Siang hari akhirnya menyelimuti Twilight Manor ketika Lefiya dan Shirou selesai membersihkan forge yang sebelumnya begitu dipenuhi debu dan kotoran. Kini ruangan itu terlihat lebih layak, meskipun masih jauh dari sempurna. Shirou mengusap peluh di dahinya, lalu tanpa sengaja memperhatikan pakaian Lefiya—cape merah muda roset di atas kemeja putih dan gaun korset merah mudanya kini dipenuhi noda debu dan bercak kotoran. Busana yang biasanya terlihat anggun itu kehilangan pesonanya akibat kerja keras mereka.
"Lefiya, aku minta maaf," kata Shirou tiba-tiba, nada suaranya penuh penyesalan. "Aku tak menyangka pakaianmu akan jadi seperti ini karena membersihkan tempat ini."
Lefiya melirik ke arah pakaiannya, lalu tertawa kecil. "Tidak apa-apa, Shirou. Ini hanya pakaian. Aku bisa mencucinya nanti."
Namun, Shirou masih terlihat kurang puas dengan jawaban itu. "Mungkin nanti, setelah kita beristirahat dan makan siang, kau tak perlu kembali ke sini. Aku akan mulai menempa sesuatu, dan percikan api atau debu dari forge mungkin akan merusak pakaianmu lagi."
Lefiya terdiam sejenak, hatinya terasa hangat oleh perhatian kecil yang Shirou tunjukkan. Meski itu hal sederhana, namun menunjukkan betapa pria ini memikirkannya. Dia benar-benar memperhatikan hal sekecil ini, pikir Lefiya, senyuman lembut menghiasi wajahnya.
"Baiklah," akhirnya Lefiya setuju, suaranya terdengar ringan. "Tapi aku tetap ingin membantu, jadi mungkin nanti aku akan mengganti pakaian ini dengan sesuatu yang lebih... sederhana."
Shirou tersenyum tipis. "Itu ide yang bagus. Terima kasih sudah membantu sejauh ini, Lefiya. Aku benar-benar menghargainya."
Setelah menyelesaikan pekerjaan terakhir di forge, mereka berjalan kembali menuju Twilight Manor. Langit siang cerah, dan langkah kaki mereka terasa lebih ringan setelah kerja keras yang mereka lakukan bersama. Sesampainya di Manor, Lefiya melirik Shirou sekali lagi sebelum berpamitan.
"Aku akan kembali setelah makan siang dan berganti pakaian. Selamat menikmati istirahatmu, Shirou," katanya dengan nada ceria.
Shirou mengangguk. "Kau juga. Jangan lupa istirahat dengan baik, Lefiya."
Gadis itu mengangguk pelan sebelum melangkah menuju kamarnya, meninggalkan Shirou yang kini berdiri sendirian di aula Manor
***
Setelah istirahat makan siang, Shirou kembali lebih dulu ke forge dan langsung bersiap untuk memulai pekerjaan menempa. Ia melepaskan tuniknya dan menggantungnya di sudut ruangan, lalu merapikan alat-alat yang tadi diproyeksikannya untuk membersihkan ruangan. Kini ia hanya mengenakan tank-top putih tipis, yang dipilihkan oleh Syr beberapa waktu lalu.
Namun, ia berpikir sejenak. Kalau aku menempa dengan tank-top ini, pasti akan cepat rusak. Tak ingin merusaknya, Shirou melepas tank-top itu, menggantungnya di tempat yang sama dengan tuniknya, dan berencana untuk memproyeksikan tank-top baru yang bisa ia pakai selama bekerja. Saat ia masih telanjang dada, suara langkah ringan terdengar dari arah pintu.
"Shirou!" seru Lefiya dengan ceria mengenakan kaos yang tetap terlihat memiliki gaya khas Elf, masuk dengan senyum lebar di wajahnya. Namun langkah gadis itu terhenti begitu matanya menangkap pemandangan Shirou yang hanya mengenakan celana panjang, tubuhnya yang atletis terlihat jelas dalam cahaya redup ruangan itu. Perutnya yang berotot dengan six-pack yang terdefinisi sempurna dan bicep yang kokoh membuat Lefiya terdiam. Wajahnya memerah seperti tomat.
Apa ini? Kenapa aku tiba-tiba… mengagumi tubuh seorang lelaki? pikir Lefiya, jantungnya berdegup kencang. Biasanya ia hanya terpesona oleh keindahan tubuh idolanya, Aiz, yang ramping dan mulus. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda, yang membuatnya gugup sekaligus tak bisa mengalihkan pandangan.
Shirou, yang tak menyadari pikiran Lefiya, justru merasa bersalah. Ia segera menunduk sedikit. "Maaf, Lefiya. Aku tidak menyangka kau akan datang secepat ini. Aku belum sempat mengenakan baju lagi," katanya dengan nada penuh penyesalan.
Berusaha mengatasi rasa malunya, Lefiya tertawa kecil, mencoba bercanda meski wajahnya masih memerah. "Apa... apa kau berencana menempa tanpa baju? Bukankah itu berbahaya?"
Shirou tersenyum, meliriknya sekilas. "Aku tidak gila, kok," balasnya, menggantung tank-top asli di paku kayu di dinding. Ia memejamkan mata sejenak, dan dalam hitungan detik, sebuah tank-top putih baru muncul di tangannya, hasil dari projection-nya. Ia mengenakannya dengan gerakan santai, lalu berkata, "Nah, begini lebih baik, kan?"
Lefiya mengangguk pelan, mencoba mengalihkan fokusnya ke buku yang dibawanya. "Aku membawa sesuatu untuk membantumu," katanya dengan suara lebih tenang, meski hatinya masih berdebar keras.
Lefiya mengulurkan sebuah buku tebal dengan sampul kulit yang sudah agak kusam kepada Shirou. "Ini," katanya dengan senyum penuh semangat, "Aku menemukan buku ini di perpustakaan Manor. Isinya tentang teori dasar untuk pandai besi pemula. Kupikir ini akan membantumu."
Shirou menatap buku itu dengan penuh perhatian sebelum akhirnya tersenyum hangat. Ia merasakan ketulusan Lefiya dalam usaha kecilnya ini. "Terima kasih, Lefiya," katanya lembut, "Tapi aku rasa aku tidak akan memerlukan buku ini."
Lefiya tertegun, rasa bingung terlukis jelas di wajahnya. "Eh? Tapi… bukankah ini pertama kalinya kau mencoba menempa? Bukankah lebih baik memiliki panduan?" tanyanya, sedikit cemas kalau-kalau usahanya kurang dihargai.
Shirou mengangguk ringan, mengakui kebenaran kata-kata Lefiya. "Benar, ini pertama kalinya aku menempa," ia mengakui, "Tapi aku punya keuntungan dari teknik Magecraft-ku, Tracing. Dengan itu, aku bisa memahami secara mendalam bagaimana sebuah senjata dibuat. Setiap pedang yang pernah kutiru melalui Tracing meninggalkan kesan detail di pikiranku—dari material, suhu, hingga teknik yang digunakan untuk membuatnya. Jadi, meski aku baru, aku sudah memiliki gambaran jelas."
Lefiya terdiam, mencoba mencerna penjelasan itu. Ia sedikit merasa usahanya tak ada gunanya. "Jadi… bukunya sia-sia ya…" gumamnya pelan, sembari menunduk sedikit.
Melihat ekspresi Lefiya yang berubah, Shirou segera melangkah mendekat dan meletakkan tangannya di bahunya dengan lembut. "Hei, jangan bilang begitu," ujarnya dengan suara tenang. "Apa yang kau lakukan sangat berarti bagiku. Kau meluangkan waktu untuk mencari buku ini dan memikirkanku. Itu membuatku tahu betapa kau peduli."
Mendengar itu, Lefiya mendongak. Matanya bertemu dengan tatapan Shirou yang tulus. Perlahan, senyum kembali menghiasi wajahnya, pipinya bersemu merah. "Kau benar-benar tahu cara membuat orang merasa lebih baik," katanya sambil tertawa kecil, rasa malunya mulai pudar.
"Ya, itu semacam tugasku," balas Shirou dengan sedikit candaan, yang membuat Lefiya tertawa lebih lepas. Keduanya kembali merasa nyaman, siap untuk melanjutkan hari mereka di forge.
Shirou menyalakan api tungku dengan hati-hati, menggunakan structural analysis untuk memastikan setiap mekanisme berfungsi dengan sempurna. Nyala api mulai membesar, memberikan cahaya hangat yang menerangi forge yang baru saja mereka bersihkan. Lefiya berdiri di dekatnya, mengamati dengan penuh rasa ingin tahu. "Untung saja tungku ini masih bisa digunakan," gumamnya, nada suaranya terdengar lega.
Shirou tersenyum tipis mendengar komentar Lefiya. "Ya, meskipun terlihat usang, alat ini ternyata masih punya nyawa."
Setelah memastikan tungku menyala dengan sempurna, Shirou menggunakan Projection magecraft untuk memproyeksikan sebuah anvil yang kokoh di atas tungku tersebut. Ia berdiri diam sejenak, menatap api yang berkobar, pikirannya terfokus. "Jadi," gumamnya lebih pada dirinya sendiri, "Senjata apa yang harus kutempa?"
Lefiya yang sejak tadi memperhatikan dengan penuh minat, akhirnya memberanikan diri bertanya, "Bagaimana kalau kau mencoba menempa kedua pedang yang sering kau gunakan itu? Yin dan Yang, kalau aku tak salah."
Shirou menoleh, sedikit terkejut. "Kanshou dan Bakuya?" tanyanya memastikan. Lefiya mengangguk penuh semangat, matanya bersinar.
Shirou menghela napas ringan, lalu berkata, "Aku hanya seorang pemula, Lefiya. Meskipun aku tahu teknik menempanya berkat Tracing, aku tidak memiliki bahan yang dibutuhkan untuk membuatnya."
Lefiya memiringkan kepalanya, tampak penasaran. "Lalu… apa bahan untuk kedua pedang itu?"
Shirou berhenti sejenak, seolah mempertimbangkan jawabannya. Ia menoleh ke arah sudut ruangan, memproyeksikan dua kursi kayu. "Duduklah," katanya lembut, sambil menunjuk kursi di depannya. "Aku akan menjelaskan, tapi ini cerita yang agak panjang."
Lefiya yang sedikit bingung tetapi tidak ingin membantah, melangkah maju dan duduk di kursi yang ditunjuk Shirou. Ia memandang Shirou dengan rasa ingin tahu yang dalam. "Kenapa harus duduk?" tanyanya sambil tersenyum kecil.
Shirou mengambil tempat di kursi di depannya, menatap Lefiya dengan serius namun tenang. "Karena jawaban dari pertanyaanmu," katanya pelan, "adalah sebuah cerita panjang. Dan aku ingin kau tahu seluruhnya."
Lefiya merasa ada sesuatu yang istimewa dalam nada suaranya. Ia mengangguk, bersiap mendengarkan, sementara nyala api tungku di belakang mereka menciptakan suasana hangat yang intim di antara keduanya.
Shirou menarik napas dalam, memulai ceritanya dengan nada yang tenang namun penuh makna. "Kanshou dan Bakuya," ucapnya pelan, menatap api tungku yang berkobar di belakang Lefiya. "Mereka bukan sekadar pedang biasa. Mereka memiliki cerita yang berasal dari legenda kuno di duniaku. Legenda tentang sepasang suami istri, Gan Jiang dan Mo Ye, yang dikenal sebagai pandai besi terhebat pada masanya."
Lefiya mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, matanya berbinar penuh perhatian. "Suami istri? Mereka berdua menempa pedang itu bersama?" tanyanya dengan nada antusias.
Shirou mengangguk, senyumnya samar. "Ya, mereka bekerja bersama untuk menempa dua pedang legendaris itu, Kanshou dan Bakuya. Namun, prosesnya tidaklah mudah. Raja tempat mereka melayani adalah orang yang sangat ambisius dan kejam. Ia memerintahkan Gan Jiang untuk menempa pedang yang sempurna. Namun, setelah berbulan-bulan bekerja, logam yang digunakan tak juga mencair."
Lefiya memiringkan kepalanya, tampak bingung. "Kenapa logamnya tak bisa meleleh? Apa ada sesuatu yang salah?"
Shirou melanjutkan, "Konon, logam itu terlalu keras untuk dilelehkan dengan api biasa. Jadi, Mo Ye, istri Gan Jiang, memutuskan untuk mengorbankan dirinya. Dia melemparkan dirinya ke dalam api tungku, memberikan kehidupannya untuk menciptakan panas yang cukup untuk melelehkan logam tersebut." Shirou berhenti sejenak, menatap Lefiya yang kini terdiam, bibirnya terbuka sedikit dalam keterkejutan.
"M-Mengorbankan dirinya?" Lefiya bertanya dengan suara pelan, hampir berbisik. Matanya tampak berkaca-kaca. "Itu... sungguh tragis."
Shirou mengangguk perlahan. "Ya. Tapi pengorbanan Mo Ye tidak sia-sia. Dari api itu, lahirlah dua pedang. Kanshou, pedang pelindung, dan Bakuya, pedang penghancur. Pedang-pedang itu dianggap sebagai simbol cinta mereka, karena mereka diciptakan dengan darah, jiwa, dan pengorbanan Mo Ye."
Lefiya menggigit bibir bawahnya, matanya tertuju pada lantai. "Itu... benar-benar menyedihkan. Mereka saling mencintai, tapi berakhir seperti itu. Mo Ye tidak seharusnya mengorbankan dirinya." Ia mengangkat kepalanya, menatap Shirou dengan tatapan yang lembut namun penuh emosi. "Lalu apa yang terjadi dengan Gan Jiang?"
Shirou tersenyum tipis, namun matanya menyiratkan kesedihan. "Gan Jiang memberikan Kanshou kepada raja seperti yang diperintahkan, tetapi ia menyembunyikan Bakuya untuk melindungi dirinya dan memastikan bahwa bagian dari pengorbanan istrinya tetap aman. Pada akhirnya, ia juga kehilangan nyawanya, tetapi bukan tanpa perlawanan. Kanshou dan Bakuya tetap menjadi simbol cinta mereka, saling melindungi satu sama lain meski tidak pernah bertemu lagi."
Lefiya menghela napas panjang, menundukkan kepalanya. "Itu terlalu kejam. Tapi juga... sangat indah. Mereka tidak bersama, tapi cinta mereka tetap abadi dalam pedang-pedang itu."
Shirou mengangguk, tersenyum tipis. "Itulah kenapa aku selalu merasa ada makna lebih dalam saat menggunakan Kanshou dan Bakuya. Mereka bukan hanya senjata; mereka adalah warisan cinta dan pengorbanan."
Lefiya menatap Shirou, hatinya tersentuh oleh cerita itu. Ia merasa semakin mengagumi lelaki di depannya, bukan hanya karena keahliannya, tetapi juga karena hatinya yang memahami makna di balik pedang yang ia gunakan. "Aku mengerti sekarang kenapa mereka begitu penting bagimu," ujarnya dengan lembut.
Shirou hanya tersenyum, membiarkan keheningan hangat mengisi ruangan sementara nyala api tungku terus menari, seolah menyaksikan kisah abadi dari Kanshou dan Bakuya yang baru saja dihidupkan kembali lewat kata-kata.
Lefiya menatap Shirou dengan mata yang lembab, jelas masih terpengaruh oleh kisah tragis yang baru saja diceritakan. Ia mengangguk kecil, seolah menemukan jawabannya sendiri. "Jadi maksudmu ketika mengatakan tidak memiliki bahan... itu karena yang dibutuhkan adalah pengorbanan seperti Mo Ye?" tanyanya dengan nada hati-hati, mencoba memastikan kesimpulannya.
Shirou mengangguk, senyumnya tipis. "Benar. Pedang itu tidak hanya ditempa dari logam, tetapi dari jiwa dan kehidupan seseorang. Sesuatu yang tidak pernah bisa aku tiru, bahkan jika aku memiliki kemampuan untuk menyalin pedangnya."
Lefiya terdiam sejenak, lalu tersenyum nakal, mencoba mencairkan suasana. "Kalau begitu, bagaimana kalau aku yang mengorbankan diri? Mungkin dengan begitu kamu bisa menempa pedang yang lebih hebat dari Kanshou dan Bakuya," ujarnya sambil tertawa kecil, nada bercandanya jelas.
Namun, reaksi Shirou justru membuat Lefiya terkejut. Ia menggeleng dengan serius, matanya menatap langsung ke arahnya. "Aku tidak akan pernah mengorbankan nyawamu, Lefiya. Tidak untuk pedang, tidak untuk apapun." Nada suaranya tegas, tapi penuh dengan ketulusan.
Mendengar jawaban itu, Lefiya merasakan wajahnya memerah. Jantungnya berdetak lebih cepat, dan hatinya seperti mekar karena perhatian yang tulus dari Shirou. Ia memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan rasa malunya. "Kamu... benar-benar serius, ya? Terima kasih, Shirou," katanya pelan, suaranya hampir seperti bisikan. Ia mencoba mengalihkan perhatian, kembali ke topik sebelumnya. "Kalau begitu, darimana kamu mendapatkan Kanshou dan Bakuya yang kamu gunakan? Apakah itu berasal dari... sesuatu yang kamu salin?"
Shirou tampak ragu, ekspresinya sedikit berubah. Ia menggaruk bagian belakang kepalanya, seolah mencoba memutuskan bagaimana menjawab pertanyaan itu. "Itu... agak rumit untuk dijelaskan," ujarnya akhirnya.
Lefiya mengerutkan dahi, tapi antusiasmenya tidak surut. Ia langsung melontarkan tebakan, matanya berbinar lagi. "Jangan-jangan... kamu bertemu dengan Gan Jiang atau Mo Ye sebagai Heroic Spirit? Atau... pedang itu berasal dari Gate of Babylon milik Gilgamesh?"
Shirou sedikit tersenyum mendengar tebakan-tebakannya, meskipun ada keraguan di matanya. "Bukan," jawabnya dengan nada ringan.
Lefiya mengerutkan kening, penasaran semakin besar di wajahnya. "Kalau begitu, dari mana? Apa ada rahasia lain?"
Shirou menatap tungku yang mulai memanas sebelum menjawab perlahan, "Aku meniru kedua pedang itu dari seorang Faker lain."
Lefiya membelalakkan matanya. "APA?!" teriaknya dengan suara tinggi, sampai gema suaranya memenuhi ruangan. "Ada Faker lain?!"
Sebelum Shirou sempat menjawab lebih lanjut, perhatian mereka teralihkan oleh asap tipis yang mulai mengepul dari anvil di atas tungku. Panasnya telah mencapai titik yang siap untuk menempa. Shirou bangkit dari kursinya dengan tenang, mengambil palu di dekatnya, sementara Lefiya masih terpaku di tempat, menatapnya dengan campuran kebingungan dan kekaguman. "Tunggu! Kita belum selesai membahas ini!" protesnya, meski suara protesnya mulai terdengar lebih seperti rasa ingin tahu yang menggebu.
Shirou memutar sedikit palu di tangannya sambil memperhatikan anvil yang sudah mulai memanas dengan sempurna. "Cerita tentang Faker yang lain itu lebih panjang dan rumit daripada cerita Gan Jiang dan Mo Ye," ucapnya sambil melirik Lefiya sekilas, mencoba memberikan jawaban tanpa terlalu banyak membocorkan apa yang ia tahu.
Namun, di dalam hatinya, pikirannya berkecamuk. Archer, Shirou Emiya yang lain. Dirinya dari masa depan yang telah berubah menjadi Counter Guardian dan kembali untuk membunuhnya di Perang Cawan Suci. Shirou menggertakkan giginya pelan, memikirkan bagaimana cara ia bisa menjelaskan sesuatu yang begitu absurd dan personal pada Lefiya tanpa membuatnya bingung atau khawatir. Kisah itu lebih dari sekadar panjang—itu adalah salah satu bagian tergelap dalam hidupnya, dan ia belum siap untuk mengungkapkannya.
Lefiya yang mulai menyadari Shirou enggan menjelaskan lebih jauh, akhirnya menyerah. Ia mendesah pelan dan kembali duduk di kursi. Dengan nada setengah bercanda, ia bertanya, "Kalau begitu... berarti aku bukan Faker kedua, ya? Aku Faker ketiga?"
Shirou berhenti sejenak sebelum berbalik menatapnya. Senyum kecil menghiasi wajahnya, namun ada kilatan misterius di matanya. "Tidak juga," jawabnya dengan tenang. "Aku dan Faker yang lain itu... bisa dibilang sama-sama Faker yang pertama."
Kening Lefiya mengerut, mencoba memahami maksud tersembunyi dari perkataan Shirou. "Sama-sama Faker yang pertama?" ulangnya pelan, menatap Shirou dengan kebingungan yang nyata. "Bagaimana bisa itu masuk akal? Kamu hanya ada satu, bukan?"
Shirou tidak memberikan penjelasan lebih lanjut, malah kembali memusatkan perhatian pada anvil. Ia mulai mempersiapkan diri untuk menempa, membiarkan Lefiya mencoba memecahkan teka-teki itu sendiri.
Lefiya akhirnya mengangkat tangan menyerah, wajahnya berubah menjadi ekspresi frustasi yang imut. "Baiklah, aku menyerah," katanya sambil menghela napas panjang. "Aku tidak akan mencoba memahami itu lagi. Setidaknya... aku masih yang kedua, kan?" tambahnya dengan nada bercanda, mencoba menghibur dirinya sendiri.
Shirou tersenyum kecil mendengar komentar terakhir Lefiya, tapi ia tetap tidak mengatakan apa pun. Di dalam hatinya, ia merasa lega karena Lefiya tidak mendesaknya lebih jauh—untuk saat ini, ada hal-hal yang lebih baik dibiarkan menjadi misteri.
Shirou memandang api yang berkobar di tungku dengan tenang sebelum akhirnya berkata, "Baiklah, aku akan mulai dengan sesuatu yang sederhana untuk pemanasan." Ia mengangkat tangannya, dan seketika cahaya lembut memancar. Sebuah batang besi biasa, hasil dari projection magecraft, muncul di genggamannya. Ia mengamati bahan itu dengan seksama, lalu meletakkannya di atas anvil yang panas.
Namun, Lefiya memandang tindakan itu dengan dahi berkerut. "Bukankah kalau kamu menggunakan material dari projection magecraft, itu hanya akan bertahan selama tiga hari?" tanyanya sambil melipat tangan di depan dada, suaranya sedikit menegur.
Shirou tersenyum kecil dan mengangguk. "Benar, tetapi ini hanya latihan. Aku tidak masalah kalau hasilnya hilang nantinya."
Lefiya menggeleng tegas, wajahnya menunjukkan ketidaksepakatan. "Tidak, Shirou. Itu tidak benar." Ia segera beranjak menuju sudut ruangan, mulai membuka salah satu kotak tua yang berdebu. Satu per satu, ia mengangkat batang besi asli yang tampak berat, meski tangannya yang kecil dengan gigih mengangkatnya tanpa ragu.
Shirou memandangnya dengan sedikit bingung. "Lefiya, apa yang kamu lakukan?" tanyanya, berjalan mendekat.
Setelah beberapa saat, Lefiya mendekatinya dengan tumpukan bahan-bahan besi asli yang ia temukan. Dengan napas sedikit terengah, ia berkata dengan nada penuh semangat, "Ini. Kalau ini pertama kalinya kamu menempa sesuatu, kamu harus menggunakan bahan yang nyata. Bukankah akan lebih baik kalau hasilnya bisa kamu simpan sebagai kenangan?"
Shirou menatap tumpukan batang besi di tangan Lefiya, lalu menatap gadis itu yang tampak tersenyum penuh keyakinan. Sebagian dirinya ingin menjelaskan bahwa ia lebih suka sesuatu yang praktis, tetapi melihat usaha Lefiya membawa bahan berat itu, ia tidak tega untuk menolak.
Akhirnya, Shirou menghela napas kecil dan mengambil salah satu batang besi dari tangan Lefiya. "Baiklah, aku akan menggunakan ini," katanya sambil tersenyum lembut. "Tapi jangan sampai kamu terlalu memaksakan diri seperti ini lagi, oke?"
Lefiya hanya terkekeh kecil. "Aku cuma ingin memastikan hasil kerja kerasmu tidak menghilang begitu saja," balasnya sambil mengusap sedikit debu di pipinya.
Shirou mengangguk pelan, lalu menempatkan batang besi itu di atas anvil. Kini, dengan bahan asli di tangan, ia merasa ada sedikit beban tambahan untuk memastikan hasil akhirnya sempurna.