Menaklukkan hati
itu seperti mendaki gunung berapi
saat Ia sedang menggelegak
siap memuntahkan dahak
dari rahim magma yang melahirkan anak-anak lava
untuk kemudian membesarkannya
di antara kegelapan dan cahaya
di sela-sela rasa bahagia atau patah hati karena cinta
Ratri Geni menatap lautan yang membelah Daratan Jawa dengan Pulau Dewata. Terdapat tempat penyeberangan yang biasa dilalui orang tak jauh dari bukit kecil tempatnya mengamati. Lautan sedang tenang hari ini. Mata Ratri Geni yang tajam bisa melihat samar-samar gugusan Pulau Dewata yang nampak seperti raksasa sedang tertidur berbantalkan buih gelombang.
Raden Soca dan yang lain pasti telah berada di daratan tempat bermukim para Dewa itu. Entah apa yang dilakukan oleh mereka tapi Ratri Geni merasakan semangat yang begitu besar untuk segera menyusul. Mungkin disebabkan oleh petualangan di negeri baru atau karena bisa kembali berjumpa dengan pemuda yang dirasakannya semakin kuat mencengkeram hatinya. Ratri Geni tersenyum kecil. Dengan wajah memerah karena malu kepada diri sendiri. Gadis itu menggerakkan kakinya melangkah menuruni bukit. Menuju tempat penyeberangan yang terlihat cukup ramai dengan perahu dan kapal yang bersandar.
Pelabuhan itu memang sangat ramai dengan kegiatan para saudagar. Mereka membawa barang dagangan berupa hasil bumi ke Pulau Dewata seperti sayuran, pakaian dan artefak-artefak pemujaan. Begitu juga sebaliknya. Para pedagang dari Tanah Jawa membawa rempah, bunga-bunga dan kebutuhan pemujaan ke Pulau Dewata.
Ratri Geni memperhatikan perahu dan kapal yang berjajar rapi di hadapannya. Laut yang memisahkan Jawa Dwipa dan Pulau Dewata tidaklah terlalu lebar. Akan tetapi tetap saja jika masuk musim Angin Barat, gelombangnya cukup menakutkan. Dan sekarang adalah Musim Barat. Ratri Geni tersenyum kecut. Dia pandai berenang. Namun melihat laut yang sedang tidak ramah, membuat dirinya mual bahkan sebelum menaiki kapal.
Gadis cantik yang sekarang kepandaiannya luar biasa tinggi dan jarang menemui tandingan itu memilih menaiki kapal terbesar yang ada. Meskipun jadwal keberangkatannya masih cukup lama namun dia memilih untuk sabar menunggu. Kapal yang lebih kecil sebenarnya jauh lebih cepat sampai. Tapi Ratri Geni tidak mau. Dia membayangkan kapal kecil itu terombang-ambing dihantam gelombang. Di pelabuhan ini saja gelombang sudah cukup besar. Apalagi di tengah-tengah lautan. Ratri Geni tersenyum lebih kecut lagi.
Setelah membayar ongkos kapal, Ratri Geni memilih untuk duduk di atas palka. Di dalam guncangannya lebih terasa. Selain itu dia mesti waspada dan itu bisa dilakukannya secara penuh jika berada di atas palka dekat nahkoda kapal.
Kapal besar itu bergoyang ke kanan dan kiri dengan cukup keras. Lagi-lagi Ratri Geni bergidik. Ah! Inilah salahnya kalau jarang sekali bermain di laut. Saat menuju Pulau Kabut bersama Raden Soca, dia sama sekali tidak sedikitpun merasa ketakutan. Padahal mereka menaiki perahu yang sangat kecil dan hanya muat untuk dua orang. Ratri Geni meringis. Itu berarti yang menimbulkan rasa aman adalah pemuda itu. Bukan besar kecilnya kapal atau perahu.
Setelah menunggu cukup lama dengan perut yang sudah mulai mual, kapal itu akhirnya berangkat. Ratri Geni yang mengenakan jubah lebar dengan tutup kepala yang menyembunyikan nyaris seluruh mukanya, duduk di atas peti-peti kayu yang banyak terdapat di palka. Sepertinya ini peti buah-buahan karena baunya harum sekali. Mata gadis itu beredar mengamati kapal yang cukup banyak terisi penumpang. Selain para saudagar atau pedagang, banyak juga orang-orang dunia persilatan. Hal itu bisa dilihat dari penampilan mereka yang di punggungnya tersembul gagang pedang atau di pinggangnya nampak menonjol gagang keris.
Ratri Geni cukup tertarik saat telinganya yang tajam menangkap perbincangan beberapa kelompok orang yang sepertinya membicarakan hal yang kurang lebih sama.
"Benarkah di Puncak Gunung Agung akan ada ontran-ontran Kakang?" Seorang pemuda yang nampak masih lugu bertanya kepada seseorang berperawakan tinggi besar dengan kumis tebal.
"Hmm. Aku dengar memang begitu. Siluman Kembar yang sakti itu katanya mengadakan semacam sayembara perebutan benda pusaka yang tak ternilai harganya."
"Terus kita pergi ke sana untuk itukah Ketua?" Seorang lain lagi menimpali dengan pertanyaan kepada si kumis tinggi besar.
"Tidak! Aku mengajak kalian tidak untuk memperebutkan benda pusaka itu. Terlalu berat bagi kita karena pasti orang-orang sakti berdatangan dari segala penjuru ke Gunung Agung. Kita tidak akan mampu."
Telinga Ratri Geni juga menangkap bisik-bisik lirih dari buritan kapal.
"Pangeran, apakah Pangeran yakin akan ikut berebut benda pusaka Siluman Kembar Gunung Agung?"
"Aku tidak yakin bisa, Paman. Tapi setidaknya aku harus mencoba. Cupu Manik itu memiliki kekuatan yang sangat sakti. Kabarnya pusaka itu mampu membuat pemiliknya memiliki hawa sakti langka yang berasal dari Laut Selatan."
Ratri Geni makin tertarik. Cupu Manik?
"Tapi mana mungkin kita bisa mengalahkan Siluman Kembar yang maha sakti itu Pangeran?" suara itu bernada cemas dan ketakutan.
"Aku tahu Paman. Karena itulah aku sudah meminta bantuan kepada Guru agar dia ikut membantuku nanti."
Terdengar suara batuk-batuk kecil seperti orang tersedak tiba-tiba," Siluman Ngarai Raung datang? Kenapa dia tidak bersama kita Pangeran?"
"Ah! Paman seperti tidak tahu saja bagaimana tabiat orang-orang sakti. Apalagi Guruku yang memang siluman asli. Dia pasti datang pada waktunya nanti. Entah dengan cara apa?"
Hening sejenak. Ratri Geni memusatkan perhatian ke suara perbincangan lain di sekitar palka.
"Guru yakin?" kali ini suara bening seorang perempuan.
"Tidak! Tapi setidaknya kita harus mencobanya, Nduk. Kita bisa mendapatkan nama dan tentu saja hadiah dari junjungan kita jika berhasil merebut pusaka yang dicuri itu."
"Apakah Siluman Kembar itu memang demikian saktinya, Guru?"
Terdengar desahan pendek. Suara parau rendah menyahuti dengan sedikit gamang," Semua siluman gunung sangat sakti, muridku. Tidak terkecuali Siluman Kembar Gunung Agung."
"Lalu bagaimana cara kita mendapatkan Cupu Manik itu kalau banyak orang-orang sakti ikut berebut, Guru?"
"Memang sulit, anakku. Tapi semua kemungkinan bisa saja terjadi. Kita akan lihat kesempatan apa yang bisa kita manfaatkan untuk mendapatkan cupu sakti itu dan mengembalikannya kepada Gusti Ratu."
Ratri Geni tercenung. Itu artinya orang-orang ini semua sedang menuju Gunung Agung untuk mengikuti sayembara yang diadakan Siluman Kembar. Gawat! Raden Soca dan kawan-kawannya pasti akan menemui kesulitan untuk menunaikan tugas dari Ratu Laut Selatan jika situasinya ternyata berkembang serumit ini. Dia harus segera menjumpai mereka.
Ratri Geni mengintip dari balik tudung lebarnya. Percakapan terakhir tadi terdengar tidak terlalu jauh dari tempatnya duduk. Terlihat seorang tinggi kurus dengan wajah luar biasa pucat sedang berdiri di pinggiran kapal. Di sampingnya nampak sosok wanita cantik yang juga bermuka pucat. Ratri Geni mengerutkan kening. Mengingat-ingat di mana gerangan dia pernah menjumpai kedua orang itu.
Gadis itu menggelengkan kepala dengan gerakan lemah. Dia lupa. Ratri Geni berdiri dan pura-pura pergi ke kamar mandi di bagian buritan. Matanya melirik ke arah beberapa orang yang nampak berkumpul di palka belakang itu. Hmm, rombongan Pengemis Tongkat Perak yang dipimpin oleh Chandra Abimana! Ratri Geni membenahi tudungnya agar tidak dikenali. Gadis itu kembali melangkah ke palka depan untuk mendengarkan sebuah bisikan pendek yang sangat mengejutkan dari si kakek muka pucat.
"Aku juga mendengar bahwa Gunung Agung akan diramaikan oleh kedatangan para Ki Ageng Gunung setanah Jawa."
---*****