Di dalam kamarnya yang tenang, Riveria tertidur lelap, dengan napas yang teratur dan wajah yang tampak damai. Jubah hijau yang sebelumnya diproyeksi oleh Shirou melapisi tubuhnya, digunakan seperti selimut lembut yang menyelimuti gaun tidurnya. Di balik matanya yang terpejam, ia terbawa dalam mimpi indah tentang hari yang baru saja ia habiskan bersama Shirou.
Dalam mimpi itu, ia kembali mengingat setiap momen dari 'kencan pertama' mereka di Dungeon—bagaimana Shirou memandu perjalanan mereka, senyumnya yang hangat saat mereka berbagi bekal, dan perhatian kecil yang ia berikan saat membimbing Riveria dalam latihannya. Riveria dalam mimpinya merasa bagai seorang gadis muda lagi, melupakan statusnya sebagai royalti dan merasa bebas menikmati waktu bersama seseorang yang ia sukai.
Mimpi itu perlahan memudar, digantikan oleh sinar matahari pagi yang masuk melalui celah gorden kamarnya. Cahaya itu menyinari wajah Riveria yang masih terlelap, sampai akhirnya ia mulai menggerakkan tubuhnya pelan-pelan, matanya setengah terbuka.
Namun, saat ia duduk di tempat tidur dan menoleh ke arah jubah yang ia gunakan sebagai selimut, matanya melebar. Ujung jubah itu basah oleh iler yang tak biasa keluar dari mulutnya. Pipi Riveria memerah seketika, dan ia cepat-cepat menyeka mulutnya dengan punggung tangan. Oh tidak... aku sampai ngiler... pikirnya sambil menatap jubah itu dengan cemas.
Saat pikirannya mulai jernih, Riveria melirik jam di dinding kamar. Seketika panik menyerangnya. "Astaga! Aku terlambat untuk latihan magecraft bersama Shirou!" Ia berdiri dengan cepat, mengambil tongkat sihirnya, dan tanpa berpikir panjang langsung menuju balkon kamarnya.
Di luar, sinar matahari pagi menerangi taman di bawah, tetapi Riveria tak punya waktu untuk menikmati pemandangan. Dengan gerakan anggun yang menunjukkan keahlian akrobatiknya sebagai High Elf, ia melompati pagar balkon dari lantai empat dan mendarat dengan ringan di taman. Debu sedikit beterbangan di bawah kakinya, tetapi Riveria sudah mulai berlari menuju gudang di sudut taman.
Sambil berlari, pikirannya dipenuhi oleh rasa malu. Apa Shirou masih menungguku? Jangan-jangan dia sudah pergi karena aku terlambat? Tidak, aku harus sampai di sana secepatnya! Langkahnya semakin cepat, dan wajahnya masih sedikit memerah saat ia membayangkan bagaimana ia akan menjelaskan keterlambatannya pada Shirou.
Riveria membuka pintu gudang dengan tergesa-gesa, berharap Shirou masih ada di sana menunggunya. Namun, pandangannya langsung jatuh pada ruangan kosong yang sunyi. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Shirou. Ia menarik napas panjang, kecewa karena dirinya terlambat. Dia pasti sudah pergi. Seharusnya aku bangun lebih awal...
Sambil berpikir keras, ia teringat kebiasaan Shirou yang sering membantu Lefiya memasak sarapan untuk anggota Loki Familia. Tanpa membuang waktu, Riveria segera berlari menuju Manor, berharap masih bisa menemui Shirou sebelum dia sibuk dengan urusan lain.
Setibanya di dapur yang bersatu dengan ruang makan besar, Riveria langsung melihat keramaian di sana. Anggota Loki Familia sedang menikmati sarapan pagi mereka, beberapa berbincang santai, sementara yang lain terlihat mengunyah dengan lahap. Di antara mereka, Shirou dan Lefiya duduk bersebelahan, tampak akrab seperti biasa.
"Shirou!" Riveria memanggilnya dengan suara tegas, membuat perhatian semua orang di ruangan itu tertuju padanya. "Aku minta maaf... Aku ketiduran," katanya, wajahnya memerah karena malu.
Keheningan melanda ruangan. Semua mata tertuju pada Riveria, tetapi bukan karena permintaan maafnya. Para anggota Loki Familia, terutama para Elf seperti Lefiya dan Alicia, terkejut melihat penampilan tuan putri mereka yang biasanya anggun dan sempurna. Kali ini, Riveria tampak berantakan. Rambutnya yang biasanya rapi terurai sedikit kusut, dan ia masih mengenakan gaun tidur berwarna biru lembut yang memiliki potongan rendah di bagian dada serta menampilkan lekukan tubuhnya yang ramping. Gaun tersebut dilengkapi tali tipis di bahu, dengan bagian rok yang melambai ringan hingga pergelangan kakinya, membuatnya terlihat berbeda dari kesan elegan yang biasanya terpancar darinya.
Shirou, yang juga terkejut, segera bangkit dari kursinya. "Tidak apa-apa, Riveria. Aku—"
Namun, Riveria memotong ucapannya, berbicara dengan terburu-buru. "Kita lanjutkan saja latihan nanti setelah kamu selesai sarapan," katanya, mencoba memfokuskan perhatian Shirou.
Shirou tampak ragu, lalu berkata, "Sebenarnya... maafkan aku, Riveria. Aku sudah memiliki janji lain setelah ini. Bagaimana kalau kita lanjutkan latihan besok pagi?"
Riveria terdiam sesaat, menatap Shirou dengan ekspresi bingung. "Oh, begitu..." jawabnya, suaranya agak pelan. "Baiklah, besok saja."
Shirou mengerutkan kening, merasa ada yang aneh. "Tapi, tumben sekali kamu terlambat bangun. Biasanya kamu yang selalu tiba lebih dulu," tanyanya dengan nada penasaran.
Wajah Riveria semakin memerah. Tangannya mencengkeram tongkat sihirnya erat-erat, tubuhnya sedikit kaku. Apa yang harus aku katakan? Tidak mungkin aku mengakui kalau aku terlalu nyenyak tidur sampai ileran di jubah hasil projeksi Shirou!
Ketika Riveria masih bergulat dengan pikirannya, Finn yang duduk di ujung meja berdehem pelan, membuat semua perhatian kembali teralihkan. "Riveria," katanya sambil tersenyum sopan, "mungkin kau ingin kembali ke kamar dulu untuk berganti pakaian sebelum kita melanjutkan aktivitas hari ini?"
Baru saat itu Riveria menyadari penampilannya yang tidak biasa. Ia menatap dirinya sendiri, menyadari bahwa gaun tidurnya yang ringan dan terbuka menjadi pusat perhatian. Dengan wajah semakin merah, ia mengangguk kaku dan buru-buru berkata, "A-aku akan segera ke kamarku. Maaf mengganggu."
Tanpa menunggu respon lain, Riveria berbalik dengan cepat dan bergegas keluar dari ruang makan, sambil berharap bisa melupakan rasa malunya pagi ini. Kenapa aku harus terlihat seperti ini di hadapan mereka... dan Shirou? pikirnya, sembari berjalan cepat menuju kamarnya.
Shirou meneguk air terakhir dari cangkirnya sebelum bangkit dari kursi. Seperti biasa, ia mulai merapikan meja dan membawa piring serta alat makan lainnya ke dapur untuk dibersihkan. Namun kali ini, tidak hanya Lefiya yang membantu, tetapi beberapa gadis Elf lainnya turut serta. Mereka adalah Alicia Forestlight, Lefiya Viridis, serta empat anggota Elf lainnya dari Fairy Force: Melina, Sylvie, Alinda, dan Arwen.
Fairy Force adalah skuad elit penyihir Elf yang dipimpin oleh Riveria. Unit ini dibentuk berdasarkan keistimewaan skill Alf Regina milik Riveria. Ketika diaktifkan, skill ini memungkinkan Riveria untuk mengembalikan sebagian energi sihir dari mantra yang telah dirapal oleh Elf di sekitarnya. Energi sihir itu dapat diserap kembali oleh para Elf, memungkinkan mereka untuk bertahan lebih lama dalam pertempuran. Kehebatan tim ini sudah diakui oleh seluruh anggota Loki Familia, dan keanggotaan mereka adalah kebanggaan tersendiri bagi setiap Elf yang terpilih.
Shirou menyeka tangannya dengan handuk kecil sebelum menatap mereka satu per satu. "Tumben kalian semua membantu. Biasanya hanya Lefiya yang ikut membantu di dapur."
Alicia, yang dikenal sebagai tangan kanan Riveria, tersenyum kecil. "Jangan pikirkan terlalu jauh, Shirou. Kami hanya ingin membantu kali ini."
Sylvie mengangguk cepat sambil berkata, "Benar, tidak ada alasan khusus. Kami hanya merasa hari ini sedikit berbeda."
Melina, yang memegang piring di tangannya, menambahkan dengan suara tenang, "Dan bukankah Anda selalu bekerja keras untuk memasak dan bersih-bersih? Sudah saatnya Anda mendapatkan bantuan tambahan."
Namun, meskipun mereka menjawab dengan senyuman dan nada santai, Shirou merasa ada sesuatu yang tidak biasa. Mereka jarang, atau bahkan hampir tidak pernah, membantu seperti ini sebelumnya. Biasanya, mereka fokus pada tugas masing-masing atau diskusi serius mengenai sihir di bawah bimbingan Riveria.
Dia memiringkan kepala sedikit, tatapannya penuh curiga. "Ini ada hubungannya dengan Riveria tadi, ya?" tanyanya langsung.
Sylvie, yang sedang menyusun peralatan makan, tersenyum geli. "Shirou, kamu terlalu banyak berpikir. Apa yang Lady Riveria lakukan tadi pagi tidak ada hubungannya dengan kami."
"Benar sekali," timpal Arwen sambil menyeka meja dengan kain basah. "Kita tidak perlu membahas itu lagi."
Shirou hanya bisa mendesah, menyadari bahwa tidak ada gunanya mendesak mereka untuk mengungkapkan kebenaran. Mereka pasti menyembunyikan sesuatu. Tapi sudahlah... Lebih baik aku fokus menyelesaikan pekerjaan ini dulu.
Dengan itu, Shirou kembali bekerja membersihkan meja dan alat makan, sesekali mendengar tawa kecil dari para gadis Elf yang tampaknya menikmati waktu membantu di dapur lebih dari yang ia perkirakan.
Shirou terus bekerja di dapur, tetapi ia mulai menyadari bahwa suasana menjadi lebih hangat dari biasanya. Alicia, yang biasanya kalem, justru terlihat santai sambil membawa nampan piring kosong ke wastafel. "Shirou," katanya, memulai percakapan, "kau ini luar biasa, ya. Mengajarkan Magecraft kepada Lady Riveria, sang penyihir terkuat di Orario. Eh, atau... sepertinya gelar itu sekarang lebih cocok untukmu?"
Shirou berhenti sejenak dan tersenyum kecil. "Ah, jangan terlalu melebih-lebihkan, Alicia. Riveria tetap yang terbaik. Aku hanya membantu sedikit, itu saja."
"Merendah sekali," gumam Sylvie, mengintip Shirou yang tampak sibuk mengelap piring. "Kalau begitu, pelajaran apa sih yang membuat Lady Riveria sampai tergesa-gesa tadi pagi?" tanyanya sambil memasang senyum penuh rasa ingin tahu.
Shirou, merasa pertanyaan ini mulai menjurus, menjawab dengan hati-hati, "Aku mengajarkan Magecraft dari dunia asalku kepada Riveria. Itu sesuatu yang cukup berbeda dari sihir di Orario."
"Oh?" Arwen menaikkan alisnya sambil menatap Shirou dengan penuh minat. "Jadi, Lady Riveria belajar sihir dari duniamu? Aku jadi penasaran seperti apa Magecraft itu."
Sylvie menimpali dengan nada manja, "Aku iri. Sepertinya menyenangkan jika bisa belajar langsung darimu bersama Lady Riveria."
Lefiya, yang sedang menyeka meja di sebelah Shirou, akhirnya angkat bicara. "Sebenarnya aku juga pernah meminta Shirou untuk mengajariku Magecraft."
"Oh?!" Serentak, mata para Elf lain beralih ke Lefiya.
"Lalu kenapa tidak, Lefiya?" tanya Melina, dengan nada sedikit penasaran. "Bukannya Shirou biasanya sulit menolak permintaan orang lain?"
Lefiya menunduk sedikit, terlihat agak sedih. "Aku... tidak memiliki magic circuit yang bisa digunakan untuk Magecraft. Sementara Lady Riveria memilikinya."
Alicia, Arwen, Melina, dan Sylvie saling pandang dengan kagum, seolah mereka baru saja mendengar fakta luar biasa. "Tuan putri kita memang luar biasa," ujar Alicia dengan senyum bangga. "Tidak hanya penyihir terkuat di Orario, tetapi juga berbakat untuk menguasai sihir dari dunia lain."
Shirou hanya bisa tersenyum kecil mendengar diskusi mereka. Mereka sangat menghormati Riveria. Aku bisa mengerti kenapa... Tetapi jika mereka tahu betapa kerasnya usaha Riveria untuk mempelajari Magecraft, rasa hormat mereka pasti akan bertambah.
Namun, ia memilih untuk tidak mengomentari lebih jauh dan kembali fokus menyelesaikan pekerjaannya. Sementara itu, para Elf terus bergosip kecil, tampaknya semakin penasaran dengan hubungan antara Shirou dan Lady Riveria.
Tak terasa, pekerjaan mereka selesai dengan cepat. Dapur dan ruang makan kini bersih tanpa noda. Shirou menatap para Elf yang membantunya dengan penuh terima kasih. Ia membungkukkan sedikit tubuhnya dan berkata dengan tulus, "Terima kasih banyak atas bantuan kalian. Karena kalian, pekerjaan ini selesai jauh lebih cepat."
Namun, saat Shirou bersiap untuk pergi, Alinda, dengan nada datar, bertanya, "Siapa sebenarnya orang yang lebih penting itu? Sampai-sampai kau menolak Lady Riveria, padahal dia sudah bersemangat sekali untuk belajar hari ini?"
Alicia menambahkan dengan ekspresi yang sedikit heran, "Betul, Shirou. Lady Riveria hampir tidak pernah terlambat dalam hidupnya. Kau tahu, kan, betapa berharganya waktu seorang Elf seperti dia?"
Sylvie ikut menyelipkan komentarnya sambil menatap Shirou tajam, "Seharusnya kau merasa terhormat, Shirou. Lady Riveria sampai mau meluangkan waktunya hanya untukmu."
Lefiya mencoba membela Shirou. "Te-tetapi... aku yakin Shirou pasti punya alasannya," katanya dengan suara pelan. Namun, ia tergagap, tak mampu menyampaikan argumennya dengan jelas.
Shirou menghela napas panjang, mencoba menenangkan suasana yang mulai memanas. Ia menatap para Elf satu per satu dan berkata dengan tenang, "Bukan berarti aku tidak menghargai semangat Riveria, tetapi aku sudah membuat janji dengan orang lain sebelumnya. Dan aku yakin, Riveria tidak akan ingin aku melanggar janji itu hanya demi dirinya. Itu bukan sifatnya."
Para gadis Elf terdiam, mencerna penjelasan Shirou. Sebagian dari mereka tampak mulai memahami sudut pandang Shirou. Namun, Arwen, dengan suara pelan, berkata, "Tapi... kalau orang itu tahu kau tidak bisa datang karena Lady Riveria, kurasa dia akan berbesar hati menerimanya."
Shirou langsung membayangkan wajah Ryuu yang kemarin dengan hormat menyebut nama Riveria. Dia mungkin memang akan memakluminya, tapi... pikir Shirou dalam hati. Ia tak ingin membiarkan hal ini menjadi lebih rumit dari yang seharusnya. Shirou menggeleng perlahan. "Aku tetap harus menepati janji ini," jawabnya akhirnya, dengan suara tegas namun lembut.
Setelah itu, Shirou membungkuk sekali lagi. "Terima kasih atas pengertian kalian. Aku benar-benar harus pergi sekarang," katanya sebelum berbalik dan meninggalkan dapur.
Para Elf saling pandang, dan meskipun masih ada yang penasaran, mereka memutuskan untuk tidak menahan Shirou lebih lama lagi. Sementara itu, Shirou melangkah keluar dengan tenang, tetapi di dalam hatinya ia bertekad untuk menjaga kedua sisi hubungannya dengan Riveria dan Ryuu tetap seimbang.
Shirou melangkah keluar dari Manor dengan langkah mantap, membawa tas kecil di pundaknya. Tujuannya jelas: menuju asrama tempat Ryuu tinggal di dekat Hostess of Fertility. Udara pagi terasa sejuk, dan langit mulai cerah, memberikan suasana tenang yang membuat Shirou merasa rileks.
Baru saja melewati gerbang Manor, Shirou melihat sosok yang familiar mendekat dari arah seberang jalan. Itu adalah Aiz Wallenstein, yang terlihat sedikit lelah namun tetap anggun seperti biasanya. Pedangnya terselip rapi di pinggang, dan rambut pirangnya sedikit berantakan karena keringat latihan.
"Aiz," sapa Shirou dengan ramah sambil melambai. "Apa kau baru pulang dari melatih Bell?"
Aiz menghentikan langkahnya dan mengangguk pelan. "Iya. Kami selesai sedikit lebih lama dari biasanya," jawabnya singkat, seperti kebiasaannya yang tidak banyak bicara.
Shirou tersenyum kecil. "Kalau begitu, kau pasti lapar. Aku sudah menyisakan sarapan di dapur, hanya perlu dihangatkan. Kuharap itu cukup mengisi tenagamu setelah latihan."
Mata Aiz sedikit berbinar mendengar kata sarapan. "Terima kasih, Shirou. Aku akan langsung ke dapur," katanya sambil menunduk hormat. Lalu, tanpa banyak basa-basi lagi, dia bergegas menuju Manor, langkahnya lebih cepat dari sebelumnya.
Melihat itu, Shirou hanya bisa tersenyum. Seperti biasa, dia benar-benar menyukai masakanku, pikirnya. Dia senang bisa membantu, walau hanya dengan menyediakan makanan sederhana.
Setelah melihat Aiz menghilang ke dalam Manor, Shirou kembali melanjutkan perjalanannya. Dia memasukkan tangannya ke dalam saku, berjalan santai sambil menikmati suasana pagi di Orario. Namun, pikirannya mulai memutar rencana latihan bersama Ryuu nanti. "Aku harus memastikan ini berjalan lancar," gumamnya pelan, langkahnya semakin mantap menuju tempat pertemuannya.
Shirou akhirnya tiba di asrama para pelayan Hostess of Fertility, tempat yang terletak di sudut distrik yang lebih tenang dari hiruk-pikuk Orario. Asrama itu memiliki bangunan sederhana tapi terawat, dikelilingi pagar rendah dengan gerbang kecil. Shirou membuka gerbang dengan hati-hati agar tidak membuat terlalu banyak suara.
"Permisi," ucap Shirou dengan nada pelan, memastikan kalau dia tidak mengganggu siapa pun yang mungkin masih di dalam.
Dia berjalan mengitari sisi bangunan, melewati jalan kecil berbatu yang menuju halaman belakang. Begitu tiba, dia menemukan sebuah lapangan kecil yang tersembunyi, dikelilingi oleh bangunan asrama, sehingga menciptakan ruang privat yang jauh dari pandangan publik. Di tengah lapangan itu, Ryuu Lion sedang berlatih dengan tekun, memegang pedang kayu yang terlihat sederhana, namun Ryuu memegangnya dengan sikap penuh hormat.
Shirou berdiri sejenak, memperhatikan setiap gerakan Ryuu. Teknik pedangnya cepat, presisi, dan penuh kekuatan yang terkendali. Setiap tebasan dan tusukan memiliki tujuan, seolah-olah dia sedang menghadapi lawan yang tak terlihat.
Penasaran, Shirou mengaktifkan Tracing pada pedang kayu itu. Dalam sekejap, informasi tentang senjata itu mengalir ke dalam benaknya. Nama pedang kayu itu adalah Alvs Lumina. Dari Tracing, Shirou mengetahui bahwa ini bukan pedang kayu biasa. Alvs Lumina adalah alat yang menjadi saksi perjuangan Ryuu melindungi yang lemah, membasmi monster, hingga menjadi senjata pembalasan dendam pada Rudra Familia, sesuatu yang pernah diceritakan Ryuu sebelumnya.
Shirou merasakan emosi bercampur saat memahami sejarah pedang itu—rasa bangga, kesedihan, dan penyesalan yang tertanam di dalamnya. Dia menatap Ryuu yang tetap berlatih dengan disiplin, dan pikirannya melayang pada cobaan yang harus dihadapi Ryuu di masa lalunya.
"Shirou," suara tenang Ryuu tiba-tiba memanggilnya, memotong lamunannya. Ryuu tampaknya menyadari kehadiran Shirou sejak tadi, meskipun dia tidak menunjukkan tanda-tanda terganggu oleh pengamatannya.
Shirou tersentak dari pikirannya. Dia menatap Ryuu dan tersenyum kecil. "Ah, maaf kalau mengganggu, Ryuu," jawabnya dengan nada sedikit pelan, perasaan dari Tracing tadi masih membebani pikirannya.
Ryuu menurunkan pedang kayunya dan melangkah mendekati Shirou dengan tatapan lembut. "Tidak apa-apa. Aku memang menunggumu. Apakah kau sudah siap untuk latihan?" tanyanya, nadanya tetap formal, tetapi ada secercah kehangatan dalam suaranya.
Shirou mengangguk, mencoba mengalihkan pikirannya dari masa lalu Ryuu yang baru saja dia pelajari. "Ya, aku siap," jawabnya, meskipun sebagian dari dirinya masih merenungkan kedalaman cerita yang tersembunyi di balik pedang kayu sederhana itu.
Shirou membuka tas kecil yang ia bawa, mengambil pedang tumpul yang telah ia projeksi sebelumnya. Pedang itu tampak biasa saja, tidak memiliki ornamen mencolok atau desain yang rumit. Sesuai niat Shirou, pedang ini adalah tiruan dari senjata milik seorang petualang pemula yang kurang berbakat, lengkap dengan keseimbangan yang sedikit buruk dan bilah yang terlihat kusam.
Dia menggenggam pedang itu dengan hati-hati, mencoba menyesuaikan posisinya seperti yang ia lihat dalam ingatan Tracing-nya. Shirou berdiri dengan kuda-kuda sederhana yang canggung, mengarahkan ujung pedangnya ke arah Ryuu. "Aku sudah siap," ucapnya dengan suara serius yang jelas dibuat-buat.
Ryuu memiringkan kepalanya, menatap Shirou dengan ekspresi penasaran. "Kuda-kudamu itu... apa yang kau lakukan?" katanya sambil menaikkan satu alis, nada suaranya datar namun penuh kritik.
Shirou menatap Ryuu dengan pandangan kosong. "Kuda-kuda apa? Ini kan posisi yang benar?" katanya sambil pura-pura kebingungan.
Ryuu menghela napas panjang, berjalan mendekat, dan mulai membetulkan posisi tubuh Shirou. Dia memindahkan kaki Shirou ke posisi yang lebih stabil dan memutar sedikit pinggangnya agar lebih seimbang. "Kalau kau bertarung dengan posisi seperti itu, kau hanya akan terjungkal sebelum musuh menyerangmu," jelasnya.
"Oh, begitu ya? Terima kasih, Ryuu," jawab Shirou dengan nada penuh kepatuhan, seolah-olah dia murid pemula yang serius mendengarkan gurunya. Dalam hati, Shirou menahan senyumnya. Ia sengaja bertindak seperti ini untuk menyembunyikan kemampuan aslinya.
Ryuu melangkah mundur, kembali ke posisinya, dan mengarahkan pedang kayunya ke arah Shirou. "Aku akan mulai menyerang perlahan. Ingat, fokuskan perhatianmu pada gerakan lawan dan hindari gerakan yang tidak perlu," katanya dengan tegas.
Namun, sebelum mereka mulai, Ryuu menambahkan, "Tapi ada satu hal yang perlu kau ingat. Aku sering kesulitan menahan diri saat latihan. Itu sebabnya Anya, Chloe, dan Lunoire malas berlatih denganku."
Mendengar itu, Shirou langsung memasang ekspresi panik pura-pura dan memohon. "Ryuu, tolong jangan terlalu keras padaku."
Ryuu menatap Shirou dengan bingung, lalu menghela napas sambil menggelengkan kepalanya. "Jangan khawatir, aku tidak akan melukaimu," katanya dengan nada serius.
Namun, Shirou tahu bahwa Ryuu sama sekali tidak menyadari niatnya yang sebenarnya. Ia hanya berencana menunjukkan kemampuan seadanya, mengikuti pola gerakan petualang pemula yang banyak membuat kesalahan, untuk memastikan kekuatannya tetap tersamarkan.
Ryuu mengayunkan pedang kayunya dengan gerakan yang cepat namun terukur, memulai sesi latihan. "Bersiaplah, Shirou," ucapnya dengan nada tenang, tapi tatapannya tajam.
Shirou, yang memegang pedang tumpulnya dengan canggung, meniru gerakan seperti petualang pemula yang kurang berpengalaman. Setiap langkah, ayunan, bahkan cara dia memegang pedang seolah menunjukkan kelemahan dan kurangnya pelatihan. Dalam hati, Shirou tersenyum kecil, puas dengan kemampuannya untuk menyembunyikan kekuatan aslinya.
Ryuu mengerutkan kening saat melihat posisi tangan Shirou yang salah. "Peganganmu terlalu lemah. Kalau begini, pedangmu bisa terlempar hanya dengan satu serangan," katanya sambil mendekat dan membetulkan posisi tangan Shirou.
"Ah, terima kasih, Ryuu. Sepertinya aku masih harus banyak belajar," jawab Shirou dengan nada malu-malu, sengaja menambahkan sentuhan rasa bersalah di suaranya.
Latihan berlanjut, dan Ryuu beberapa kali menghentikan gerakannya untuk memperbaiki teknik Shirou. "Langkahmu terlalu lambat. Cobalah lebih ringan di kaki," katanya, menggeser sedikit posisi kaki Shirou. "Dan jangan terlalu banyak mengangkat bahumu saat menyerang, itu hanya membuang energi."
Shirou mengangguk patuh. "Baik, Ryuu. Aku akan mencobanya," katanya, berpura-pura berusaha keras, meskipun dalam kenyataannya, dia sengaja membuat setiap gerakannya tampak lamban dan penuh kesalahan.
Setelah beberapa kali menghindar dan menyerang dengan cara yang tampak kacau, Shirou memutuskan saatnya untuk berpura-pura kelelahan. Dia membiarkan kakinya tergelincir sedikit, lalu jatuh terduduk di atas tanah dengan napas terengah-engah. "R-Ryuu... bolehkah kita istirahat sebentar?" pintanya dengan suara terputus-putus.
Ryuu menghela napas panjang, menyimpan pedang kayunya ke samping. "Baiklah," katanya, tapi ada nada kekecewaan yang jelas terdengar di suaranya. Dia menatap Shirou, seolah-olah mencoba memahami kenapa seseorang yang terlihat begitu rajin dan bertanggung jawab memiliki kemampuan bertarung yang sangat lemah.
"Kau perlu lebih banyak melatih dasar-dasarmu," tambahnya akhirnya, duduk di dekat Shirou. "Tapi aku tahu kau bisa lebih baik dari ini kalau kau benar-benar berusaha."
"Terima kasih atas pengertiannya, Ryuu" balas Shirou dengan senyum kecil, merasa sedikit bersalah karena membuat Ryuu kecewa. Namun, dia tahu ini adalah cara terbaik untuk menjaga rahasianya tetap aman.
Ryuu berdiri dan berjalan masuk ke dalam asrama. Beberapa saat kemudian, dia kembali dengan dua botol air di tangannya. "Ini untukmu," katanya, menyerahkan satu botol kepada Shirou sebelum duduk di sampingnya.
"Terima kasih, Ryuu" ujar Shirou sambil membuka botolnya dan meminum beberapa teguk air dingin. Rasanya menyegarkan setelah latihan 'keras' yang baru saja ia jalani—meskipun ia hanya berpura-pura.
Ryuu memandang Shirou dengan tatapan serius. "Shirou, kau masih banyak kekurangan. Teknikmu sangat mentah, dan dasar-dasarmu lemah. Kau butuh lebih banyak latihan," katanya tanpa basa-basi.
Shirou, yang masih minum, hanya bisa mengangguk sambil menelan rasa bersalahnya. "Maaf, Ryuu. Aku akan berusaha lebih keras," katanya sebelum kembali meminum airnya.
Ryuu menarik napas dalam-dalam, seolah mempertimbangkan sesuatu. "Karena itu, aku memutuskan untuk mengambil shift malam saja di Hostess of Fertility. Dengan begitu, aku bisa melatihmu setiap pagi tanpa gangguan," ujarnya dengan nada penuh tekad.
Shirou yang mendengar itu langsung tersedak air yang diminumnya. Dia terbatuk-batuk, mencoba menguasai diri sambil berpikir keras. Latihan setiap pagi? Bagaimana aku bisa terus berpura-pura dengan itu? Ini hanya akan membuang waktu Ryuu! pikirnya.
"R-Ryuu" ucap Shirou, suaranya sedikit bergetar. "Aku menghargai niat baikmu, tapi... mungkin waktu latihan kita bisa dikurangi? Aku tak ingin menyita terlalu banyak waktumu."
Mendengar itu, Ryuu langsung berdiri, matanya menatap tajam Shirou. "Apa maksudmu, Shirou? Kau pikir impian menjadi Seigi no Mikata itu hanya omongan kosong? Berlatih setiap hari saja kau malas?!" suaranya meninggi, nada kemarahan jelas terdengar.
Shirou terdiam, terkejut dengan reaksi Ryuu.
Ryuu melanjutkan dengan suara yang sedikit gemetar, "Apa kau pikir membela keadilan itu mudah? Dengan kemampuanmu yang sekarang, kau bahkan tidak akan bisa menyelamatkan seorang pun! Kau harus berjuang lebih keras, atau impian itu hanya akan menjadi mimpi kosong!"
Shirou menunduk, merasa bersalah mendengar kata-kata Ryuu. "Aku... aku tidak menyangka kau begitu menghargai impianku," katanya pelan.
Ryuu terdiam sejenak, lalu duduk kembali di samping Shirou. Kali ini, suaranya lebih lembut. "Shirou, impianmu itu adalah sesuatu yang aku tidak bisa capai di masa lalu. Aku hanya ingin membantumu agar kau bisa mencapainya," katanya lirih, matanya sedikit memandang jauh.
Shirou tertegun mendengar pernyataan itu. Dalam hatinya, ia merasa semakin bersalah. Ryuu begitu mendukungku, sementara aku malah menyembunyikan kekuatanku darinya. Aku benar-benar membuatnya percaya bahwa aku ini lemah. pikir Shirou.
Sambil menatap Ryuu, Shirou berbisik pelan, "Terima kasih, Ryuu. Aku akan berusaha lebih baik lagi."