Chereads / Trilogi Langgam Amerta Agni-Widhiwasa Akasa Bhumi / Chapter 33 - Bab 33-Kepindahan Markas

Chapter 33 - Bab 33-Kepindahan Markas

Keturunan berikutnya dari rasa bahagia

adalah saat kita sanggup mentertawakan duka

sembari menghirup aroma cuka

di luka yang masih menganga

lalu membaca kisah-kisah masa silam yang berbahaya

untuk kemudian diceritakan kembali

melalui majas-majas paling sunyi

namun tetap saja membuat kita menyeringai

seperti layaknya saat musim panen padi

Rupanya kedua kakak beradik itu tadi memutuskan beradu pukulan. Keras lawan keras. Gora Waja lawan Aguru Bayanaka. Hawa sakti keduanya juga cukup berimbang. Alhasil keduanya sama-sama terlempar keras dan terluka. 

Arya Dahana menerjang ke depan melihat Nyai Sembilang dengan curang melepaskan pukulan berbahaya ke arah Ario Langit yang masih belum tegak berdiri. 

Bresss!!

Kali ini tubuh nenek sakti itu yang terpental ke udara. Terhempas dengan keras di tanah karena Arya Dahana yang terkejut tadi melepaskan Busur Bintang dengan tenaga nyaris penuh. Tertatih-tatih Nyai Sembilang mencoba bangkit berdiri. Namun nenek itu terjatuh lagi karena tenaganya terkuras habis akibat benturan dengan Busur Bintang yang dahsyat. Arya Dahana agak lega setelah melihat Nyai Sembilang terluka namun tidak terlalu parah. Pendekar ini memang selalu berusaha keras menahan diri untuk tidak menjatuhkan tangan maut. Semenjak kejadian perang puputan antara Lawa Agung dan Galuh Pakuan, lelaki ini selalu menyesal karena pernah menewaskan beberapa orang dalam pertempuran besar itu.

Nyai Sembilang merasakan dadanya sakit sekali. Jantungnya serasa beku akibat hawa pukulan Busur Bintang. Nenek itu mendesis marah. Dia tahu tidak mungkin menang melawan pendekar sakti itu. Sambil menahan sakit, Nyai Sembilang berjalan tertatih-tatih menghampiri muridnya yang juga sedang menahan rasa sakit akibat adu pukulan dengan Ario Langit. Dewi Lastri mengerti maksud gurunya. Mereka harus segera pergi dari Lembah Mandalawangi. Dewi Lastri menoleh ke arah Ario Langit yang berdiri bersedekap sambil memejamkan mata. Pemuda itu sedang memulihkan diri. Gadis itu mengusap matanya yang sedikit basah. Dia bisa berjumpa lagi dengan adik kandungnya setelah sekian lama. Nalurinya sebagai seorang kakak bangkit. Tapi situasinya sungguh memilukan. Adiknya itu menganggap dirinya sebagai musuh besar. Padahal tewas dalam sebuah pertarungan di dunia persilatan adalah hal yang sangat biasa. Tapi Ario Langit sangat marah sekali karena tewasnya Arawinda dan tidak peduli pada kenyataan bahwa dia adalah kakak kandung yang sudah terpisah begitu lama. 

Ario Langit hendak menerjang maju begitu membuka mata dan dilihatnya Dewi Lastri berjalan pergi bersama gurunya. Namun sebuah tangan halus memegang lengannya. Galuh Lalita menatapnya dengan pandangan lembut.

"Jangan Kanda Langit. Ingat ucapan Ibu tadi…"

Mata Pendekar Langit yang seperti menyala itu padam seketika seolah disiram air es. Pemuda itu menghela nafas panjang. Membayangkan ingatan terhadap bisikan Ibunya belum lama berselang. Tidak boleh ada dendam. Dendam akan meracuni seumur hidup. Kembali Ario Langit menghela nafas panjang. Memandangi kepergian kakak perempuan yang puluhan tahun tidak dijumpainya namun kini menjadi musuh besarnya.

Teringat lagi pada Arawinda, Ario Langit menghampiri jenazah Ibunya. Biarlah kali ini dia melepas pergi kakak terkutuk itu. Lain kali dia akan membuat perhitungan dengannya. Paling penting sekarang adalah mengurus pemakaman Ibunya. Dengan mata berkaca-kaca pemuda itu membopong tubuh Ibunya. Tubuhnya melesat seperti kilat menuju sebuah bukit kecil tak jauh dari gerbang Lembah Mandalawangi. Galuh Lalita mengikuti. Begitu pula Arya Dahana dan Dewi Mulia Ratri. Sepasang pendekar itu ingin memberikan penghormatan terakhir kepada Arawinda. Pendekar wanita yang dahulu bahu membahu membela kebenaran bersama mereka.

Upacara pemakaman itu berjalan singkat. Setelah memberikan penghormatan dan doa-doa di hadapan makam Arawinda yang ditandai oleh sebuah batu luar besar yang diangkat oleh Ario Langit, Arya Dahana dan Dewi Mulia Ratri mohon diri kepada sepasang anak muda yang sudah menjadi suami istri itu. Sebelum pergi, Arya Dahana mengukir batu besar yang dijadikan sebagai batu nisan itu dengan jarinya menggunakan kekuatan Busur Bintang.

Telah dimakamkan di sini seorang pendekar wanita pembela kebenaran dan keadilan hingga akhir hayatnya. Arawinda.

Ario Langit dan Galuh Lalita memandang kagum menyaksikan pertunjukan hebat itu. Jari Arya Dahana seolah menjadi pahat paling kuat di dunia. Keduanya membungkuk memberi hormat begitu sepasang pendekar itu berkelebat lenyap dari tempat yang menyisakan kenangan bagi siapapun yang pernah mengenal Arawinda. Ario Langit memegang tangan Galuh Lalita. Keduanya melesat pergi ke arah berlawanan. Menuju markas Lawa Agung di Lembah Mandalawangi yang porak-poranda. 

Ario Langit melihat Panglima Amranutta termangu menatap medan pertempuran yang membelasah oleh genangan darah. Para prajurit telah menyingkirkan kawan-kawannya yang tewas dalam pertempuran besar itu. Semua yang terluka telah dibawa ke markas pasukan di bagian belakang untuk diobati oleh tabib-tabib kerajaan.

Pukulan hebat dirasakan oleh Raja Lawa Agung itu. Kehancuran pasukan, kematian Putri Anila dan Putri Aruna serta markas rahasia yang sudah diketahui oleh pihak musuh, membuat pikiran Panglima Amranutta masgul. Apa yang harus dilakukannya sekarang?

"Paman Amranutta, sebaiknya Paman menghitung ulang sisa kekuatan Lawa Agung. Markas kerajaan tidak mungkin dipertahankan di sini. Terlalu berbahaya karena sudah diketahui oleh Sumedang Larang yang sewaktu-waktu bisa mengulang serangan. Aku sarankan kita pindah dari sini dalam waktu segera. Aku belum bisa menyarankan kemana namun kepindahan bukanlah hal yang mesti dibantah."

Panglima Amranutta mengangguk-angguk. Mereka tidak mungkin bertahan di sini. Nyaris separuh pasukan Lawa Agung tewas dan terluka. 

"Kita pindahkan ke Padepokan Maung Leuweung saja Paman Amranutta. Menyamar, secara berangsur dan dalam pecahan kelompok kecil. Aku akan pergi terlebih dahulu mempersiapkan semua hal sebelum kedatangan kalian."

Galuh Lalita berkata sambil menatap Ario Langit yang mengangguk setuju. Markas ini tidak bisa dipertahankan. Padepokan Maung Leuweung bisa jadi penampungan sementara sampai mereka bisa menemukan tempat yang paling tepat untuk dijadikan markas.

Panglima Amranutta mengiyakan. Raja Lawa Agung itu kemudian memerintahkan semua orang untuk beristirahat dan mengumpulkan tenaga. Penjagaan di gerbang diperketat. Sementara dia sendiri akan melakukan pertemuan dengan para pembantunya untuk mengatur kepindahan ke Maung Leuweung sesegera mungkin.

Ario Langit dan Galuh Lalita memutuskan untuk tinggal beberapa hari lagi untuk berjaga-jaga jika ada serangan para datuk hitam sebelum akhirnya berpamitan kepada Panglima Amranutta untuk pergi ke Padepokan Maung Leuwueng. Galuh Lalita akan memberitahu ayahnya Ki Sambarata bahwa akan ada kepindahan orang-orang Lawa Agung ke dalam padepokan. Juga dia ingin mengabarkan bahwa pemuda yang dulu memenangkan sayembara telah resmi mempersuntingnya sebagai istri.

---***