Jam pelajaran pertama dan kedua telah usai. Namun kepala Mayuno yang penuh dengan banyak hal tidak mampu lagi menampung materi yang disampaikan oleh Pak Husein, guru matematika. Setelah guru yang ternyata sangat baik hati itu sudah keluar, Mayuno merebahkan kepalanya di meja.
Beruntung tempat duduknya berada di paling pojok dan belakang.
Tempat duduk pojok, masuk ke dunia novel, dan punya pacar yang merupakan sahabat salah satu tokoh penting. Dari semua ciri-ciri itu, Mayuno mulai berpikir bahwa dialah yang menjadi tokoh utama sekarang. Bisa jadi, genre telah berubah dari romantis, menjadi fantasi isekai. Karena dalam hukum genre isekai, ia sudah memenuhi syarat, yaitu terlempar ke dunia lain. Walaupun bukan dunia sihir abad pertengahan.
"Hm ... Kalau gitu, alurnya tergantung aku, dong. OMG! Aku yang bakal jadi rebutan para cogan, kah? Akyu nggak syiap!" bisiknya heboh sendiri sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. Membuat ikatan rambut yang memang tidak rapi makin acak-acakan.
"Ngapain masih di sini? Bianca udah ke kantin duluan."
Kegilaannya terhenti, dengan malas Mayuno mengangkat wajah begitu mendengar nama Bianca. Di hadapannya berdiri seorang gadis berambut sebahu yang berkacak pinggang. Gadis berambut kelabu itu memutar bola mata beriris coklatnya lalu menarik tangan Mayuno untuk memaksa gadis itu bangun.
Gadis itu mengernyit kala melihat penampilan Mayuno. "Rambut kamu kenapa berantakan, gitu?"
"May! Jadi 'kan makan bareng?" Di saat yang sama, Hildan muncul di ambang pintu dengan senyum lebarnya yang terlihat cerah. Senyumnya turun sebentar ketika bersitatap dengan gadis berambut kelabu, tapi terbit lagi lebih tipis. "Maaf, Frey. Mayuno makan sama aku hari ini," ujarnya seraya berjalan mendekat ke meja Mayuno.
"Frey? Berarti dia Freya. Salah satu sahabat Bianca," batin Mayuno.
"Liat, deh! Manis banget si Hildan!"
"Jarang-jarang, lho. Hildan ngajakin makan bareng sampe jemput ke kelas gini. Apalagi mereka baru jadian dua hari."
"Alah! Paling juga itu May yang minta jemput ke kelas."
"Jadi iri ...."
"Paling juga cuma tahan sebulan itu."
"Nggak masalah sebulan, atau seminggu. Yang penting udah ngerasain jadi pacar Hildan!"
Bisik-bisik murid yang berada di kelas mulai terdengar oleh pendengaran Mayuno yang standar itu. Ia harus mengiyakan ucapan salah satu dari mereka.
"Jarang-jarang, lho. Hildan ngajakin makan bareng sampe jemput ke kelas gini. Apalagi mereka baru jadian dua hari."
Mengajak melakukan suatu hal duluan kepada pasangannya bukanlah hal biasa yang dilakukan Hildan. Lelaki itu menjadi pihak yang diajak. Tapi bukannya tidak pernah, hanya sangat jarang. Terlebih dengan waktu jadian yang masih sangat baru. Mayuno pun sempat berpikir jika jemputannya hari ini ke rumah merupakan hasil dari paksaan Mayuno asli. Ah! Mayuno berterima-kasih dalam hati pada entah siapa itu yang menyebutkan waktu jadian mereka.
"Kamu makan sama dia, May?"
Mayuno mengangguk. "Iya," jawabnya singkat. Bagaimanapun ia sudah menerima ajakan Hildan pagi tadi.
"Ya udah kalau gitu." Freya mengedikkan bahu. "Puas-puasin, deh," godanya sambil mengedipkan mata kemudian berlalu dari kelas.
Sudah bertemu Freya yang centil, Mayuno penasaran pada Bianca. Antagonis yang digambarkan sebagai gadis cantik berwajah galak, sifatnya pun galak, seorang perokok, dan menjalani kehidupan yang bebas. Gaya hidupnya hedon dan sangat royal kepada teman dekatnya seperti Freya, Sien, dan Mayuno sendiri. Teman dekat, tidak. Tiga tokoh itu lebih seperti penjilat daripada teman.
Usapan lembut di puncak kepala membuat Mayuno yang awalnya fokus melihat kepergian Freya tersentak. Ia mendongak, membuat matanya dan mata Hildan saling bertubrukan.
Hildan tersenyum, agak membungkuk bertumpu pada meja dengan kedua siku untuk menyejajarkan wajah mereka. "Pacar aku manis banget, sih. Walaupun rambutnya kayak nenek lampir."
Mayuno tidak tahu harus menyebut ucapan itu pujian atau hinaan atau keduanya. Yang pasti hal itu membuatnya merinding dan malu. Bukan malu bahagia yang perutnya bagai ada kupu-kupu, lebih ke seperti dipermalukan secara halus.
"Aku bercanda, kok. Aku tahu rambut kamu itu lurus. Kenapa nggak digerai aja kayak biasa? Terus pakai bando atau jepitan. Daripada iket nggak rapi gini."
"Gerah. Tadi kesiangan, jadi nggak sempat rapi-rapi."
Hildan kembali berdiri, berjalan ke arah belakang Mayuno. Dengan hati-hati ia melepas ikat rambut gadis itu. Mayuno menoleh, tapi kepalanya ditolehkan kembali ke depan oleh Hildan.
"Kamu ngapain?" tanya Mayuno.
"Mau aku kepang. Tenang. Nggak lama, kok," sahut Hildan mulai menyisir rambut Mayuno dengan tangan. "Rambut kamu lembut banget, kayak rambut Fera. Punya Fera lebih lembut, sih. Oh! Jangan takut nggak rapi. Aku udah sering ngepangin rambut cewek."
Mayuno tidak membalas, kalimat terakhir itu entah mengapa mengandung maksud tertentu. Seperti Hildan ingin memberitahu dirinya bahwa ia pernah dekat dengan banyak gadis dan ingin membuat Mayuno cemburu. Ia ingat di kehidupan sebelumnya pernah bertemu lelaki semacam ini yang senang bercerita soal kisahnya dengan mantannya dulu dan tidak segan untuk membandingkan pacarnya dengan mantan atau gadis lain. Itu bukan pacarnya, tapi pacar temannya.
Sebagai seorang yang punya perasaan, pastinya tidak menyenangkan diperlakukan begitu oleh orang yang seharusnya menjadi belahan jiwa. Kalaupun perbandingan itu benar, tapi sangat tidak etis dalam suatu hubungan. Bukankah sebagai pasangan harus saling menjaga perasaan satu sama lain? Dan mengubur masa lalu agar dapat terus berjalan di masa depan?
Tentang perkataan Hildan yang mengandung maksud tertentu atau hanya omong kosong belaka, Mayuno hanya merasa sedikit tidak nyaman. Hal itu juga menguatkan tekad Mayuno untuk menjauhi lelaki itu. Tidak ada rasa cemburu, marah, atau menjadi rendah diri. Lain cerita jika Mayuno punya perasaan spesial, tentunya akan berbeda.
Tidak butuh waktu lama, kepangan Hildan selesai. Mayuno memeriksanya dengan tangan dan yang mengesankan hasilnya sangat rapi. Padahal tidak memakai sisir sama sekali, hanya tangan. Dia yang seorang gadis saja tidak bisa serapi ini saat menata rambut.
"Gimana? Rapi 'kan?"
Mayuno memutar badan ke belakang, mengangguk, tanpa sadar ia tersenyum sumringah, puas dengan hasilnya meski bukan pekerjaannya. Seketika rasa tidak nyaman tersapu oleh kepuasan itu. "Aku suka!" ucapnya tulus. Lengkungan bibirnya menghilang saat dilihatnya Hildan mamatung dengan tatapan dingin, seolah yang di depannya saat ini adalah sesuatu yang ia benci."Hildan?"
Lelaki itu mengerjap beberapa kali lalu berdehem pelan, serta memasang senyumnya kembali. "Ayo ke kantin sekarang," katanya.
Dalam perjalanan ke kantin, mereka menjadi bahan lirikan dari beberapa murid yang mereka lewati. Ini terjadi karena Hildan yang dengan sengaja tidak mau melepas tautan tangan mereka sedari tadi di kelas. Mayuno masih berusaha menarik telapak tangan yang sela-sela jarinya diisi oleh jemari Hildan. Bukannya lepas, tautan itu semakin menguat.
"Lepas! Kita diliatin tau nggak?!" bisik Mayuno sewot.
Hildan menghentikan langkah, dengan jahil ia balas berbisik tepat ditelinga Mayuno. "Kan itu yang kamu mau. Lupa?"
Bulu kuduk Mayuno berdiri, ia spontan menjauhkan diri. Namun ditarik mendekat lagi oleh Hildan. Mereka kembali berjalan diiringi oleh tatapan iri dan geli serta pekikan-pekikan pelan dari beberapa gadis.
Jika mengingat rencananya beberapa jam lalu untuk menjadi bucin agar Hildan illfeel, Mayuno merasa tidak sanggup untuk melakukan hal itu. Bergandengan tangan saja ia sudah malu, apalagi harus bergelayut manja.
Sesampainya di kantin, Hildan langsung menarik Mayuno ke meja kasir. "Menu kombo A, Pak." Ia menoleh ke arah Mayuno yang sedang membaca daftar menu yang menempel di etalase kaca. "Kamu mau apa?"
Menu yang juga menyertakan foto makanan itu membuat Mayuno sesak napas. Bukan karena tampilannya, justru itulah yang menggugah selera. Namun harga yang tertera di sanalah penyebabnya. Menu Kombo A yang di pesan Hildan seharga Rp 50.000. Sekedar informasi, di negara fiksi ini mata uang mereka adalah rupiah.
Makanan termurah yang di jual seharga Rp 10.000, yaitu nugget, pangsit goreng, dan gorengan lainnya. Di sebelah menu gorengan itu tertulis (homemade) yang seporsinya berisi dua biji. Mayuno berdecak, kepalanya menggeleng pelan melihat harga yang tak bersahabat di kantong pelajar biasa. Pantas saja tadi ia melihat ada beberapa yang membawa bekal.
Untuk minuman, cukup banyak pilihan yang ekonomis. Seperti kopi, teh, air mineral, dan susu yang seharga Rp 5.000. Di atas itu, tidak ada yang melebihi Rp 20.000. Lebih terjangkau.
"Atau emang harga di negara ini mahal-mahal, ya?"
Pandangannya beralih pada peraturan yang tertera di sebelah menu. Beberapa aturan itu adalah di kantin sekolah ini, setelah memesan murid harus membayar terlebih dahulu dengan uang cash. Mereka tidak menerima pembayaran secara digital.
Setelah makan, murid diwajibkan membersihkan meja mereka sendiri dan menaruh piring/gelas kotor di tempat yang telah di sediakan. Konsekuensi jika tidak mematuhi aturan ini adalah denda seharga makanan yang mereka beli, atau mendapat poin.
Bahunya ditepuk pelan oleh Hildan. Mayuno yang sedang berpikir mengenai uang pun tersentak. Ditatapnya Hildan sengit, yang dibalas senyuman oleh lelaki itu. "Serius banget liat menunya? Cepetan pesen. Nanti waktu istirahatnya keburu habis."
Mata Mayuno bergerak liar pada daftar menu. Ia bingung mau memesan apa. Apa yang biasanya Mayuno pesan ia tidak tahu. Ingin mengikuti Hildan takut kalau terlalu mahal untuknya. Bisa saja uang sakunya tidak cukup, apalagi hari ini ia harus membeli seragam.
"Bener! Seragam!" Mayuno menepuk dahinya saat mengingat pesan Jessie. Rok kotak-kotaknya sekarang masih ditutupi jaket hitam panjang yang diikat di pinggang. Ia tidak tahu harga seragam itu berapa, perkiraannya pastilah cukup mahal, di kisaran ratusan ribu. Membuang uang untuk seragam baru hanya karena ketumpahan susu itu mubazir. Pulang sekolah nanti masih ada waktu untuk mencuci sekalian menyetrika. Sebagai mantan orang miskin yang sayang uang, Mayuno memilih untuk mengalokasikan uang itu untuk hal lain. Makanan misalnya.
"Saya kwetiau goreng sama teh, Pak." Mayuno mengeluarkan dompet dari saku rok. Di dalamnya ternyata ada tiga lembar uang seratus ribu. Baru akan mengambil selembar, Hildan lebih dulu menyerahkan uang pada kasir. "Sekalian sama dia, Pak. Kasih toping juga di kwetiau-nya. Mau toping apa, May?
Alis Mayuno terangkat, ingin menolak tetapi sadar kalau ini adalah kesempatannya untuk membuat Hildan tidak suka. Malu tentu saja, tapi ia harus menebalkan muka. "Bakso ikan lima sama ayam krispi dua porsi. Boleh?" pintanya dengan suara yang dibuat manja.
Tidak ada yang lebih menyebalkan dari pacar yang maunya banyak padahal baru pacaran dua hari. Memang hal ini tidak akan langsung, setidaknya mengurangi kadar suka di mata Hildan sedikit.