Chereads / Fate x Danmachi: The Sword Prince / Chapter 86 - Chapter 86

Chapter 86 - Chapter 86

Seperti biasanya, suasana dapur pagi itu dipenuhi dengan aktivitas Lefiya dan Shirou yang membersihkan dapur serta ruang makan setelah memasak sarapan untuk anggota Loki Familia. Lefiya dengan cekatan mengelap meja, sementara Shirou sedang sibuk mencuci peralatan masak. Namun, pagi ini terasa sedikit berbeda. Idola Lefiya, Aiz, tak diduga olehnya ikut membantu mereka. Dengan tangan yang terampil, Aiz menyapu lantai sambil sesekali mengatur kursi yang sedikit bergeser.

"Terima kasih banyak sudah membantu, Aiz," ucap Lefiya dengan senyuman kecil, sembari melirik kagum pada sang Sword Princess yang tidak canggung melakukan pekerjaan domestik seperti ini.

Aiz menoleh sambil mengangguk pelan. "Tidak masalah. Aku juga membantu Shirou kemarin saat kau pergi latihan," jawabnya dengan nada tenang.

Lefiya tampak sedikit terkejut, dan matanya melebar. "Benarkah? Shirou, kenapa tidak bilang apa-apa kemarin?" tanya Lefiya dengan nada sedikit menggemaskan, namun masih terdengar penasaran.

Shirou yang sedang sibuk menyeka pisau dapur, hanya tersenyum tipis. "Rasanya tidak perlu diberitahu. Aiz hanya ingin membantu sedikit, itu saja," katanya santai, tanpa mengalihkan pandangan dari tugasnya.

Sementara itu, Aiz melirik Shirou dan berkata, "Ngomong-ngomong, Shirou... apakah nanti aku bisa melanjutkan latihan kemarin? Targetku untuk menghindari tiga sabetan Tsubame Gaeshi masih belum tercapai." Nada suaranya terdengar serius, mencerminkan tekad kuatnya.

Shirou berhenti sejenak, lalu memandang Aiz sambil tetap memegang sapu tangan di tangannya. "Tentu, aku tidak keberatan. Tapi mungkin kita tidak bisa terlalu lama karena aku juga ingin mengecek forge bersama Lefiya nanti," jawabnya. Ucapannya sederhana namun menunjukkan bahwa ia memiliki rencana yang sudah teratur.

Aiz mengangguk setuju. "Tidak masalah. Mungkin setelah latihan, aku akan langsung ke dungeon," katanya, menambahkan rencananya untuk hari itu.

Lefiya yang mendengar percakapan itu langsung mengangkat tangannya dengan antusias. "Kalau begitu, bolehkah aku ikut menonton latihan kalian nanti, Aiz? Aku ingin melihatmu berlatih!" ujarnya dengan semangat, wajahnya berbinar penuh antisipasi.

Aiz memandang Lefiya sebentar sebelum mengangguk kecil. "Tentu, kalau itu yang kau mau," jawabnya dengan singkat, namun cukup untuk membuat Lefiya senang.

Lefiya tersenyum lebar, jelas senang dengan jawaban itu. Dia kemudian kembali bekerja, menyeka meja dengan semangat baru. Di sisi lain, Shirou hanya tersenyum tipis sambil melanjutkan menyapu, merasa cukup puas dengan harmoni yang tercipta di antara mereka bertiga pagi itu.

Setelah selesai membersihkan dapur dan ruang makan, Shirou, Lefiya, dan Aiz berjalan bersama menuju bangunan latihan fisik yang terletak di sudut Manor. Pagi itu, udara segar menyelimuti mereka, dengan embun yang perlahan menghilang di bawah sinar matahari yang mulai naik. Suasana terasa santai, tetapi tetap diiringi antusiasme, terutama dari Aiz yang tampak sedikit lebih banyak bicara dari biasanya.

"Setelah latihan kemarin, status Dexterity dan Endurance-ku naik beberapa poin," kata Aiz dengan nada tenang namun penuh rasa puas, matanya sedikit berbinar ketika menoleh ke arah Shirou.

Shirou tersenyum tulus mendengar itu. "Bagus sekali, Aiz. Senang rasanya mengetahui latihan kita ternyata berguna," katanya sambil melangkah di sebelahnya.

Namun, Lefiya, yang berjalan di sisi Shirou, segera menambahkan dengan nada setengah mengoreksi. "Shirou, aku rasa kamu tidak benar-benar memahami betapa signifikan hal itu. Mengingat caramu naik level terlalu cepat, mungkin kau tidak merasakannya, tapi bagi petualang level 6 seperti Aiz, menaikkan status bahkan hanya satu poin saja sudah sangat sulit."

Shirou memiringkan kepala sedikit, menatap Lefiya dengan ekspresi ingin tahu. "Benarkah? Seberapa sulit, Lefiya?"

Lefiya mengangguk mantap dan menjelaskan dengan suara penuh semangat, "Untuk petualang level 6, kebanyakan monster yang memberikan excelia cukup besar berada di lantai yang sangat dalam. Jika tidak ada ekspedisi besar atau tantangan khusus, biasanya hampir mustahil untuk menaikkan status mereka."

Shirou mengingat pengalaman sebelumnya saat ekspedisi ke lantai 59 bersama Loki Familia, yang memakan waktu lebih dari sebulan. Ia mengangguk mengerti. "Ah, itu masuk akal. Perjalanan ke lantai sedalam itu memang tidak mudah."

Aiz hanya mendengarkan dengan tenang, meskipun ia tampak menghargai perhatian dari kedua rekannya. Mereka terus berjalan, menikmati percakapan ringan dan suasana pagi yang cerah, hingga akhirnya bangunan latihan fisik terlihat di depan mata. Dengan langkah mantap, ketiganya memasuki tempat itu, siap melanjutkan latihan dan tantangan baru hari ini.

Begitu mereka memasuki ruang latihan fisik yang luas, Aiz dan Shirou segera menuju arena tengah yang dikelilingi oleh lantai kayu berkilat. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela tinggi memantulkan kilauan di lantai tersebut, menciptakan suasana serius namun tetap tenang. Sementara itu, Lefiya dengan sigap mencari kursi di pinggir arena. Ia memilih tempat yang cukup strategis untuk melihat setiap gerakan mereka, sembari berharap latihan Aiz kali ini tidak berakhir seperti kemarin.

Di tengah arena, Shirou mengulurkan tangannya, dan cahaya prana yang lembut muncul. Dalam sekejap, ia memprojeksikan pedang Monohoshi Zao di tangannya. Senjata itu terlihat anggun dan memancarkan aura yang memikat, meski tampak sederhana dalam desain. Di sisi lain, Aiz bersiap dengan pedang pendeknya, wajahnya mencerminkan tekad yang tak tergoyahkan. Ia berdiri dalam posisi siaga, kedua kakinya sedikit merenggang, matanya fokus pada Shirou.

Lefiya, yang mengamati dari kejauhan, tidak bisa menyembunyikan rasa khawatir. Ia menggigit bibir bawahnya mengingat Raikiri yang pernah Shirou tunjukkan padanya dan akhirnya berseru, "Shirou! Apa kamu yakin tidak akan melukai Aiz?"

Shirou menoleh ke arah Lefiya dan tersenyum meyakinkan. "Jangan khawatir. Monohoshi Zao ini sudah aku ubah menggunakan Alteration magecraft. Pedangnya sekarang tumpul, jadi tidak akan ada luka tajam, hanya mungkin sedikit memar jika terkena."

Mendengar penjelasan itu, Lefiya perlahan mengangguk, meski rasa khawatirnya belum sepenuhnya hilang. Pikirannya kembali melayang ke kemarin, ketika ia melihat luka memar di tubuh Aiz setelah latihan. "Tumpul atau tidak, itu tetap terasa menyakitkan," gumamnya pelan, meski cukup keras untuk didengar Shirou.

Shirou hanya tertawa kecil mendengar komentar Lefiya, lalu kembali fokus ke Aiz. Ia menatap gadis berambut emas itu dengan serius. "Aiz, apa kamu sudah siap?"

Aiz mengangguk, matanya penuh dengan semangat juang. "Aku siap. Kali ini aku akan menghindari ketiga tebasan Tsubame Gaeshi." Nada suaranya mantap, menunjukkan bahwa ia benar-benar bertekad untuk mencapai targetnya kali ini.

"Baiklah," Shirou berkata sambil memasang kuda-kuda, Monohoshi Zao terangkat sejajar dengan matanya. "Kita mulai."

Lefiya hanya bisa duduk tegang di kursinya, tangannya mengepal erat di pangkuannya. Matanya bergantian menatap Shirou dan Aiz, menunggu bagaimana latihan ini akan berlangsung.

Shirou mengambil posisi siaga, Monohoshi Zao yang panjang berkilauan di bawah sinar matahari pagi yang masuk melalui jendela ruang latihan. Dengan gerakan penuh presisi, ia mengangkat nodachi panjangnya, tubuhnya tampak seperti menyatu dengan senjata itu. "Aiz, kali ini aku akan menggunakan Tsubame Gaeshi," katanya dengan nada datar namun tegas.

Aiz yang berdiri di hadapannya hanya mengangguk singkat. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, bukan karena rasa takut, tetapi karena fokus penuh untuk menghadapi serangan yang telah ia hadapi sebelumnya. Ia mengatur napas, tubuhnya bergerak ringan seperti daun yang tertiup angin, siap menghadapi tiga sabetan berkecepatan tinggi sekaligus.

Shirou bergerak. Dalam sekejap, nodachinya meluncur ke arah Aiz dalam gerakan yang hampir tidak terlihat oleh mata biasa. Tiga tebasan muncul secara bersamaan—satu menyerang dari atas, satu dari samping kanan, dan satu lagi dari kiri bawah, menciptakan ilusi pedang yang menyerang dari segala arah.

Aiz melangkah cepat, refleksnya bekerja maksimal. Tebasan pertama dari atas berhasil ia tangkis dengan pedang pendeknya, suara benturan logam menggema di arena. Tebasan kedua melintas dari samping kanan, dan dengan gesit ia memutar tubuh, menghindari serangan itu dengan jarak yang nyaris mustahil. Namun, tebasan ketiga, yang muncul dari kiri bawah, terlalu cepat. Pedangnya gagal mencapai posisi untuk menangkis, dan tebasan itu menghantam pahanya dengan tumpul, membuatnya mundur satu langkah.

"Ugh..." Aiz menggigit bibir menahan rasa sakit, memar mulai terlihat di tempat yang terkena serangan. Namun, ia tidak menunjukkan kelemahan. "Lagi!" katanya tegas, pandangannya masih penuh semangat.

Dari pinggir arena, Lefiya tidak bisa menyembunyikan keterpukauannya. Matanya membelalak melihat teknik pedang Shirou yang begitu luar biasa. "Itu... itu luar biasa," gumamnya. Namun, kekagumannya bercampur dengan kekhawatiran saat melihat Aiz terluka. "Aiz! Apa kamu baik-baik saja?" teriak Lefiya dengan nada cemas.

Aiz hanya melirik ke arahnya sambil tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja, Lefiya. Ini hanya memar," katanya, suaranya tetap tenang. Namun, Aiz menyimpan rasa hormat yang mendalam di dalam hatinya, baik untuk Shirou maupun untuk musuhnya di masa lalu. Ia mengingat Revis, petarung tangguh di Knossos, yang berhasil menghindari dua dari tiga tebasan Tsubame Gaeshi saat pertama kali menghadapi teknik itu.

"Aku harus bisa lebih baik," Aiz berkata pada dirinya sendiri sambil kembali mengambil posisi. "Shirou, sekali lagi. Aku harus bisa menghindari semuanya."

Shirou tersenyum samar, mengangkat nodachinya kembali. "Baiklah, tapi jangan terlalu memaksakan diri. Fokuslah pada gerakanmu."

Lefiya hanya bisa menatap dari pinggir arena, hatinya dipenuhi rasa kagum pada Shirou, tetapi juga harapan besar agar Aiz tidak terluka lebih parah. "Aiz benar-benar luar biasa, tapi Shirou... dia... dia lebih dari itu," gumam Lefiya dengan pipi yang sedikit memerah.

Shirou menghunuskan Monohoshi Zao, dengan sikap penuh fokus. "Baiklah, Aiz. Aku akan menggunakan Tsubame Gaeshi lagi. Bersiaplah," katanya sambil mempersiapkan gerakannya. Aura di sekelilingnya berubah serius, seolah angin pun berhenti untuk menyaksikan.

Aiz mengencangkan cengkeraman pada pedang pendeknya, tubuhnya tegang namun matanya memancarkan tekad. Shirou meluncur maju dengan kecepatan yang hampir tidak terlihat. Tiga tebasan meluncur serempak, menciptakan ilusi serangan yang datang dari segala arah.

Aiz bergerak cepat, tubuhnya berputar anggun seperti tarian pedang. Tebasan pertama yang datang dari atas berhasil ia hindari dengan loncatan kecil. Tebasan kedua yang mendekat dari sisi kanan ia tangkis dengan akurat, suara benturan logam menggema. Namun, tebasan terakhir, yang datang dari sudut bawah, terlalu dekat. Meski ia mencoba menghindar, ujung serangan itu berhasil melecetkan lengannya.

Lefiya yang menonton dari pinggir arena, menahan napas sepanjang serangan itu. Ketika tebasan terakhir mengenai Aiz, ia menghela napas lega. "Hampir saja, Aiz! Kamu hampir berhasil!" katanya dengan semangat yang mencerminkan kekaguman dan dukungannya.

Aiz mengusap lecet di lengannya, tidak tampak kecewa. Sebaliknya, ia tersenyum tipis. "Aku sudah paham sekarang. Sekali lagi, Shirou. Kali ini yang terakhir," pintanya dengan nada penuh keyakinan.

Shirou tersenyum kecil mendengar permintaan itu. "Baiklah, Aiz. Bersiaplah," katanya sambil mengatur posisi lagi.

Aiz menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat sebelum mengambil posisi bertahan. Dalam sekejap, Shirou bergerak cepat, dan Tsubame Gaeshi kembali diluncurkan.

Namun, kali ini Aiz tidak hanya bertahan. Ia bergerak lebih awal, membaca ritme serangan Shirou dengan ketepatan luar biasa. Tebasan pertama ia tangkis dengan pedangnya, suara dentingan logam kembali memenuhi ruangan. Tebasan kedua ia hindari dengan langkah gesit ke belakang, dan tebasan ketiga yang datang dari bawah ia lewati dengan gerakan memutar yang memukau.

Ketika debu di arena mereda, Aiz berdiri tegap tanpa luka. Senyum puas tersungging di bibirnya. "Aku berhasil," katanya dengan suara tenang, namun penuh kebanggaan.

Lefiya, yang menyaksikan momen itu, melompat dari tempat duduknya dengan penuh antusias. "Aiz! Kamu melakukannya!" serunya sambil berlari mendekati Aiz. Tanpa ragu, ia memeluk Aiz erat, wajahnya bersinar dengan kebahagiaan. "Aku tahu kamu bisa, Aiz!"

Aiz tersenyum kecil, sedikit terkejut oleh pelukan itu, tetapi ia tidak menolaknya. Sementara itu, Shirou menurunkan pedangnya lalu memudarkannya menjadi prana sambil tersenyum hangat senang melihat pencapaian temannya. "Kerja bagus, Aiz. Aku tahu kamu bisa melakukannya," katanya dengan nada penuh penghargaan.

Aiz mengangguk, napasnya masih sedikit tersengal, tetapi matanya memancarkan rasa puas. "Terima kasih, Shirou. Ini semua karena latihannya," katanya sambil mengusap kepala Lefiya yang masih memeluknya.

Lefiya yang masih berada dalam pelukan hangat Aiz, mendongak dengan penasaran. "Aiz, kenapa kau tidak menggunakan sihir anginmu untuk menghindari Tsubame Gaeshi tadi? Bukankah itu akan jauh lebih mudah?" tanyanya, nada suaranya dipenuhi rasa ingin tahu.

Aiz mengangguk kecil, matanya memandang ke arah Shirou sebelum menjawab. "Aku sengaja tidak menggunakannya. Ini juga bagian dari latihanku," jelasnya dengan tenang. "Revis, musuh bebuyutan kita, mampu menghindari dua dari tiga tebasan tanpa menggunakan sihir. Jika aku tidak melatih kemampuan fisikku, aku tidak akan pernah bisa melawannya dengan seimbang."

Nama Revis langsung membuat Lefiya kaku. Ingatan tentang petarungan melawan musuh kuat itu kembali memenuhi pikirannya. Jantungnya berdebar lebih cepat, menyadari betapa seriusnya Aiz dalam usahanya menjadi lebih kuat. "Aiz... Kau benar-benar memikirkan ini semua demi menjadi lebih kuat?" tanya Lefiya dengan sedikit kekhawatiran di suaranya.

Aiz tersenyum tipis, lalu perlahan melepaskan pelukan Lefiya. "Aku harus, Lefiya. Kalau tidak, aku tidak akan pernah bisa melindungi kita semua," jawabnya dengan nada tulus, lalu ia mengalihkan pandangannya kepada Shirou. "Ngomong-ngomong, Shirou, apakah kau punya senjata lain yang bisa aku gunakan untuk latihan? Mungkin yang bisa membantuku memperkuat teknikku?"

Shirou memegang dagunya, merenung sejenak. Beberapa nama senjata terlintas di pikirannya, tetapi ia segera menyadari bahwa semua itu terlalu berbahaya untuk digunakan dalam latihan. "Aku rasa... tidak ada senjata yang cukup aman untuk kita gunakan di sini," katanya akhirnya dengan sedikit menyesal.

Aiz tampak tidak kecewa. Sebaliknya, ia mengajukan ide lain. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita sparring saja? Aku yakin bisa banyak belajar darimu, meskipun levelmu dua tingkat di bawahku," usulnya dengan tatapan penuh keyakinan.

Shirou tertawa kecil, lalu mengangguk. "Baiklah, aku tidak keberatan. Tapi nanti ya, setelah aku selesai dengan urusanku untuk belajar tentang forging."

Lefiya yang sejak tadi mendengarkan dengan serius, langsung mengangkat jempolnya dan menepuk dadanya dengan percaya diri. "Kalau soal forge, serahkan padaku! Aku tahu tempatnya," katanya dengan semangat, seolah ingin menunjukkan kontribusinya.

Aiz tersenyum kecil, lalu mengangguk kepada Lefiya dan Shirou. "Kalau begitu, aku tidak akan mengganggu kalian. Aku akan ke Dungeon dulu. Forging itu bukan keahlianku, dan aku juga tidak ingin membuang waktu kalian," katanya sebelum berbalik, melangkah keluar dari arena latihan.

Ketika Aiz pergi, Lefiya memandang Shirou dengan senyum cerah. "Kau siap untuk melihat forge terbaik di Manor ini?" tanyanya antusias, membuat Shirou hanya bisa tersenyum kecil melihat semangatnya. "Tentu saja, Lefiya. Aku serahkan panduannya padamu," jawabnya, sebelum mereka berdua bersiap untuk menuju tempat tujuan berikutnya.

Keluar dari bangunan latihan fisik, Lefiya berjalan dengan riang di samping Shirou, menunjukkan jalan ke belakang Manor. Suasana pagi yang sejuk dengan sinar matahari yang lembut menambah kenyamanan dalam perjalanan mereka. Lefiya tampak ceria, menjelaskan dengan detail arah yang harus mereka tuju.

Di tengah perjalanan, Shirou menoleh ke arahnya dan bertanya, "Lefiya, apakah kau juga dulu berlatih di bangunan latihan fisik itu saat pertama kali bergabung dengan Loki Familia?"

Lefiya menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil. "Tidak sering, Shirou. Aku lebih banyak berlatih di bangunan latihan sihir. Waktu aku masuk Loki Familia, aku sudah berada di level dua, jadi fokusku lebih ke sihir daripada fisik."

Shirou merenung sejenak, lalu berkata, "Kalau begitu, berarti kau sebelumnya berasal dari Familia lain sebelum bergabung dengan Loki Familia, ya?"

Mendengar itu, Lefiya mengangguk penuh semangat. "Benar sekali! Saat aku masih kecil, aku merantau dari hutan Wishe untuk bergabung dengan School District. Itu adalah salah satu pengalaman paling luar biasa dalam hidupku!"

"School District?" Shirou mengulang dengan penasaran. Kata itu membawa ingatannya kembali ke masa lalunya di Homurahara High School. "Jadi, seperti apa sekolahmu dulu?"

Wajah Lefiya langsung cerah, dan dia mulai menjelaskan dengan antusias. "Sekolahku sangat unik! Itu adalah sebuah kapal besar yang mengarungi lautan, mengelilingi dunia. Di sana, kami belajar mendalami kemampuan kami. Monster tidak hanya ada di Dungeon, Shirou. Di luar sana, ada banyak hal yang harus kami pelajari untuk bertahan hidup."

Shirou mendengarkan dengan takjub. "Jadi sekolahmu seperti... sekolah keliling dunia? Itu pasti pengalaman yang luar biasa."

Lefiya mengangguk dengan mata berbinar, kemudian menoleh pada Shirou. "Bagaimana dengan sekolahmu dulu, Shirou? Seperti apa tempatmu belajar?"

Shirou tersenyum kecil, mengingat kembali masa-masa damainya di sekolah. "Sekolahku jauh lebih sederhana dibandingkan punyamu. Itu hanya sekolah biasa. Kami belajar pelajaran umum seperti matematika, fisika, biologi, sejarah, dan hal-hal lainnya."

Lefiya langsung memutar matanya mendengar itu. "Ugh, hanya mendengar nama pelajaran itu saja sudah membuatku pusing," gumamnya dengan nada bercanda, membuat Shirou tertawa kecil.

"Yah, itu mungkin terdengar rumit, tapi cukup menarik kalau kau menyukainya," balas Shirou dengan nada ringan.

Lefiya tersenyum malu-malu. "Aku rasa, aku lebih cocok belajar tentang sihir atau sejarah dunia daripada rumus-rumus itu," katanya sambil melanjutkan langkah mereka, membawa mereka semakin dekat ke tempat tujuan.

Setelah berjalan cukup jauh, Lefiya dan Shirou akhirnya tiba di depan sebuah bangunan kecil yang terletak di sudut belakang Manor Loki Familia. Bangunan itu terlihat sunyi dan tak terawat. Cat yang mulai mengelupas, beberapa jendela yang berdebu tebal, serta pintu kayu yang berderit seolah mengisyaratkan bahwa tempat ini sudah lama tak digunakan. Lefiya, dengan sedikit canggung, melirik Shirou. "Inilah forge terbaik Loki Familia," katanya dengan senyum kikuk, berusaha terdengar percaya diri.

Shirou menatap bangunan itu sejenak, lalu tersenyum tipis. "Terima kasih sudah menunjukkan tempat ini, Lefiya," jawabnya lembut. Ia kemudian melangkah maju, membuka pintu dengan hati-hati. Sebuah derit panjang terdengar saat pintu itu terbuka, dan seketika debu beterbangan ke udara, membuat keduanya terbatuk kecil.

Di dalam, ruangan forge itu ternyata sangat luas. Meja-meja kerja besar tergeletak di beberapa sudut, sebagian tertutup kain yang sudah usang. Rak-rak kayu di dinding dipenuhi alat-alat tempa berkarat, dan tungku besar di tengah ruangan tampak dingin, jelas tak digunakan selama bertahun-tahun. Lantainya dipenuhi serpihan logam dan abu yang menumpuk, menciptakan suasana yang jauh dari ideal untuk sebuah tempat menempa.

Shirou melangkah masuk, mengamati ruangan dengan pandangan serius. "Ini tempat yang bagus. Hanya saja… butuh sedikit perbaikan," ujarnya dengan nada optimis. Ia kemudian menjentikkan jarinya, memproyeksikan beberapa alat pembersih seperti sapu, kain lap, dan ember untuk memulai membersihkan tempat itu.

Namun, saat ia hendak mulai bekerja, Lefiya tiba-tiba mengambil salah satu sapu dari proyeksi Shirou. "Aku juga akan membantu!" serunya penuh semangat.

Shirou menoleh, sedikit terkejut. "Tidak perlu, Lefiya. Kau sudah banyak membantu dengan menunjukkan tempat ini. Biarkan aku yang menyelesaikan sisanya. Kau bisa istirahat saja," katanya dengan nada lembut, berharap Lefiya mau menuruti sarannya.

Namun, Lefiya menggeleng tegas. "Apa kau lupa?" tanyanya sambil menatap Shirou dengan mata penuh semangat. "Aku adalah Faker kedua, bukan? Aku akan terus membantu Faker pertama, apapun yang terjadi!"

Shirou terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil, merasakan ketulusan Lefiya. "Kalau begitu, aku serahkan salah satu sudut ruangan ini padamu, Faker kedua," balasnya dengan nada menggoda. Keduanya lalu mulai bekerja bersama, membersihkan forge yang dulu terbengkalai, menjadikannya tempat yang siap untuk digunakan kembali.