobil Jazz hitam Hildan berbelok ke gerbang lain di mana lahan parkir berada. Dengan lihai, lelaki itu memarkirkan mobil dengan sebelah tangan. Gaya keren yang pernah Mayuno lihat di drama TV hampir membuatnya terpesona lagi, untung tangan warasnya segera menyadarkan si pemilik dengan tamparan sayang yang sukses membuat gadis itu meringis.

Tindakan itu juga sukses membuat Hildan tertegun. "Kamu kenapa, May?" Tangan kanannya menyentuh pipi Mayuno yang memerah karena tamparannya sendiri dan tangan kirinya menggenggam pergelangan tangan Mayuno yang menampar pipi.

Selama beberapa saat mereka berada di posisi itu. Hildan mulai mengelus pipi Mayuno yang kini keduanya makin memerah. "Kamu aneh banget hari ini. Ada apa?"

Wajah Mayuno menjadi kaku oleh perlakuan itu. Kepalanya linglung tak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Seharusnya Hildan cuek kepadanya, atau mungkin sebelumnya tidak? Kalau menurut latar waktu di novel, hubungan mereka sudah berjalan selama satu minggu.

Bel sekolah berbunyi, menarik siswa dan siswi yang masih berada di luar untuk masuk ke kelas masing-masing. Begitupun Mayuno, ia melepaskan pergelangan tangannya dari genggaman Hildan. "Bel udah bunyi," ujarnya saat gagal membuka pintu mobil yang ternyata dikunci.

"Oh, maaf." Tangannya yang akan menekan sebuah tombol, berhenti. Ia menoleh ke arah Mayuno yang juga menatapnya. "May, nanti makan siang bareng, ya?" pintanya.

Makan siang bersama! Hildan mengajaknya makan siang bersama! Sel-sel otaknya seakan menjadi gaduh. Apakah ia masuk dalam alur klise? Di mana jika cewek bucin mendadak cuek malah membuat pacarnya makin gencar mengejar? Kalau begitu, ia harus menjadi cewek bucin agar Hildan si playboy ini illfeel. Itulah kesimpulan yang ia dapat setelah melihat reaksi Hildan sebelumnya.